Share

Ruang Jenuh

Kamu Dimana

Deretan awan kembali bergumpal pada pagi hari 

cuaca cerah kini menyinari jalan aspal.

Terlintas pepohonan berwarna hijau cerah, sesekali bergoyang

menyumbang debu jalanan.

Ditengah kepanikan, mesin kendaraan roda dua

terus menderu. Motor legenda yang kutumpangi membawa ke kampus lama,

mungkin menuju dunia pendidikan yangtak usai-usai. Kupejamkan lagi mata,

geligi menggeram tak kuasa ungin mengucap. Kuharap ini hanya pikiran buruk,

sudah lah aku lelah. Aku ingin hidup ini baik-baik saja, menanti teh hangat 

dirumah.

 

Kubuka kembali pikiran jernih ku, meski sering terikan pikiran buruk. Kulihat ragaku telah kusam dan legam, di hiasi seutas tas yang menggenggam rasa lelah. Sorang sahabat kampus menatapku pilu, seolah mengatakan bahwa kau tidak seharusnya begitu. Angin menerpa tubuhku yang lesuh tek berdaya, memberi sedikit kenyamanan dalam penderitaan hidup, aku mengerang telah usai dikalahkan perih yang menyerang.

“ Bertahanlah Ki”  ujarku dalam batin.

Aku berusaha tersenyum walau berusaha menggerakan wajah agak berat. Bibir ku rasa ingin mengucap sesuatu, tapi suara ku ditelan bisu. Aku bergegas mengambil ponsel di saku celana ku, didekatkan ponsel genggam itu dekat wajah setelah menekan tombol camera. Aku menelan ludah dan kemabli berkaca pada camera selfi ku.

Aku terlihat kurang bergairah. Angin tak mampu mengobati rasa sakit yang kian meradang. Disisi mobil terparkir terlihat bayangan siluet hitam jelaga yang siap menjemput . Jangan dulu! Jangan sekarang!

Aku kembali berkaca kepada langit cerah, dan ku lihat di pandangan bangku depan sepeda motor kulihat gadis tersenyum. Aku tak kuasa, bulirpun mengenai mata. Ku palingkan ponsel dari genggaman ku tanda kalimat tidak perlu lagi dilihat.  Rizki memasukannya kedalam saku celananya, dengan wajah teramat lesuh dan kusam.

Aku lelah... aku tak kuasa lagi sakit sekali.

Satu napas mataku, aku kembali menelan ludah.

Dua napas aku arahkan kepada cahaya angkasa yang cerah

Tiga napas aku menatap pintu rumah ku yang tertutup.

Napas terakhir....

Ibu aku pulang

                                                                                           *****  

Dari mengenalmu dan mengagumimu. Dari mengagumimu hingga membayangkanmu. Dari membayangkanmu hingga aku ingin bertemu denganmu lagi. “ Waktu” telah memberitahu bahwa rasa sakit adalah resiko hidup yang harus ditempuh melalui hidup.

“ Ki... Kenapa kamu termenung?” tanya tris yang sedang berada dirumah Rizki.

Kupejamkan mata, tanda rasa tidak percaya. Ku angkat tubuhku dari rasa lelah, ku minum air putih dan menghirup udara pepohonan di halaman rumah.

“ Rasa bosan dalam dekapan.” Ucap Rizki yang kusut.

“ Lama tak jumpa, tampak muka yang berbeda.” Sambung Rizki yang menatap sahabatnya.

“Gue tidak kemana-mana, gue ada dirumah nugas kampus terus” Sahut Tris....

“ Lo kemana aja?.” Tanya Tris.

“Yaaa disini aja, gak kemana-mana. Bosan terlalu nugas tuh” ujar Rizki.

Lama berdiskusi dengan sahabat lama, Tris pulang berpamitan kepada Rizki.

“Gue pulang dulu, ada urusan dulu yang belum beres” ucap Tris.

“ Yaudah hati-hati dijalan.” Ujar Rizki.

Aku berdiri menghantarkan Tris menuju gerbang halaman rumah, kubuka gerbang kutatap sebuah pemandangan indah didepan. Gemuruh angin menerpa, solah siap meninju congkaknya dunia. Sesekali bibir mengucap-ucap. Kapan kamu pulang Niss, dilihatnya kenangan di ponsel ada foto bersama sat duduk ditaman melihat sang senja tiba. Kubanringkan tubuhku diatas kursi kosong dan secangkir air putih, lama kupandangi wajah berserinya, kutemukan rasa canda bersamanya.

Teringat dariku setahun tak bertemu. Bukan perjalanan mudah untuk berhari-hari  tanpa kehadiran disisi. Tapi aku tau, aku tak pernah sendiri. Aku harus bangkit. Ada pria tangguh yang dapat mempercayaiku disana, para pahlawan yang rela berjuang bersamaku yang sering kali terlalu berat. 

Aku yakin bukan rasa bersalah yang akan menuntunku untuk turut menyakitiku, melainkan rasa sayang yang amat luar bisa. Mereka adalah pemberi semangat dalam diam dan do’a menangisi kepergian sang petualang yang telah selesai melaksanakan tugasnya di muka bumi.

Petualangan itu adalah pulang pada pelukanku sembilan bulam tanpa keaadaan bernyawa. Meski luka  bakar yang membuat sekujur tubuhnya, aku bisa memandangi wajah sosok itu tersenyum. Petualang itu akan membawa pergi kita dengan damai. Entah sudah berapa lama aku mengisi kepergiannya. Jejak masih ada dalam goresan sudut rumah kayu bercat putih ada dalam belasan buku yang tersimpan dalam lemari, ada di kota Bogor itu. itulah sang papa mengutuskan membawa ku ke Jakarta. Dirumah paman sampai masa pendidikan ku selesai.

Kerap kali aku merasakan kerinduan tentang apa yang terjadi padanya, dia yang senantiasa kurindukan. Sendirian, gelap, sunyi, dan sepi. Entah kemana tempat tinggalnya hanya do’a yang bisa menembus jawabannya.

                                                                                                      **** 

Atas pilihan ku kini, alam semesta penuh dengan misteri. Alam semesta pernah menaruh hidupku disampangmu, ketahuilah apa bila ia mengambil dari hidupku maka itu adalah Maharencana yang indah untukmu kelak. Bukan kah kamu yang mengajariku tentang sebuah arti rasa damai? Tentang rasa kita untuk mengikhlaskan, dan kewajiban kita untuk selalu bersyukur.

Terdengar suara batuk lalu suara itu keluar kembali.

“ Niss, terima kasih banyak atas partikel-partikel yang selama ini aku abaikan. Terima kasih kamu telah menuntunku dalam baik. Bersamamu, aku belajar arti dekapan dalam rasa.  Jangan pernah merasapi tentang masalah kecil tentang kita. Bukan cara  itu yang ingin aku kenang, berhagialah disana dan tetap semangat melanjutkan pendidikan mu. Tuhan selalu menyayangiku sebagaimana kamu bisa menyayangiku.

“Kita akan bertemu lagi Niss.”

Rizki memandang langit yang indah, warna jingga merona membuat pikiran bernostalgia. Matanya berkaca-kaca kepada langit yang indah dan bibirnya hanya tersenyum manis.

“Aku merindukanmu Niss, semoga kita bertemu lagi dari sekian lama berpisah.”

Ia menatap langit kembali setelah melihat kenangan foto dalam ponselnya, kenangan sang petualang akan selalu tinggal dalam dekapan bersama. Kini, dari segala langkah-langkah hadir diwajah yang raut mungil yang sedang terbaring.  Bukan, segala hal lagi untuk kita ratapi kembali. Melainkan hal yang wajib kita syukuri adalah hikmahnya.

Beri  ruang waktu pada hidupmu

Tak usah memberi senyum palsu padaku

Ceritakan segala keluh kisahmu

Telingaki agan mendengar apa bisikanmu

Apa yang sedang engaku cari?

Tak dapat kau temui

Disinilah aku pahamilah aku

Teruslah belajar kembali, walau langkah mu rapuh

Belajar percaya kembali, agar kau tak pernah

Sendiri........... 

 

                                                                                             

Comments (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
sejauh ini suka banget ama ceritanya! bakal lanjut baca setelah ini~ btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status