LOGIN‘Rangga.’
Nama itu seperti mantra sihir. Begitu terlintas di pikiranku, si empunya nama langsung criiing muncul di hadapanku. “Hai…” suaranya berat tapi hangat. ‘Aduh, kenapa kupingku langsung bergetar ya.’ Aku buru-buru menegakkan badan. “Hai…” jawabku, mencoba terdengar santai. Padahal di dalam kepala, aku lagi menjerit: ‘Ya Tuhan, terima kasih sudah mempertemukanku dengan makhluk tampan ini!’ Dia menahan pintu kafe agar aku masuk lebih dulu. Angin dari AC langsung menerpa wajahku, membawa aroma kopi dan roti panggang. ‘Aah, aroma surgawi.’ Kami berjalan ke arah kasir. Musik jazz lembut mengalun di latar. Suara mesin kopi ssshhhhhh seolah berkata, selamat datang, wahai manusia penuh keresahan hidup. “Caramel latte atau cappuccino?” tanyanya tiba-tiba. Aku menatapnya curiga. “Kamu baru tanya, tapi gayanya kayak udah tahu jawaban aku.” Dia nyengir. “Feeling-ku bilang hari ini kamu pilih cappuccino.” “Feeling kamu benar,” jawabku cepat. “Mungkin kamu punya bakat jadi peramal.” “Ya, bisa juga karena aku diam-diam stalking kamu,” katanya santai. Aku melongo. “Kamu APA?!” Dia tertawa. “Bercanda. Aku nggak punya waktu buat stalking orang lain.” ‘Ya Tuhan, ini orang bisa nggak sih tidak menimbulkan getaran aneh di dada makhluk lugu dan polos seperti aku?!’ “Duduk aja, aku pesankan,” katanya. Aku menurut, mencari meja favoritku—dekat jendela. Dari sana, aku bisa melihat langit sore yang kekuningan, orang-orang berjalan cepat, dan bayanganku sendiri yang kelihatan makin mirip panda karena kurang tidur. Sambil menunggu, aku melirik ke arah kasir. Rangga berdiri di sana, membayar sambil ngobrol ringan dengan barista. Gayanya santai, tapi sopan. Tangan satu di saku, senyum tipis di bibir. ‘Senyum itu… aduh tolong, semoga aja aku nggak kena diabetes gara-gara dekat sama orang ini.’ Aku buru-buru memalingkan pandangan ke luar. ‘Fokus, Alesha. Fokus.’ “Cappuccino panas,” suaranya tiba-tiba muncul di depan meja. Aku nyaris loncat. “Oh! Eh, iya… makasih.” Dia menaruh gelas di depanku. “Hati-hati, panas.” Aku tersenyum kikuk. “Oke.” Dia tersenyum, menikmati minumannya. Aku menatapnya, dan dia pura-pura tidak peduli. Tapi aku yakin, dia sengaja membiarkan aku menatapnya. “Kamu tahu nggak, kalau cowok kayak kamu itu bahaya.” “Bahaya?” Dia akhirnya menatapku. “Iya, karena kamu bisa bikin candu.” Dia ngakak. “Kamu berlebihan.” Aku menyeruput cappuccino-ku sambil menggerutu kecil. “Itu kan menurut kamu.” Kami duduk berhadapan. Suasana kafe makin ramai, tapi entah kenapa terasa hangat. Rangga sibuk membuka ponsel. Aku pikir dia mau kerja, tapi tiba-tiba dia menyodorkan layar ke arahku. “Lihat ini.” Aku mencondongkan badan. Di layar, ada foto seorang wanita bergaun putih sederhana. Wajahnya lembut, rambutnya hitam berkilau, dan… wajahnya—mirip aku. Aku langsung terpaku. “Itu… siapa?” Rangga menatap layar sebentar, lalu berkata pelan, “Ibunya Raka.” Aku refleks menatapnya. “Serius?” Dia mengangguk. “Iya. Kamu sangat mirip dengannya.” Aku terdiam. “Waktu pertama kali lihat kamu, aku kira aku lagi mimpi,” katanya. Kali ini nadanya sedikit serius, tidak seperti biasanya. Aku memutar bola mata. “Jadi kamu menyiram aku pakai kopi waktu itu buat ngetes? Kalau aku jerit, berarti aku manusia?” Aku mencoba mencairkan suasana. Dia menahan tawa. “Nggak gitu juga…” “Aku ngerti kok,” potongku cepat. “Yang pasti aku bukan hantu.” Dia ngakak sampai nyaris tumpah kopinya. “Kamu ini...” “Terima kasih, aku memang diciptakan untuk menghibur orang yang hidupnya terlalu serius. Apa sebaiknya aku ganti pekerjaan jadi badut atau pelawak aja kali ya? Sepertinya aku berbakat.” Kami tertawa bersamaan. Untuk sesaat, suasana benar-benar ringan. Sampai kemudian, wajah Rangga berubah sedikit lebih serius. Dia menatap foto itu lagi sebelum menonaktifkan layar. “Dia meninggal lima tahun lalu,” katanya tiba-tiba. Suaranya turun satu nada. “Karena tabrak lari.” Tawa di tenggorokanku langsung menguap. Aku menatapnya diam-diam. “Aku… ikut sedih, Rangga.” Dia menatap ke arah jendela. “Dan pelakunya tiba-tiba saja menghilang saat itu.” Kafe yang tadinya ramai tiba-tiba terasa sunyi. Aku meletakkan gelas pelan. “Itu artinya kamu tahu siapa pelakunya?” Dia mengangguk perlahan. “Iya. Tapi aku nggak punya bukti pasti.” Aku diam mendengarkan ceritanya. Dalam hati, aku ingin menghiburnya. ‘Ya, meski ekspresi sedih itu juga cocok di wajah itu. Entah kenapa aku bisa merasakan rasa rindu yang menusuk di matanya.’ “Beberapa waktu lalu aku bertemu lagi dengan pelakunya,” sambungnya. Aku masih terdiam. Bahkan bunyi sendok di meja sebelah rasanya jadi mengganggu. “Dia mungkin berpikir bisa lolos begitu saja, Lea. Tapi aku akan membuatnya bertanggung jawab atas perbuatannya,” lanjutnya pelan. “Dan aku butuh bukti untuk menuntaskannya.” Lalu dia menatapku sambil berkata, “Tapi aku nggak bisa sendirian.” Mataku langsung membesar. Aku tahu maksudnya—dia ingin aku membantunya. “Tunggu. Kamu mau aku bantu menangkap pembunuh?” “Bukan menangkap,” katanya cepat. “Membantu mendapatkan bukti.” Aku menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kenapa aku? Kamu harusnya lapor polisi atau sewa detektif swasta mungkin.” “Tidak. Orang itu punya orang kepolisian yang membantunya kabur dari kasus ini,” katanya serius sambil tersenyum tipis. Aku menyipitkan mata. “Lalu, aku bisa apa?” “Kamu dekat dengan orang itu. Dia pasti tidak akan mencurigaimu,” jawabnya cepat. “Tapi kalau kamu keberatan, kamu boleh menolak melakukannya.” Aku memutar bola mata. “Tunggu, apa itu berarti orang itu orang yang aku kenal?” “Ya.” “Siapa?!” “Dimas.” ‘Apa? Serius!’ Kepalaku langsung kalang kabut. ‘Bagaimana ini? Nggak mungkin, kan?’ Dia terkekeh. “Gimana? Mau bantu?” “Nggak, kamu bercanda? Mana mungkin Dimas!” “Kamu mungkin nggak percaya padaku sekarang. Tapi Dimas mungkin bukan orang baik seperti yang kamu kenal.” Lalu dia berdiri, menatapku sebentar, dan pergi begitu saja. ‘Kenapa aku yang ditinggal? Hey… aah dasar jelangkung tampan!’ Tabrak lari. Bukti. Pelaku yang menghilang. Semua kata itu seperti potongan puzzle. Dan tiba-tiba, di antara busa cappuccino-ku yang mulai mendingin, muncul ide gila di kepalaku. ‘Aku bisa jadikan ini bahan novelku. Eeh… apa yang aku pikirkan. Dasar Alesha gila, ini masalah serius!’Matahari siang merayap naik, menghangatkan permukaan jalan dan membuat bayangan pepohonan di sepanjang taman memanjang ke arah barat. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput yang baru saja disiram sprinkler taman. Alesha, Rangga, dan Raka telah menghabiskan setengah hari bermain, berlari, dan tertawa sampai kehabisan tenaga. Setelah makan siang sederhana di restauran dekat taman, mereka sepakat pulang lebih cepat sebelum panasnya hari membuat suasana tak lagi nyaman. Raka tertidur lebih dulu di kursi belakang mobil, bahkan sebelum mobil itu keluar dari area parkir taman. Anak itu benar-benar kelelahan setelah bermain kejar-kejaran dengan Alesha, membuat Rangga hanya bisa geleng-geleng saat melihat mereka berdua tadi sama-sama ngos-ngosan seperti sedang olahraga berat. Saat mobil melaju pelan di jalan kota, Alesha yang duduk di kursi depan juga tak kuat menahan kantuk. Sisa embusan AC yang dingin, hembusan angin lembut dari jendela, dan kenyamanan kursi mobil membuat kelopak matan
Gerobak es krim berwarna biru pastel itu berdiri manis di bawah rindangnya pohon flamboyan. Payung kuning cerah menaunginya, bergoyang pelan tertiup angin siang yang hangat. Aroma waffle cone yang renyah bercampur wangi rumput yang baru dipotong. Setiap kali pedagang es krim menggeser gerobaknya beberapa sentimeter, lonceng kecil di sisi gerobak berdenting riang.Alesha, Rangga, dan Raka berjalan mendekat. Raka langsung berlari kecil sambil berjingkrak, kedua tangannya terangkat tinggi.“Om! Om! Mau es krim rasa cokelat, stroberi, sama mangga!” katanya semangat sambil menunjuk gambar tiga rasa sekaligus.Rangga tertawa kecil, menunduk mengusap kepala bocah itu. “Satu saja, Nak. Kalau tiga nanti perut kamu dingin semua.”Raka manyun, pipinya mengembung. "Ayah Ngak asyik."Rangga menyenggol bahu Alesha pelan. “Baiklah, tiga juga boleh, kok. Khusus hari ini.” bisiknya sambil mengedipkan mata jail. Ekspresinya sok serius, seperti sedang memberikan dispensasi khusus dari kerajaan es krim
Perjalanan menuju taman berlangsung dengan cukup ramai. Raka tidak henti-hentinya bercerita tentang balonnya yang ia beri nama “Bobi”. Menurutnya, Bobi adalah sahabat barunya yang tidak boleh tersenggol sedikit pun. Alesha mendengarkan sambil sesekali menanggapi, sementara Rangga hanya tersenyum dari kursi pengemudi, seperti sedang menikmati pemandangan paling lucu di dunia. Setelah berhenti sebentar untuk membeli burger—di mana Raka menjatuhkan satu potongan daging ke pangkuannya lalu tertawa puas seolah itu kejadian paling lucu sedunia—mereka melanjutkan perjalanan ke taman kota. Begitu mobil berhenti di area parkir taman, udara segar dengan aroma rumput basah langsung menyapa. Pohon-pohon besar menaungi sebagian besar area taman, dedaunannya berayun lembut ditiup angin. Suara gemericik air dari kolam kecil di sisi kanan taman terdengar menenangkan. Beberapa keluarga sudah berkumpul dengan tikar, sementara anak-anak lainnya berlari-lari kecil mengejar gelembung sabun. Alesha tu
Minggu pagi datang dengan keheningan khas kawasan perumahan mewah. Terdengar gesekan lembut angin yang menyusuri deretan pohon palem di sepanjang jalan, serta gemericik air dari air mancur kecil di taman depan rumah. Kebun yang mengelilingi rumah Alesha tampak segar oleh sisa embun; bunga-bunga bougainvillea yang tertata rapi di sepanjang pagar berbatu tampak mekar penuh, memantulkan warna-warna mencolok ketika matahari pagi menyentuhnya. Halaman rumput yang luas itu terbentang seperti karpet hijau, bersih dan terawat, memberikan kesan damai dan elegan sejak pandangan pertama.Alesha berdiri di depan cermin besar di kamarnya, terdiam sejenak sambil memperhatikan bayangannya. Gaun berwarna lembut membalut tubuhnya, jatuh mengikuti lekuk secara sederhana namun anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit gelombang alami di ujungnya, memberikan kesan santai namun tetap manis. Ia mengusap rambutnya ringan, memastikan tidak ada helai yang mencuat sembarangan.Sudah lama ia tidak ber
Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian sore itu di mobil Rangga.Tiga hari yang aneh—tenang di permukaan, tapi penuh pusaran kecil di hati Alesha.Setiap kali mengingat tatapan Rangga di bawah cahaya jingga sore itu, jantungnya masih saja berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu di mata pria itu— sesuatu yang tidak berani ia akui.Namun, kehidupan tak berhenti hanya karena satu tatapan. Pagi kembali datang, tugas menumpuk, dan kopi tetap harus diseduh agar otak bisa diajak kompromi.Pagi itu udara masih lembap. Embun menempel di dedaunan kecil di depan rumah Alesha, berkilau seperti kaca di bawah cahaya matahari yang baru muncul. Dari dapur, aroma roti panggang bercampur kopi hitam menguar pelan. Alesha meneguk sisa minumannya yang sudah agak dingin, lalu meraih tas dan memeriksa kunci mobil di tangannya.Ketika ia baru saja hendak menuju garasi mobil, suara klakson pendek terdengar dari halaman depan. Suaranya tajam, tapi cepat—cukup membuat Alesha menoleh. Ia berkerut.‘Siapa
Langit sore perlahan memudar menjadi warna jingga keunguan. Awan tampak seperti kapas yang dilumuri cahaya senja, menggantung di atas gedung-gedung tinggi. Jalanan kota mulai dipenuhi lampu kendaraan yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang modern, sibuk namun indah. Di dalam mobil hitam milik Rangga, suasananya terasa hangat, namun juga tegang dalam diam.Deru mesin berpadu dengan musik lembut dari radio, nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk kendaraan di luar. Alesha duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai yang tak ia tunjukkan. Di sisi lain, Rangga masih memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya tak lepas menggenggam tangan Alesha. Cengkeramannya mantap—hangat, tapi juga terasa seperti sebuah isyarat halus: aku tahu, dan aku memperhatikanmu.Alesha menghela napas pelan, pandangannya kosong menatap lampu-lampu jalan yang memantul di kaca.‘Kenapa rasanya setiap kali aku mencoba melangkah, semesta malah kasih jal







