Share

Aku Pulang

KABAR 

Bagaimana kabarumu Niss? Apakah sehat?

Dan bagaimana kabar ibu Niss?

“ Ini nomer baru kamu Ki? Kabarku baik dan kabar ibu sehat,

Waktu itu lambung ibu bermasalah. Ibu masuk kerumah sakit waktu malam

sehabis muntah-muntah.

Tolong pulang Ki ibu udah kangen kamu yang lama pergi”...

“Hah? Ibu masuk rumah sakit? 

Yaudah niss aku besok kesana jumpa dengan ibu.”

Pemukiman warga, persawahan, sungai, gunung, semua berlalu begitu cepat ketika mobil bus yang membawa Rizki menjauhi Jakarta. Ia pergi sendiri dengan tas raselnya, seakan ingin cepat sampai ke Bogor. Hanya ingatan dan kenangannya yang waktu itu masih ditempat kenangannya, rasa ingin jumpa ingin cepat tersampaikan kepada rasa rindu yang stiap kali mengabari lewat ingatan kepala.

Dua jam berlalu semua terasa begitu teatrtikal. Nissa yang sudah lama menanti kehadiran Rizki pulang hanya bisa duduk diam dikamar bersihnya sambil menunggu, sang perantau pulang. Tiga  jam berlalu ia sudah menunggu dikamar miliknya. Namun, tiga jam baginya tidak masalah dari pada menunggu beberapa bulan untuk mengharapkan penantian yang telah dilewatinya. 

Tampak seoarang lelaki tinggi rambut panjang membawa ransel datang kearahnya, postur badan yang gagah, berani, dan tinggi seperti TNI. Rambut yang rapih dipotong hingga menyerupai anak seleb, kulitnya yang cokelat keputihan karena terbakar matahari dan polusi di kota. Kameja birunya yang lusuh. Pelindung ranselnya yang canda tangan. 

Nissa tak kuasa lagi membendung penantiannya yang datang, ia menghampiri laki-laki itu dan melompat memeluk kangen kedekapannnya. Tangisnya pecah diantara lukisan dinding yang pertama kali pertemuannya. Ia tak mengerti dan paham mengapa ia begitu cengen.

“Rizki kamu jahat. Telah lama kamu pergi meninggalkan tempat ini begitu saja.” Ia merengek kesedihan dan memukul pelan kepada leleki itu.

 “ Iya... Aku kangen juga Niss.” Laki-laki itu memeluk balik sambil tersenyum.

 

Berita datang kepada sang fajar tanpa permisi, meruntukan kebahagiaan kedatangan Rizki dengan wajah baru dan tampilan barunya saja merentas rindu kepada Bogor dan gadisnya tersebut.

“ Bagaimana kabar ibu Niss? “  Jelas Rizki menanyakan kabar ibu.

“ Ibu sakit Ki waktu itu, tapi alhamdulillah beliau sudah pulih.” Sahut Nissa yang sedang mengusap air mata.

 “ Ikut aku Ki, kita berjalanan menuju rumah ibu.” Ucap Nissa.

 

Kehadiran Rizki tentu meredahkan kegelisahannya yang telah berbulan-bulan meninggalkan tempat ini. Nissa yang dari tadi hanya senyum karena bisa berjalan kembali dengan Rizki yang lama pergi dari tempat ini.

Nissa membawa Rizki menuju ibunya yang sedang duduk sembari minum teh. Di lengannya melingkar gelang anyam besi asal khas Papua. Nissa mengetuk pintu rumahnya dan sang ibu keluar dengan tersenyum terhera-heran karena tidak mengenali sosok yang dibawa Nissa.

“ Assalamualaikum Bu?’’

“ Iya, waalaikumsallam. Ada temen kamu Niss ajak masuk”

“ Bukan bu... Ini Rizki yang awaktu itu pergi lama.”

“ Ouh nak Rizki, Kemana aja kamu Ki? Ibu kangen.?

“ Ada bu kerja di Jakarta, Bagaimana kabar ibu?”

“ Ibu sehat Ki, tapi waktu itu ibu semmpat masuk rumah sakit. Karena lambung ibu kambuh.”

“ Ouh Syukur kalo sehat Ibu. Iya Bu maafin Iki yang waktu itu gak bisa jenguk.”

“ Yasudah, mari kita masuk kedlam rumah”

********

Bu, aku masih ingat kala dimana aku diam ditempat ini sewaktu ibu bercerita tentang perkenalan bapak dan ibu. 

Aku selalu tertawa apabila ibu bercerita tentang cinta pada pandangan pertama. Mana ada hal itu di dunia nyata? Ah ternyata aku dikerjain oleh alam semesta. Aku kena serangan yang sama.

Kata ibu, Bapak waktu itu kala usianya tiga puluh taun pertama kalinya ibu bertemu dengan bapak di taun 1991. Bapak yang menatap Ibu seperti sepasang mata pedang. Beliau duduk di taman, ketika ibu pulang dari kegiatan mengajar. Perkenalan yang biasa membawa kalian menuju petualngan luar biasa. Bapak yang kelahirannya di kota Bandung mengembala keliling nusantara sejak lepas dari pengasingannya di kota Bandung. Bapak meminta tolong ke ibu untuk mencarikan pekerjaan yang sesuai dengannya. 

Di kantor atau dibidang pertanian pun tak apa. Bapak berkata bahwa ada sesuatu yang ada didalam diri  ibu yang membuat percaya bahwa diri ibu adalah anugrah tuhan yang akan menolong dirinya. Entah bapak bersungguh-sungguh atau hanya bergurau saja dengan skill gombalan mautnya. Kalo bapak mengambil ibu, itu pasti karena ketulusan hati ibu dan parasnya yang cantik mewanan itu yang buat bapak kagum. Ibu yang kala itu berusia 27 tahun kala itu gadis bogor yang masih muda tumbuh besar, kecantikan itu pantas diselamatkan gelar “Sarjana kembang desa” jika saja usia ibu belasan taun, era delapan delpan puluhan dan tinggal didesa mau tak mau ibu harus memaklumi stigma yang mengatakan perempuan lajang diatsas dua puluh sama dengan perwan muda. Tapi ibu tak peduli.

Kendali ibu tak sempat mengecap bangku perkuliahan, buku-buku perpustakaan desa yang ditawarkan membuka cakrawala naluri ibu sedari remaja. Kebanyakan membaca buku sama saja menaikan standarisasi untuk segala hal, berhubung ibu tidak menemukan kriteria lelaki idaman di universitasnya. Tempat itu tumbuh tidak ada kisah Romeo And Juliet  atau Clark Gable disana ibu lebih memilih untuk menuarkan pemikiran, bekerja sebagai agroteknologi selepas lulus kuliah menyebabkan ibu mengerti bahwa bahagia itu cukup sederhana saja. Dan merasakan cinta kasih meski tak bersama kekasih.

Selepas itu ibu harus merelakan pekerjaan dari agroteknologi, merelakan tanah kelahirannya, dan melepas keluarga hanya bersama bapak yang di cap ” kiri ”  Cinta yang mengalahkan logikanya. Percayalah Bu, aku pun pernah megalaminnya.

****

Pintu kamar tiba-tiba terbuka perlahan, mengeluarkan suara pelan. Bapak datang dengan pikiran heran siapa orang itu? Kameja biru yang membungkus tubuhnya yang gagah di usia senja. Ia tidak berkumis namun berpostur tubuh tinggi, gagah layaknya TNI datang kerumahnya.

“ Assalamaualaikum pak, apa kabar?” Tanya Rizki.

Sang bapak menjawab dengan rasa heran ada apa dirumahnya, kilau sang pria itu memancarkan pancaran yang masih sama wajahnya yang disusupi kusam. Sang bapak tersenyum, dan merasa dirinya pernah kenal tapi dia lupa bahwasannya dia adlah Rizki yang kala itu pergi jauh.

“ Ouh kamu Rizki, dari mana saja nak. Lama tak jumpa?” Gerutu bapak karena baru tau.

“ Iya pak, Aku sekarang bekerja di Jakarta dan baru kali ini aku sempat mampir kesini.”Ucap Rizki.

“ Ouh seperti itu, Bagaimana kabar kedua orang tuamu disana?” Tanya bapak 

“ Orang tuaku baik-bauk saja. Dan alhamdulillah orang tuaku sehat semua.” Sahut Rizki.

“ Syukur jika orang tuamu sehat.” Gerutu sang bapak dengan duduk manis.

 

Tiba-tiba Rizki bertanya kepada sang ibu. “Bu waktu itu ibu sakit apa kok sampai masuk rumah sakit begitu?.”

“ Ouh kala itu, ibu menderita sakit  nak. Dan sekarang ibu udah pulih kok.’’

“ Apa yang terasa bu?” tanya Rizki. 

“ Lambung nak, tapi ibu sehat kok, hanya saja dokternya yang berlebihan”

Rizki menggeleng kepada “ Ibu ini terlalu menyepelekan kesehatan”

“ Loh, memang begitu kok nak.”  Sang ibu berupaya bangun dari tempat duduknya, tapi rasa sakit sangat mencubit kuat. Sang ibu meringis kesakitan.

“ sudah jangan bangun dulu Bu...” Ujar bapak.

“ Ouh ya bu, Rizki disini mau menginap apakah boleh? Tanya Nissa dari tadi hanya diam.

“ Hebat kamu nak, ibumu sakit malah bikin keanehan saja” ujar bapak

“ Huss bapak, gaboleh gitu... iya boleh kok nak masih ada kamar kosong satu” ucap ibu.

“ Bercanda bu... yasudah Nissa tolong rapihkan kamar yang mau diisi oleh nak Rizki.” Ucap bapak sambil tertwa.

“ Terimah kasih Pak,Bu telah mengizinkan saya untukl menginap disini.” Ucap Rizki yang tersenyum.

                                                                                 

                                                                                                ***

Ibu ingat tidak saat membawa ku kembali cerita muda kita di era 1991? Itu tahun dimana kita menikah, ibu memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan mencari kerja disana. Kita tinggal di rumah kecil dibelantara kota Jakarta barat, warna yang asri meski diwarnai polusi kendaraan, asap pabrik dan lingkungan yang kumuh. Pagar tinggi yang kokoh memisahkan dari modernisasi. Bunga anggrek tumbuh di tempat yang tak luas.

Kerja di Jakarta pilihan bapak untuk menyambung hidup, punya tanda ETP  di  KTP-nya mengakibatkan  ia tidak mampu bebas bergerak. Sementara ibu melanjutkan pekerjaanya menjadi guru pengajar di SD swasta,  walau tak sesuai harapan patut di syukuri.  Aku tumbuh menjadi bagian dari ibu, sembilan bulan kemudia aku bisa melihat dunia dan menangis keras untuk pertama kalinya.

Bapak memberiku nama Annisa Cahyani yang berarti “ Perempuan  ” mungkin diberi nama itu karena masih menyimpan cahaya gelap dalam kehidupannya. Namun tak mampu membalas, diasingkan selama hampir satu tahun memang bukan perkara yang masih serta-merta yang dimaafkan. Sementara “ Cahyani” merupkan cahaya  untuk menyinari kegelapan hati.

Sejak aku lahir, ibu menjadikan ku sebagai pusat semesta. Segala sesuatu tentang ku, kehadiran ku membuat indikasi bahwa bapak dan ibu mesti membanting tulang lebih keras. Bapak dipercaya mandor  menjadi dan ibu bekerja jadi guru SD Negri di Jakarta.

 Ingatkah ibu saat annisa SD? Annisa  pernah demam tinggi dan ibu menjadi orang pertama yang merawatnya. 

Ingatkah ibu saat annisa SMP ? kala waktu itu dia mendambakan pagar, dan ibu mesti bekerja keras hanya untuk memenuhi keinginan buah hati  kita, dan semenjak  SMA annisa bisa berkembang baik kala waktu itu kita khawatir entah mencari kemana annisa pergi dan kembali pulang pukul dua dini hari. Ibu yang tertidur diruang tamu, menungu sang putri pulang kerumah. Dan tiba-tiba  annisa datang sang ibu terbangun dan tersenyum melihat kehadiran annisa pulang. Kemudian ibu berujar : istirhatlah nak, ibu sudah menyiapkan makanan dan minuman hangat kesukaan mu. Makan yaa, Nak. Dan begitu terharunya putri kami menjadi sosok pahlawan masa depan bangsa.

*****

Jam berlalu berselimut rasa tangis, haru, dan bahagia menjadi satu. Melihat putri mereka menjadi primadona bagi keluarga sederhana tak ada do’a daya upaya hanya pertolongan tuhan dan do’a sejatinya sang air mata ibu.

Anissa yang mendengar perkataan itu, menangis di sebuah kamar yang dirapikannya sebuah pengorbanan besar karena niat perjuangan yang tulus oleh kedua orang tuannya. Berselang lama terdiam,  Annisa keluar kamar dan duduk kembali disamping ibunya yang duduk manis. Sang ibu menanyakan kepada putrinya  “ Apakah, kamar buat nak Rizki sudah selesai dirapikan?” ujar ibu.

“ Sudah bu, sudah siap pakai.”  Jawab Annisa.

“ Baiklah nak, terima kasih. Sekarang nak Rizki boleh istirahat.” ujar sang Ibu.

“ Baik bu, Terima kasih telah banyak membantu. Kalo begitu Rizki masuk ke kamar dulu.” ucap Rizki yang memegang tasnya. 

***** 

 

Ada kebanggaan disenyummu 

Menapak kasih suci dibelaimu

Ada kerinduan ditanyamu

Kisahmu layak samudra tanpa batas

Aku membalas hangat mu dengan jenuh

Tiada kusadar waktu takkan terulang

Untuk menebus keharmonian

Surga  bukan hanya  ada di telapak kakimu

Surga ada diperjuangan mu dan segala tentangmu

Terimah kasih Ibu.......

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status