공유

Cinta Pertama

작가: Defa
last update 최신 업데이트: 2025-08-02 01:49:44

Pria itu tersenyum.

Senyum yang... yah, bisa dijadikan logo pasta gigi nasional.

Ramah. Tenang. Hangat.

Dan tetap sama seperti dulu.

Bedanya, sekarang ia tampak lebih matang—dan lebih berbahaya bagi kestabilan detak jantungku.

“Hai, Lesha. Lama tidak bertemu, ya?” katanya dengan nada lembut namun mantap sambil tersenyum.

Nada yang… duh, dulu membuatku menulis puisi-puisi bodoh di buku catatan SMA.

“Dimas?” Aku masih tidak percaya.

“Kamu serius ini kamu? Maksudku—aku pikir kamu masih di luar negeri!?”

‘Apa ini… hadiah semesta yang datang terlambat?’

Ia tertawa kecil.

“Iya, aku sudah pulang beberapa bulan lalu. Hanya belum sempat bertemu kamu.”

Langkahnya masuk ke ruangan, elegan sekali—seperti aktor drama bisnis Korea.

Kemeja putih, lengan digulung rapi, jam tangan hitam berkelas.

‘Ah… kalau tahu akan bertemu Dimas, seharusnya tadi aku berdandan.

Menyesal menolak tawaran Ibu dari dulu.

Mungkin inilah takdirku: menjadi istri Dimas. Win-win solution, kan? Happy ending!’

Aku buru-buru menegakkan badanku. Mencoba terlihat profesional.

“Oh, iya. Hai! Eh, maksudku, selamat datang! Duduk, duduk! Ha-ha…”

‘Kenapa aku tertawa seperti radio rusak, sih?!

Ayo, Alesha, elegan sedikit. Jangan kelihatan bodoh!’

Dimas duduk di kursi seberangku, masih dengan senyum yang—tolong—jangan semanis itu.

‘Untuk satu hal, semoga aku tidak memiliki penyakit jantung turunan. Duh, manisnya...’

“Ibu kamu bilang kamu akan mulai belajar bisnis keluarga minggu ini,” katanya.

“Ya, aku kan penerus satu-satunya,” jawabku dengan semangat palsu.

“Dan mulai hari ini, aku yang akan membantu kamu.”

...

‘Tunggu. Ng—eh.

Apa barusan dia bilang... dia yang akan mengajariku!?’

‘Itu artinya... aku akan banyak menghabiskan waktu berdua dengan Dimas! Tuhan, terima kasih.’

‘Oh, Ibu... aku sayang ibu. Seharusnya Ibu bilang dari awal!

Aku akan belajar bisnis dengan sukarela, bahkan rela ujian skripsi ulang juga tidak apa-apa!’

“Kamu Serius?” kataku, setengah syok, setengah berharap itu benar.

“Kenapa? Kamu tidak suka?” tanyanya tenang, dengan alis terangkat sedikit—gaya andalan pria penggoda.

“Suka!” jawabku terlalu cepat.

‘Astaga. Kecepatan level cahaya.

Seharusnya aku pura-pura berpikir dulu, agar terlihat keren.’

Dimas tertawa pelan.

‘Tuh, kan. Pasti di matanya aku seperti bocah lima tahun yang dikasih permen lalu ikut penculiknya.

Malu sekali, sumpah.’

‘Semesta memang suka bercanda kalau tujuannya menghancurkan ketenangan hidupku. Tapi, kali ini tidak akan kubiarkan kamu pergi lagi. Aku pasti akan menangkapmu dan menjadikanmu milikku.’

Aku mencoba terlihat profesional, tapi tangan sibuk mencabik-cabik sticky note. Dan kepalaku penuh rencana untuk menaklukkan hatinya.

"Kali ini aku tidak akan gagal!"

"Maksudnya?" Dia bertanya keheranan.

'Aah, astaga kenapa isi kepalaku keluar begitu saja.' Aku cepat mencari alasan yang masuk akal. "Ya, aku akan menjadi penerus yang berhasil mengembangkan bisnis ini."

"Kamu semangat sekali." katanya.

“Jadi, kapan kita mulai belajar?” tanyaku sok serius, menahan diri agar tidak melompat-lompat seperti kelinci.

Dimas menatapku lama.

“Serius kamu mau belajar? Aku pikir kamu akan merengek minta aku batalkan.”

‘Apa katanya? Kalau aku menolak, itu namanya kebodohan tingkat dewa.’

‘Jangankan belajar bisnis, disuruh ke bulan pakai baling-baling bambu pun aku mau—asal bersamanya.’

“Aku pikir sudah saatnya aku menjadi orang dewasa,” jawabku penuh keyakinan... dan sedikit drama.

Ia tersenyum samar.

“Kamu masih suka menulis, kan?”

‘Kenapa dari tadi dia tersenyum terus, sih?

Dikira aku badut apa?

Untung saja senyumnya manis. Jantungku jadi olahraga gratis tiap detik.’

“Ya. Sekadar hobi. Mengisi waktu luangku.”

“Hobimu masih sama, ya, Lesha.”

Ia terdiam sebentar.

“Kamu juga masih sama,” katanya, tersenyum lagi—lebih lembut dari sebelumnya.

Aku mendengus kecil.

“Beda dong. Sekarang aku lebih dewasa dan cantik.”

‘Sumpah, tadi aku pasti lupa membawa rasa malu.’

Kami mengobrol sebentar—atau lebih tepatnya, dia berbicara serius soal perusahaan,

sementara aku sibuk berjuang untuk tidak menatap wajahnya terlalu lama.

Ia bercerita tentang bisnis yang baru dikembangkan di luar negeri,

dan bagaimana Ibu memintanya membantu “mendidik” aku.

Lebih tepatnya, agar Pak Arman tidak naik tensi setiap kali aku memegang kalkulator.

“Kita mulai belajar besok. Ini akan menjadi ruangan kita,” katanya sambil tersenyum kecil.

“Nanti aku minta satu meja lagi untukmu. Kita pelan-pelan saja.”

‘Pelan-pelan...?

Kenapa kedengarannya... salah makna di otakku.’

“Pelan-pelan?” ulangku refleks, dengan nada ngeri.

“Hmm.” Ia tersenyum lagi. “Kita belajarnya pelan-pelan saja.”

‘Oh iya, tentu maksudnya belajar.

Alesha, fokus!’

Aku tertawa kering.

“Ha-ha… tentu. Kalau gurunya se-perfect ini, lembur setiap hari juga aku siap.”

Ia berdiri. “Hari ini aku ada rapat cukup lama. Jadi kamu masih bisa bebas. Sampai jumpa besok, Lesha.”

“Oke.”

Begitu pintu tertutup, aku langsung menelungkup di meja, menutup wajah dengan kedua tangan.

“Ya Tuhan…” desahku pelan.

‘Cinta pertama kembali sebagai mentor bisnis.

Ini jelas jebakan semesta.’

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Pulang

    Matahari siang merayap naik, menghangatkan permukaan jalan dan membuat bayangan pepohonan di sepanjang taman memanjang ke arah barat. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput yang baru saja disiram sprinkler taman. Alesha, Rangga, dan Raka telah menghabiskan setengah hari bermain, berlari, dan tertawa sampai kehabisan tenaga. Setelah makan siang sederhana di restauran dekat taman, mereka sepakat pulang lebih cepat sebelum panasnya hari membuat suasana tak lagi nyaman. Raka tertidur lebih dulu di kursi belakang mobil, bahkan sebelum mobil itu keluar dari area parkir taman. Anak itu benar-benar kelelahan setelah bermain kejar-kejaran dengan Alesha, membuat Rangga hanya bisa geleng-geleng saat melihat mereka berdua tadi sama-sama ngos-ngosan seperti sedang olahraga berat. Saat mobil melaju pelan di jalan kota, Alesha yang duduk di kursi depan juga tak kuat menahan kantuk. Sisa embusan AC yang dingin, hembusan angin lembut dari jendela, dan kenyamanan kursi mobil membuat kelopak matan

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Detektif dadakan

    Gerobak es krim berwarna biru pastel itu berdiri manis di bawah rindangnya pohon flamboyan. Payung kuning cerah menaunginya, bergoyang pelan tertiup angin siang yang hangat. Aroma waffle cone yang renyah bercampur wangi rumput yang baru dipotong. Setiap kali pedagang es krim menggeser gerobaknya beberapa sentimeter, lonceng kecil di sisi gerobak berdenting riang.Alesha, Rangga, dan Raka berjalan mendekat. Raka langsung berlari kecil sambil berjingkrak, kedua tangannya terangkat tinggi.“Om! Om! Mau es krim rasa cokelat, stroberi, sama mangga!” katanya semangat sambil menunjuk gambar tiga rasa sekaligus.Rangga tertawa kecil, menunduk mengusap kepala bocah itu. “Satu saja, Nak. Kalau tiga nanti perut kamu dingin semua.”Raka manyun, pipinya mengembung. "Ayah Ngak asyik."Rangga menyenggol bahu Alesha pelan. “Baiklah, tiga juga boleh, kok. Khusus hari ini.” bisiknya sambil mengedipkan mata jail. Ekspresinya sok serius, seperti sedang memberikan dispensasi khusus dari kerajaan es krim

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Bermain Bersama

    Perjalanan menuju taman berlangsung dengan cukup ramai. Raka tidak henti-hentinya bercerita tentang balonnya yang ia beri nama “Bobi”. Menurutnya, Bobi adalah sahabat barunya yang tidak boleh tersenggol sedikit pun. Alesha mendengarkan sambil sesekali menanggapi, sementara Rangga hanya tersenyum dari kursi pengemudi, seperti sedang menikmati pemandangan paling lucu di dunia. Setelah berhenti sebentar untuk membeli burger—di mana Raka menjatuhkan satu potongan daging ke pangkuannya lalu tertawa puas seolah itu kejadian paling lucu sedunia—mereka melanjutkan perjalanan ke taman kota. Begitu mobil berhenti di area parkir taman, udara segar dengan aroma rumput basah langsung menyapa. Pohon-pohon besar menaungi sebagian besar area taman, dedaunannya berayun lembut ditiup angin. Suara gemericik air dari kolam kecil di sisi kanan taman terdengar menenangkan. Beberapa keluarga sudah berkumpul dengan tikar, sementara anak-anak lainnya berlari-lari kecil mengejar gelembung sabun. Alesha tu

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Gagal Kencan

    Minggu pagi datang dengan keheningan khas kawasan perumahan mewah. Terdengar gesekan lembut angin yang menyusuri deretan pohon palem di sepanjang jalan, serta gemericik air dari air mancur kecil di taman depan rumah. Kebun yang mengelilingi rumah Alesha tampak segar oleh sisa embun; bunga-bunga bougainvillea yang tertata rapi di sepanjang pagar berbatu tampak mekar penuh, memantulkan warna-warna mencolok ketika matahari pagi menyentuhnya. Halaman rumput yang luas itu terbentang seperti karpet hijau, bersih dan terawat, memberikan kesan damai dan elegan sejak pandangan pertama.Alesha berdiri di depan cermin besar di kamarnya, terdiam sejenak sambil memperhatikan bayangannya. Gaun berwarna lembut membalut tubuhnya, jatuh mengikuti lekuk secara sederhana namun anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit gelombang alami di ujungnya, memberikan kesan santai namun tetap manis. Ia mengusap rambutnya ringan, memastikan tidak ada helai yang mencuat sembarangan.Sudah lama ia tidak ber

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Bunga Kertas

    Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian sore itu di mobil Rangga.Tiga hari yang aneh—tenang di permukaan, tapi penuh pusaran kecil di hati Alesha.Setiap kali mengingat tatapan Rangga di bawah cahaya jingga sore itu, jantungnya masih saja berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu di mata pria itu— sesuatu yang tidak berani ia akui.Namun, kehidupan tak berhenti hanya karena satu tatapan. Pagi kembali datang, tugas menumpuk, dan kopi tetap harus diseduh agar otak bisa diajak kompromi.Pagi itu udara masih lembap. Embun menempel di dedaunan kecil di depan rumah Alesha, berkilau seperti kaca di bawah cahaya matahari yang baru muncul. Dari dapur, aroma roti panggang bercampur kopi hitam menguar pelan. Alesha meneguk sisa minumannya yang sudah agak dingin, lalu meraih tas dan memeriksa kunci mobil di tangannya.Ketika ia baru saja hendak menuju garasi mobil, suara klakson pendek terdengar dari halaman depan. Suaranya tajam, tapi cepat—cukup membuat Alesha menoleh. Ia berkerut.‘Siapa

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Buayaku

    Langit sore perlahan memudar menjadi warna jingga keunguan. Awan tampak seperti kapas yang dilumuri cahaya senja, menggantung di atas gedung-gedung tinggi. Jalanan kota mulai dipenuhi lampu kendaraan yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang modern, sibuk namun indah. Di dalam mobil hitam milik Rangga, suasananya terasa hangat, namun juga tegang dalam diam.Deru mesin berpadu dengan musik lembut dari radio, nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk kendaraan di luar. Alesha duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai yang tak ia tunjukkan. Di sisi lain, Rangga masih memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya tak lepas menggenggam tangan Alesha. Cengkeramannya mantap—hangat, tapi juga terasa seperti sebuah isyarat halus: aku tahu, dan aku memperhatikanmu.Alesha menghela napas pelan, pandangannya kosong menatap lampu-lampu jalan yang memantul di kaca.‘Kenapa rasanya setiap kali aku mencoba melangkah, semesta malah kasih jal

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status