Share

Segitiga

Author: Defa
last update Last Updated: 2025-08-02 07:17:29

Hari pertama belajar bisnis… resmi membuat otakku gosong.

Aku bersumpah, kalau otak bisa meleleh, pasti sudah jadi topping keju di atas roti bakar.

Dimas dengan sabar menjelaskan hal-hal seperti margin laba kotor, efisiensi produksi, dan proyeksi pendapatan.

Kedengarannya keren, sih, tapi di kepalaku hanya terdengar satu suara:

‘Tolong… kapan istirahatnya?’

“Dimas, boleh tidak kita istirahat sebentar?” tanyaku, menatap layar laptop yang tampak seperti lembar skripsi tanpa harapan hidup.

Ia menatapku, lalu tersenyum lembut. “Baiklah, sudah hampir jam makan siang. Capek, ya?”

“Tidak… lebih ke… hampir meninggal.”

Ia tertawa. “Oke, kita istirahat. Mau ke mana?”

“Café Latte & Light!” jawabku cepat.

Tempat favoritku. Tempat paling ampuh menyembuhkan luka akademis dan trauma bisnis.

Beberapa saat kemudian, kami sudah di sana. Tempat itu masih sama — aroma kopi, lagu lembut, dan cahaya yang menembus dari jendela-jendela kaca besar.

Tempat ini adalah surga kecilku. Dan sekarang aku di sini… bersama cinta pertamaku. Benar-benar surga ini.

‘Semesta, boleh tidak… hentikan waktu sekarang?’

“Jadi ini tempat favoritmu?” tanya Dimas sambil melihat sekeliling.

“Iya. Tempat terapi jiwa. Satu cangkir cappuccino saja bisa membuatku hidup lagi.”

“Sejak kapan kamu suka kopi?” tanyanya dengan nada menggoda. Ia lalu berkata pada barista, “Dua cappuccino, ya,” sambil tersenyum.

Aduh, senyum itu lagi. Ia ramah kepada semua orang. Harusnya, kan, senyum itu untukku saja.

“Orang dewasa minum kopi, kan,” ujarku dengan nada sok santai.

Kami berjalan ke arah meja di pojok — tempat biasa aku menulis dulu.

Dan tiba-tiba… aku teringat seseorang.

Rangga.

Ah, iya. Cowok itu.

Dan seolah semesta mendengarkan pikiranku—

‘Aah... aku pikir kita tidak akan bertemu lagi.’

Aku terkejut. Rasanya seperti pikiranku barusan berubah menjadi kenyataan.

Di sana dia — Rangga. Duduk di kursi yang sama, dengan secangkir kopi hitam dan senyum miring berbahaya itu.

“Rangga?”

Suara yang keluar dari mulutku terdengar seperti seseorang yang baru ketahuan selingkuh.

Ia berdiri, melangkah ke arah kami. “Jadi kamu masih ingat namaku.”

Ia menyerahkan tas kertas belanja. “Bajumu. Ingat, kan, hari itu?”

“Ah, ya… kamu tidak perlu repot-repot,” jawabku cepat.

“Aku laki-laki yang bertanggung jawab, Lea.”

Matanya melirik ke arah Dimas, lalu kembali padaku.

‘Apa, sih, maksudnya ngomong begitu? Orang lain bisa salah paham, tahu!’

Aku menelan ludah. “Hehe... aku sibuk.”

“Oh...” suaranya menggoda, tapi matanya hangat. “Padahal aku selalu menunggu kamu di sini.”

Aku nyaris menenggelamkan diri ke dalam cappuccino-ku.

Dimas hanya tersenyum sopan, tapi aku tahu — ada perubahan kecil di matanya. Tatapan tenang itu jadi sedikit tajam.

Sebelum kesalahpahaman ini meluas, aku buru-buru berkata, “Ah... kenalkan, ini Dimas. Dimas, ini Rangga. Kami pernah bertemu sekali… karena dia menumpahkan kopi ke bajuku.”

‘Kenapa aku menjelaskan hal tidak penting ini, sih? Rasanya seperti ketahuan selingkuh beneran.’

“Hai,” sapa Dimas.

“Oh, hai,” balas Rangga. “Mau duduk bersama? Ini kan meja favoritmu?”

‘Aku memohon dalam hati, semoga Dimas menjawab tidak. Ayo dong, kapan lagi kita bisa berdua saja di kafe.’

“Boleh,” kata Dimas.

‘Ya Tuhan. Apalagi ini. Dikelilingi dua pria tampan, tapi aku malah tidak bisa fokus. Harusnya aku menikmatinya, kan?’

‘Toh, kapan lagi seorang Alesha bisa dikelilingi dua pria tampan? Hari ini aku pemeran utama wanitanya.’ Aku tersenyum bahagia.

Sementara aku berkhayal entah ke mana, keduanya malah asyik mengobrol.

Hebat. Dua-duanya tampan, dua-duanya tenang, dan aku? Jadi obat nyamuk. Salah ini, harusnya aku yang jadi pusat kamera, bukan cameo!

Ponsel Dimas bergetar. Ia bangkit. “Aku ke luar dulu sebentar.”

Begitu Dimas pergi, Rangga mencondongkan tubuh sedikit. “Dia pacarmu?”

Aku nyaris menyembur kopi. “Apa? Tidak! Dia cuma... teman lama.”

‘Tadinya aku mau bilang calon suami, sih.’

“Ooh...” senyumnya naik setengah. “Jadi aku masih punya peluang?”

Aku terdiam. Otakku langsung blue screen.

“Tenang,” katanya lembut. “Aku janji tidak akan mengganggumu. Aku cuma…”

Ia berhenti sejenak.

“Boleh aku minta nomor ponselmu?”

Aku menatapnya. Antara ragu, grogi, dan... sedikit senang.

Sebenarnya aku tahu ini ide buruk. Tapi entah kenapa, matanya itu — mata yang seperti menyimpan rahasia — membuatku sulit menolak.

“Boleh,” jawabku pelan.

Ia tersenyum, mengetik nomor di ponselnya, lalu menyimpannya.

“Aku janji tidak akan mengganggumu. Tapi kalau kamu butuh ide untuk tulisanmu, aku orangnya.”

Aku terkekeh. “Tulisan?”

“Iya. Kamu penulis, kan? Apa kabar Detektif Kopi Hitam?”

Aku terpaku. “Kamu... ingat?”

“Bagaimana bisa lupa,” katanya santai. “Kamu yang dengan semangat luar biasa bercerita waktu itu.

Apa detektif itu sudah tahu siapa pelakunya?”

Sebelum aku sempat menjawab, Dimas kembali.

Rangga berdiri, menepuk pundakku ringan.

“Senang bertemu lagi. Semoga dia segera menemukan pelaku tabrak lari itu. Sampai jumpa, Lea.”

‘Kebiasaan. Datang tidak diundang, pulang tidak diantar. Sudah seperti jelangkung saja. Bedanya… dia tampan.’

Aku masih diam, menatap pintu kafe.

Dimas duduk kembali, ekspresinya sulit ditebak. Tapi aku yakin, tadi dia terkejut.

“Pelaku tabrak lari?” tanyanya pelan, nadanya penuh keheranan.

Aku tersenyum tipis. “Ya. Itu hanya cerita fiksi.”

Untuk pertama kalinya, aku melihat ekspresi asing di wajah Dimas. Entahlah — marah, takut, atau... aku juga tidak tahu.

“Sebaiknya kamu tidak berteman dengan orang seperti itu,” katanya serius.

Aneh. Sejak kapan Dimas peduli dengan siapa temanku? Padahal tadi dia baik-baik saja.

Malamnya, di kamar, aku membuka laptop lagi.

Kursor berkedip di layar kosong.

Aku mulai mengetik pelan:

> Bab 3 – Detektif Kopi Hitam bertemu kembali dengan gulanya.

Tapi kali ini, misterinya bukan di cangkir, melainkan di hatinya sendiri.

Mungkin, gula yang ia tambahkan bukan untuk membuat kopi itu manis—

melainkan untuk menyembunyikan racun yang sudah ada sejak awal.

Aku berhenti, tersenyum kecil.

‘Sepertinya dewi keberuntungan sedang memelukku malam ini.’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Curiga

    Pagi yang cerah dan indah. Sinar matahari yang hangat perlahan menembus jendela besar di ruangan ini. Suasana damai membuatku hampir lupa bahwa tadi malam terjadi “perang besar” antara aku dan angka-angka di layar laptop. ‘Dasar menyebalkan.’ Aku ingin membuka jendela dan berteriak sekeras-kerasnya. ‘Tapi, aku tidak mau berakhir di rumah sakit jiwa. Jadi lebih baik kutahan saja.’ Ruang kantorku berada di lantai delapan belas, dengan dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian. Dari sini, gedung-gedung lain tampak seperti menara Lego, dan mobil-mobil di bawah terlihat sekecil semut yang sedang berbaris mencari remah kehidupan. Udara dari pendingin ruangan berhembus lembut, bercampur dengan aroma kopi instan dan sedikit bau toner printer—kombinasi sempurna untuk pagi yang biasa bagi para budak korporat. Aku duduk di meja paling dekat jendela. ‘Alasannya, supaya aku bisa loncat kapan saja kalau bosan. Sayangnya, logikaku masih berfungsi.’ Kupandangi bayang

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Pilihan

    Aku menatap layar laptop yang sudah menyala sejak sejam lalu.Kursor di layar terus berkedip—seolah sedang mengejekku. Angka-angka itu seakan menari seperti di pesta dansa. Laporan keuangan, hukuman dari Dimas karena aku kabur dari kantor tadi sore.Aku mendengus. “Diam, kau, kursor jahat.”Aku tidak bisa fokus. Sejak Rangga pergi dari kafe tadi sore, pikiranku terus dipenuhi kalimat itu:> “Dimas mungkin bukan orang baik seperti yang kamu kenal.”Aku menutup wajah dengan bantal. “Arghhh, Rangga! Kenapa sih harus ngomong kayak gitu!”Bagaimana mungkin Dimas—ya, Dimas yang aku kenal—yang baik hati, suka membantu, dan rela mengantarku pulang saat hujan, tiba-tiba jadi tersangka pembunuhan?‘Nggak mungkin. Serius, nggak mungkin.’‘Tapi kalau benar?’Aku mendadak gelisah. Ini sudah jam sembilan malam, tapi pikiranku lebih ribut dari pasar malam. 'Laporan, kasus pembunuhan… ke mana perginya kehidupanku yang tenang dulu?'Kakiku bergoyang resah, mataku menatap cangkir kopi di meja.'Maafkan

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Kopi kenangan

    ‘Rangga.’Nama itu seperti mantra sihir. Begitu terlintas di pikiranku, si empunya nama langsung criiing muncul di hadapanku.“Hai…” suaranya berat tapi hangat.‘Aduh, kenapa kupingku langsung bergetar ya.’Aku buru-buru menegakkan badan. “Hai…” jawabku, mencoba terdengar santai. Padahal di dalam kepala, aku lagi menjerit: ‘Ya Tuhan, terima kasih sudah mempertemukanku dengan makhluk tampan ini!’Dia menahan pintu kafe agar aku masuk lebih dulu. Angin dari AC langsung menerpa wajahku, membawa aroma kopi dan roti panggang.‘Aah, aroma surgawi.’Kami berjalan ke arah kasir. Musik jazz lembut mengalun di latar. Suara mesin kopi ssshhhhhh seolah berkata, selamat datang, wahai manusia penuh keresahan hidup.“Caramel latte atau cappuccino?” tanyanya tiba-tiba.Aku menatapnya curiga. “Kamu baru tanya, tapi gayanya kayak udah tahu jawaban aku.”Dia nyengir. “Feeling-ku bilang hari ini kamu pilih cappuccino.”“Feeling kamu benar,” jawabku cepat. “Mungkin kamu punya bakat jadi peramal.”“Ya, bis

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Anak siapa ?

    Ada dua hal yang aku tahu pasti tentang dunia.Satu, tidak ada yang sempurna.Dua, tidak ada yang gratis.Segala sesuatu di dunia ini punya harga.Dan setiap kali kau mendapat sesuatu, ada hal lain yang hilang.Seperti aku sekarang.Aku bertemu dengan cinta pertamaku… tapi kehilangan kebebasanku.Sudah beberapa minggu ini aku ikut bekerja di kantor. Tapi otakku masih memantul-mantul setiap kali Dimas berbicara soal “rasio efisiensi modal kerja.”Dan rasanya, pekerjaanku hanya menambah pekerjaan karyawan lain.Aku yakin, kalau otak bisa mengeluarkan suara, bunyinya seperti bola basket memantul ke ring.‘Duk! Duk! Duk!’Otakku sudah seperti kereta api zaman dulu — berasap ke mana-mana.Tapi demi harga diri, cinta pertama, dan masa depan yang cerah (plus karena Mama masih sering mengawasi lewat CCTV kantor), aku tetap rajin datang.Ya, aku datang ke kantor dengan semangat membara.Niatnya PDKT, disamarkan dengan alasan belajar bisnis.Tapi hasilnya?Ya, begitu. Belajar bisnis, tapi yang

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Segitiga

    Hari pertama belajar bisnis… resmi membuat otakku gosong.Aku bersumpah, kalau otak bisa meleleh, pasti sudah jadi topping keju di atas roti bakar.Dimas dengan sabar menjelaskan hal-hal seperti margin laba kotor, efisiensi produksi, dan proyeksi pendapatan.Kedengarannya keren, sih, tapi di kepalaku hanya terdengar satu suara:‘Tolong… kapan istirahatnya?’“Dimas, boleh tidak kita istirahat sebentar?” tanyaku, menatap layar laptop yang tampak seperti lembar skripsi tanpa harapan hidup.Ia menatapku, lalu tersenyum lembut. “Baiklah, sudah hampir jam makan siang. Capek, ya?”“Tidak… lebih ke… hampir meninggal.”Ia tertawa. “Oke, kita istirahat. Mau ke mana?”“Café Latte & Light!” jawabku cepat.Tempat favoritku. Tempat paling ampuh menyembuhkan luka akademis dan trauma bisnis.Beberapa saat kemudian, kami sudah di sana. Tempat itu masih sama — aroma kopi, lagu lembut, dan cahaya yang menembus dari jendela-jendela kaca besar.Tempat ini adalah surga kecilku. Dan sekarang aku di sini… be

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Cinta Pertama

    Pria itu tersenyum.Senyum yang... yah, bisa dijadikan logo pasta gigi nasional.Ramah. Tenang. Hangat.Dan tetap sama seperti dulu.Bedanya, sekarang ia tampak lebih matang—dan lebih berbahaya bagi kestabilan detak jantungku.“Hai, Lesha. Lama tidak bertemu, ya?” katanya dengan nada lembut namun mantap sambil tersenyum.Nada yang… duh, dulu membuatku menulis puisi-puisi bodoh di buku catatan SMA.“Dimas?” Aku masih tidak percaya.“Kamu serius ini kamu? Maksudku—aku pikir kamu masih di luar negeri!?”‘Apa ini… hadiah semesta yang datang terlambat?’Ia tertawa kecil.“Iya, aku sudah pulang beberapa bulan lalu. Hanya belum sempat bertemu kamu.”Langkahnya masuk ke ruangan, elegan sekali—seperti aktor drama bisnis Korea.Kemeja putih, lengan digulung rapi, jam tangan hitam berkelas.‘Ah… kalau tahu akan bertemu Dimas, seharusnya tadi aku berdandan.Menyesal menolak tawaran Ibu dari dulu.Mungkin inilah takdirku: menjadi istri Dimas. Win-win solution, kan? Happy ending!’Aku buru-buru men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status