Shana memeluk Raissa, mereka berbalut dengan pakaian hitam. Hari ini adalah hari dimana mereka akan melihat Razzan untuk terakhir kalinya.
Mereka menaburkan bunga di peristirahatan terakhir Razzan. Air mata tak henti hentinya mengalir dari matanya.
"Yang kuat ya, Razzan orang yang baik dan akan berada di tempat yang terbaik," ucap salah satu peziarah menenangkan mereka sebelum pergi dari sana.
Satu persatu orang mulai meninggalkan tempat pemakaman itu.
"Ayo pulang Raissa," ajak Shana.
"Sebentar, aku mau bilang sesuatu ke Kakak," ucap Raissa.
"Oke, tante tunggu di mobil ya," ucapnya seraya mengelus bahu keponakannya tersebut lalu beranjak pergi.
"Kak...," ucap Raissa berlutut memegang batu nisan Razzan.
Raissa menoleh saat seseorang memegang bahunya.
"Razzan pasti sedih kalo kamu nangis terus," ucap orang tersebut.
"Za, gue gak sempet bilang sama lo. Gue suka setiap lo gangguin gue, perhatian yang lo kasih ke gue dan sikap jail lo," ucapnya lagi seraya melihat ke makam Razzan.
"Gue tarik kata kata gue saat gue bilang gue mau lo berenti ganggu gue. Gue mau lo ke kelas gue setiap pagi seperti biasa."
"Kak Zara?"
"Kamu tau aku?" tanya Zara menatap Raissa, Raissa mengangguk menjawab pertanyaan Zara.
"Aku sering lihat foto kakak, di meja belajar kakak aku."
Pernyataan Raissa membuat Zara terisak dalam tangisnya. Ia ingin Razzan kembali, Ia merindukannya.
"Kakak kamu itu pinter, ganteng juga baik. Banyak yang suka sama dia, tapi dia malah lebih milih deket sama orang kayak aku." Ia tersenyum miris.
"Kakak bilang tadi jangan nangis, tapi kakak sendiri nangis," ucap Raissa membuat Zara mengusap air matanya tak ingin gadis itu kembali bersedih.
"Ya udah ayok pulang, oh iya. Razzan pernah bilang kamu mau masuk ke SMA Vidatra ya?" tanyanya Zara.
"Iya, tapi itu dulu pas kakak aku masih sekolah disana"
"Kamu harus tetep masuk sana dong, kan ada aku" Zara tersenyum tulus.
"Tapi.."
"Anggep aja aku kakak kamu"
"Beneran?"
"Iya dong."
Mereka berbincang berjalan keluar dari area makam, Zara memberikan nomor ponselnya pada Raissa dan berkata bahwa Raissa bisa menghubunginya kapan saja.
Perbincangan mereka setidaknya mengurangi sedikit rasa sakit karena kepergian Razzan. Tak lama, mereka harus berpisah karena mereka harus pulang ke rumah masing masing. Raissa masuk ke mobil dan melambaikan tangannya pada Zara lalu mobil tersebut melaju pergi.
Tak lama Zara menghela nafasnya, menoleh ke arah makam Razzan dan tersenyum miris.
'I love you Za' ucapnya dalam hati sebelum melangkahkah kakinya pergi.
"Tante, apa kata polisi dirumah sakit tadi?" tanya Raissa.
"Mobil yang menabrak kakak kamu tidak sepenuhnya salah, dia berjalan di jalur yang benar"
"Lalu, itu kesalahan kakak?"
"Bukan juga, kakak kamu menghindari anak yang akan menyebrang dengan tiba tiba" jelasnya.
"Bukannya seharusnya dia dimintai tanggung jawab? dia pembunuh kakak secara tidak langsung!" kesalnya.
"Sudah Raissa, gak boleh nyalahin siapa siapa, dia dibawah umur. Memang Tuhan menakdirkan seperti ini" ucap Shana menenangkan Raissa membuatnya diam.
Shana membuka kaca mobil disebelah Raissa untuk membiarkan udara masuk. Raissa memandangi jalanan sekilas lalu memilih untuk menutup matanya bersandar pada kursi mobilnya.
***
Seminggu telah berlalu semenjak kematian Razzan, Raissa dan Shana telah bisa sedikit lebih ceria walaupun masih sangat terpukul dengan kepergian orang tersayangnya itu.
"Tante! Pengumuman pendaftaran keluar!" ucap Raisa membawa laptopnya untuk diperlihatkan pada Shana.
"Wah! Kamu diterima di Vidatra, selamat ya!" ucapnya mengelus pipi keponakannya itu.
"Iya! aku seneng banget masuk ke sekolah ka-" kalimatnya menggantung.
Raissa teringat bahwa Kakaknya telah tiada.
"Kak Zara" sambungnya.
Shana yang paham akan keadaan memutar otak berfikir bagaimana cara membuat Raissa bisa melupakan hal yang menyedihkan baginya.
"Bagaimana kalo kita buat kue tart khusus untuk merayakan kelulusan kamu?" Shana berantusias.
"Boleh, red velvet ya?" Ia tersenyum.
Shana mengangguk membuat Raissa makin tersenyum lebar. Ia mematikan laptopnya menaruhnya lalu segera menuju dapur toko Shana untuk membantunya membuat kue.
"Tante, tante kapan akan menikah?" tanya Raissa membuat Shana memandangnya heran.
"Kenapa kamu nanyain itu?"
"Tante kan udah tua, butuh seorang pendamping" ucapnya.
"Kamu ini, anak kecil tahu apa soal menikah. Sudah, cepetan bantuin tante"
Kalimat yang diucapkan Shana membuat Raissa tertawa, Ia sangat sensitif jika seseorang membahas tentang pernikahan.
Mereka membuat kue dengan santai, sesekali perbincangan mereka menimbulkan gelak tawa untuk mereka.
Satu setengah jam mereka bergelut dengan bahan dan peralatan dapur, kini telah ada kue tart berukuran cukup besar di hadapan mereka.
"Wah, gak tega motongnya," ucap Raissa.
"Iya, gak usah dipotong. Pajang aja di galeri musium."
"Tante ini, tapi pantes ya dari tahun ke tahun pesenan kue tart tante dan pengunjung toko gak pernah sepi, tante hebat." Raissa mengacungkan jempolnya kepada Shana membuatnya tersenyum.
"Kamu ini bisa saja. Sana mandi, tante pesen makanan terus kita pesta" ucapnya.
"Tan, aku boleh ajak seseorang gak?"
"Siapa?" tanya Shana penasaran.
"Itu lho, foto cewek yang ada di meja belajar kakak."
"Kamu kenal? Razzan aja gak ngenalin dia ke tante," kesalnya.
"Kenal dong, boleh gak?"
"Boleh dong."
"Yey! Makasih tante cantik!" ucapnya sembari mencium pipi Shana lalu segera berlari meninggalkan dapur itu.
Shana hanya menggeleng gelengkan kepalanya seraya tersenyum. Ia senang Raissa bisa ceria kembali seperti ini.
Raissa segera bersiap, toko milik Shana berada di samping rumahnya. Ia berlari pulang untuk bersiap siap.
Sana menutup tokonya, Ia membalikkan tanda open menjadi Close. Hari ini dia akan menghabiskan waktunya bersama dengan keponakannya saja.
Raissa lekas bersiap siap, Ia mengeringkan rambutnya dengan hair dryer dan memoleskan sedikit lipgloss di bibirnya untuk melembabkannya.
Ia telah menghubungi Zara, dan di berkata bahwa dirinya akan datang.
Raissa mengambil ponselnya setelah ponsel itu berdering. Ia melihat layar pipih tersebut dan tertera sebuah pesan masuk dari 'Kak Zara'.
'Aku udah diluar nih' katanya.
Segera Raissa berlari keluar, benar saja. Zara telah berada diluar rumahnya.
"Hei," sapa Zara setelah melihat kehadiran Raissa yang baru keluar dari pintu rumahnya.
Raissa segera berlari ke arahnya dan menggandeng Zara untuk berjalan ke toko kue Shana.
"Kakak naik apa kesini?" tanyanya.
"Dianter Papa aku" jawabnya sembari tersenyum.
Mereka masuk ke Toko kue milik Shana.
"Jadi ini, gadis yang fotonya selalu dipajang di meja belajar Razzan?" goda Shana membuat Zara tersipu.
"Ayo duduk, anggep aja tante sebagai tante kamu sendiri" Shana mempersilahkan.
Mereka berbincang dan melakukan sebuah pesta kecil lengkap dengan makanan dan minuman yang dipesan oleh Shana. Razzan adalah topik pembicaraan utama mereka.
Shana menceritakan kebiasaan kebiasaan Razzan semasa masih hidup, Raissa bercerita tentang bagaimana Razzan selalu membuatnya tertawa dan Zara menceritakan bagaimana perilaku Razzan yang selalu menemuinya setiap pagi pagi sekali di kelasnya saat masih bersekolah.
'tok tok tok'
Ketukan pintu kaca Toko tersebut membuat mereka menghentikan pembicaraan mereka. Seorang pengantar paket memberikan sebuah kotak yang tak memiliki alamat pengirim.
Shana kembali ke Raissa dan Zara setelah menerima kotak tersebut dengan mimik bingung.
"Kamu ada pesan sesuatu Raissa?" tanyanya dibalas gelengan kepala.
"Dari siapa tante?" tanya Zara.
"Gak tau nih, gak ada alamat pengirim"
"Jangan jangan bom" celetuk Raissa berniat bercanda namun yang ada malah mendapat tatapan tajam Shana.
"Kamu ini kalo ngomong," datarnya.
"Iya maaf, yaudah buka dong tan."
"Iya tan," timpal Zara.
Shana membuka kotak tersebut dan terdapat sebuah foto Razzan yang dilukis dengan sangat realistis. 'sebagai permintaan maaf, maaf jika ini tidak cukup untuk membawanya kembali. Aku sangat menyesal.'
"Apa maksud semua ini?" heran Shana.
Raissa merebut kertas yang dipegang oleh Shana.
Zara melihatnya, mereka tenggelam dalam fikiran masing masing.
"Apa ini kiriman dari pengemudi mobil yang menabrak motor Razzan?" duga Zara.
"Mungkin"
"Sebenarnya dia gak usah lakuin ini, itu juga bukan kesalahannya. Tapi tante senang, dia memiliki empati pada kita dan melukis ini" ucap Shana.
"Lukisan itu, boleh gak Raissa pajang?" tanyanya pada Shana.
"Boleh, kita pajang saja di toko ini. Kalian berdua tolong ya pasang di tempat yang cocok ya, tante mau ngerjain kue pesanan" ucap Shana panjang lebar.
"Oke tante" jawab mereka bersamaan.
Raissa mengambil peralatan yang akan mereka gunakan sedangkan Zara mencoba menerka nerka dimna posisi yang bagus untuk meletakkan lukisan itu.
memandang lukisan itu tak sadar membuatnya tersenyum.
"Dulu lo selalu senyum kayak gitu ke gue, dan itu bikin gue kesel" Ia memasang wajah sebalnya pada lukisan tersebut.
"Tapi.. sekarang senyuman lo jadi hal yang paling gue kangenin. Lo bisa denger gak? Gue bilang gue kangen, biasanya lo bakal langsung besar kepala." monolognya.
"Kak? kakak ngapain?" tanya Raissa membawa paku dan palu di tangannya.
"Eh, gak ngapa ngapain," elaknya membuat Raissa mengangguk angguk.
"Ya udah, aku pasang pakunya dimana?" tanya Raissa.
Mereka bekerja sama memajang lukisan Razzan tersebut di dinding. Setelah bersusah payah, lukisan tersebut terpasang dan terlihat indah di ruangan itu. Lukisan Razzan yang tersenyum lebar membuat mereka kembali merasakan kehangatan seperti saat Razzan masih berada ditengah tengah mereka.
Raissa berada pada kantin sekolah Vidatra. Ia bersama dengan Farell, laki-laki itu menyeret Raissa dari rumahnya pagi pagi sekali."Kalo lo gak makan, gua gak izinin lo ke kelas." Farell mengancam."Lo ngeselin banget sih," kesal Raissa, menatap Farell datar."Siapa suruh lo buat gua nunggu, kemana lo kemarin?" tanya Farell meng-interogasi Raissa."Siapa yang nyuruh lo nunggu?" Raissa berkata dengan nada sewot sembari menyantap roti bakar yang telah Ia pesan."Lo?!" Farell menunjuk tepat didepan wajah Raissa."Ah!"Farell memekik keras ketika Raissa menggigir jari telunjuknya."Jangan nunjuk-nunjuk gue," Raissa berkata santai, memandangi Farell yang mengelus elus jari telunjuknya."Parah banget lo!" ujar Farell, sedang Raissa hanya tersenyum."Kenapa? mau bales? nih, gigit nih
Raissa dan Zevan kini berada dikebun belakang rumah Zevan. Tempat itu sangat sejuk dengan ditumbuhi beraneka ragam bunga. Bahkan, ada beberapa sayuran dan buah yang ditanam disana."Gue betah banget disini," ucap Raissa tersenyum seraya menghirup udara segar di tempat itu."Lo bisa kesini setiap saat kalo lo mau. Gua seneng lo disini." Zevan tersenyum tulus."Asem, tapi enak!" ujar Raissa tak menggubris ucapan Zevan. Ia memakan buah strowberry yang telah ia petik dan dicuci."Lo suka banget mengabaikan orang lain." Zevan berucap datar. Ia ikut memakan strowberry di atas meja, yang memisahkan Raissa dan dirinya."Bukan suka mengabaikan, tapi... gue nyimpen energi buat dipergunakan pada hal yang lebih penting." Raissa berkata santai, masih asik memakan buah dihadapannya."Ck." Zevan berdecak."Den Zevan, Non, ini minumannya," ucap seorang a
Raissa duduk dengan gelisah dikamarnya, Ia memandangi ponselnya dengan bimbang. Apakah dia harus menghubungi Zevan atau tidak.Tadi sepulang sekolah, Ia tahu dari teman temannya bahwa Zevan tidak mengikuti pelajaran seusai istirahat. Ia pulang entah karena apa.Raissa meminta nomor Zevan dari teman temannya, Ia ingin menghubunginya menanyakan apa yang terjadi. Namun, apakah pantas? Bagaimana jika itu menyangkut urusan pribadinya.Raissa tak tahan lagi, Ia mengambil ponsel diatas ranjang disampingnya. Segera Ia memencet kontak nomor Zevan dan memanggilnya.Tut... Tut... Tut...Raissa menunggu panggilan tersebut diangkat, dan tak sampai se-menit. Kini seseorang dari seberang telepon mengangkat suaranya."Halo?""Halo, Zevan. Ini gue Raissa," ucap Raissa dengan cepat."Kenapa Rai?""Lo tadi pulang? L
"Hi Rai, Hi Andhin."Zevan menyapa Raissa dan Andhin yang baru saja keluar dari pintu kelasnya."Eh hi," sapa balik Andhin seraya melambaikan tangannya pada Zevan dengan kebingungan."Dia Zevan," ucap Raissa memperkenalkan Zevan pada Andhin."Kok lo bisa kenal sama cowok cowok ganteng di sekolah ini sih?" Andhin menarik Raissa dan berbisik padanya."Sstt!" ucap Raissa meletakkan jari telunjuk di bibirnya untuk menyuruh Andhin diam.Zevan mengerutkan dahinya melihat kedua gadis itu."Hehe, ada apa?" tanya Raissa pada Zevan setelahnya."Mau ke kantin bareng?" tawarnya."Mau!" Andhin menjawab berantusis membuat Raissa memandangnya datar."Dia ngajak gue, bukan lo!""Andhin juga boleh ikut kalo mau," ucapnya dengan tersenyum."Tuh kan! Sew
Pagi hari di SMA Vidatra, siswa siswi mulai berdatangan untuk menjalani rutinitas belajar seperti semula.Murid baru pun akhirnya dapat melakukan aktifitas belajar normal setelah masa orientasi selesai.Raissa melambaikan tangan pada Shana, lalu sang Tante segera pergi dari tempat itu. Raissa berjalan dengan senyuman di bibirnya, Ia bersemangat untuk bersekolah."Rai!" Sebuah panggilan membuat Raissa mengedarkan matanya untuk mencari siapa yang memanggilnya."Aduh, kenapa harus ketemu dia pagi pagi sih," gumam Raissa dengan sedikit menunduk.Zevan lah yang memanggilnya, dan kini berlari kearah Raissa. Raissa masih merasa sedikit merasa canggung, karena insiden buah kelapa yang jatuh di pantai kemarin."Iya?" katanya."Ayo masuk bareng," ucap Zevan, Raissa mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan memasuki gerbang sekolahnya.&nbs
"Makasih," ucap Raissa pada Farell seraya mengembalikan helm yang telah Ia pakai."Sama sama."Raissa diam, begitu juga dengan Farell. itu berlangsung hingga hampir satu menit membuat Raissa mengerutkan dahinya."Nungguin apa?" tanya Raissa."Sana masuk," ucapnya. "Atau lo mau gua mampir?""Gak!" Raissa segera berbalik dan masuk ke rumahnya, tak melihat kepada Farell sama sekali dan langsung menutup pintu."Cih." Farell terkekeh, Ia menyimpan helm yang Ia pegang di belakang motor, lalu segera pergi dari halaman rumah Raissa."Ish, lama lama darah tinggi gue," ucap Raissa mengintip dari balik tirai jendela."Kamu lagi apa?""Astaga!" Raissa terkaget. "Tante ngagetin Raissa aja!" ujarnya."Orang tante nanya baik baik." Tante Shana memasang wajah malasnya."I