Share

Anak siapa ?

Author: Defa
last update Last Updated: 2025-08-05 05:12:20

Ada dua hal yang aku tahu pasti tentang dunia.

Satu, tidak ada yang sempurna.

Dua, tidak ada yang gratis.

Segala sesuatu di dunia ini punya harga.

Dan setiap kali kau mendapat sesuatu, ada hal lain yang hilang.

Seperti aku sekarang.

Aku bertemu dengan cinta pertamaku… tapi kehilangan kebebasanku.

Sudah beberapa minggu ini aku ikut bekerja di kantor. Tapi otakku masih memantul-mantul setiap kali Dimas berbicara soal “rasio efisiensi modal kerja.”

Dan rasanya, pekerjaanku hanya menambah pekerjaan karyawan lain.

Aku yakin, kalau otak bisa mengeluarkan suara, bunyinya seperti bola basket memantul ke ring.

‘Duk! Duk! Duk!’

Otakku sudah seperti kereta api zaman dulu — berasap ke mana-mana.

Tapi demi harga diri, cinta pertama, dan masa depan yang cerah (plus karena Mama masih sering mengawasi lewat CCTV kantor), aku tetap rajin datang.

Ya, aku datang ke kantor dengan semangat membara.

Niatnya PDKT, disamarkan dengan alasan belajar bisnis.

Tapi hasilnya?

Ya, begitu. Belajar bisnis, tapi yang masuk ke otak cuma kata bisnis-nya saja. Melihat buku penuh angka itu, firasatku langsung berkata: ‘Buku ini pasti dipenuhi sihir terkutuk.’

Ya, walaupun berkat sihir itulah aku bisa hidup tenang dan nyaman.

PDKT? Sepertinya dia malah menganggap aku anak magang yang merepotkan.

Dan hari ini... aku resmi diusir dengan halus.

Dapat tugas lapangan: memantau produk snack baru yang diluncurkan perusahaan.

Target pasarnya anak-anak sekolah.

Aku yakin, tugas ini penuh dengan dendam terpendam dari Dimas.

‘Gila… panas sekali! Pulang-pulang aku bisa seperti udang rebus.’

Tempatnya memang strategis — taman dekat TK dan SD. Cerah, ramai, dan... penuh anak kecil yang berteriak seperti sirene ambulans mini.

Tapi, Tuhan, tolong... kenapa mataharinya tidak mau bersembunyi di balik awan?

Aku berdiri di depan booth, membagikan sampel snack dengan “senyum karier” terbaikku.

Resmi. Kali ini aku benar-benar budak korporat.

Padahal sebenarnya aku ingin kabur ke kafe. Panas sekali di sini!

Sudah entah berapa kali aku bilang “panas”, tapi memang benar-benar panas!

Lucunya, anak-anak itu berebut. Sampai tiba-tiba—

“IBUUUUU!!!”

Refleks aku menoleh.

Seorang anak laki-laki berlari ke arahku dengan kecepatan... yah, mungkin tidak 200 km/jam, tapi cukup untuk membuatku panik.

Sebelum sempat mundur, ia sudah memeluk kakiku erat.

“Eh? Apa?!” Aku terpaku — campuran antara kaget dan bingung.

Wajahnya terasa familiar, tapi aku tidak ingat pernah punya kenalan anak kecil.

Tapi… masa iya aku sudah setua itu sampai dipanggil “Ibu”?

Calon bapaknya saja belum ketemu, masa sudah punya anak?

Meski begitu, anak ini lucu sekali. Pasti bapaknya tampan juga.

‘Mungkin saja dia anakku dari masa depan? Wah... masa depanku cerah juga rupanya.’

“Eh, Dek… kamu salah orang, ya?” aku mencoba kembali ke realitas.

Anak itu menatapku dengan mata bulat besar — mata yang terasa… familiar.

Mirip boneka beruangku waktu kecil. Lucu sekali, bibit unggul ini.

Ia mengerjap, lalu berkata pelan,

“Maaf... aku pikir kamu Ibu yang datang menjengukku.”

Dunia mendadak diam tiga detik.

Otakku berhenti berpikir.

‘Menjenguk? Maksudnya bagaimana? Anak ini… broken home, ya?’

Aku menelan ludah. “Maksud kamu bagaimana?” tanyaku hati-hati.

Dia menggeleng pelan.

“Kata Ayah, kalau aku jadi anak baik, Ibu akan datang.”

“Memang Ibu kamu tinggal di mana?”

“Surga,” jawabnya cepat, tanpa ragu, dengan senyum semanis madu.

Kata itu ia ucapkan seolah “surga” adalah tempat biasa yang dikunjungi setiap akhir pekan.

Aku terdiam.

Kasihan sekali. Tapi… entah kenapa, hatiku ikut nyesek.

Aku juga tumbuh tanpa Ayah, tapi… setidaknya aku punya Mama.

Anak ini bahkan tidak bisa berharap hal yang sama.

Aku jongkok, menyodorkan sebungkus snack.

“Kalau begitu, kamu mau coba ini? Gratis.”

Ia tersenyum kecil, menerima snack-nya.

“Kan memang gratis,” katanya santai, lalu duduk di bangku kecil dekat booth. “Tapi... terima kasih.”

Sikapnya yang sedikit menyebalkan itu mengingatkanku pada seseorang. Hmm…

Aku memperhatikannya. Rambut hitam acak-acakan, alis tegas, senyum lembut.

Rasanya aku mengenal wajah itu. Tapi di mana...?

Sampai akhirnya terdengar suara berat yang terlalu familiar.

“Raka! Sini, Nak!”

Anak itu meloncat turun.

“Iyaa, Ayah!”

Aku menoleh.

Dan begitu melihat siapa yang dipanggil “Ayah” itu, jantungku rasanya jatuh dari lantai lima.

Percuma saja tadi aku berusaha mengingat — jelas-jelas wajah mereka mirip sekali.

Rangga.

Detektif kopiku.

Dengan kemeja santai, senyum berbahaya yang sama seperti dulu.

‘Anak itu... anak dia?! Serius?!’

Aku berdiri kaku.

Raka memeluk kaki Rangga, dan Rangga membelai kepalanya dengan lembut.

Mereka tertawa.

Lalu — tentu saja — menoleh ke arahku.

Aku cuma bisa terpaku, seperti patung selamat datang.

Dalam hati, hanya satu kalimat yang melintas:

‘Oh... jadi duda, toh.’

Ya Tuhan. Sepertinya panas matahari ini menembus sampai ke otak dan hati.

“Ayah, lihat deh, Kakak itu mirip Ibu, ya.”

“Cantik, kan? Dia teman Ayah. Namanya Alesha.”

“Hai…” sapaku canggung.

“Anak kamu?” tanyaku memastikan — padahal aku sudah seratus persen yakin.

Ia hanya tersenyum.

“Menurut kamu bagaimana?”

‘Ya Tuhan, tinggal jawab iya atau tidak saja, kenapa harus pakai tebak-tebakan segala?’

“Ya... sepertinya begitu,” jawabku ragu.

“Kalian mirip sekali,” sambungku santai — padahal dalam hati, aku masih sedikit kecewa.

Entah bagaimana, beberapa menit kemudian kami sudah duduk di kafe — bertiga.

Dari luar, pasti terlihat seperti keluarga Cemara.

Padahal... menikah saja belum.

Rangga menatapku, lalu bicara pelan.

“Ibunya... meninggal dua tahun lalu. Kecelakaan tabrak lari.”

‘Ibu anak ini? Berarti… istrinya?’

Rasanya dadaku langsung mengerut.

Déjà vu.

Entah kenapa, kata “tabrak lari” itu terdengar terlalu... familiar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Pulang

    Matahari siang merayap naik, menghangatkan permukaan jalan dan membuat bayangan pepohonan di sepanjang taman memanjang ke arah barat. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput yang baru saja disiram sprinkler taman. Alesha, Rangga, dan Raka telah menghabiskan setengah hari bermain, berlari, dan tertawa sampai kehabisan tenaga. Setelah makan siang sederhana di restauran dekat taman, mereka sepakat pulang lebih cepat sebelum panasnya hari membuat suasana tak lagi nyaman. Raka tertidur lebih dulu di kursi belakang mobil, bahkan sebelum mobil itu keluar dari area parkir taman. Anak itu benar-benar kelelahan setelah bermain kejar-kejaran dengan Alesha, membuat Rangga hanya bisa geleng-geleng saat melihat mereka berdua tadi sama-sama ngos-ngosan seperti sedang olahraga berat. Saat mobil melaju pelan di jalan kota, Alesha yang duduk di kursi depan juga tak kuat menahan kantuk. Sisa embusan AC yang dingin, hembusan angin lembut dari jendela, dan kenyamanan kursi mobil membuat kelopak matan

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Detektif dadakan

    Gerobak es krim berwarna biru pastel itu berdiri manis di bawah rindangnya pohon flamboyan. Payung kuning cerah menaunginya, bergoyang pelan tertiup angin siang yang hangat. Aroma waffle cone yang renyah bercampur wangi rumput yang baru dipotong. Setiap kali pedagang es krim menggeser gerobaknya beberapa sentimeter, lonceng kecil di sisi gerobak berdenting riang.Alesha, Rangga, dan Raka berjalan mendekat. Raka langsung berlari kecil sambil berjingkrak, kedua tangannya terangkat tinggi.“Om! Om! Mau es krim rasa cokelat, stroberi, sama mangga!” katanya semangat sambil menunjuk gambar tiga rasa sekaligus.Rangga tertawa kecil, menunduk mengusap kepala bocah itu. “Satu saja, Nak. Kalau tiga nanti perut kamu dingin semua.”Raka manyun, pipinya mengembung. "Ayah Ngak asyik."Rangga menyenggol bahu Alesha pelan. “Baiklah, tiga juga boleh, kok. Khusus hari ini.” bisiknya sambil mengedipkan mata jail. Ekspresinya sok serius, seperti sedang memberikan dispensasi khusus dari kerajaan es krim

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Bermain Bersama

    Perjalanan menuju taman berlangsung dengan cukup ramai. Raka tidak henti-hentinya bercerita tentang balonnya yang ia beri nama “Bobi”. Menurutnya, Bobi adalah sahabat barunya yang tidak boleh tersenggol sedikit pun. Alesha mendengarkan sambil sesekali menanggapi, sementara Rangga hanya tersenyum dari kursi pengemudi, seperti sedang menikmati pemandangan paling lucu di dunia. Setelah berhenti sebentar untuk membeli burger—di mana Raka menjatuhkan satu potongan daging ke pangkuannya lalu tertawa puas seolah itu kejadian paling lucu sedunia—mereka melanjutkan perjalanan ke taman kota. Begitu mobil berhenti di area parkir taman, udara segar dengan aroma rumput basah langsung menyapa. Pohon-pohon besar menaungi sebagian besar area taman, dedaunannya berayun lembut ditiup angin. Suara gemericik air dari kolam kecil di sisi kanan taman terdengar menenangkan. Beberapa keluarga sudah berkumpul dengan tikar, sementara anak-anak lainnya berlari-lari kecil mengejar gelembung sabun. Alesha tu

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Gagal Kencan

    Minggu pagi datang dengan keheningan khas kawasan perumahan mewah. Terdengar gesekan lembut angin yang menyusuri deretan pohon palem di sepanjang jalan, serta gemericik air dari air mancur kecil di taman depan rumah. Kebun yang mengelilingi rumah Alesha tampak segar oleh sisa embun; bunga-bunga bougainvillea yang tertata rapi di sepanjang pagar berbatu tampak mekar penuh, memantulkan warna-warna mencolok ketika matahari pagi menyentuhnya. Halaman rumput yang luas itu terbentang seperti karpet hijau, bersih dan terawat, memberikan kesan damai dan elegan sejak pandangan pertama.Alesha berdiri di depan cermin besar di kamarnya, terdiam sejenak sambil memperhatikan bayangannya. Gaun berwarna lembut membalut tubuhnya, jatuh mengikuti lekuk secara sederhana namun anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit gelombang alami di ujungnya, memberikan kesan santai namun tetap manis. Ia mengusap rambutnya ringan, memastikan tidak ada helai yang mencuat sembarangan.Sudah lama ia tidak ber

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Bunga Kertas

    Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian sore itu di mobil Rangga.Tiga hari yang aneh—tenang di permukaan, tapi penuh pusaran kecil di hati Alesha.Setiap kali mengingat tatapan Rangga di bawah cahaya jingga sore itu, jantungnya masih saja berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu di mata pria itu— sesuatu yang tidak berani ia akui.Namun, kehidupan tak berhenti hanya karena satu tatapan. Pagi kembali datang, tugas menumpuk, dan kopi tetap harus diseduh agar otak bisa diajak kompromi.Pagi itu udara masih lembap. Embun menempel di dedaunan kecil di depan rumah Alesha, berkilau seperti kaca di bawah cahaya matahari yang baru muncul. Dari dapur, aroma roti panggang bercampur kopi hitam menguar pelan. Alesha meneguk sisa minumannya yang sudah agak dingin, lalu meraih tas dan memeriksa kunci mobil di tangannya.Ketika ia baru saja hendak menuju garasi mobil, suara klakson pendek terdengar dari halaman depan. Suaranya tajam, tapi cepat—cukup membuat Alesha menoleh. Ia berkerut.‘Siapa

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Buayaku

    Langit sore perlahan memudar menjadi warna jingga keunguan. Awan tampak seperti kapas yang dilumuri cahaya senja, menggantung di atas gedung-gedung tinggi. Jalanan kota mulai dipenuhi lampu kendaraan yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang modern, sibuk namun indah. Di dalam mobil hitam milik Rangga, suasananya terasa hangat, namun juga tegang dalam diam.Deru mesin berpadu dengan musik lembut dari radio, nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk kendaraan di luar. Alesha duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai yang tak ia tunjukkan. Di sisi lain, Rangga masih memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya tak lepas menggenggam tangan Alesha. Cengkeramannya mantap—hangat, tapi juga terasa seperti sebuah isyarat halus: aku tahu, dan aku memperhatikanmu.Alesha menghela napas pelan, pandangannya kosong menatap lampu-lampu jalan yang memantul di kaca.‘Kenapa rasanya setiap kali aku mencoba melangkah, semesta malah kasih jal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status