Share

Bab4-North Forest

Pergi mengajukan diri ke medan pertempuran memang bukan hal yang mudah, sekalipun Alexia sudah bersemangat dan terlampau berani, ia perlu memikirkan perasaan ibu dan saudarinya, mereka telah lama hidup bersama. Meski kenyataannya Alex hanya sekedar anak tiri sebatang kara, orang-orang itu menyayanginya.

Mereka adalah hadiah terbaik yang tuhan berikan untuk mengisi kekosongan kehidupannya. Alex benar-benar bersusah payah meyakinkan diri sekali lagi.

Sejak tahu Alex mendaftar sayembara, Carlotte tentu marah, sampai sekarang wanita itu tidak berbicara sedikitpun, bahkan tak mau berlama-lama berselisih tatap dengan putri bungsunya.

Carlotte segera menyingkir pergi dari dapur saat mendapati kedatangan Alexia. Keterdiamannya membuat si bungsu sakit hati tentunya. Bukan bermakusd egois dan hanya mementingkan diri, tapi Alexia sadar kalau sebaiknya ia melakukan sesuatu untuk memerjuangkan keluarga daripada cuma menunggu hewan ternak beranak kemudian dijual. Sayembara itu adalah kesempatan langka walaupun harus menantangnya dengan nyawa.

"Ibu, jangan begini terus..."

Carlotte sontak menghentikan langkah, pandangan matanya berubah sinis bak tokoh antagonis dalam buku cerita tentang ibu tiri, "Batalkan saja dulu kepergianmu, baru kita berbaikan."

Alex sadar kalau Carlotte dan Helena menyayanginya, mereka marah bukan tanpa sebab, melainkan karena memendam kekhawatiran terhadap dirinya.

Rasa syukur terucap tulus dari batin Alexia, bahagia mengetahui masih ada orang yang mengkhawatirkan keberadaannya meski mereka sebenarnya tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Tapi ia terlalu naif, tidak mau menyadari dengan perasaan nyata.

"Aku ini bukan anak kandungmu, bukan saudari Helena! kita cuma kebetulan satu rumah karena ayahku, keluarga sedarah satu-satunya yang sudah tiada. Kalian seharusnya tidak sebegitu peduli padaku—"

Belum selesai Alexia melanjutkan perkataan, Carlotte sudah lebih dulu melayangkan pukulan pada sisi wajahnya, lantas tak segan memukulkan bertubi-tubi tepat pada punggung Alex yang berlari menghindar sambil menangis.

"Jadi selama ini kau tidak menganggapku sebagai ibumu?! kau pikir hubungan kita ini sebatas apa?!"

"Aku minta maaf, bu. Aku tidak bermaksud," mohon Alex sembari berlutut, tak peduli kalau tubuhnya harus terkena pukulan. Tapi kala gerakan berontaknya berhenti, ibu pun melembut tanpa berniat melakukan kekerasan.

Wanita itu turun perlahan, ikut bersimpuh sembari merengkuh tubuh anak tirinya, "Alexia, kau itu putriku, sama seperti Helena, tidak ada perbedaan di antara kalian. Tolong berhentilah membedakan dirimu, kita keluarga dan harus selalu bersama, maka dari itu tolong jangan pergi kemanapun. Turuti ibu kali ini saja."

"Tapi aku sudah berjanji," kepala Alex mendongak, matanya yang sembab terlihat jelas karena akhir-akhir ini sering menangis, "Aku janji saat ayah dimakamkan lima tahun lalu. Ibu dan Helena adalah prioritasku, kalian harus bahagia, sementara aku cuma ingin mencarikan kebahagiaan itu."

"Kau hanya mengejar uang, Alex. Kebahagiaan kami itu dirimu."

"Kalian tidak bahagia, makan ubi rebus setiap hari itu tidak menyenangkan walau selalu bersama-sama."

Carlotte tersenyum tipis mendengarnya.

"Ibu tolong, restui aku kali ini saja. Aku meminta doa agar bisa mendapatkan apa yang ku harapkan, itu demi kita semua."

•••

Perjalanan menuju hutan utara bagi para peserta sudah dipersiapkan oleh kerajaan. Tiga gerbong besar kereta pada akhirnya digunakan untuk mengantar mereka menuju lokasi terdekat perbatasan hutan tersebut. Tiap satu gerbong kemungkinan terisi dua puluhan orang, hampir semua orang berjenis kelamin pria.

Suasana di dalam kereta berbeda dari apa yang dibayangkan. Semua manusia di sana tampak sangat percaya diri, sama sekali tidak gentar meski mereka tahu akan menyambut kematian. Bahkan ada yang tak segan membawa anggur dan meminumnya dalam beberapa kali teguk, kemudian tertawa riang seolah membayangkan mereka semua akan pergi ke tempat pesta.

Seisi gerbong yang Alexia tempati dipenuhi pria berotot dengan tawa menggelegar. Mereka mengacau dengan terus mengejek orang lain mulai dari penampilan hingga cara bernafas, semua hal dijadikan bahan tertawaan oleh sekumpulan pria yang terlihat paling mendominasi tubuh besar.

"Hey, bocah!"

Kini gilirannya pun tiba.

Alexia menoleh merasa dipanggil pria bertubuh kekar yang memegang guci berisi anggur, ia pun mengelak, "Maaf, tapi umurku sudah 18 tahun. Bukan bocah."

Orang itu tertawa bersama komplotannya yang juga bertubuh kekar seperti petarung handal, "Apa yang membuatmu mengikuti kompetisi gila ini?"

"Aku mau hadiahnya," balas Alex yakin.

"Dengan tubuh seujung kelingking itu? kau yakin?" seketika tawa kembali terdengar, bahkan makin kacau.

Alexia masih menjawab dengan serius meski ditertawakan, "Tidak ada binatang buas di hutan utara, tak usah mengerahkan banyak tenaga, aku cuma perlu berhati-hati dan selalu fokus."

"Kau pikir itu benar? itu cuma rumor yang tidak jelas asal-usulnya."

"Lalu bagaimana dengan kalian? otot besar itu tidak akan berguna kalau yang ku katakan benar," ujarnya menantang balik.

"Paling tidak ada yang kami andalkan selain keberanian tak terbatas," mereka kembali tertawa keras, sengaja mengejek Alexia yang terlampau percaya diri tanpa memiliki keahlian bela diri sedikitpun. Padahal Alex sudah merasa sangat hebat hanya dengan memegang tombak dan beberapa jenis pisau di dalam tasnya.

"Aku punya pengetahuan," sela gadis itu tak mau kalah. Sedetik kemudian ia menyesal sudah menanggapi, karena ketimbang harus menghadapi orang-orang yang cuma menghibur diri dengan cara merendahkan orang lain, lebih baik ia diam, tenggelam, agar tidak dihiraukan atensinya.

Alexia menyadari ada perempuan lain selain dirinya yang berada di gerbong ini. Dia menutup kepala menggunakan tudung jubah kebesaran, tampak bola matanya bergetar disertai keringat bercucuran di pelipis. Tubuhnya kecil dan kurus, namun jauh lebih tinggi melampauinya. Karena sangat tertutup, hampir tidak disadari dia seorang wanita.

"Kelihatannya kau takut, kenapa ikut?" Alexia mendekati, mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya.

"Keterpakasaan," balas gadis berjubah itu, tudungnya ditarik semakin turun seakan tidak mengizinkan identitasnya terbongkar, "Rasanya aku seperti sedang menjemput ajal."

"Kau bisa bilang pada petugas kalau tidak mau ikut."

"Tidak, aku lebih baik mati di hutan itu ketimbang terus mendapatkan siksa di rumah."

"Ah, aku sedikit mengerti keadaanmu." Alexia tersenyum mencoba memahami, ia lantas mengulurkan tangan, "Karena hanya kita perempuan di sini, mari berteman. Namaku Alexia Sawyer."

Gadis itu menggeleng ragu, tudungnya tertelungkup semakin rapat, "Kau tak perlu mengenalku, kita akan mati."

"Setidaknya sebutkan nama supaya aku bisa mengenal arwahmu." Alexia tertawa, tentu saja hanya bercanda untuk mencairkan suasana muram di sekeliling gadis itu. Tapi sayangnya hal tersebut sama sekali tidak berhasil, terlihat dia semakin ketakutan akan sesuatu yang disebut kematian.

Alexia berdehem sembari mengulurkan tangan, tidak menyerah mendekati sosok gadis pemurung yang ketakutan itu.

"Jane Marellyn."

Alexia mengalihkan pandangan pada celah tirai jendela yang tersingkap, tampak cahaya mulai meredup, "Lihatlah Jane, tempat itu sudah di depan mata kita."

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status