Share

Kesunyian Tiga Jiwa

Menatap tetes salju yang jatuh satu-satu, ia tangkupkan kedua telapak tangannya ke bawah dagunya, membiarkan tetes-tetes itu sesaat berada di sana lalu ia sentuhkan ke pipinya. Ada kekosongan menyelimuti raga. Ada sesuatu yang hilang saat ia menyentuh dan merasakan kelembutannya. Di mana tangan-tangan itu? Tangan yang dulu senantiasa merengkuhnya dalam hangat kasihnya. Tangan yang dengan setia membantunya menapaki masa kecilnya yang suram. Tangan yang membelai rambutnya saat ia berada di pangkuannya atau menjelang tidurnya dengan disertai sebuah kecupan manis di keningnya. Pun tangan yang sama yang senantiasa menggandengnya saat mereka berjalan-jalan bersama. Bahkan di sini, di sepanjang Rue du Chateau yang menyimpan sejuta kenangan di hatinya. Ia pernah di sini bersamanya, berfoto berdua di depan patung Nostardamus yang kini ada di sampingnya, tertawa-tawa memandangi lalu lalang orang yang lewat di depan mereka, makan malam bersama di restoran di tengah temaramnya lampu-lampu yang mengelilinginya, pun bercakap-cakap seraya memandangi langit dari balik kaca diiringi sentuhan lembut saat ia merebahkan diri di sisinya. Di mana ia kini berada? Apakah semuanya sekedar mimpi belaka?

”Tak usah kau cari apa yang tidak akan kau temui. Hidup bukan untuk disesali ataupun dicacimaki. Cobalah tersenyum pada dunia dan lupakanlah segala hal yang telah membuatmu terluka. Kau putriku, Nia. Sedari kecil aku mengasuh dan menyusuimu selayaknya anakku sendiri. Jadi, anggaplah aku sebagai ibu kandungmu dan mari kita lupakan kesedihan-kesedihanmu itu. Tersenyumlah, Nia.”

Mama. Wanita itu, betapa tulus dan luasnya cinta kasihnya padanya hingga ia ingin selalu berada di dekatnya dan mendengarkan kata-kata bijak nan lembutnya yang membuat hatinya terasa damai. Saat-saat yang mereka lalui bersama sangatlah indah dan tak tergantikan oleh apapun. Wanita itu pula satu-satunya alasan yang membuatnya ingin tetap hidup sekalipun masih sering dirasakannya keperihan yang amat sangat tiap kali ia teringat asal-usulnya. Saat ia menatap mata beningnya, senyum tulusnya, juga kata-kata lembutnya ia merasa seakan-akan telah menemukan apa yang selama ini dicarinya – sesuatu yang dapat mengisi kekosongan jiwanya. Mama adalah harta paling berharga dan anugerah terindah yang pernah dimilikinya.

 Tapi ia tak pernah menyangka takdir begitu kejam hingga dengan cepatnya merenggut semua miliknya yang tersisa. Kanker otak yang menggerogoti wanita itu membuatnya tak mampu bertahan hidup lebih lama lagi. Dan ia pun harus menanggung luka karena ditinggalkan wanita yang amat dicintainya. Ia kehilangan pegangan. Kehilangan tempat bertanya. Kehilangan curahan kasih dan cinta. Tak akan ia dapati lagi keindahan yang dulu sempat menghiasi kesunyian dan kesendiriannya. Kenyataan pahit ini seolah-olah membuatnya terlempar kembali ke masa lalunya dan mengingatkan tentang siapa dirinya sebenarnya – manusia terbuang yang tak berharga, bahkan di hadapan ibu kandungnya sendiri.

Dan setelah semua hal pahit ini terjadi, haruskah ia berjalan sendiri atau memilih untuk kembali? Pulang ke mana? Haruskah ia pulang ke rumah yang dulu sempat membuatnya merasa dihargai dan diperlakukan layaknya seorang putri raja tapi akhirnya pun membuatnya kembali tersadar tentang jati dirinya – seorang Titania –  yang tak berarti apa-apa. Seorang gadis malang yang telah terlahir tanpa biodata, tak jelas lahir di mana, pun tak diketahui siapa ayah ibunya. Bagaikan sampah hidup yang ingin dimusnahkan oleh wanita yang tak menginginkan kehadirannya. Ia tahu masih ada Al yang cintanya kepadanya tak jauh berbeda dengan mama. Jalinan perasaan di antara mereka berdua melebihi jalinan sesama saudara kandung. Sangat dekat. Telah lama ia hidup dalam penjagaannya dan menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya bersamanya. Berlibur ke Eropa bersama-sama. Pulang bersama. Menghabiskan liburan musim panas bersama. Naik sepeda bersama. Tertawa bersama. Bahkan sampai dewasa ketika Al masih sering mendapati dirinya berlinangan air mata menangisi kehampaannya akan hidup Al akan ikut hanyut dalam kepedihannya. Mereka menangis bersama-sama.

Tetapi hanya karena itukah ia harus kembali?

Sayup-sayup suara-suara yang dulu hadir di kehidupannya kini datang lagi menghampirinya, menyekap, dan menahannya untuk tidak melakukan apa-apa:

[ Aku lari dari kerumunan manusia dan memilih tinggal di sini

- di dalam gua kesendirian yang hanya ditemani udara dan kesunyian - 

Karena debu dan abu lebih ksatria daripada hati manusia

Kematian ini lebih membahagiakan daripada reruntuhan mimpi-mimpi yang tak lagi kumiliki. ]

Disekanya kelopak matanya yang mulai basah. Baru disadarinya bahwa ternyata ia sangat egois, meninggalkan Bro-nya yang saat ini sama-sama sedih dan terluka kehilangan mama. Tapi, tidakkah lebih egois jika ia terus-terusan membebani laki-laki yang sama sekali tak ada hubungan darah dengannya? Bahkan jika Al mengabaikannya tak akan ada yang menyalahkannya karena laki-laki itu tak punya kewajiban apapun terhadapnya.

* * *

Satu hari, dua hari, tiga hari, seminggu... hingga sebulan Ifa menunggu. Nihil. Tak ada surat panggilan kerja. Suntuk. Diletakkannya rajutan yang ada di tangannya. Jenuh. Tumpukan buku di rumah sudah habis ia baca. Pekerjaan rumah juga sudah diselesaikannya. Dakwah dan organisasi yang biasanya menyita waktunya kini ternyata tetap saja memberi ruang kosong setelah ia tak lagi menjalani kuliah. Rumah sepi. Dua adiknya, Farhan dan Yahya pergi kuliah dan sekolah. Ummi berdagang pakaian ke pasar seperti biasa dan baru pulang nanti sore.

Betapa susahnya mencari pekerjaan. Sudah mencoba berwiraswasta tapi gagal terus di tengah jalan. Ingin kerja di perusahaan besar tapi peraturannya tidak toleran dan membahayakan eksistensinya sebagai muslimah. Ingin membantu bundanya tapi malah dilarang dan disuruh tinggal di rumah saja. Susah. Kalau terus-terusan begini sama saja dengan tak membuat perubahan apa-apa untuk kehidupan perekonomian mereka.

Ifa menghela nafas panjang. Sekilas dipikirkannya deretan nama-nama lelaki yang pernah mampir ke telinganya. Harun, Abdurrohman, Anshori, Didin... Tidak. Ia belum ingin menikah. Masih ada banyak hal lain yang harus ia kerjakan. Ia belum siap.

* * *

Al mendapati rumahnya sunyi seperti biasanya. Tak ada yang menyambutnya kecuali satpam, sang penjaga pintu gerbang rumahnya dan para pelayan yang setia mengabdi sejak bertahun-tahun lalu pada keluarganya. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Dilepasnya ikatan dasi yang melilit lehernya. Setengah terpaksa dilepasnya pula sepatu kulit hitam di kakinya. Kelelahan terpancar dari wajahnya yang kusut.

Ia duduk terpekur.

Segala hal yang terjadi pagi tadi masih menyisakan keterkejutan yang tak bisa dimengerti.

Pertemuan tadi... begitu berbeda dengan yang ia duga. Ia terpana.

“Jack? Benarkah kamu, Jack?“ tanyanya, tak percaya dengan penglihatannya. Ditatapnya seraut wajah teduh penuh cinta yang sudah lama dirindukannya itu. Ia gembira, sekaligus bingung. Gambaran sahabatnya yang dikenalnya – seorang pemuda berwajah keras tetapi berhati lembut dengan penampilannya yang khas: rambut gondrong, sepatu butut, jins yang rombeng di sana sini, kaos yang kusut, dan kumis yang jarang dicukur – begitu berbeda dengan kenyataan yang ditemuinya sekarang. Wajah yang kini berdiri di depannya begitu berbeda dengan wajah seorang jurnalis yang ia kenal dulu. Penampilan sahabatnya itu sekarang terlihat begitu bersih, rapi, wangi, dan tampak terurus. Sinar matanya memancarkan ketenangan. Dan yang membuatnya semakin tak percaya adalah sesosok balita yang sedang menggelendot manja di sampingnya.

“Benar. Aku Jack, teman setiamu dulu dan sekarang. Kenapa? Ada yang aneh denganku?” Jack tersenyum seraya mengulurkan tangannya. Hangat. Al segera menyadari keterkejutannya. Mereka bersalaman dan berpelukan erat.

”Jack... Jack...” dengan terbata-bata Al memanggil nama sahabatnya itu. Ia tak kuasa menahan air matanya. Tidak ada yang tahu bahwa menemukan seorang sahabat seperti dia adalah sebuah kebahagiaan di tengah kerapuhan hatinya. Jack paham. Ia membiarkan Al memeluknya sepuas hatinya. Bersahabat lama sewaktu mereka kuliah telah cukup membuatnya memahami begitu dalam tentang kepribadian Al. Hingga tiba-tiba...

”Abiiiiiii...” merasa diacuhkan balita di sampingnya merengek-rengek pada Jack. Al menoleh.

Is he your son? Kamu sudah menikah, ya?“ Al meninju bahu sahabatnya itu. “Kenapa tidak mengundangku?“ tanyanya dengan sedikit gusar. Jack hanya tersenyum dikulum.

“Umurnya dua setengah tahun,“ jawab Jack seraya mencium pipi balitanya itu.. “Ayo kasih salam sama Om Altair,“ suruhnya pada balitanya itu.

Al tersenyum dan bersalaman dengan sosok mungil itu.

Hello, namanya siapa? Aduh, manisnya.“ Tangannya menjawil kedua pipinya  yang lembut. Sosok kecil itu tertawa terkekeh-kekeh.

“Ah – mad Ya – sin ,“ lidahnya yang masih cadel berusaha mengeja sebuah nama.

Dahi Al mengernyit. “Kok, kayak nama orang Arab?“ ia menatap Jack penuh tanda tanya.

Jack mengangguk. ”Nanti aku ceritakan,” katanya, “sebelumnya, maaf kalau kedatanganku mengganggu kesibukanmu dalam bekerja.“

”Tak apa. Lagi pula aku sedang tidak punya semangat untuk bekerja. Kamu datang pada saat yang tepat. Aku sedang jenuh. Kedatanganmu membawa kesegaran baru bagiku,” tukas Al dengan nada santai.

Jack melihat mata Al yang sayu.

”Aku sudah tahu semuanya. Maafkan aku kalau mungkin terlambat untuk mengucapkan rasa turut berdukaku atas kepergian mamamu. Semoga kamu tegar menghadapi kenyataan itu.”

Al diam sejenak, sekilas matanya memandangi keadaan di lobbi hotel yang sedikit ramai. ”Kita cari tempat lain saja, yuk. Atau kamu sudi untuk berkunjung ke apartemenku? Rasanya ngobrol di sana lebih rileks,” ia menawarkan diri. Jack tak keberatan.

“Kamu tunggu sebentar. Aku titipkan si kecil ini dulu pada ibunya,” kata Jack seraya mengangkat balitanya.”

Al teringat sesuatu, “oya, mana istrimu? Kenapa kau tidak mengenalkannya padaku?”

Jack cuma mendelik sembari tersenyum lebar. “Dia sedang istirahat di kamar. Lagi pula, aku takut kalau aku mengajaknya ke sini kamu nanti terkesima pada kecantikan pribadinya.”

Al menatap Jack gemas.

“Sejak kapan kamu menjadi begitu pencemburu?“ oloknya.

“Tentu saja sejak aku jatuh cinta padanya, bodoh,” balas Jack lalu ia pun meninggalkan Al yang masih ingin banyak bertanya padanya. Selang beberapa menit ia kembali lalu pergi berdua dengan Al ke apartemennya. 

Di dalam mobil yang sedang melaju mereka tak henti-hentinya bercakap-cakap, bercanda, dan tertawa melepas kangen. Suatu bentuk keakraban yang telah lama tidak dirasakan oleh Al sehingga pertemuannya dengan Jack benar-benar memberikan kesegaran baru baginya. Mereka dulu berteman akrab. Al adalah tipe seorang pria yang tertutup dan suka melawan arus. Selama kuliah di California hanya Jack-lah satu-satunya teman yang benar-benar bisa memahami dirinya. Jack bahkan sering mendukung semua tindakannya tanpa diminta. Di saat teman-teman lain menjauhinya karena kelebihsukaannya menyendiri di perpustakaan pribadinya daripada mengikuti hingar-bingar kehidupan malam dan pesta-pesta gila mereka, Jack akan membenarkan keputusannya. Di saat teman-temannya yang suka memamerkan kejantanan dan mengobral cinta dengan banyak wanita mengejek dan menyebutnya ’banci’, Jack-lah yang datang dan memberinya pengertian bahwa kejantanan sejati adalah jika ia bisa menjadi pelindung kehormatan wanita dengan tidak mempermainkan mereka. Wajarlah bila kemudian Al menganggap jack sebagai sahabatnya yang teristimewa dan persahabatan di antara mereka pun semakin terjalin dengan eratnya.

Jack memang tipe laki-laki yang teguh dan bijak. Dulu sewaktu masih kuliah di Amerika hampir tiap malam Jack dengan setia datang ke sekedar untuk mengajaknya bercakap-cakap tentang banyak hal ataupun belajar bersama. Ruang apartemen mereka yang bersebelahan membuat mereka leluasa menjalin hubungan. Obrolan panjang mereka yang tak pernah kehabisan ide adalah hal yang memberikan kesenangan tersendiri bagi Al yang suka mengurung diri di dalam kamarnya dan berkutat dengan buku-bukunya. Jack tak segan-segan menghadirkan lelucon-lelucon baru yang kadang-kadang mampu mengubah suasana beku di apartemennya menjadi cair dan ceria.

Dan kini Jack hadir dengan penampilan yang amat berbeda. Mata yang begitu teduh. Wajah yang bersinar cerah. Rambut yang telah terpangkas rapi, tidak awut-awutan seperti dulu lagi, gerak  tubuh yang berwibawa, kata-kata yang lebih lembut dan bijak. Pun beberapa helai rambut yang tumbuh di dagunya yang tampaknya terpelihara.

Al jadi ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan baru sahabatnya.

 ”Jack... ”

”Ya?”

”Aku penasaran siapakah wanita yang telah berhasil menakhlukkan hatimu hingga kau tak lagi menjadi laki-laki gelandangan seperti yang kukenal dulu. Ia pasti wanita yang sangat istimewa, ya. ”

Al ingat bahwa Jack bukanlah tipe laki-laki yang mudah jatuh cinta meskipun banyak gadis yang memujanya dan menginginkan Jack menjadi kekasihnya. Wajar bila ia berpikir bahwa wanita yang telah diperistrinya haruslah wanita yang berkepribadian menarik dan berwatak kuat hingga Jack bisa tergila-gila padanya. Dalam bayangannya pastilah wanita itu benar-benar memiliki sejuta kelebihan yang tak dimiliki oleh wanita-wanita lain.        

 ”Ia gadis yang sederhana, Al. Anggun dan keibuan. Aku melihatnya saat dalam perjalanan meliput berita ke Indonesia. Kami satu pesawat.“ Al mengangguk-angguk. Jack meneruskan ceritanya.

“Bukan kecantikan semu atau make up seronok ala gadis-gadis Eropa yang membuatku terpesona. Bukan, Al. Tapi karena aku melihat sesuatu yang istimewa dari dalam dirinya. Sesuatu yang mempesona, pancaran dari kecantikan jiwanya. Keteguhan. Sikap yang terjaga. Kedewasaan. Sekalipun aku hanya bisa menangkapnya sekilas karena saat itu ia dijaga oleh seorang saudara laki-lakinya dan aku lebih banyak bercakap-cakap dengan saudaranya itu. Tapi aku tidak ingin mundur. Kutemui orang tuanya di rumahnya. Selang tiga hari kemudian aku langsung melamarnya.“

Al hampir tersedak mendengarnya.

What? Tiga hari? Fantastic. Kau benar-benar gila, Jack. Puluhan gadis yang memujamu saja kau tolak habis-habisan. Lalu bisa-bisanya kau jatuh cinta semudah itu dan langsung melamarnya.”

”Hanya butuh keyakinan untuk melangkah, Al. Itu yang diajarkan oleh ayahnya padaku. ”

”Keyakinan? Keyakinan seperti apakah yang kau maksud.”

”Islam.”

Tawa Al langsung menguap. Raut mukanya menunjukkan kalau ia benar-benar terkejut dan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Agama. Baru kali ini kata itu terasa begitu mengusiknya dan membuatnya bertanya-tanya tentang jati dirinya yang ternyata jauh dari ajaran agama mana pun. Seingatnya sepanjang hidupnya ia bukanlah penganut yang taat pada salah satu agama. Sewaktu berada di India ia melihat kaum Hindu menari di kuil ia turut berdoa bersama mereka. Sewaktu berlibur ke Cina dan ia mendapati kaum Budha yang berdoa dengan hionya maka ia pun juga turut serta dalam peribadatan mereka. Selama ini ia menganggap semua itu hanyalah ritualitas belaka. Tidak lebih. Ia percaya Tuhan itu ada. Tapi dalam hidupnya jarang terlintas keinginan untuk mempertanyakan keberadaan-Nya. Ke gereja pun hampir tak pernah dilakukannya kecuali saat harus menghadiri upacara kematian atau pernikahan teman dan relasi bisnis mama papa. Lalu sekarang tiba-tiba Jack datang dengan prinsip baru yang mengusik keterasingannya akan agama. Bukan, bukan agamanya yang membuat Al bertanya-tanya tetapi efek perubahan yang dilihatnya bahkan saat baru pertama kali ia bertemu Jack di lobbi hotel tadi. Jack yang dulu tak suka mengobral cinta dan dingin terhadap wanita. Jack yang gila kerja dan menikmati kesendiriannya dengan berpetualang ke berbagai negara untuk meliput berita. Jack yang bersumpah tak akan menikah seumur hidupnya karena trauma oleh perceraian mama papanya... Lalu kenapa dengan begitu mudahnya Islam mengubah jalan hidupnya hingga berani menggantungkan mahligai rumah tangganya pada seorang wanita yang bahkan belum dikenalnya. Kepercayaan. Keyakinan. Adakah kunci yang lebih ampuh untuk mengikatkan cinta selain rasa yakin dan percaya? Sebegitu agungkah Islam hingga Jack rela merombak identitas lamanya dan sebisa mungkin menyelaraskannya dengan ajaran agama barunya?

Kebimbangan menyelimuti Al. Apakah bedanya Islam dengan yang lain? Jack begitu kelihatan bahagia sekali dengan kehidupan barunya. Sahabatnya itu selalu berpikiran bijaksana. Jadi keputusannya untuk memeluk islam dan menikahi seorang gadis muslim pastilah sudah direnungkan benar-benar olehnya dan tentu berdasarkan pemikiran akal sehatnya. Dan sekarang bagaimana dengan dirinya? Apakah ia juga akan mengikatkan hidupnya dengan jalan menikah? Wanita manakah yang akan ia nikahi? Dari mitra kerja, pegawai kantornya, teman kuliah, hingga sekretarisnya tak ada yang menambat hatinya. Mereka cantik-cantik, ia tahu itu. Tapi kecantikan tak bisa menjamin kebahagiaan sebuah rumah tangga. Ia menginginkan seorang wanita yang bisa mencintai dengan setulus hati. Bukan hanya kepadanya. Tapi juga kepada Titania.

“Menurutmu, apakah aku masih pantas untuk menikah?“ tanyanya ragu-ragu sekaligus malu-malu pada Katherine tadi siang saat mereka berdua sedang punya waktu untuk mengobrol bersama.

“Kenapa Bapak tanyakan hal itu?“ Katherine mengerutkan alisnya, heran atas pertanyaan bosnya. “Tentu saja masih. Menikah itu kan tidak memandang umur, Pak. Bahkan kalau Bapak sudah seperti kakek-kakek pun masih berhak kok, untuk menikah. Siapa juga yang akan melarang,“ jawabnya ceplas-ceplos. Itulah yang disukai Al dari sekretarisnya ini. Katherine bisa profesional sekali saat bekerja, tetapi saat ngobrol mereka bisa berbicara layaknya teman sebaya sehingga pembicaraan pun mengalir apa adanya dan terbuka.

“Tetapi... aku takut tak bisa mencintai sepenuh hati. Bahkan aku sering bertanya pada diriku sendiri sebenarnya apakah aku masih pantas untuk mencintai sedangkan aku adalah laki-laki yang tak pantas untuk dicintai.“

“Ah, itu pasti cuma perasaan Bapak saja. Siapa bilang Bapak itu tak pantas untuk dicintai. Padahal Bapak kan orang yang baik, perhatian pada bawahan, lembut, bijaksana, dan... tidak pelit. Apa lagi yang kurang?”  

“Aku tak sebaik yang kau kira,“ tangkis Al. “Aku laki-laki yang suka menyia-nyiakan hidup tanpa sanggup untuk berbuat apa-apa. Tak akan ada wanita yang mau menikah dengan laki-laki sepertiku.“

“Siapa bilang? Bapak terlalu rendah diri. Banyak, kok, relasi-relasi wanita Bapak yang naksir sama Bapak. Bapak saja yang kurang membuka diri terhadap mereka. Tiap kali ada pesta-pesta atau saat jamuan makan mereka mencoba mendekati Bapak dan mengajak Bapak bicara banyak hal, pasti Bapak cuma menanggapinya secara basa-basi tanpa menunjukkan ekspresi tertarik sama sekali, melirik pun tidak. Giliran dikirimi bunga atau diajak makan malam bersama Bapak cuma menampik dengan halus saja, belum ada satu pun yang Bapak terima. Heran saya, wanita-wanita sukses seperti mereka kok nggak ada satu pun yang memikat hati Bapak. Akhirnya mereka jadi mengundurkan diri satu demi satu karena makan hati dengan penolakan Bapak. Tetapi anehnya tiap ada yang mengundurkan diri pasti ada lagi wanita-wanita baru yang tak henti-hentinya menanyakan ini itu tentang Bapak pada saya.“

“Wah, kalau begitu kamu senang dong karena Bosmu  punya banyak fans. Ternyata aku tidak kalah terkenal dengan para selebritis di tivi-tivi itu, ya.“

“Senang apanya? Sebagai sesama wanita saya malah merasa kasihan dan kewalahan untuk menjawab telepon-telepon mereka karena tak tahu kata-kata apa yang pantas untuk mewakili pernyataan bahwa Bapak tidak ada keinginan sama sekali untuk menerima atau memasukkan mereka lebih dalam ke kehidupan pribadi Bapak. Saya dapat membayangkan raut wajah kecewa mereka atas penolakan Bapak. Padahal di dunia bisnis mereka sudah membuktikan kehebatannya sebagai wanita-wanita sukses yang etos kerjanya bisa disejajarkan dengan pria. Sayangnya penolakan cinta Bapak pada mereka mengurangi nilai kesuksesan mereka yang sebenarnya.“

“Aku melakukan itu karena tidak ingin membuat mereka berharap lebih banyak dariku. Kupikir itu lebih baik daripada nantinya kekecewaan mereka menjadi bertambah besar.“

“Saya tahu itu. Saya memuji sifat Bapak yang tidak suka mempermainkan wanita. Lagi pula, cinta kan nggak bisa dipaksakan. Tetapi di sisi lain saya berpikir kalau sikap Bapak masih sama terus seperti itu lantas kapan Bapak bisa mendapatkan jodoh. Padahal tadi katanya Bapak ingin menikah.“

“Aku masih ragu. Selama bertahun-tahun aku mencoba memahami apa arti dari sebuah pernikahan tetapi sampai hari ini masih ada hal yang tak bisa aku mengerti. Terkadang aku merasa kalau aku tak terlalu pantas untuk menikahi seorang wanita. Mungkinkah ada yang salah dalam hidupku ini?“ Al terpekur atas kata-katanya sendiri.

 Katherine melihatnya dengan iba. “Berusahalah, Pak,“ ujarnya dengan nada menghibur, “Mungkin dalam takdir Bapak cinta itu harus dicari dan dipahami dengan bahasa yang berbeda dengan yang Bapak arungi selama ini, makna kehidupan itu harus diselami lebih dalam lagi. Bapak tak bisa menunggu dengan terus berdiam diri.“

Al mengangguk-angguk dan membenarkan ucapan sekretarisnya itu. Ia menjentikkan jemarinya karena gembira.

“Betul juga. Bagaimanapun, sebagai seorang lelaki sudah seharusnya akulah yang memulai untuk mencarinya terlebih dahulu, ya kan?“ Katherine mengacungkan jempolnya. Al tersenyum. “Kathy, kalau begitu kamu jadi mak comblangku saja. Tugasmu mencarikan wanita yang kira-kira cocok untuk menjadi pendamping hidupku. Jadi, kalau ada pertemuan-pertemuan dengan relasi-relasi bisnisku kamu seaktif mungkin nyari info tentang siapa wanita-wanita yang masih lajang di antara mereka. Setuju?“

Katherine buru-buru menampik. “Wah, nggak mau. Saya sudah capek ngurusi hal begituan. Lagi pula, saya tahu bahwa wanita-wanita mereka itu bukan tipikal wanita yang Bapak sukai.“

“Kok?“ Al berniat memprotes walaupun akhirnya mengiyakan kata-kata sekretarisnya, “kalau begitu carikan wanita yang ada di luar sana, seperti dokter, guru, pelukis, penulis..., atau model juga boleh. Siapa tahu aku bisa jatuh cinta pada salah satu di antara mereka.“

Katherine mengibaskan tangannya di depan mukanya. “No, no, “ tukasnya, lalu ia melanjutkan bicaranya, “Pak, saya tahu Bapak adalah tipikal orang yang setia, penyayang, dan sangat menghormati wanita. Saya dapat membayangkan betapa beruntungnya wanita yang memiliki suami seperti Bapak. Tetapi saya juga tahu bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang sangat agung dan tidak bisa dianggap main-main. Dibutuhkan keberanian untuk melangkah dan komitmen yang tinggi demi menjaga agar kehidupan pernikahan itu nanti tetap langgeng dan abadi. Karena itu, maaf... bukannya saya meragukan bahwa Bapak orang yang tidak bisa diajak berkomitmen, tetapi untuk saat ini saya melihat keseriusan Bapak untuk melangkah ke sana belum ada.“

“Mungkin. Karena memang sampai saat ini aku masih mengkhawatirkan Titania. Selain itu aku juga sangat sibuk. Karena itulah bantuanmu... “

“Nah, itulah masalahnya,“ Katherine memotong perkataaan Al. ”Bapak belum siap. Bapak belum benar-benar serius ingin mengikatkan diri dengan seorang wanita. Semuanya masih sekedar angan-angan karena hati Bapak masih sulit untuk menampung cinta selain cinta Bapak pada Titania. Padahal tadi sudah saya katakan bahwa pernikahan tidak akan benar-benar terlaksana kalau Bapak sendiri belum memahami arti komitmen itu sesungguhnya. Ingat Pak: KOMITMEN!“ katanya sebelum mengakhiri pembicaraan di antara mereka dan berlalu meninggalkan ruangan karena ada janji makan siang dengan temannya. Tinggallah Al yang termenung-menung sendiri mendengar ucapan terakhir sekretarisnya yang  secara halus menyentaknya dan mau tak mau membuat ia mengakui kebenarannya.

Komitmen. Satu kata yang membuatnya berpikir lagi tentang apa yang sebenarnya diinginkannya dalam hidupnya. Katherine benar, ia belum bisa menampung cinta selain cintanya pada Titania. Semua itu begitu terasa, bahkan terkadang hadir tanpa disadarinya. Entahlah, tiap kali dihadapkan pada yang satu ini ia jadi mengerti bahwa ternyata ia tak bisa melakukan segalanya dengan mengabaikannya. Kenangannya akan Titania membuatnya seolah-olah terpaku di terminal pikirannya tanpa bisa pindah ke mana-mana.

Seperti pagi tadi.

Ada jeda lama saat ia mendengar pertanyaan itu. Ada angin kepasrahan dan keputusasaan menjalari seluruh kulitnya tiap kali memikirkannya Tidak ada hal yang paling sulit baginya selain dituntut untuk menjelaskan sesuatu yang yang paling merapuhkan hatinya sejak dulu hingga saat ini. Seringkali kata-kata hanya mengapung di benak tanpa bisa diungkapkan. Menggantung di udara. Menyelinap di balik awan-awan yang hitam pekat. Ia hanya diam. Menunggu dan menunggu. Entah sampai kapan galau di hatinya itu menghilang. Tapi Jack adalah orang yang paling mengerti dirinya. Haruskah ia meragukan kepercayaan dan kesetiaannya?

“Ceritalah padaku,“ Jack menggenggam tangannya, memberinya kekuatan untuk bicara. Al menatap wajah teduh itu, mencoba meyakinkan dirinya tentang arti dari persahabatan mereka yang telah lama terjalin. Jack mengangguk. Ia mencoba tersenyum sekalipun batinnya turut prihatin dengan kondisi sahabatnya itu.

“Aku telah gagal menjadi seorang kakak yang baik, Jack,“ Al berkata setengah menggumam seolah-olah sedang berbicara pada dirinya sendiri, “kakak macam apa aku ini yang dengan tega-teganya membiarkan Titania terluka dalam kesendiriannya. Aku bahkan tak tahu di mana ia sekarang berada. Dua pengawal yang kuminta untuk menjaganya kehilangan jejaknya beberapa hari setelah ia pergi meninggalkan rumah.”

”Seharusnya aku selalu mendampinginya, pun di saat-saat ia terpukul seperti ini. Keterlaluan. ” Al merutuk dirinya sendiri, ”aku membiarkannya pergi tanpa ada seorang pun yang menemani. Aku bahkan tak tahu ia sekarang masih hidup atau sudah... ” Kalimatnya menggantung dan tak mampu diteruskan.

Be patient, Al,” Jack menghibur seraya membiarkan Al menangis sejadi-jadinya di pelukannya. Hatinya turut terkoyak.

”Apa yang harus kulakukan, Jack? Aku sudah kehilangan mama dan seluruh kasih sayangnya yang dulu menaungi kehidupan kami. Dan aku tidak ingin ikut kehilangan Titania. Tinggal ia satu-satunya anggota keluarga yang kumiliki. Tapi adik yang kusayangi sejak dulu  itu sepertinya kian menjauh dariku, bahkan kini lepas dari penjagaanku. Aku tak mau ia terenggut dari kehidupanku. Tidak, Jack, tidak ...”

”Tidak, Al, Titania tak mungkin meninggalkanmu. Kelak kalau ia sudah  Ia pasti kembali. Percayalah.”

”Tapi kenapa tak ada satu pun yang bisa membuatnya bahagia sampai ia harus melarikan diri dari rumah? Kenapa, Jack? Apa salahku?” Air mata Al makin deras. Semua harapannya terasa hancur sudah.

”Ini bukan salahmu. Ia masih belia, baru saatnya belajar menapaki warna-warni emosi yang ada. Tugas kitalah untuk membantunya mengembalikan kepercayaan hidupnya. Optimis, Al. Kamu pasti bisa.”

Al menyeka air matanya lalu diam tanpa suara, mempersembahkan kepasrahan pada mimpi-mimpi indah yang baginya terasa sia-sia, lalu menggantungkan harapan dan cintanya pada pucuk-pucuk semangat yang ia sendiri tak tahu kapan pertahanannya akan jatuh terkulai. Redup. Runtuh. Mengering diterpa panas yang merambati usia.    

Dan sunyi pun kembali merayapi kesendiriannya. Membawanya pada rasa sakit yang melupakan semua kelelahannya.

Ia tak bisa memejamkan mata. Bahkan sampai malam tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status