Semenjak pulang dari pencariannya akan si gadis berhoodie hiu, Alaistar lebih banyak diam dan berpikir. Tentunya berpikir apakah bisa hanya dalam waktu singkat, orientasi sex nya dapat berubah sedemikian rupa?
Alaistar yakin belum sampai 24 jam yang lalu, ia masih menyukai perempuan--yang ternyata adalah seorang laki-laki. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya selama 18 tahun hidup Alaistar, bahwa dirinya adalah seorang gay. Insiden ini benar-benar membuat Alaistar terguncang. Ia seolah kehilangan arah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Alaistar menimbang-nimbang dalam hati. ‘Apakah gue benar-benar seorang gay? Jika benar bahwa gue adalah seorang gay, apakah gue bisa menerima dengan lapang dada terkait orientasi seksual yang baru gue ketahui ini? Lalu, bagaimana respon keluarga dan teman-teman gue nanti? Apakah mereka semua dapat menerima jika gue adalah seorang gay?’ batin Alaistar.
Hembusan napas berat keluar dari bibir Alaistar. Cowok itu mengacak rambutnya dengan frustasi. ‘Apa yang harus gue lakukan?’ batinnya. Alaistar terdiam dengan tatapan mata kosong. Alaistar menimbang-nimbang langkah apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
David yang saat itu sedang berdiri di samping Alaistar merasa heran karena belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut cowok itu sejak tadi. Berubahnya Alaistar menjadi pendiam membuat David khawatir. Tidak biasanya Alaistar bersikap seperti itu.
"Apa saat ini lo baik-baik saja?" Tanya David pada sahabatnya yang sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, namun karena gerakan Alaistar yang sangat lesu dan lambat membuat cowok itu tak kunjung selesai merapikan buku-buku tersebut.
Alaistar mengangguk pelan. Jemarinya masih sibuk memasukkan buku-bukunya. Namun, Alaistar menemukan benda asing yang tidak seharusnya ada di dalam ranselnya. Sebuah teropong berwarna hitam. "Apa yang akan lo lakukan dengan teropong itu? Untuk apa lo membawa teropong seperti itu ke sekolah?" Tanya David heran. Cowok itu menatap sahabatnya dengan janggal.
Teropong itu merupakan teropong milik sepupunya yang masih berusia 10 tahun. Sepupunya itu tidak menyadari jika mainan kesayangannya ini tertinggal di rumah Alaistar ketika berkunjung minggu lalu. Alaistar bahkan tidak bisa menemukan alasan yang tepat perihal mengapa teropong mainan itu dapat masuk ke dalam ransel sekolahnya.
Sebuah ide terlintas dalam benak Alaistar. Buru-buru, Alaistar mengecek kondisi teropong itu. Khawatir kalau-kalau teropong imitasi milik sepupunya sudah tidak berfungsi dengan baik. “Hari ini gue akan berperan sebagai bajak laut,” jawab Alaistar penuh tekad.
David tidak pernah mengerti maksud dari ungkapan ‘bajak laut’ yang dilontarkan Alaistar. Bahkan, saat mereka tiba di SMA Pelita Bangsa. David hanya bisa menatap heran si sahabat yang memanjat pohon di dekat halte bus yang berseberangan persis dengan gerbang depan SMA Pelita Bangsa. Lalu dengan santainya, Alaistar duduk di atas sana sambil mengarahkan pandangannya ke arah gerbang masuk sekolah itu.
Alaistar memegang kuat-kuat dahan pohon yang ia duduki, sedangkan satu tangannya yang lain menggenggam teropong, mencoba menemukan sosok yang ia cari dari balik gerbang sekolah Pelita Bangsa yang menjulang tinggi.
Alaistar merasa dirinya perlu pembuktian lebih tentang orientasi sex yang ia miliki. Apakah ia benar-benar menyukai pria atau rasa ketertarikan yang ia miliki pada Ryan saat pertemuan pertama mereka adalah karena memang dirinya mengira kalau Ryan adalah perempuan.
"Apa sudah terlihat?" Tanya David yang sejak tadi setia menunggu di bawah pohon
"Belum. Apa jangan-jangan Ryan sudah pulang ya?"
"Mereka kan pulang 1 jam lebih lambat dari sekolah kita. Tunggu aja sebentar sampai enggak ada lagi murid-murid yang keluar gerbang."
Memang benar, saat gerbang sekolah mulai sepi, sosok Ryan mulai terlihat dalam teropong genggaman Alaistar. Ryan terlihat sedang berjalan bersama dua orang murid laki-laki lainnya. Jemari yang Alaistar gunakan untuk menggenggam dahan pohon, kini beralih ke dadanya. Alaistar mencoba menerka-nerka perasaan apa yang ia rasakan ketika melihat Ryan.
Tetapi anehnya, Alaistar tidak merasakan debaran yang sama seperti debaran yang pertama kali ia rasakan. Ia merasa biasa saja saat melihat Ryan. Namun setiap kali mengingat pertemuan pertamanya dengan si hoodie hiu, jantung Alaistar langsung berdegup kencang.
Apa-apaan ini?!
*****
Layaknya malam-malam sebelumnya, keluarga Alaistar makan malam bersama di rumah mereka. Keluarga kecil itu menyantap makanan mereka dalam diam, sampai sang kepala keluarga mulai membuka obrolan lebih dahulu. "Al, sudah sejauh mana persiapan kuliah kamu?" tanya sang Papa.
Alaistar menghela napas berat. Ia baru ingat ada hal yang lebih penting dibandingkan ‘perasaan anehnya’ saat ini. Alaistar seolah lupa kalau hari kelulusannya hanya tinggal 6 bulan lagi.
"Alaistar masih menunggu pengumuman hasil seleksi masuk kampus jalur rapot, Pa. Kalau belum lolos, nanti Alaistar daftar ujian tertulisnya." Alaistar memang terkenal cerdas, ia selalu masuk ke peringkat 3 besar paralel sekolahnya meskipun tidak mengikuti bimbingan belajar mana pun. Ia hanya belajar dengan metode diskusi bersama David dan menyelesaikan soal latihan bersama. David pun tak kalah cerdas dan selalu berada di posisi 5 besar paralel.
Papa Alaistar mengangguk pelan. "Kamu harus mempersiapkannya dengan matang-matang. Azriel, selagi kamu di rumah, kamu bantu adikmu. Dia masih sangat buta dengan urusan perkuliahan."
"Iya, Pa. Nanti Azriel bantu." jawab Azriel. Azriel dan Alaistar terpaut usia 2 tahun. Kakak Alaistar itu memang jarang ada di rumah. Sang kakak memutuskan untuk sewa kos di sekitar kampus. Meskipun kampus Azriel juga di Jakarta, kegiatan kampus yang padat membuatnya enggan untuk harus bolak-balik kampus-rumah dan menerjang kemacetan setiap hari. Azriel biasanya akan pulang ke rumah dua minggu sekali dengan membawa segudang pakaian kotor, yang selalu dihadiahi oleh jitakan keras sang mama.
Ketika selesai makan malam, Alaistar masih terpaku di kursinya. Papa dan mamanya pergi ke ruang tengah untuk menonton televisi. Sebenarnya akhir-akhir ini Azriel bisa merasakan bahwa Alaistar bersikap aneh, tetapi belum memiliki waktu yang pas untuk bertanya langsung pada sang adik. Namun sekarang ia rasa adalah waktu yang tepat untuk bertanya. "Apa lo lagi ada masalah?"
Alaistar masih terus menunduk sambil memainkan jarinya ke dinding gelas. "Enggak ada, Bang."
Azriel melihat adiknya sangsi. "Wajah lo terlihat lagi banyak masalah. Ada apa? Ceritakan saja ke gue. Lo mau persiapan kuliah, jangan sampai ada hal lain yang mengganggu fokus lo.”
Alaistar masih terlihat ragu. Ia menengok ke belakang, berjaga-jaga khawatir apabila ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Gue..."
"Enggak apa-apa. Katakan saja," kata Azriel enteng
"Hm, apa pendapat Bang Azriel tentang gay?"
Azriel menjadi bingung. "Kenapa tiba-tiba menanyakan itu? Gue kan tanya lo ada masalah apa. Kenapa lo malah balik nanya ke gue?"
"Masalahnya, hal itu yang lagi mengganggu pikiran gue, Bang."
"Apa maksud lo?" tanya Azriel. Dia masih asik menenggak jus jeruk buatan sang mama.
"Gue rasa.... gue gay."
Terkejut, Azriel refleks menyemburkan jus jeruk di mulutnya. Diiringi oleh suara pecahan gelas dari belakang punggung Alaistar. Tidak perlu menjadi cenayang untuk menebak siapa yang ada di belakang punggung Alaistar, karena rumah itu hanya diisi oleh Alaistar, Azriel, dan kedua orang tuanya. Alaistar terlalu takut untuk menoleh dan melihat asal suara pecahan gelas tersebut.
"Apa?! Gay?!"
Seumur hidupnya, Alaistar tidak pernah merasa takut lebih dari yang ia rasakan hari ini.
To Be Continued
Alaistar kini duduk bersimpuh di lantai sambil terus menunduk. Ia sangat takut sekarang. Ia bahkan tidak berani menatap kedua orang tuanya yang duduk di sofa, melihatnya dengan rasa kecewa dan amarah yang sulit dibendung. Alasan lain adalah karena mamanya tidak berhenti menangis sejak tadi dan Alaistar sangat tidak tega melihatnya."Katakan pada kami, siapa pacar gay mu?!" bentak Papa Alaistar"Alaistar enggak berpacaran dengan cowok, Pa," jawab Alaistar takut-takut"Lalu apa maksudmu mengatakan kalau kamu itu gay?!"Terlalu banyak emosi yang ingin meluap, Alaistar bahkan tidak sadar ketika dirinya menangis. "Alaistar... Alaistar suka sama cowok, Pa." ujarnya sambil sesenggukan. Perasaan lelah, kesal, marah, sedih, dan bingung berkumpul menjadi satu. Selama ini, Alaistar tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah seorang penyuka sesama jenis. Bahkan saat ini pun, ia masih ragu dan terus menerka-nerka tentang perasaannya. Namun yang ia yakini sekarang adal
Layaknya rutinitas Ariana, Ryan, dan Yovan di hari sabtu, ketiganya kini sedang menikmati hari libur di ruang tamu rumah si kembar. Ariana bermain gitar sambil bersenandung, sedangkan Ryan dan Yovan asyik bermain game. Ketika ronde ketiga game mereka selesai, Ryan dan Yovan bermaksud istirahat sejenak dan membeli camilan saat suara notifikasi ponsel Ryan berbunyi.Yovan meraih ponsel kekasihnya itu dan mengernyit ketika membaca chat yang masuk dari nomor tidak dikenal. "Hai Ryan, gue Alaistar. Salam Kenal." Jarinya menekan layar, mencoba melihat foto profil orang asing tersebut lalu berdecak. Foto profil cowok itu hanya berupa siluet hitam saja. Akan tetapi, dilihat dari nama dan siluet tersebut, sudah jelas bahwa orang ini adalah laki-laki."Ryan! Siapa cowok ini? Untuk apa dia mengajak lo berkenalan?! Lo pernah bertemu dia sebelumnya?" bentak Yovan. Cowok itu sangat murka. Berani-beraninya ada orang asing yang mencoba mendekati kekasih tamp
Ryan memandang ke luar jendela kelas, kedua matanya menangkap sosok Kavin yang tengah berlari sekuat tenaga menuju gerbang sekolah yang sebentar lagi tertutup. Satu menit lagi bel masuk berbunyi. Tidak biasanya Kavin terlambat ke sekolah. Biasanya, Kavin akan selalu berangkat jauh lebih awal agar dapat mengantar Ariana ke sekolah, setelahnya baru cowok itu beralih menuju SMA Pelita Bangsa. Namun sayangnya, hari ini Kavin terlambat bangun tidur. Ia bahkan tidak sempat menjemput Ariana hingga akhirnya harus merelakan gadis itu berangkat sekolah tanpa dirinya.Kavin masuk ke kelas dalam keadaan keringat bercucuran, rambut lepek, dan napas yang terengah-engah. Tubuh Kavin memang tidak bugar, ia jarang berolahraga dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain game dan menonton film. Cowok itu melemparkan tubuhnya ke kursi dan menatap Ryan yang duduk di sebelahnya masih dengan napas terengah-engah.“Adik lo…. Udah.. berangkat?” tanya Kavin
Yovan, Ryan, dan Kavin lebih suka berangkat dan pulang sekolah menggunakan bus. Mereka memang terbiasa dengan gaya hidup sederhana dan mandiri, terlepas dari kekayaan orang tua mereka. Sepanjang perjalanan pulang, Ryan dan Yovan sibuk bertanding game, sedangkan Kavin berbincang dengan kekasihnya melalui telfon. Hari itu adalah hari Jumat dan mereka bermaksud mampir ke sekolah Ariana dan mengajaknya kuliner malam. Ariana ada ekskul musik hari itu, sehingga harus pulang terlambat.Hari mulai gelap, Ryan, Yovan, dan Kavin memilih menunggu Ariana di depan ruang latihan musik. Ketiganya duduk selonjoran di lantai dan masih tetap fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Volume suara panggilan di ponsel Kavin cukup keras walaupun cowok itu tidak menggunakan mode speaker, sehingga sejak tadi Ryan dan Yovan seolah menguping pembicaraan pasangan kekasih itu.“Memangn
“Lain kali kita order makanan via online aja deh. Gue enggak suka banget kalau ada paparazi kayak tadi,” keluh Yovan ketika mengingat insiden yang ia alami saat di restoran tadi. Cowok itu menghempaskan tubuhnya ke sofa besar di ruang tamu Si Kembar. Mereka baru saja pulang dari acara kuliner malam mereka yang melelahkan sekaligus mengenyangkan.Ariana menatap Yovan dengan bingung. “Paparazi? Kapan ada Paparazi?” Gadis itu kini berbaring di sofa panjang, dan meletakkan kedua kakinya di atas paha Ryan.“Sewaktu kamu pergi ke toilet,” jawabnya.Ariana terkekeh pelan. “Namanya juga makan bareng sama selebgram. Pasti ada aja yang begitu.”Yovan mendengus. Cowok itu senang atas kepopulerannya di media sosial, ia juga senang karena banyak orang yang menyukai permainan gitarnya yang ia posting di sana. Namun, ia merasa risih jika ada orang asing yang mengusik kehidupan pribadinya.Jauh sebe
Yovan dan Ryan yang duduk di kursi depan tak henti-hentinya menghela napas berat, mencoba menenangkan diri mereka dan menahan amarah yang sejak tadi ingin membuncah keluar. Tak lama dari itu, Ariana muncul dan bermaksud untuk duduk di kursi tengah seperti semula, namun dibuat terkejut ketika menemukan sosok Sisca yang sedang duduk anteng di sana sembari memeluk erat lengan Kavin.“Hai Ari. Lo mau duduk di sini? Kayaknya enggak akan muat deh, bagaimana kalau lo duduk di kursi belakang aja?” tanya Sisca.Ariana dibuat speechless dengan perkataan Sisca barusan. Ia refleks melirik ke arah kursi belakang yang setengah bagiannya sudah penuh dengan barang bawaan mereka yang tak muat di bagasi. Ia memang akan muat untuk duduk di sana, tapi… apa gadis ini sudah gila?‘Cewek ini benar-benar,’ batinnya. Ia sangat ingin meneriaki Sisca, namun masih merasa tak enak dengan Kavin. Ia takut akan menyakiti perasaan Kavin jika ia melakukan
Ariana terbangun di tengah malam. Gadis itu susah tidur. Ia menyesal karena tertidur sepanjang perjalanannya tadi. Alhasil ia jadi tidak mengantuk sekarang. Ariana melirik ke arah Ryan, cowok itu sudah tertidur lelap. Bahkan Ariana bisa mendengar samar-samar dengkuran Ryan. Tak ingin mengganggu sang kakak, gadis itu pun meraih gitarnya dan beranjak menuju halaman belakang. Tak lupa ia membawa Cloudy untuk menemaninya. Ariana sangat menyukai bermain gitar di bawah bintang-bintang seperti ini. Menenangkan, menurutnya.Malam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan udara kini menjadi sangat dingin. Ariana mengeratkan sweater yang ia kenakan dan duduk di sebuah bangku panjang. Ariana mendongak ke langit. Malam ini, langit begitu cerah sehingga gadis itu bisa melihat kilauan bintang-bintang dengan sangat jelas. Ariana sangat menyukai bermain gitar di bawah bintang-bintang seperti ini. Menenangkan, menurutnya.Ariana masih asyik bersenandung dan tidak sadar ketika k
Keesokkan harinya, Ryan, Ariana, Yovan, Kavin, dan Sisca bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta. Ryan dan Yovan sibuk memasukkan barang bawaan mereka ke bagasi, sedangkan Ariana masih mengemas barang-barangnya di kamar. Gadis itu terlambat bangun, padahal Ryan sudah berkali-kali mengguncang tubuh sang adik, tetapi tak ada respon. Ariana tidur layaknya orang pingsan. Hampir saja Ryan memanggil ambulance kalau saja adik kesayangannya itu tak kunjung bangun. Sebelum pergi ke parkiran depan, Ryan berpesan pada Ariana untuk menelfonnya jika gadis itu sudah selesai mengemas barang-barang agar Ryan bisa membawakan ransel gadis itu ke mobil. Akan tetapi, Ariana berinisiatif untuk membawa ransel itu sendiri, berikut dengan sebuah kotak berukuran besar berisi camilannya untuk ia konsumsi selama perjalanan pulang. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan hati-hati saat menuruni tangga. Akan tetapi, Kavin yang kebetulan baru keluar dari toilet pun buru-buru menahan tangan A