LOGINHari pertama belajar bisnis… resmi membuat otakku gosong.
Aku bersumpah, kalau otak bisa meleleh, pasti sudah jadi topping keju di atas roti bakar. Dimas dengan sabar menjelaskan hal-hal seperti margin laba kotor, efisiensi produksi, dan proyeksi pendapatan. Kedengarannya keren, sih, tapi di kepalaku hanya terdengar satu suara: ‘Tolong… kapan istirahatnya?’ “Dimas, boleh tidak kita istirahat sebentar?” tanyaku, menatap layar laptop yang tampak seperti lembar skripsi tanpa harapan hidup. Ia menatapku, lalu tersenyum lembut. “Baiklah, sudah hampir jam makan siang. Capek, ya?” “Tidak… lebih ke… hampir meninggal.” Ia tertawa. “Oke, kita istirahat. Mau ke mana?” “Café Latte & Light!” jawabku cepat. Tempat favoritku. Tempat paling ampuh menyembuhkan luka akademis dan trauma bisnis. Beberapa saat kemudian, kami sudah di sana. Tempat itu masih sama — aroma kopi, lagu lembut, dan cahaya yang menembus dari jendela-jendela kaca besar. Tempat ini adalah surga kecilku. Dan sekarang aku di sini… bersama cinta pertamaku. Benar-benar surga ini. ‘Semesta, boleh tidak… hentikan waktu sekarang?’ “Jadi ini tempat favoritmu?” tanya Dimas sambil melihat sekeliling. “Iya. Tempat terapi jiwa. Satu cangkir cappuccino saja bisa membuatku hidup lagi.” “Sejak kapan kamu suka kopi?” tanyanya dengan nada menggoda. Ia lalu berkata pada barista, “Dua cappuccino, ya,” sambil tersenyum. Aduh, senyum itu lagi. Ia ramah kepada semua orang. Harusnya, kan, senyum itu untukku saja. “Orang dewasa minum kopi, kan,” ujarku dengan nada sok santai. Kami berjalan ke arah meja di pojok — tempat biasa aku menulis dulu. Dan tiba-tiba… aku teringat seseorang. Rangga. Ah, iya. Cowok itu. Dan seolah semesta mendengarkan pikiranku— ‘Aah... aku pikir kita tidak akan bertemu lagi.’ Aku terkejut. Rasanya seperti pikiranku barusan berubah menjadi kenyataan. Di sana dia — Rangga. Duduk di kursi yang sama, dengan secangkir kopi hitam dan senyum miring berbahaya itu. “Rangga?” Suara yang keluar dari mulutku terdengar seperti seseorang yang baru ketahuan selingkuh. Ia berdiri, melangkah ke arah kami. “Jadi kamu masih ingat namaku.” Ia menyerahkan tas kertas belanja. “Bajumu. Ingat, kan, hari itu?” “Ah, ya… kamu tidak perlu repot-repot,” jawabku cepat. “Aku laki-laki yang bertanggung jawab, Lea.” Matanya melirik ke arah Dimas, lalu kembali padaku. ‘Apa, sih, maksudnya ngomong begitu? Orang lain bisa salah paham, tahu!’ Aku menelan ludah. “Hehe... aku sibuk.” “Oh...” suaranya menggoda, tapi matanya hangat. “Padahal aku selalu menunggu kamu di sini.” Aku nyaris menenggelamkan diri ke dalam cappuccino-ku. Dimas hanya tersenyum sopan, tapi aku tahu — ada perubahan kecil di matanya. Tatapan tenang itu jadi sedikit tajam. Sebelum kesalahpahaman ini meluas, aku buru-buru berkata, “Ah... kenalkan, ini Dimas. Dimas, ini Rangga. Kami pernah bertemu sekali… karena dia menumpahkan kopi ke bajuku.” ‘Kenapa aku menjelaskan hal tidak penting ini, sih? Rasanya seperti ketahuan selingkuh beneran.’ “Hai,” sapa Dimas. “Oh, hai,” balas Rangga. “Mau duduk bersama? Ini kan meja favoritmu?” ‘Aku memohon dalam hati, semoga Dimas menjawab tidak. Ayo dong, kapan lagi kita bisa berdua saja di kafe.’ “Boleh,” kata Dimas. ‘Ya Tuhan. Apalagi ini. Dikelilingi dua pria tampan, tapi aku malah tidak bisa fokus. Harusnya aku menikmatinya, kan?’ ‘Toh, kapan lagi seorang Alesha bisa dikelilingi dua pria tampan? Hari ini aku pemeran utama wanitanya.’ Aku tersenyum bahagia. Sementara aku berkhayal entah ke mana, keduanya malah asyik mengobrol. Hebat. Dua-duanya tampan, dua-duanya tenang, dan aku? Jadi obat nyamuk. Salah ini, harusnya aku yang jadi pusat kamera, bukan cameo! Ponsel Dimas bergetar. Ia bangkit. “Aku ke luar dulu sebentar.” Begitu Dimas pergi, Rangga mencondongkan tubuh sedikit. “Dia pacarmu?” Aku nyaris menyembur kopi. “Apa? Tidak! Dia cuma... teman lama.” ‘Tadinya aku mau bilang calon suami, sih.’ “Ooh...” senyumnya naik setengah. “Jadi aku masih punya peluang?” Aku terdiam. Otakku langsung blue screen. “Tenang,” katanya lembut. “Aku janji tidak akan mengganggumu. Aku cuma…” Ia berhenti sejenak. “Boleh aku minta nomor ponselmu?” Aku menatapnya. Antara ragu, grogi, dan... sedikit senang. Sebenarnya aku tahu ini ide buruk. Tapi entah kenapa, matanya itu — mata yang seperti menyimpan rahasia — membuatku sulit menolak. “Boleh,” jawabku pelan. Ia tersenyum, mengetik nomor di ponselnya, lalu menyimpannya. “Aku janji tidak akan mengganggumu. Tapi kalau kamu butuh ide untuk tulisanmu, aku orangnya.” Aku terkekeh. “Tulisan?” “Iya. Kamu penulis, kan? Apa kabar Detektif Kopi Hitam?” Aku terpaku. “Kamu... ingat?” “Bagaimana bisa lupa,” katanya santai. “Kamu yang dengan semangat luar biasa bercerita waktu itu. Apa detektif itu sudah tahu siapa pelakunya?” Sebelum aku sempat menjawab, Dimas kembali. Rangga berdiri, menepuk pundakku ringan. “Senang bertemu lagi. Semoga dia segera menemukan pelaku tabrak lari itu. Sampai jumpa, Lea.” ‘Kebiasaan. Datang tidak diundang, pulang tidak diantar. Sudah seperti jelangkung saja. Bedanya… dia tampan.’ Aku masih diam, menatap pintu kafe. Dimas duduk kembali, ekspresinya sulit ditebak. Tapi aku yakin, tadi dia terkejut. “Pelaku tabrak lari?” tanyanya pelan, nadanya penuh keheranan. Aku tersenyum tipis. “Ya. Itu hanya cerita fiksi.” Untuk pertama kalinya, aku melihat ekspresi asing di wajah Dimas. Entahlah — marah, takut, atau... aku juga tidak tahu. “Sebaiknya kamu tidak berteman dengan orang seperti itu,” katanya serius. Aneh. Sejak kapan Dimas peduli dengan siapa temanku? Padahal tadi dia baik-baik saja. Malamnya, di kamar, aku membuka laptop lagi. Kursor berkedip di layar kosong. Aku mulai mengetik pelan: > Bab 3 – Detektif Kopi Hitam bertemu kembali dengan gulanya. Tapi kali ini, misterinya bukan di cangkir, melainkan di hatinya sendiri. Mungkin, gula yang ia tambahkan bukan untuk membuat kopi itu manis— melainkan untuk menyembunyikan racun yang sudah ada sejak awal. Aku berhenti, tersenyum kecil. ‘Sepertinya dewi keberuntungan sedang memelukku malam ini.’Matahari siang merayap naik, menghangatkan permukaan jalan dan membuat bayangan pepohonan di sepanjang taman memanjang ke arah barat. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput yang baru saja disiram sprinkler taman. Alesha, Rangga, dan Raka telah menghabiskan setengah hari bermain, berlari, dan tertawa sampai kehabisan tenaga. Setelah makan siang sederhana di restauran dekat taman, mereka sepakat pulang lebih cepat sebelum panasnya hari membuat suasana tak lagi nyaman. Raka tertidur lebih dulu di kursi belakang mobil, bahkan sebelum mobil itu keluar dari area parkir taman. Anak itu benar-benar kelelahan setelah bermain kejar-kejaran dengan Alesha, membuat Rangga hanya bisa geleng-geleng saat melihat mereka berdua tadi sama-sama ngos-ngosan seperti sedang olahraga berat. Saat mobil melaju pelan di jalan kota, Alesha yang duduk di kursi depan juga tak kuat menahan kantuk. Sisa embusan AC yang dingin, hembusan angin lembut dari jendela, dan kenyamanan kursi mobil membuat kelopak matan
Gerobak es krim berwarna biru pastel itu berdiri manis di bawah rindangnya pohon flamboyan. Payung kuning cerah menaunginya, bergoyang pelan tertiup angin siang yang hangat. Aroma waffle cone yang renyah bercampur wangi rumput yang baru dipotong. Setiap kali pedagang es krim menggeser gerobaknya beberapa sentimeter, lonceng kecil di sisi gerobak berdenting riang.Alesha, Rangga, dan Raka berjalan mendekat. Raka langsung berlari kecil sambil berjingkrak, kedua tangannya terangkat tinggi.“Om! Om! Mau es krim rasa cokelat, stroberi, sama mangga!” katanya semangat sambil menunjuk gambar tiga rasa sekaligus.Rangga tertawa kecil, menunduk mengusap kepala bocah itu. “Satu saja, Nak. Kalau tiga nanti perut kamu dingin semua.”Raka manyun, pipinya mengembung. "Ayah Ngak asyik."Rangga menyenggol bahu Alesha pelan. “Baiklah, tiga juga boleh, kok. Khusus hari ini.” bisiknya sambil mengedipkan mata jail. Ekspresinya sok serius, seperti sedang memberikan dispensasi khusus dari kerajaan es krim
Perjalanan menuju taman berlangsung dengan cukup ramai. Raka tidak henti-hentinya bercerita tentang balonnya yang ia beri nama “Bobi”. Menurutnya, Bobi adalah sahabat barunya yang tidak boleh tersenggol sedikit pun. Alesha mendengarkan sambil sesekali menanggapi, sementara Rangga hanya tersenyum dari kursi pengemudi, seperti sedang menikmati pemandangan paling lucu di dunia. Setelah berhenti sebentar untuk membeli burger—di mana Raka menjatuhkan satu potongan daging ke pangkuannya lalu tertawa puas seolah itu kejadian paling lucu sedunia—mereka melanjutkan perjalanan ke taman kota. Begitu mobil berhenti di area parkir taman, udara segar dengan aroma rumput basah langsung menyapa. Pohon-pohon besar menaungi sebagian besar area taman, dedaunannya berayun lembut ditiup angin. Suara gemericik air dari kolam kecil di sisi kanan taman terdengar menenangkan. Beberapa keluarga sudah berkumpul dengan tikar, sementara anak-anak lainnya berlari-lari kecil mengejar gelembung sabun. Alesha tu
Minggu pagi datang dengan keheningan khas kawasan perumahan mewah. Terdengar gesekan lembut angin yang menyusuri deretan pohon palem di sepanjang jalan, serta gemericik air dari air mancur kecil di taman depan rumah. Kebun yang mengelilingi rumah Alesha tampak segar oleh sisa embun; bunga-bunga bougainvillea yang tertata rapi di sepanjang pagar berbatu tampak mekar penuh, memantulkan warna-warna mencolok ketika matahari pagi menyentuhnya. Halaman rumput yang luas itu terbentang seperti karpet hijau, bersih dan terawat, memberikan kesan damai dan elegan sejak pandangan pertama.Alesha berdiri di depan cermin besar di kamarnya, terdiam sejenak sambil memperhatikan bayangannya. Gaun berwarna lembut membalut tubuhnya, jatuh mengikuti lekuk secara sederhana namun anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit gelombang alami di ujungnya, memberikan kesan santai namun tetap manis. Ia mengusap rambutnya ringan, memastikan tidak ada helai yang mencuat sembarangan.Sudah lama ia tidak ber
Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian sore itu di mobil Rangga.Tiga hari yang aneh—tenang di permukaan, tapi penuh pusaran kecil di hati Alesha.Setiap kali mengingat tatapan Rangga di bawah cahaya jingga sore itu, jantungnya masih saja berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu di mata pria itu— sesuatu yang tidak berani ia akui.Namun, kehidupan tak berhenti hanya karena satu tatapan. Pagi kembali datang, tugas menumpuk, dan kopi tetap harus diseduh agar otak bisa diajak kompromi.Pagi itu udara masih lembap. Embun menempel di dedaunan kecil di depan rumah Alesha, berkilau seperti kaca di bawah cahaya matahari yang baru muncul. Dari dapur, aroma roti panggang bercampur kopi hitam menguar pelan. Alesha meneguk sisa minumannya yang sudah agak dingin, lalu meraih tas dan memeriksa kunci mobil di tangannya.Ketika ia baru saja hendak menuju garasi mobil, suara klakson pendek terdengar dari halaman depan. Suaranya tajam, tapi cepat—cukup membuat Alesha menoleh. Ia berkerut.‘Siapa
Langit sore perlahan memudar menjadi warna jingga keunguan. Awan tampak seperti kapas yang dilumuri cahaya senja, menggantung di atas gedung-gedung tinggi. Jalanan kota mulai dipenuhi lampu kendaraan yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang modern, sibuk namun indah. Di dalam mobil hitam milik Rangga, suasananya terasa hangat, namun juga tegang dalam diam.Deru mesin berpadu dengan musik lembut dari radio, nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk kendaraan di luar. Alesha duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai yang tak ia tunjukkan. Di sisi lain, Rangga masih memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya tak lepas menggenggam tangan Alesha. Cengkeramannya mantap—hangat, tapi juga terasa seperti sebuah isyarat halus: aku tahu, dan aku memperhatikanmu.Alesha menghela napas pelan, pandangannya kosong menatap lampu-lampu jalan yang memantul di kaca.‘Kenapa rasanya setiap kali aku mencoba melangkah, semesta malah kasih jal







