Pria itu tersenyum.
Senyum yang... yah, bisa dijadikan logo pasta gigi nasional. Ramah. Tenang. Hangat. Dan tetap sama seperti dulu. Bedanya, sekarang ia tampak lebih matang—dan lebih berbahaya bagi kestabilan detak jantungku. “Hai, Lesha. Lama tidak bertemu, ya?” katanya dengan nada lembut namun mantap sambil tersenyum. Nada yang… duh, dulu membuatku menulis puisi-puisi bodoh di buku catatan SMA. “Dimas?” Aku masih tidak percaya. “Kamu serius ini kamu? Maksudku—aku pikir kamu masih di luar negeri!?” ‘Apa ini… hadiah semesta yang datang terlambat?’ Ia tertawa kecil. “Iya, aku sudah pulang beberapa bulan lalu. Hanya belum sempat bertemu kamu.” Langkahnya masuk ke ruangan, elegan sekali—seperti aktor drama bisnis Korea. Kemeja putih, lengan digulung rapi, jam tangan hitam berkelas. ‘Ah… kalau tahu akan bertemu Dimas, seharusnya tadi aku berdandan. Menyesal menolak tawaran Ibu dari dulu. Mungkin inilah takdirku: menjadi istri Dimas. Win-win solution, kan? Happy ending!’ Aku buru-buru menegakkan badanku. Mencoba terlihat profesional. “Oh, iya. Hai! Eh, maksudku, selamat datang! Duduk, duduk! Ha-ha…” ‘Kenapa aku tertawa seperti radio rusak, sih?! Ayo, Alesha, elegan sedikit. Jangan kelihatan bodoh!’ Dimas duduk di kursi seberangku, masih dengan senyum yang—tolong—jangan semanis itu. ‘Untuk satu hal, semoga aku tidak memiliki penyakit jantung turunan. Duh, manisnya...’ “Ibu kamu bilang kamu akan mulai belajar bisnis keluarga minggu ini,” katanya. “Ya, aku kan penerus satu-satunya,” jawabku dengan semangat palsu. “Dan mulai hari ini, aku yang akan membantu kamu.” ... ‘Tunggu. Ng—eh. Apa barusan dia bilang... dia yang akan mengajariku!?’ ‘Itu artinya... aku akan banyak menghabiskan waktu berdua dengan Dimas! Tuhan, terima kasih.’ ‘Oh, Ibu... aku sayang ibu. Seharusnya Ibu bilang dari awal! Aku akan belajar bisnis dengan sukarela, bahkan rela ujian skripsi ulang juga tidak apa-apa!’ “Kamu Serius?” kataku, setengah syok, setengah berharap itu benar. “Kenapa? Kamu tidak suka?” tanyanya tenang, dengan alis terangkat sedikit—gaya andalan pria penggoda. “Suka!” jawabku terlalu cepat. ‘Astaga. Kecepatan level cahaya. Seharusnya aku pura-pura berpikir dulu, agar terlihat keren.’ Dimas tertawa pelan. ‘Tuh, kan. Pasti di matanya aku seperti bocah lima tahun yang dikasih permen lalu ikut penculiknya. Malu sekali, sumpah.’ ‘Semesta memang suka bercanda kalau tujuannya menghancurkan ketenangan hidupku. Tapi, kali ini tidak akan kubiarkan kamu pergi lagi. Aku pasti akan menangkapmu dan menjadikanmu milikku.’ Aku mencoba terlihat profesional, tapi tangan sibuk mencabik-cabik sticky note. Dan kepalaku penuh rencana untuk menaklukkan hatinya. "Kali ini aku tidak akan gagal!" "Maksudnya?" Dia bertanya keheranan. 'Aah, astaga kenapa isi kepalaku keluar begitu saja.' Aku cepat mencari alasan yang masuk akal. "Ya, aku akan menjadi penerus yang berhasil mengembangkan bisnis ini." "Kamu semangat sekali." katanya. “Jadi, kapan kita mulai belajar?” tanyaku sok serius, menahan diri agar tidak melompat-lompat seperti kelinci. Dimas menatapku lama. “Serius kamu mau belajar? Aku pikir kamu akan merengek minta aku batalkan.” ‘Apa katanya? Kalau aku menolak, itu namanya kebodohan tingkat dewa.’ ‘Jangankan belajar bisnis, disuruh ke bulan pakai baling-baling bambu pun aku mau—asal bersamanya.’ “Aku pikir sudah saatnya aku menjadi orang dewasa,” jawabku penuh keyakinan... dan sedikit drama. Ia tersenyum samar. “Kamu masih suka menulis, kan?” ‘Kenapa dari tadi dia tersenyum terus, sih? Dikira aku badut apa? Untung saja senyumnya manis. Jantungku jadi olahraga gratis tiap detik.’ “Ya. Sekadar hobi. Mengisi waktu luangku.” “Hobimu masih sama, ya, Lesha.” Ia terdiam sebentar. “Kamu juga masih sama,” katanya, tersenyum lagi—lebih lembut dari sebelumnya. Aku mendengus kecil. “Beda dong. Sekarang aku lebih dewasa dan cantik.” ‘Sumpah, tadi aku pasti lupa membawa rasa malu.’ Kami mengobrol sebentar—atau lebih tepatnya, dia berbicara serius soal perusahaan, sementara aku sibuk berjuang untuk tidak menatap wajahnya terlalu lama. Ia bercerita tentang bisnis yang baru dikembangkan di luar negeri, dan bagaimana Ibu memintanya membantu “mendidik” aku. Lebih tepatnya, agar Pak Arman tidak naik tensi setiap kali aku memegang kalkulator. “Kita mulai belajar besok. Ini akan menjadi ruangan kita,” katanya sambil tersenyum kecil. “Nanti aku minta satu meja lagi untukmu. Kita pelan-pelan saja.” ‘Pelan-pelan...? Kenapa kedengarannya... salah makna di otakku.’ “Pelan-pelan?” ulangku refleks, dengan nada ngeri. “Hmm.” Ia tersenyum lagi. “Kita belajarnya pelan-pelan saja.” ‘Oh iya, tentu maksudnya belajar. Alesha, fokus!’ Aku tertawa kering. “Ha-ha… tentu. Kalau gurunya se-perfect ini, lembur setiap hari juga aku siap.” Ia berdiri. “Hari ini aku ada rapat cukup lama. Jadi kamu masih bisa bebas. Sampai jumpa besok, Lesha.” “Oke.” Begitu pintu tertutup, aku langsung menelungkup di meja, menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Tuhan…” desahku pelan. ‘Cinta pertama kembali sebagai mentor bisnis. Ini jelas jebakan semesta.’Pagi yang cerah dan indah. Sinar matahari yang hangat perlahan menembus jendela besar di ruangan ini. Suasana damai membuatku hampir lupa bahwa tadi malam terjadi “perang besar” antara aku dan angka-angka di layar laptop. ‘Dasar menyebalkan.’ Aku ingin membuka jendela dan berteriak sekeras-kerasnya. ‘Tapi, aku tidak mau berakhir di rumah sakit jiwa. Jadi lebih baik kutahan saja.’ Ruang kantorku berada di lantai delapan belas, dengan dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian. Dari sini, gedung-gedung lain tampak seperti menara Lego, dan mobil-mobil di bawah terlihat sekecil semut yang sedang berbaris mencari remah kehidupan. Udara dari pendingin ruangan berhembus lembut, bercampur dengan aroma kopi instan dan sedikit bau toner printer—kombinasi sempurna untuk pagi yang biasa bagi para budak korporat. Aku duduk di meja paling dekat jendela. ‘Alasannya, supaya aku bisa loncat kapan saja kalau bosan. Sayangnya, logikaku masih berfungsi.’ Kupandangi bayang
Aku menatap layar laptop yang sudah menyala sejak sejam lalu.Kursor di layar terus berkedip—seolah sedang mengejekku. Angka-angka itu seakan menari seperti di pesta dansa. Laporan keuangan, hukuman dari Dimas karena aku kabur dari kantor tadi sore.Aku mendengus. “Diam, kau, kursor jahat.”Aku tidak bisa fokus. Sejak Rangga pergi dari kafe tadi sore, pikiranku terus dipenuhi kalimat itu:> “Dimas mungkin bukan orang baik seperti yang kamu kenal.”Aku menutup wajah dengan bantal. “Arghhh, Rangga! Kenapa sih harus ngomong kayak gitu!”Bagaimana mungkin Dimas—ya, Dimas yang aku kenal—yang baik hati, suka membantu, dan rela mengantarku pulang saat hujan, tiba-tiba jadi tersangka pembunuhan?‘Nggak mungkin. Serius, nggak mungkin.’‘Tapi kalau benar?’Aku mendadak gelisah. Ini sudah jam sembilan malam, tapi pikiranku lebih ribut dari pasar malam. 'Laporan, kasus pembunuhan… ke mana perginya kehidupanku yang tenang dulu?'Kakiku bergoyang resah, mataku menatap cangkir kopi di meja.'Maafkan
‘Rangga.’Nama itu seperti mantra sihir. Begitu terlintas di pikiranku, si empunya nama langsung criiing muncul di hadapanku.“Hai…” suaranya berat tapi hangat.‘Aduh, kenapa kupingku langsung bergetar ya.’Aku buru-buru menegakkan badan. “Hai…” jawabku, mencoba terdengar santai. Padahal di dalam kepala, aku lagi menjerit: ‘Ya Tuhan, terima kasih sudah mempertemukanku dengan makhluk tampan ini!’Dia menahan pintu kafe agar aku masuk lebih dulu. Angin dari AC langsung menerpa wajahku, membawa aroma kopi dan roti panggang.‘Aah, aroma surgawi.’Kami berjalan ke arah kasir. Musik jazz lembut mengalun di latar. Suara mesin kopi ssshhhhhh seolah berkata, selamat datang, wahai manusia penuh keresahan hidup.“Caramel latte atau cappuccino?” tanyanya tiba-tiba.Aku menatapnya curiga. “Kamu baru tanya, tapi gayanya kayak udah tahu jawaban aku.”Dia nyengir. “Feeling-ku bilang hari ini kamu pilih cappuccino.”“Feeling kamu benar,” jawabku cepat. “Mungkin kamu punya bakat jadi peramal.”“Ya, bis
Ada dua hal yang aku tahu pasti tentang dunia.Satu, tidak ada yang sempurna.Dua, tidak ada yang gratis.Segala sesuatu di dunia ini punya harga.Dan setiap kali kau mendapat sesuatu, ada hal lain yang hilang.Seperti aku sekarang.Aku bertemu dengan cinta pertamaku… tapi kehilangan kebebasanku.Sudah beberapa minggu ini aku ikut bekerja di kantor. Tapi otakku masih memantul-mantul setiap kali Dimas berbicara soal “rasio efisiensi modal kerja.”Dan rasanya, pekerjaanku hanya menambah pekerjaan karyawan lain.Aku yakin, kalau otak bisa mengeluarkan suara, bunyinya seperti bola basket memantul ke ring.‘Duk! Duk! Duk!’Otakku sudah seperti kereta api zaman dulu — berasap ke mana-mana.Tapi demi harga diri, cinta pertama, dan masa depan yang cerah (plus karena Mama masih sering mengawasi lewat CCTV kantor), aku tetap rajin datang.Ya, aku datang ke kantor dengan semangat membara.Niatnya PDKT, disamarkan dengan alasan belajar bisnis.Tapi hasilnya?Ya, begitu. Belajar bisnis, tapi yang
Hari pertama belajar bisnis… resmi membuat otakku gosong.Aku bersumpah, kalau otak bisa meleleh, pasti sudah jadi topping keju di atas roti bakar.Dimas dengan sabar menjelaskan hal-hal seperti margin laba kotor, efisiensi produksi, dan proyeksi pendapatan.Kedengarannya keren, sih, tapi di kepalaku hanya terdengar satu suara:‘Tolong… kapan istirahatnya?’“Dimas, boleh tidak kita istirahat sebentar?” tanyaku, menatap layar laptop yang tampak seperti lembar skripsi tanpa harapan hidup.Ia menatapku, lalu tersenyum lembut. “Baiklah, sudah hampir jam makan siang. Capek, ya?”“Tidak… lebih ke… hampir meninggal.”Ia tertawa. “Oke, kita istirahat. Mau ke mana?”“Café Latte & Light!” jawabku cepat.Tempat favoritku. Tempat paling ampuh menyembuhkan luka akademis dan trauma bisnis.Beberapa saat kemudian, kami sudah di sana. Tempat itu masih sama — aroma kopi, lagu lembut, dan cahaya yang menembus dari jendela-jendela kaca besar.Tempat ini adalah surga kecilku. Dan sekarang aku di sini… be
Pria itu tersenyum.Senyum yang... yah, bisa dijadikan logo pasta gigi nasional.Ramah. Tenang. Hangat.Dan tetap sama seperti dulu.Bedanya, sekarang ia tampak lebih matang—dan lebih berbahaya bagi kestabilan detak jantungku.“Hai, Lesha. Lama tidak bertemu, ya?” katanya dengan nada lembut namun mantap sambil tersenyum.Nada yang… duh, dulu membuatku menulis puisi-puisi bodoh di buku catatan SMA.“Dimas?” Aku masih tidak percaya.“Kamu serius ini kamu? Maksudku—aku pikir kamu masih di luar negeri!?”‘Apa ini… hadiah semesta yang datang terlambat?’Ia tertawa kecil.“Iya, aku sudah pulang beberapa bulan lalu. Hanya belum sempat bertemu kamu.”Langkahnya masuk ke ruangan, elegan sekali—seperti aktor drama bisnis Korea.Kemeja putih, lengan digulung rapi, jam tangan hitam berkelas.‘Ah… kalau tahu akan bertemu Dimas, seharusnya tadi aku berdandan.Menyesal menolak tawaran Ibu dari dulu.Mungkin inilah takdirku: menjadi istri Dimas. Win-win solution, kan? Happy ending!’Aku buru-buru men