Share

(04) Unreciprocated love

"Siapa sih yang mengajarkan Kak Ryan untuk menyelesaikan latihan soal seperti ini?!" Omel Ariana pada Ryan.

Saat ini, mereka sedang berkumpul mengerjakan tugas sekolah bersama. Ini merupakan rutinitas mereka setiap hari, sebelum kemudian dilanjut dengan bermain game.

"Istirahat dulu aja yuk belajarnya. Yan, lebih baik kita main game dulu aja," ajak Yovan yang langsung diiringi dengan sorak gembira dari Ryan.

Meskipun Ariana merasa jengkel karena Ryan terbebas dari latihan soal yang harus ia kerjakan, tetapi Ariana ikut senang karena Ryan dan Yovan bisa menghabiskan waktu berdua, meskipun itu hanya sebatas bermain game bersama.

Sudah hampir dua jam, namun Yovan dan Ryan belum juga selesai bermain. Ariana yang bosan dan mengantuk pun sejak tadi hanya duduk di sofa sambil memeluk leher sang kakak dari belakang, dan menelusupkan wajahnya di sana. Sedangkan sang kakak nampak tidak terusik dan tetap asyik selonjoran di lantai sambil bermain game.

"Kak, tadi siang Kak Ryan beli kopi di mana? Besok aku mau titip dong," pinta Ariana random

"Kopi? Enggak, Kakak enggak beli kopi. Memangnya kenapa?"

"Noda di seragam Kak Ryan tadi itu kan noda bekas kopi."

Ryan berpikir sejenak, mengingat-ingat dari mana asal tumpahan kopi tersebut. "Oh, tadi siang Kakak enggak sengaja menabrak orang di jalan. Kebetuan dia sedang minum kopi, noda itu dari tumpahan kopi dia."

Yovan terkekeh pelan. "Kenapa sih kalian akhir-akhir ini suka banget nabrak orang. Sebelumnya Ariana nabrak orang sampai dahinya benjol, terus enggak masuk sekolah selama dua hari, sekarang giliran Ryan yang nabrak," ujarnya.

Ryan tertawa mendengarnya. "Bisa-bisanya nabrak orang sampai benjol sebesar bola golf."

Ariana menjitak kepala kakaknya dengan pelan. "Aduh sakit," keluh Ryan.

"Tapi Kak Yovan penasaran. Kamu ini kan galak banget nih, Ri. Bagaimana ya nasib orang yang menabrak kamu sampai kamu benjol begitu, Ri?" Tanya Yovan.

Ariana mengangkat bahunya cuek. "Ari enggak melakukan apa-apa padanya kok, Kak."

Ryan dan Yovan menatap Ariana sangsi. "Serius?"

Ariana mengangguk. "Ari senyumin aja."

"Kenapa?" Tanya Ryan

"Habisnya dia ganteng banget, sih," jawab Ariana asal dan langsung dihadiahi lemparan bantal dari sang kakak.

****

 Ariana tidak pernah bisa tidur terlalu malam. Ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, Ariana beranjak dari sofa meninggalkan Ryan dan Yovan yang masih asyik bermain game. Ia sudah bergelung dalam selimut dan memeluk Cloudy dengan penuh rasa sayang. Cloudy adalah boneka beruang dengan ekspresi menangis, hadiah ulang tahunnya dari Kavin. Boneka itu sangat lembut dan fluffy, serta selalu menemani Ariana tidur. Ia tidak pernah bisa tidur tanpa boneka kesayangannya tersebut. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Nama Kavin terpampang di layar ponselnya. “Kenapa Vin?” tanyanya.

“Ari, gue salah reservasi restoran. Seharusnya tanggal 18, tapi gue dengan bodohnya malah salah sebut tanggal dan menyebut tanggal 19,” ujar Kavin. Kavin memang sering menelfon Ariana pada malam hari dan menceritakan seperti apa hari yang ia alami.

“Oh, lalu bagaimana dong?”

“Untung Sisca mengerti, dia enggak masalah sewaktu gue ajak pindah ke restoran lain. Tapi surprise gue jadi gagal dong. Padahal ini kan hari anniversary kami yang ke dua tahun.”

“Lain kali lo harus lebih hati-hati dong. Masa lo mau surprise lo gagal hanya karena alasan sepele kayak gitu.” Dan begitulah Ariana menghabiskan malamnya, mendengarkan keluh-kesah Kavin hingga dini hari.

Ketika Ariana mengakhiri perbincangan mereka di telfon, Ariana tidak menyadari bahwa sejak tadi Ryan sudah berdiri di sisi kamarnya. Melihat sang kakak yang memandangnya dengan sendu, tanpa sadar air mata Ariana pun mengalir dan tak lama kemudian berubah menjadi tangis sesenggukkan. “Sakit banget rasanya, Kak.”

Ryan memeluk adiknya dalam diam. Tangannya mengelus punggung sang adik, berharap tindakannya itu dapat sedikit menenangkan. “Kalau selalu terasa sakit seperti ini, mau mengakhirinya saja?”

Ariana melepaskan pelukan Ryan dan memandang kakaknya itu lekat-lekat. “Sampaikan perasaan kamu ke Kavin, supaya kamu lega. Setelah itu, kamu harus bisa melupakan dia.”

Ariana tampak ragu. Ia terdiam cukup lama. Apakah ia sudah siap untuk merelakan Kavin? "Enggak perlu buru-buru. Santai aja. Kakak akan mendukung apapun keputusan kamu," ujar Ryan.

****

“Kenapa mata lo bisa sampai bengkak begitu?” tanya Kavin saat melihat Ariana yang sedang menuruni tangga rumahnya. Sejak dulu, Kavin memiliki kebiasaan untuk mengantar jemput Ariana ke sekolah meskipun sekolahnya dan sekolah Ariana itu berlawanan arah.

“Gue habis nonton drama korea, sad ending,” jawab Ariana asal. Sebenarnya bukan drama korea, melainkan drama hidupnya dengan Kavin.

“Dasar cengeng,” ejek Kavin. Cowok itu meraih tas jinjing Ariana yang berisi berbagai jenis makanan ringan, bermaksud membawakannya sepanjang perjalanannya nanti. Sekolah Ariana bisa ditempuh dengan 15 menit berjalan kaki.

Ariana memang sangat suka memakan camilan di sela-sela pelajaran sekolahnya, sehingga Ryan selalu menyiapkan stok camilan yang banyak untuk sang adik bawa ke sekolah.

Sepanjang perjalanan, Ariana lebih banyak diam. Jelas itu tidak seperti Ariana yang biasanya karena cewek itu terkenal cerewet. Kavin dibuat heran akan sikapnya itu. “Kenapa dari tadi lo enggak banyak bicara? Apa lo lagi sembelit?”

“Enggak,” jawab Ariana singkat. Ia sedang tidak mood untuk bercanda gurau. Perkataan Ryan terngiang-ngiang dalam benaknya. Haruskah ia mengutarakan perasaannya pada Kavin hanya agar merasa lega dan bisa melupakan cowok itu? Cowok yang sudah mengisi hari-harinya selama belasan tahun.

"Ri, gue punya tebak-tebakkan," celetuk Kavin.

Ariana hanya tersenyum tipis, ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Cowok di sampingnya ini selalu menyampaikan tebak-tebakan aneh atau candaan receh tiap kali ada kesempatan. "Apa?" tanya Ariana

"Tebak ya, ini soal gajah. Gajah, gajah apa yang baik hati?"

Alis Ariana berkerut, memikirkan apa jawabannya. "Enggak tahu. Memangnya apa?"

"Gajahat," jawab Kavin. Cowok itu langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya sendiri, sedangkan Ariana menatap Kavin dengan tatapan malas. Ia tahu maksud dari jawaban Kavin. Gajahat itu maksudnya enggak jahat alias baik.

"Enggak lucu banget tebak-tebakkannya," jawab Ariana sambil geleng-geleng kepala. Namun, seulas senyum tipis tetap terbit di bibir gadis itu.

Dering ponsel Kavin menghentikan tawa Kavin dan senyuman Ariana. Mereka sudah hafal siapa orang yang selalu menelfon Kavin pada jam ini, saat cowok itu mengantarkan Ariana ke sekolah.

“Halo, Yang?” sapa Kavin. Siapa lagi kalau bukan Sisca.

“Aku? Aku lagi antar Ariana ke sekolah.”

“Kenapa sih kamu masih antar jemput Ariana terus?! Dia tuh sudah besar, dia bisa ke sekolah sendiri tanpa perlu kamu antar!” ucap Sisca marah. Suara Sisca terlalu kencang sampai-sampai Kavin harus menjauhkan telinganya dari ponsel. Tentu saja dengan suara sekecang itu, Ariana dapat mendengarnya dengan jelas. Kata demi kata.

“Aku khawatir kalau Ariana berangkat sekolah sendiri, memangnya salah?” tanya Kavin

“Jelas salah! Kamu punya pacar! Kamu enggak menghargai aku sebagai pacar kamu? Terus untuk apa kamu khawatir? Aku yakin Ryan juga enggak khawatir berlebihan sama Ariana, enggak seperti kamu sekarang! Cepat ke sekolah, enggak usah antar Ariana!”

“Enggak bisa,” ujar Kavin

“Kenapa enggak bisa? Kamu mau terus-menerus menempel sama cewek itu? Ariana itu suka sama kamu. Apa kamu buta?! Atau jangan-jangan kamu juga suka sama dia?!”

Kavin berdecak kesal. “Apa-apaan sih kamu? Aku sama Ariana enggak ada apa-apa. Hubungan aku sama Ariana benar-benar pure sahabat. Enggak lebih.”

“Terserah kamu. Aku capek berdebat tentang hal ini terus sama kamu.” bentak Sisca dan langsung mengakhiri panggilan telfonnya.

Ariana menghela napas pelan. Tangannya meraih tas jinjing miliknya yang dibawa Kavin. “Sudah lah, lo berangkat sekolah aja. Gue sudah besar dan bisa berangkat ke sekolah sendiri,” ujar Ariana pelan.

“Enggak, gue mau antar lo ke sekolah. Lo lupa dengan apa yang terjadi saat gue enggak bareng sama lo? Lo jatuh dan terluka. Dahi lo benjol sebesar bola golf.”

“Gua enggak apa-apa, Kavin. Please, sekali ini aja. Lagi pula apa lo mau bertengkar terus sama pacar lo kayak gitu?” tanya Ariana

Kavin terdiam menatap sahabatnya itu. “Sorry, gue enggak bermaksud buat lo mendengar omongan Sisca tadi.”

Ariana menepuk bahu Kavin. “Gua enggak apa-apa. Sekolah gue udah di depan mata. Lo pergi aja. Nanti lo terlambat.”

Kavin terlihat ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk dan meninggalkan Ariana di sana. Tanpa sadar, Ariana meneteskan air mata ketika menatap punggung Kavin yang kini semakin menjauh. Ia tidak pernah mengira jika menyukai seseorang bisa sesakit ini.

To Be Continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status