Share

Kopi kenangan

Penulis: Defa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-18 09:24:11

‘Rangga.’

Nama itu seperti mantra sihir. Begitu terlintas di pikiranku, si empunya nama langsung criiing muncul di hadapanku.

“Hai…” suaranya berat tapi hangat.

‘Aduh, kenapa kupingku langsung bergetar ya.’

Aku buru-buru menegakkan badan. “Hai…” jawabku, mencoba terdengar santai. Padahal di dalam kepala, aku lagi menjerit: ‘Ya Tuhan, terima kasih sudah mempertemukanku dengan makhluk tampan ini!’

Dia menahan pintu kafe agar aku masuk lebih dulu. Angin dari AC langsung menerpa wajahku, membawa aroma kopi dan roti panggang.

‘Aah, aroma surgawi.’

Kami berjalan ke arah kasir. Musik jazz lembut mengalun di latar. Suara mesin kopi ssshhhhhh seolah berkata, selamat datang, wahai manusia penuh keresahan hidup.

“Caramel latte atau cappuccino?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menatapnya curiga. “Kamu baru tanya, tapi gayanya kayak udah tahu jawaban aku.”

Dia nyengir. “Feeling-ku bilang hari ini kamu pilih cappuccino.”

“Feeling kamu benar,” jawabku cepat. “Mungkin kamu punya bakat jadi peramal.”

“Ya, bisa juga karena aku diam-diam stalking kamu,” katanya santai.

Aku melongo. “Kamu APA?!”

Dia tertawa. “Bercanda. Aku nggak punya waktu buat stalking orang lain.”

‘Ya Tuhan, ini orang bisa nggak sih tidak menimbulkan getaran aneh di dada makhluk lugu dan polos seperti aku?!’

“Duduk aja, aku pesankan,” katanya.

Aku menurut, mencari meja favoritku—dekat jendela. Dari sana, aku bisa melihat langit sore yang kekuningan, orang-orang berjalan cepat, dan bayanganku sendiri yang kelihatan makin mirip panda karena kurang tidur.

Sambil menunggu, aku melirik ke arah kasir. Rangga berdiri di sana, membayar sambil ngobrol ringan dengan barista. Gayanya santai, tapi sopan.

Tangan satu di saku, senyum tipis di bibir.

‘Senyum itu… aduh tolong, semoga aja aku nggak kena diabetes gara-gara dekat sama orang ini.’

Aku buru-buru memalingkan pandangan ke luar. ‘Fokus, Alesha. Fokus.’

“Cappuccino panas,” suaranya tiba-tiba muncul di depan meja.

Aku nyaris loncat. “Oh! Eh, iya… makasih.”

Dia menaruh gelas di depanku. “Hati-hati, panas.”

Aku tersenyum kikuk. “Oke.”

Dia tersenyum, menikmati minumannya. Aku menatapnya, dan dia pura-pura tidak peduli. Tapi aku yakin, dia sengaja membiarkan aku menatapnya.

“Kamu tahu nggak, kalau cowok kayak kamu itu bahaya.”

“Bahaya?” Dia akhirnya menatapku.

“Iya, karena kamu bisa bikin candu.”

Dia ngakak. “Kamu berlebihan.”

Aku menyeruput cappuccino-ku sambil menggerutu kecil. “Itu kan menurut kamu.”

Kami duduk berhadapan. Suasana kafe makin ramai, tapi entah kenapa terasa hangat. Rangga sibuk membuka ponsel. Aku pikir dia mau kerja, tapi tiba-tiba dia menyodorkan layar ke arahku.

“Lihat ini.”

Aku mencondongkan badan. Di layar, ada foto seorang wanita bergaun putih sederhana. Wajahnya lembut, rambutnya hitam berkilau, dan… wajahnya—mirip aku.

Aku langsung terpaku. “Itu… siapa?”

Rangga menatap layar sebentar, lalu berkata pelan, “Ibunya Raka.”

Aku refleks menatapnya. “Serius?”

Dia mengangguk. “Iya. Kamu sangat mirip dengannya.”

Aku terdiam.

“Waktu pertama kali lihat kamu, aku kira aku lagi mimpi,” katanya. Kali ini nadanya sedikit serius, tidak seperti biasanya.

Aku memutar bola mata. “Jadi kamu menyiram aku pakai kopi waktu itu buat ngetes? Kalau aku jerit, berarti aku manusia?” Aku mencoba mencairkan suasana.

Dia menahan tawa. “Nggak gitu juga…”

“Aku ngerti kok,” potongku cepat. “Yang pasti aku bukan hantu.”

Dia ngakak sampai nyaris tumpah kopinya. “Kamu ini...”

“Terima kasih, aku memang diciptakan untuk menghibur orang yang hidupnya terlalu serius. Apa sebaiknya aku ganti pekerjaan jadi badut atau pelawak aja kali ya? Sepertinya aku berbakat.”

Kami tertawa bersamaan. Untuk sesaat, suasana benar-benar ringan. Sampai kemudian, wajah Rangga berubah sedikit lebih serius. Dia menatap foto itu lagi sebelum menonaktifkan layar.

“Dia meninggal lima tahun lalu,” katanya tiba-tiba. Suaranya turun satu nada. “Karena tabrak lari.”

Tawa di tenggorokanku langsung menguap. Aku menatapnya diam-diam. “Aku… ikut sedih, Rangga.”

Dia menatap ke arah jendela. “Dan pelakunya tiba-tiba saja menghilang saat itu.”

Kafe yang tadinya ramai tiba-tiba terasa sunyi. Aku meletakkan gelas pelan. “Itu artinya kamu tahu siapa pelakunya?”

Dia mengangguk perlahan. “Iya. Tapi aku nggak punya bukti pasti.”

Aku diam mendengarkan ceritanya. Dalam hati, aku ingin menghiburnya. ‘Ya, meski ekspresi sedih itu juga cocok di wajah itu. Entah kenapa aku bisa merasakan rasa rindu yang menusuk di matanya.’

“Beberapa waktu lalu aku bertemu lagi dengan pelakunya,” sambungnya.

Aku masih terdiam. Bahkan bunyi sendok di meja sebelah rasanya jadi mengganggu.

“Dia mungkin berpikir bisa lolos begitu saja, Lea. Tapi aku akan membuatnya bertanggung jawab atas perbuatannya,” lanjutnya pelan. “Dan aku butuh bukti untuk menuntaskannya.”

Lalu dia menatapku sambil berkata, “Tapi aku nggak bisa sendirian.”

Mataku langsung membesar. Aku tahu maksudnya—dia ingin aku membantunya. “Tunggu. Kamu mau aku bantu menangkap pembunuh?”

“Bukan menangkap,” katanya cepat. “Membantu mendapatkan bukti.”

Aku menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kenapa aku? Kamu harusnya lapor polisi atau sewa detektif swasta mungkin.”

“Tidak. Orang itu punya orang kepolisian yang membantunya kabur dari kasus ini,” katanya serius sambil tersenyum tipis.

Aku menyipitkan mata. “Lalu, aku bisa apa?”

“Kamu dekat dengan orang itu. Dia pasti tidak akan mencurigaimu,” jawabnya cepat. “Tapi kalau kamu keberatan, kamu boleh menolak melakukannya.”

Aku memutar bola mata. “Tunggu, apa itu berarti orang itu orang yang aku kenal?”

“Ya.”

“Siapa?!”

“Dimas.”

‘Apa? Serius!’ Kepalaku langsung kalang kabut. ‘Bagaimana ini? Nggak mungkin, kan?’

Dia terkekeh. “Gimana? Mau bantu?”

“Nggak, kamu bercanda? Mana mungkin Dimas!”

“Kamu mungkin nggak percaya padaku sekarang. Tapi Dimas mungkin bukan orang baik seperti yang kamu kenal.”

Lalu dia berdiri, menatapku sebentar, dan pergi begitu saja.

‘Kenapa aku yang ditinggal? Hey… aah dasar jelangkung tampan!’

Tabrak lari.

Bukti.

Pelaku yang menghilang.

Semua kata itu seperti potongan puzzle. Dan tiba-tiba, di antara busa cappuccino-ku yang mulai mendingin, muncul ide gila di kepalaku.

‘Aku bisa jadikan ini bahan novelku. Eeh… apa yang aku pikirkan. Dasar Alesha gila, ini masalah serius!’

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Curiga

    Pagi yang cerah dan indah. Sinar matahari yang hangat perlahan menembus jendela besar di ruangan ini. Suasana damai membuatku hampir lupa bahwa tadi malam terjadi “perang besar” antara aku dan angka-angka di layar laptop. ‘Dasar menyebalkan.’ Aku ingin membuka jendela dan berteriak sekeras-kerasnya. ‘Tapi, aku tidak mau berakhir di rumah sakit jiwa. Jadi lebih baik kutahan saja.’ Ruang kantorku berada di lantai delapan belas, dengan dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian. Dari sini, gedung-gedung lain tampak seperti menara Lego, dan mobil-mobil di bawah terlihat sekecil semut yang sedang berbaris mencari remah kehidupan. Udara dari pendingin ruangan berhembus lembut, bercampur dengan aroma kopi instan dan sedikit bau toner printer—kombinasi sempurna untuk pagi yang biasa bagi para budak korporat. Aku duduk di meja paling dekat jendela. ‘Alasannya, supaya aku bisa loncat kapan saja kalau bosan. Sayangnya, logikaku masih berfungsi.’ Kupandangi bayang

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Pilihan

    Aku menatap layar laptop yang sudah menyala sejak sejam lalu.Kursor di layar terus berkedip—seolah sedang mengejekku. Angka-angka itu seakan menari seperti di pesta dansa. Laporan keuangan, hukuman dari Dimas karena aku kabur dari kantor tadi sore.Aku mendengus. “Diam, kau, kursor jahat.”Aku tidak bisa fokus. Sejak Rangga pergi dari kafe tadi sore, pikiranku terus dipenuhi kalimat itu:> “Dimas mungkin bukan orang baik seperti yang kamu kenal.”Aku menutup wajah dengan bantal. “Arghhh, Rangga! Kenapa sih harus ngomong kayak gitu!”Bagaimana mungkin Dimas—ya, Dimas yang aku kenal—yang baik hati, suka membantu, dan rela mengantarku pulang saat hujan, tiba-tiba jadi tersangka pembunuhan?‘Nggak mungkin. Serius, nggak mungkin.’‘Tapi kalau benar?’Aku mendadak gelisah. Ini sudah jam sembilan malam, tapi pikiranku lebih ribut dari pasar malam. 'Laporan, kasus pembunuhan… ke mana perginya kehidupanku yang tenang dulu?'Kakiku bergoyang resah, mataku menatap cangkir kopi di meja.'Maafkan

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Kopi kenangan

    ‘Rangga.’Nama itu seperti mantra sihir. Begitu terlintas di pikiranku, si empunya nama langsung criiing muncul di hadapanku.“Hai…” suaranya berat tapi hangat.‘Aduh, kenapa kupingku langsung bergetar ya.’Aku buru-buru menegakkan badan. “Hai…” jawabku, mencoba terdengar santai. Padahal di dalam kepala, aku lagi menjerit: ‘Ya Tuhan, terima kasih sudah mempertemukanku dengan makhluk tampan ini!’Dia menahan pintu kafe agar aku masuk lebih dulu. Angin dari AC langsung menerpa wajahku, membawa aroma kopi dan roti panggang.‘Aah, aroma surgawi.’Kami berjalan ke arah kasir. Musik jazz lembut mengalun di latar. Suara mesin kopi ssshhhhhh seolah berkata, selamat datang, wahai manusia penuh keresahan hidup.“Caramel latte atau cappuccino?” tanyanya tiba-tiba.Aku menatapnya curiga. “Kamu baru tanya, tapi gayanya kayak udah tahu jawaban aku.”Dia nyengir. “Feeling-ku bilang hari ini kamu pilih cappuccino.”“Feeling kamu benar,” jawabku cepat. “Mungkin kamu punya bakat jadi peramal.”“Ya, bis

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Anak siapa ?

    Ada dua hal yang aku tahu pasti tentang dunia.Satu, tidak ada yang sempurna.Dua, tidak ada yang gratis.Segala sesuatu di dunia ini punya harga.Dan setiap kali kau mendapat sesuatu, ada hal lain yang hilang.Seperti aku sekarang.Aku bertemu dengan cinta pertamaku… tapi kehilangan kebebasanku.Sudah beberapa minggu ini aku ikut bekerja di kantor. Tapi otakku masih memantul-mantul setiap kali Dimas berbicara soal “rasio efisiensi modal kerja.”Dan rasanya, pekerjaanku hanya menambah pekerjaan karyawan lain.Aku yakin, kalau otak bisa mengeluarkan suara, bunyinya seperti bola basket memantul ke ring.‘Duk! Duk! Duk!’Otakku sudah seperti kereta api zaman dulu — berasap ke mana-mana.Tapi demi harga diri, cinta pertama, dan masa depan yang cerah (plus karena Mama masih sering mengawasi lewat CCTV kantor), aku tetap rajin datang.Ya, aku datang ke kantor dengan semangat membara.Niatnya PDKT, disamarkan dengan alasan belajar bisnis.Tapi hasilnya?Ya, begitu. Belajar bisnis, tapi yang

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Segitiga

    Hari pertama belajar bisnis… resmi membuat otakku gosong.Aku bersumpah, kalau otak bisa meleleh, pasti sudah jadi topping keju di atas roti bakar.Dimas dengan sabar menjelaskan hal-hal seperti margin laba kotor, efisiensi produksi, dan proyeksi pendapatan.Kedengarannya keren, sih, tapi di kepalaku hanya terdengar satu suara:‘Tolong… kapan istirahatnya?’“Dimas, boleh tidak kita istirahat sebentar?” tanyaku, menatap layar laptop yang tampak seperti lembar skripsi tanpa harapan hidup.Ia menatapku, lalu tersenyum lembut. “Baiklah, sudah hampir jam makan siang. Capek, ya?”“Tidak… lebih ke… hampir meninggal.”Ia tertawa. “Oke, kita istirahat. Mau ke mana?”“Café Latte & Light!” jawabku cepat.Tempat favoritku. Tempat paling ampuh menyembuhkan luka akademis dan trauma bisnis.Beberapa saat kemudian, kami sudah di sana. Tempat itu masih sama — aroma kopi, lagu lembut, dan cahaya yang menembus dari jendela-jendela kaca besar.Tempat ini adalah surga kecilku. Dan sekarang aku di sini… be

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Cinta Pertama

    Pria itu tersenyum.Senyum yang... yah, bisa dijadikan logo pasta gigi nasional.Ramah. Tenang. Hangat.Dan tetap sama seperti dulu.Bedanya, sekarang ia tampak lebih matang—dan lebih berbahaya bagi kestabilan detak jantungku.“Hai, Lesha. Lama tidak bertemu, ya?” katanya dengan nada lembut namun mantap sambil tersenyum.Nada yang… duh, dulu membuatku menulis puisi-puisi bodoh di buku catatan SMA.“Dimas?” Aku masih tidak percaya.“Kamu serius ini kamu? Maksudku—aku pikir kamu masih di luar negeri!?”‘Apa ini… hadiah semesta yang datang terlambat?’Ia tertawa kecil.“Iya, aku sudah pulang beberapa bulan lalu. Hanya belum sempat bertemu kamu.”Langkahnya masuk ke ruangan, elegan sekali—seperti aktor drama bisnis Korea.Kemeja putih, lengan digulung rapi, jam tangan hitam berkelas.‘Ah… kalau tahu akan bertemu Dimas, seharusnya tadi aku berdandan.Menyesal menolak tawaran Ibu dari dulu.Mungkin inilah takdirku: menjadi istri Dimas. Win-win solution, kan? Happy ending!’Aku buru-buru men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status