"Siapa sih yang mengajarkan Kak Ryan untuk menyelesaikan latihan soal seperti ini?!" Omel Ariana pada Ryan.
Saat ini, mereka sedang berkumpul mengerjakan tugas sekolah bersama. Ini merupakan rutinitas mereka setiap hari, sebelum kemudian dilanjut dengan bermain game.
"Istirahat dulu aja yuk belajarnya. Yan, lebih baik kita main game dulu aja," ajak Yovan yang langsung diiringi dengan sorak gembira dari Ryan.
Meskipun Ariana merasa jengkel karena Ryan terbebas dari latihan soal yang harus ia kerjakan, tetapi Ariana ikut senang karena Ryan dan Yovan bisa menghabiskan waktu berdua, meskipun itu hanya sebatas bermain game bersama.
Sudah hampir dua jam, namun Yovan dan Ryan belum juga selesai bermain. Ariana yang bosan dan mengantuk pun sejak tadi hanya duduk di sofa sambil memeluk leher sang kakak dari belakang, dan menelusupkan wajahnya di sana. Sedangkan sang kakak nampak tidak terusik dan tetap asyik selonjoran di lantai sambil bermain game.
"Kak, tadi siang Kak Ryan beli kopi di mana? Besok aku mau titip dong," pinta Ariana random
"Kopi? Enggak, Kakak enggak beli kopi. Memangnya kenapa?"
"Noda di seragam Kak Ryan tadi itu kan noda bekas kopi."
Ryan berpikir sejenak, mengingat-ingat dari mana asal tumpahan kopi tersebut. "Oh, tadi siang Kakak enggak sengaja menabrak orang di jalan. Kebetuan dia sedang minum kopi, noda itu dari tumpahan kopi dia."
Yovan terkekeh pelan. "Kenapa sih kalian akhir-akhir ini suka banget nabrak orang. Sebelumnya Ariana nabrak orang sampai dahinya benjol, terus enggak masuk sekolah selama dua hari, sekarang giliran Ryan yang nabrak," ujarnya.
Ryan tertawa mendengarnya. "Bisa-bisanya nabrak orang sampai benjol sebesar bola golf."
Ariana menjitak kepala kakaknya dengan pelan. "Aduh sakit," keluh Ryan.
"Tapi Kak Yovan penasaran. Kamu ini kan galak banget nih, Ri. Bagaimana ya nasib orang yang menabrak kamu sampai kamu benjol begitu, Ri?" Tanya Yovan.
Ariana mengangkat bahunya cuek. "Ari enggak melakukan apa-apa padanya kok, Kak."
Ryan dan Yovan menatap Ariana sangsi. "Serius?"
Ariana mengangguk. "Ari senyumin aja."
"Kenapa?" Tanya Ryan
"Habisnya dia ganteng banget, sih," jawab Ariana asal dan langsung dihadiahi lemparan bantal dari sang kakak.
****
Ariana tidak pernah bisa tidur terlalu malam. Ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, Ariana beranjak dari sofa meninggalkan Ryan dan Yovan yang masih asyik bermain game. Ia sudah bergelung dalam selimut dan memeluk Cloudy dengan penuh rasa sayang. Cloudy adalah boneka beruang dengan ekspresi menangis, hadiah ulang tahunnya dari Kavin. Boneka itu sangat lembut dan fluffy, serta selalu menemani Ariana tidur. Ia tidak pernah bisa tidur tanpa boneka kesayangannya tersebut. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Nama Kavin terpampang di layar ponselnya. “Kenapa Vin?” tanyanya.
“Ari, gue salah reservasi restoran. Seharusnya tanggal 18, tapi gue dengan bodohnya malah salah sebut tanggal dan menyebut tanggal 19,” ujar Kavin. Kavin memang sering menelfon Ariana pada malam hari dan menceritakan seperti apa hari yang ia alami.
“Oh, lalu bagaimana dong?”
“Untung Sisca mengerti, dia enggak masalah sewaktu gue ajak pindah ke restoran lain. Tapi surprise gue jadi gagal dong. Padahal ini kan hari anniversary kami yang ke dua tahun.”
“Lain kali lo harus lebih hati-hati dong. Masa lo mau surprise lo gagal hanya karena alasan sepele kayak gitu.” Dan begitulah Ariana menghabiskan malamnya, mendengarkan keluh-kesah Kavin hingga dini hari.
Ketika Ariana mengakhiri perbincangan mereka di telfon, Ariana tidak menyadari bahwa sejak tadi Ryan sudah berdiri di sisi kamarnya. Melihat sang kakak yang memandangnya dengan sendu, tanpa sadar air mata Ariana pun mengalir dan tak lama kemudian berubah menjadi tangis sesenggukkan. “Sakit banget rasanya, Kak.”
Ryan memeluk adiknya dalam diam. Tangannya mengelus punggung sang adik, berharap tindakannya itu dapat sedikit menenangkan. “Kalau selalu terasa sakit seperti ini, mau mengakhirinya saja?”
Ariana melepaskan pelukan Ryan dan memandang kakaknya itu lekat-lekat. “Sampaikan perasaan kamu ke Kavin, supaya kamu lega. Setelah itu, kamu harus bisa melupakan dia.”
Ariana tampak ragu. Ia terdiam cukup lama. Apakah ia sudah siap untuk merelakan Kavin? "Enggak perlu buru-buru. Santai aja. Kakak akan mendukung apapun keputusan kamu," ujar Ryan.
****
“Kenapa mata lo bisa sampai bengkak begitu?” tanya Kavin saat melihat Ariana yang sedang menuruni tangga rumahnya. Sejak dulu, Kavin memiliki kebiasaan untuk mengantar jemput Ariana ke sekolah meskipun sekolahnya dan sekolah Ariana itu berlawanan arah.
“Gue habis nonton drama korea, sad ending,” jawab Ariana asal. Sebenarnya bukan drama korea, melainkan drama hidupnya dengan Kavin.
“Dasar cengeng,” ejek Kavin. Cowok itu meraih tas jinjing Ariana yang berisi berbagai jenis makanan ringan, bermaksud membawakannya sepanjang perjalanannya nanti. Sekolah Ariana bisa ditempuh dengan 15 menit berjalan kaki.
Ariana memang sangat suka memakan camilan di sela-sela pelajaran sekolahnya, sehingga Ryan selalu menyiapkan stok camilan yang banyak untuk sang adik bawa ke sekolah.
Sepanjang perjalanan, Ariana lebih banyak diam. Jelas itu tidak seperti Ariana yang biasanya karena cewek itu terkenal cerewet. Kavin dibuat heran akan sikapnya itu. “Kenapa dari tadi lo enggak banyak bicara? Apa lo lagi sembelit?”
“Enggak,” jawab Ariana singkat. Ia sedang tidak mood untuk bercanda gurau. Perkataan Ryan terngiang-ngiang dalam benaknya. Haruskah ia mengutarakan perasaannya pada Kavin hanya agar merasa lega dan bisa melupakan cowok itu? Cowok yang sudah mengisi hari-harinya selama belasan tahun.
"Ri, gue punya tebak-tebakkan," celetuk Kavin.
Ariana hanya tersenyum tipis, ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Cowok di sampingnya ini selalu menyampaikan tebak-tebakan aneh atau candaan receh tiap kali ada kesempatan. "Apa?" tanya Ariana
"Tebak ya, ini soal gajah. Gajah, gajah apa yang baik hati?"
Alis Ariana berkerut, memikirkan apa jawabannya. "Enggak tahu. Memangnya apa?"
"Gajahat," jawab Kavin. Cowok itu langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya sendiri, sedangkan Ariana menatap Kavin dengan tatapan malas. Ia tahu maksud dari jawaban Kavin. Gajahat itu maksudnya enggak jahat alias baik.
"Enggak lucu banget tebak-tebakkannya," jawab Ariana sambil geleng-geleng kepala. Namun, seulas senyum tipis tetap terbit di bibir gadis itu.
Dering ponsel Kavin menghentikan tawa Kavin dan senyuman Ariana. Mereka sudah hafal siapa orang yang selalu menelfon Kavin pada jam ini, saat cowok itu mengantarkan Ariana ke sekolah.
“Halo, Yang?” sapa Kavin. Siapa lagi kalau bukan Sisca.
“Aku? Aku lagi antar Ariana ke sekolah.”
“Kenapa sih kamu masih antar jemput Ariana terus?! Dia tuh sudah besar, dia bisa ke sekolah sendiri tanpa perlu kamu antar!” ucap Sisca marah. Suara Sisca terlalu kencang sampai-sampai Kavin harus menjauhkan telinganya dari ponsel. Tentu saja dengan suara sekecang itu, Ariana dapat mendengarnya dengan jelas. Kata demi kata.
“Aku khawatir kalau Ariana berangkat sekolah sendiri, memangnya salah?” tanya Kavin
“Jelas salah! Kamu punya pacar! Kamu enggak menghargai aku sebagai pacar kamu? Terus untuk apa kamu khawatir? Aku yakin Ryan juga enggak khawatir berlebihan sama Ariana, enggak seperti kamu sekarang! Cepat ke sekolah, enggak usah antar Ariana!”
“Enggak bisa,” ujar Kavin
“Kenapa enggak bisa? Kamu mau terus-menerus menempel sama cewek itu? Ariana itu suka sama kamu. Apa kamu buta?! Atau jangan-jangan kamu juga suka sama dia?!”
Kavin berdecak kesal. “Apa-apaan sih kamu? Aku sama Ariana enggak ada apa-apa. Hubungan aku sama Ariana benar-benar pure sahabat. Enggak lebih.”
“Terserah kamu. Aku capek berdebat tentang hal ini terus sama kamu.” bentak Sisca dan langsung mengakhiri panggilan telfonnya.
Ariana menghela napas pelan. Tangannya meraih tas jinjing miliknya yang dibawa Kavin. “Sudah lah, lo berangkat sekolah aja. Gue sudah besar dan bisa berangkat ke sekolah sendiri,” ujar Ariana pelan.
“Enggak, gue mau antar lo ke sekolah. Lo lupa dengan apa yang terjadi saat gue enggak bareng sama lo? Lo jatuh dan terluka. Dahi lo benjol sebesar bola golf.”
“Gua enggak apa-apa, Kavin. Please, sekali ini aja. Lagi pula apa lo mau bertengkar terus sama pacar lo kayak gitu?” tanya Ariana
Kavin terdiam menatap sahabatnya itu. “Sorry, gue enggak bermaksud buat lo mendengar omongan Sisca tadi.”
Ariana menepuk bahu Kavin. “Gua enggak apa-apa. Sekolah gue udah di depan mata. Lo pergi aja. Nanti lo terlambat.”
Kavin terlihat ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk dan meninggalkan Ariana di sana. Tanpa sadar, Ariana meneteskan air mata ketika menatap punggung Kavin yang kini semakin menjauh. Ia tidak pernah mengira jika menyukai seseorang bisa sesakit ini.
To Be Continued
Semenjak pulang dari pencariannya akan si gadis berhoodie hiu, Alaistar lebih banyak diam dan berpikir. Tentunya berpikir apakah bisa hanya dalam waktu singkat, orientasi sex nya dapat berubah sedemikian rupa?Alaistar yakin belum sampai 24 jam yang lalu, ia masih menyukai perempuan--yang ternyata adalah seorang laki-laki. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya selama 18 tahun hidup Alaistar, bahwa dirinya adalah seorang gay. Insiden ini benar-benar membuat Alaistar terguncang. Ia seolah kehilangan arah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Alaistar menimbang-nimbang dalam hati. ‘Apakah gue benar-benar seorang gay? Jika benar bahwa gue adalah seorang gay, apakah gue bisa menerima dengan lapang dada terkait orientasi seksual yang baru gue ketahui ini? Lalu, bagaimana respon keluarga dan teman-teman gue nanti? Apakah mereka semua dapat menerima jika gue adalah seorang gay?’ batin Alaistar.Hembusan napas berat keluar dari bibir Al
Alaistar kini duduk bersimpuh di lantai sambil terus menunduk. Ia sangat takut sekarang. Ia bahkan tidak berani menatap kedua orang tuanya yang duduk di sofa, melihatnya dengan rasa kecewa dan amarah yang sulit dibendung. Alasan lain adalah karena mamanya tidak berhenti menangis sejak tadi dan Alaistar sangat tidak tega melihatnya."Katakan pada kami, siapa pacar gay mu?!" bentak Papa Alaistar"Alaistar enggak berpacaran dengan cowok, Pa," jawab Alaistar takut-takut"Lalu apa maksudmu mengatakan kalau kamu itu gay?!"Terlalu banyak emosi yang ingin meluap, Alaistar bahkan tidak sadar ketika dirinya menangis. "Alaistar... Alaistar suka sama cowok, Pa." ujarnya sambil sesenggukan. Perasaan lelah, kesal, marah, sedih, dan bingung berkumpul menjadi satu. Selama ini, Alaistar tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah seorang penyuka sesama jenis. Bahkan saat ini pun, ia masih ragu dan terus menerka-nerka tentang perasaannya. Namun yang ia yakini sekarang adal
Layaknya rutinitas Ariana, Ryan, dan Yovan di hari sabtu, ketiganya kini sedang menikmati hari libur di ruang tamu rumah si kembar. Ariana bermain gitar sambil bersenandung, sedangkan Ryan dan Yovan asyik bermain game. Ketika ronde ketiga game mereka selesai, Ryan dan Yovan bermaksud istirahat sejenak dan membeli camilan saat suara notifikasi ponsel Ryan berbunyi.Yovan meraih ponsel kekasihnya itu dan mengernyit ketika membaca chat yang masuk dari nomor tidak dikenal. "Hai Ryan, gue Alaistar. Salam Kenal." Jarinya menekan layar, mencoba melihat foto profil orang asing tersebut lalu berdecak. Foto profil cowok itu hanya berupa siluet hitam saja. Akan tetapi, dilihat dari nama dan siluet tersebut, sudah jelas bahwa orang ini adalah laki-laki."Ryan! Siapa cowok ini? Untuk apa dia mengajak lo berkenalan?! Lo pernah bertemu dia sebelumnya?" bentak Yovan. Cowok itu sangat murka. Berani-beraninya ada orang asing yang mencoba mendekati kekasih tamp
Ryan memandang ke luar jendela kelas, kedua matanya menangkap sosok Kavin yang tengah berlari sekuat tenaga menuju gerbang sekolah yang sebentar lagi tertutup. Satu menit lagi bel masuk berbunyi. Tidak biasanya Kavin terlambat ke sekolah. Biasanya, Kavin akan selalu berangkat jauh lebih awal agar dapat mengantar Ariana ke sekolah, setelahnya baru cowok itu beralih menuju SMA Pelita Bangsa. Namun sayangnya, hari ini Kavin terlambat bangun tidur. Ia bahkan tidak sempat menjemput Ariana hingga akhirnya harus merelakan gadis itu berangkat sekolah tanpa dirinya.Kavin masuk ke kelas dalam keadaan keringat bercucuran, rambut lepek, dan napas yang terengah-engah. Tubuh Kavin memang tidak bugar, ia jarang berolahraga dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain game dan menonton film. Cowok itu melemparkan tubuhnya ke kursi dan menatap Ryan yang duduk di sebelahnya masih dengan napas terengah-engah.“Adik lo…. Udah.. berangkat?” tanya Kavin
Yovan, Ryan, dan Kavin lebih suka berangkat dan pulang sekolah menggunakan bus. Mereka memang terbiasa dengan gaya hidup sederhana dan mandiri, terlepas dari kekayaan orang tua mereka. Sepanjang perjalanan pulang, Ryan dan Yovan sibuk bertanding game, sedangkan Kavin berbincang dengan kekasihnya melalui telfon. Hari itu adalah hari Jumat dan mereka bermaksud mampir ke sekolah Ariana dan mengajaknya kuliner malam. Ariana ada ekskul musik hari itu, sehingga harus pulang terlambat.Hari mulai gelap, Ryan, Yovan, dan Kavin memilih menunggu Ariana di depan ruang latihan musik. Ketiganya duduk selonjoran di lantai dan masih tetap fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Volume suara panggilan di ponsel Kavin cukup keras walaupun cowok itu tidak menggunakan mode speaker, sehingga sejak tadi Ryan dan Yovan seolah menguping pembicaraan pasangan kekasih itu.“Memangn
“Lain kali kita order makanan via online aja deh. Gue enggak suka banget kalau ada paparazi kayak tadi,” keluh Yovan ketika mengingat insiden yang ia alami saat di restoran tadi. Cowok itu menghempaskan tubuhnya ke sofa besar di ruang tamu Si Kembar. Mereka baru saja pulang dari acara kuliner malam mereka yang melelahkan sekaligus mengenyangkan.Ariana menatap Yovan dengan bingung. “Paparazi? Kapan ada Paparazi?” Gadis itu kini berbaring di sofa panjang, dan meletakkan kedua kakinya di atas paha Ryan.“Sewaktu kamu pergi ke toilet,” jawabnya.Ariana terkekeh pelan. “Namanya juga makan bareng sama selebgram. Pasti ada aja yang begitu.”Yovan mendengus. Cowok itu senang atas kepopulerannya di media sosial, ia juga senang karena banyak orang yang menyukai permainan gitarnya yang ia posting di sana. Namun, ia merasa risih jika ada orang asing yang mengusik kehidupan pribadinya.Jauh sebe
Yovan dan Ryan yang duduk di kursi depan tak henti-hentinya menghela napas berat, mencoba menenangkan diri mereka dan menahan amarah yang sejak tadi ingin membuncah keluar. Tak lama dari itu, Ariana muncul dan bermaksud untuk duduk di kursi tengah seperti semula, namun dibuat terkejut ketika menemukan sosok Sisca yang sedang duduk anteng di sana sembari memeluk erat lengan Kavin.“Hai Ari. Lo mau duduk di sini? Kayaknya enggak akan muat deh, bagaimana kalau lo duduk di kursi belakang aja?” tanya Sisca.Ariana dibuat speechless dengan perkataan Sisca barusan. Ia refleks melirik ke arah kursi belakang yang setengah bagiannya sudah penuh dengan barang bawaan mereka yang tak muat di bagasi. Ia memang akan muat untuk duduk di sana, tapi… apa gadis ini sudah gila?‘Cewek ini benar-benar,’ batinnya. Ia sangat ingin meneriaki Sisca, namun masih merasa tak enak dengan Kavin. Ia takut akan menyakiti perasaan Kavin jika ia melakukan
Ariana terbangun di tengah malam. Gadis itu susah tidur. Ia menyesal karena tertidur sepanjang perjalanannya tadi. Alhasil ia jadi tidak mengantuk sekarang. Ariana melirik ke arah Ryan, cowok itu sudah tertidur lelap. Bahkan Ariana bisa mendengar samar-samar dengkuran Ryan. Tak ingin mengganggu sang kakak, gadis itu pun meraih gitarnya dan beranjak menuju halaman belakang. Tak lupa ia membawa Cloudy untuk menemaninya. Ariana sangat menyukai bermain gitar di bawah bintang-bintang seperti ini. Menenangkan, menurutnya.Malam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan udara kini menjadi sangat dingin. Ariana mengeratkan sweater yang ia kenakan dan duduk di sebuah bangku panjang. Ariana mendongak ke langit. Malam ini, langit begitu cerah sehingga gadis itu bisa melihat kilauan bintang-bintang dengan sangat jelas. Ariana sangat menyukai bermain gitar di bawah bintang-bintang seperti ini. Menenangkan, menurutnya.Ariana masih asyik bersenandung dan tidak sadar ketika k