Share

Ia Terasing

Gerimis turun rintik-rintik ketika Al sampai di bandara. Bergegas ia berlari keluar dari mobilnya tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di waiting room matanya awas menyusuri deretan kursi yang setengah kosong, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang atau sekedar duduk dengan wajah kelelahan. Dicarinya sesosok wajah yang telah berbulan-bulan begitu ia rindukan kedatangannya. Tak ada. Ke mana perginya sang Titania? Kecemasan mulai melanda hatinya. Disusurinya kembali seisi ruangan itu. Ia kelimpungan. Rasa bahagia yang sempat menyelinap di hatinya beberapa menit yang lalu lenyap seketika. Sementara di luar sana hujan kian turun dengan lebatnya.

Al menjerit dalam hati.

Jangan katakan kepulanganmu hanyalah mimpi. Ttolong... agar aku percaya bahwa hidup kita bukanlah permainan belaka.

“Kak... ”

Al menemukannya. Suara itu terbata-bata memanggilnya. Ia menoleh dan mendapati sosok yang dicarinya terduduk sendirian di sudut ruangan. Al berlutut di depannya dan dengan tak percaya ia menyentuhkan tangannya ke pipi Titania yang cekung, menggenggam kedua tangannya, dan... betapa ia merintih melihat keadaan gadis kesayangannya itu. Wajah Titania pucat bagai mayat, tangannya kurus seperti tinggal kulit pembalut tulang, rambutnya yang dulu panjang tergerai kini dibabat habis, dan pakaian yang dikenakannya tak lebih baik untuk menutupi keadaannya yang mengenaskan. Matanya memancarkan kepedihan luar biasa. Al tak sanggup menatapnya lama-lama.

“Titania...” suaranya tertahan di tenggorokan. Hanya Tuhan yang tahu jeritan di hatinya yang menggema dan meratapi nasibnya yang semakin lama semakin tak mengerti dan tak mengenali sosok yang sangat ia sayangi itu. Hancurlah semua pengharapannya karena kini ternyata ia sudah terasing jauh dari Titania. Dirasakannya jurang yang memisahkan jiwanya dengan jiwa adiknya itu semakin luas menganga.

Dalam dekapan Al Titania menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semua galau yang selama ini membelenggu hatinya. Kadang terisak, kadang lirih, bahkan tanpa suara. Betapa ingin Al menenangkan dan membantunya melepaskan kepenatan itu tetapi ia bagai kehilangan seluruh upaya hingga ia pun tak mampu berkata apa-apa. Tak ada rayuan. Tak ada kata-kata penghibur. Lima belas tahun melewati waktu-waktu hidupnya bersama Titania tak cukup membuatnya mengerti apa yang bisa menggembirakan dan mengobati luka adiknya itu. Ia hanya bisa terdiam. Membiarkan suara-suara itu menyayat-nyayat hati dan membuat air matanya ikut-ikutan mengalir.

Sampai fajar tiba mereka masih di sana. Suara tangisan pun tertelan oleh rintik-rintik gerimis yang berubah menjadi hujan. Tetapi Al masih tetap terjaga dan tak ingin menutup matanya demi meyakinkan dirinya bahwa Titania benar-benar ada. Ia telah kembali. Dan gadis itu kini sedang tertidur di pangkuannya. Al tak ingin mengusiknya. Dibiarkannya hal itu berlangsung lama tanpa ingin mengakhirinya. Selewat fajar mereka baru pulang ke rumah.

* * *

“Ia pergi ke Perancis. Dulu ia pernah menghabiskan masa kecilnya di sana sampai akhirnya kami sekeluarga pindah ke Indonesia. Bahkan saat liburan sekolah ia selalu melewatinya bersama mama dengan melihat-lihat perkebunan anggur di Saint Emillion, makan bersama di tepi sungai Avon, menonton opera, atau sekedar jalan-jalan menyusuri seisi kota. Kenangannya akan mama membuatnya kembali ke negeri itu untuk melakukan hal-hal yang sama dengan yang dilakukannya bersama mama sewaktu mama masih ada. Aku tahu ia melakukan semua itu dengan bermaksud untuk mengobati segala kerinduannya pada mama. Sayangnya... itu malah membuatnya jatuh ke jurang yang semakin dalam.”

Al menghela nafas berat. Di sampingnya Jack mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sore itu mereka berdua sengaja bertemu di sebuah kafe di pinggir kota.

”Apa yang harus aku lakukan, Jack? Aku bahagia adikku telah kembali. Tetapi, entahlah... aku merasa Titania sekarang begitu jauh, tak tergapai. Segala tentangnya tak bisa lagi kumengerti. Sepanjang hari ia cuma diam dan mengurung diri dalam pikirannya sendiri.”

“Kenapa kau tak mencarikannya seorang sahabat?”

“Titania tidak butuh sahabat. Ia butuh seorang ibu.”

“Kau punya hubungan baik dengan para orang-orang di pemerintahan dan pengusaha, juga punya kesempatan untuk melakukan banyak hal. Lalu kenapa kau tidak berusaha meminta tolong pada mereka untuk membantu mencarikan ibu kandung Titania?”

 “Sudah kulakukan apa pun yang aku bisa. Kupasang iklan besar-besar di media-media ternama bahkan di media-media yang sampai ke pelosok desa. Kujanjikan hadiah besar bagi siapa pun yang bisa menemukannya. Aku datangi penjara-penjara khusus wanita, kuamati mereka satu-persatu dan kucari siapa di antara mereka yang kira-kira wajahnya mirip dengan Titania. Kuperlihatkan foto Titania semasa bayinya di semua tempat, bahkan kusuruh wanita-wanita penghibur di lokalisasi yang dekat dengan lokasi ditemukannya Titania semasa bayinya untuk melihatnya seraya berharap ada salah satu di antara mereka yang ingat dengan anak yang telah dibuangnya. Nihil, Jack. Tak ada wanita mana pun yang mau mengaku sebagai ibu kandung Titania.”

“Kalau begitu kenapa kau tidak menyadarkan Titania tentang kenyataan hidup yang harus dihadapinya? Bukankah dengan membiarkannya terus menerus terobsesi pada sesuatu yang tak ada adalah suatu tindakan yang sia-sia dan tidak mendewasakan pikirannya?”

“Aku tahu.”

“Lalu?”

“Aku takut ia akan semakin terluka bila aku memaksanya untuk sadar dari impian kosongnya. Saat ini keadaannya sudah begitu rapuh. Aku tak tega untuk melakukannya.”

“Tapi dengan begitu tak akan menyelesaikan apa-apa.”

“Kau pikir apakah dengan memaksanya keluar dari semua kebohongan itu keadaan akan menjadi lebih baik?”

“Manusia  wajib untuk terus berusaha dan pantang berputus asa.”

“Aku sudah berusaha tetapi tak ada perubahan yang berarti. Mungkin memang sudah nasibku terapung-apung terus seperti ini.”

“Kau terlalu pesimis.”

“Mungkin.”

Keduanya terdiam. Masing-masing sibuk mencari jalan keluarnya.

“Jack.”  Al memandang sahabatnya lekat-lekat. 

”Ya.”   

”Kau bahagia dengan hidupmu sekarang?”

Jack tersenyum simpul.

”Kau sudah melihatnya, lalu kenapa kau tanyakan juga? Tentu saja aku sangat bahagia dan bersyukur dikarunia sebuah lingkaran keluarga baru yang telah membimbingku menemukan makna hidupku. Mereka, kedua mertuaku yang sangat baik hati, paman, bibi, adik ipar, istri yang memahamiku dengan sepenuh hati, dan pahlawan kecilku yang manis dan lucu itu adalah anugerah terindah yang pernah kumiliki dalam hidup ini.” Al melihat binar-binar kebahagiaan terpancar dari mata Jack. Ada rasa iri yang menyusup ke hati. Seandainya ia bisa memiliki mata seperti itu.

“Masa depanku seolah suram tanpa kepastian tujuan. Tak ada bayangan dan tak bisa kumengerti apa yang sebenarnya ingin aku lakukan.“

“Itu karena kau kurang sungguh-sungguh memahami segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupanmu ini.”

“Benar.”

“Kau tahu masalahmu tetapi kau biarkan itu semua menumpuk di kepalamu. Kenapa kau tak berusaha untuk menyelesaikannya satu per satu?”

“Aku tak bisa. Karena semua yang ingin aku lakukan pasti akan berdampak pada Titania. Ikatan ini begitu kuatnya membelit hatiku hingga aku tahu harus memulainya dari mana.”

 Wajah Al terlihat sangat putus asa. Jack berpikir sejenak, lalu ia pun berkata seraya menggenggam tangan sahabatnya itu, “Al, aku bukan ingin memaksamu mengikuti prinsip yang kuanut sekarang. Tetapi... melihat penderitaanmu dan keterkatung-katungan hidupmu aku jadi ingin tahu sebenarnya di tengah ketidakberdayaanmu menghadapi semua kekalutan itu pernahkah terpikir olehmu untuk mencari sesuatu yang bisa kau jadikan pegangan, sesuatu yang bisa menjadi tempatmu mengadu dan menumpahkan semua kegalauanmu?”

Al menoleh heran.

”Bukankah sesuatu itu adalah dirimu? Hanya kau satu-satunya sahabat yang kupercaya sebagai tempat bertanya dan bercerita tentang segalanya.”

Jack menggeleng.

“Lalu sesuatu apa yang... “ kalimat Al terpotong. Sebentuk kesadaran menyelinap di benaknya. “Tuhan maksudmu?”

Kali ini Jack mengangguk.

”Al...” katanya, ”Aku tahu kau mempercayaiku sebagai orang terdekatmu. Dan aku sangat berterima kasih atas kepercayaanmu itu. Tetapi aku ini hanya manusia biasa yang sarat dengan ketidaksempurnaan dan sebenarnya tidak benar-benar bisa membantu memecahkan masalahmu. Aku sama seperti manusia-manusia lainnya, yang bisa menghibur dan berkata-kata tetapi tak berkuasa untuk menyelesaikan segalanya.  Hanya Tuhan yang benar-benar bisa menjadi sahabat sejatimu. Sahabat yang kekal dan abadi. Yang  memberimu kekuatan dan keberanian mengarungi kerasnya kehidupan. Selalu ada di dekatmu tanpa terhalangi oleh dimensi ruang dan waktu. Tidak inginkah kau memiliki sahabat seperti itu?”

Al tak mengerti. Seandainya itu diucapkan oleh Jack beberapa tahun lalu mungkin ia akan tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata yang terlalu filosofis itu, membayangkan dirinya disuruh berpikir sesuatu yang abstrak bernama ‘tuhan’. Tapi sekarang... saat melihat bahwa ternyata sesuatu yang ingin ditertawakannya itu  memiliki pengaruh yang luar biasa di dalam diri sahabatnya dan dengan kemahakuasaanya mampu mengubah segalanya, ia jadi tercenung mendengarnya. 

”Pernah. Setidaknya akhir-akhir ini setelah bertemu denganmu. Tetapi aku tak yakin apakah aku punya keinginan untuk mengikutimu. Semua ini masih terlalu asing bagiku.”

Jack menepuk punggung Al.

“Aku mengerti. Dan aku juga tidak akan memaksamu untuk mengikutiku karena tidak ada paksaan untuk memasuki agamaku. Biarlah waktu yang akan bicara. Aku hanya berharap saat-saat kau merasa sepi dan sendiri menghadapi semua ini sadarilah ada tuhan yang siap mendengar segala keluh kesahmu. Yakinlah. Percayalah. Maka Dia pasti akan datang mengulurkan cinta dan pertolongan-Nya kepadamu, dan akan kau rasakan kebebasan jiwa yang telah lama kau cari itu.”

* * *

Mereka cuma berjarak sekitar dua meter. Tetapi Al merasa seolah dirinya sedang berpijak di bulan dan Titania berada di planet Mars sana. Begitu jauhnya sampai tak bisa menyatukan dua hati kakak beradik yang telah lama tidak saling menyapa. Ataukah ia yang terlalu mengabaikan sinyal-sinyal keterasingan itu? Jarak itu sudah ada, sejak dulu. Membentang luas memisahkan ikatan kasih sayang dan kedekatan di antara mereka. Ia tercipta dan selalu muncul tiba-tiba, tak peduli saat mereka sedang bersama atau saat masing-masing keduanya larut dalam kesendiriannya. Bahkan semenjak Titania baru menapaki masa kecilnya. Dan kini jarak itu bukannya menyusut tetapi malah mengembang seluas-luasnya. Hampir tanpa batas.

“Selamat pagi, Tania,” sapanya dengan suara kaku. Diambilnya selang untuk menyiram bunga dan ikut-ikutan mengarahkannya ke tanah di pot-pot yang ada di depannya sekadar menutupi kesan kakunya.

“Pagi juga, Kak.” Gadis itu cuma menoleh sebentar ke arah Al dengan menyunggingkan sebuah senyum yang lebih mirip seringai. Suaranya lirih hampir tanpa tenaga.

Lalu keduanya terdiam dengan selang di tangan masing-masing. Al mengamati Titania yang sedang menunduk di dekat pot-pot bunga. Ia berusaha membuka percakapan.

White Goliath-nya cantik, ya,” katanya seraya menunjuk pada salah satu jenis Adenium yang pagi ini sedang mekar dengan indahnya.

“Iya.” Titania mengangguk lemah.

Red flare-nya juga.”

“Iya.”

“Lain kali kita tambah koleksi bunga kita, yuk.”

“Iya.”

“Kucing Persia kita sekarang sudah beranak, lho.”

“Iya.”

“Anaknya lucu-lucu dan gemuk-gemuk lagi.”

“Iya.”

...

Lama-lama Al tak sanggup meneruskan bicaranya. Iya. Kenapa cuma kata itu yang keluar dari bibirmu, Titania. Ayo bicaralah. Berceritalah apa saja: tentang bulan, tentang bunga-bunga, tentang langit, tentang burung-burung... aku akan mendengarkannya dengan suka cita.

Al sungguh tak tahan dengan semua kekakuan ini. Rasanya ia ingin lari membenamkan kepalanya ke tempat tidurnya dan tertidur selamanya tanpa bangun-bangun lagi.

Ia kalah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status