Share

Titania

Mendekati pukul setengah dua belas, dan kehampaan mulai melanda Al lagi.  Dilepasnya kacamata yang bertengger di kupingnya, diusap-usapnya kedua matanya yang terasa perih karena dipaksa melototi laporan sejak pagi tadi, dan dihempaskannya tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia resah. Tak dihiraukannya tumpukan kertas yang ada di meja. Konsentrasinya menguap dengan begitu cepatnya . Semakin lama ia merasa jenuh dengan semua ini.

Al  membuka laci mejanya, lalu tangannya menggapai sebuah album foto yang selama ini disimpannya. Baru saja dibukanya lembaran pertama tetapi wajah yang hadir di sana membuat benaknya langsung teringat kembali pada sebuah nama: Titania, adik semata wayang yang telah berbulan-bulan menghilang, tepatnya sehari setelah kematian mama dan sampai sekarang belum ada kabar apapun yang mampir ke telinganya. Ia  didera kerinduan sekaligus rasa cemas yang teramat sangat. 

Al tahu bahwa Titania telah terluka begitu dalam. Kematian mama di saat-saat remajanya yang haus kasih sayang adalah kejutan yang amat menyakitkan. Mereka begitu dekat. Terlalu dekat. Wajar bila kepergian mama amat meluluhlantakkan jiwa Titania, begitu juga dengannya. Ia tak bisa membohongi bahwa sebenarnya dirinya juga merasa sangat kehilangan wanita yang sangat dicintainya itu. Tetapi ia laki-laki. Pantang baginya disebut pengecut karena lari dari kenyataan hidup yang harus dihadapinya. Begitu banyak pekerjaan yang menunggunya. Ia harus segera mengambil alih perusahaan yang dulu dipimpin oleh mama. Waktu seolah-olah tidak membiarkannya berlama-lama dengan kesedihannya. Ia terlalu sibuk dengan jabatan barunya.

Tapi kini keresahannya tak bisa lagi ditahannya. Telah berkali-kali ia mencoba menghubungi Titania. Tiap pagi saat ia hendak berangkat kerja, siang hari sebelum makan siang, sore saat berada dalam mobil, bahkan tengah malam saat ia terjaga dan ia dapati hanya kesunyian yang menemani kesendiriannya. Nihil. Ponsel Titania selalu non aktif.

Ia tersiksa. Tania, kenapa semua harus menjadi seperti ini? Pulanglah, Tania, please...

Al tak tahan lagi. Pandangannya mengabur. Kelopak matanya terpejam. Basah. Perih.

Ia menangis.

Pelan ia mencoba bangkit berdiri dan melangkah ke arah jendela. Ditatapnya foto Titania yang kini berada di tangannya. Tanpa merasa bosan. Ditatapnya berulang-ulang wajah adiknya saat bersandar di bahunya itu seolah-olah ingin menyelami aura kepedihan yang tersembunyi di balik wajahnya. Wajah Titania terlihat begitu muram, dingin, juga beku. Matanya... redup dan sayu.

Memandang wajah itu selalu membuatnya tersadar bahwa Titania masih terlalu rapuh dibiarkan sendiri. Adiknya itu butuh perlindungan lebih. Nalurinya sebagai seorang kakak terasa tercabik-cabik saat ini, saat di mana ia tidak bisa berbuat apa-apa dengan menghilangnya Titania padahal seharusnya ia ada di sampingnya dan membantunya meredakan luka hatinya.

Ah, Titania yang malang. Kenyataan pahit yang ia alami telah membuatnya jatuh kembali ke dalam keputusasaan dan rasa terbuangnya. Tangan Al mengepal kuat-kuat. Dicobanya menekan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya tiap kali mengingat nasib Titania. Sekawanan coma bagai menghantamnya dan mengubah dirinya menjadi debu-debu yang kehilangan asa. Nyeri. Terkutuklah wanita yang telah menelantarkan Titania di saat ia baru saja menghirup udara dunia ...

Masih segar dalam ingatannya saat pertama ia bertemu dengan Titania. Wajah cantik Titania yang saat itu masih bayi dan senyum mungilnya telah membuatnya jatuh hati dibuatnya. Tak dapat diungkapkan betapa bahagianya dirinya menjalani hari-harinya bersama Titania kecilnya. Tak peduli darah siapa yang mengalir di tubuh Titania ia telah menyayanginya sebagai bagian dari dirinya yang tak terpisahkan. Telah bertahun-tahun mereka hidup bersama dalam satu keluarga hingga Al sendiri pun telah menganggapnya sebagai adik kandungnya. Kasih dan cintanya pada Titania pun tak perlu ada yang meragukannya. Baginya, apa yang membahagiakan Titania akan membahagiakannya dan apa yang menyakiti Titania akan menyakitinya juga

Tetapi sepertinya Titania tetap terluka dengan asal usulnya. Mata, kulit, rambut, hidung, dan wajah mereka yang begitu berbeda seolah-olah selalu mengingatkan bahwa mereka tidak sekandung. Menyakitkan. Masa kecil yang seharusnya penuh dengan keceriaan telah menjadi pintu ribuan pertanyaan bagi Titania. Gerbang kehidupan yang baru saja terbuka berubah mengerikan menjadi lorong-lorong kematian jiwanya. Al sendiri pun merasakan sakit tiap kali mendengar Titania kecil dulu, yang dengan jiwa kanak-kanaknya yang masih polos dan lugu, bertanya dengan penuh rasa curiga pada orang-orang di rumah: ‘Mama, kenapa mata Titania hitam sedang mata mama berwarna biru? Kenapa rambutku tidak pirang kayak rambutnya papa atau mama? Kulit Titania kok tidak seputih kulit mama? Kak, kata teman-teman di sekolah aku bukan adik kandungmu. Bener nggak, sih?’

Lalu setelah kebimbangan Titania mencapai titik kulminasi maka dimulailah tragedi memilukan yang mengubah seluruh tatanan kehidupan di keluarga mereka yang semula amat bahagia. Ketenangan dan kedamaian tinggal angan-angan belaka. Yang ada hanyalah jeritan dan teriakan Titania memanggil-manggil ibunya di malam-malam buta yang memutus tidur seisi penghuni rumah, ratap ketakutannya yang membuatnya menangis tersedu-sedu tanpa diketahui sebabnya, atau ketidaksadarannya menghilang dari kamarnya saat tidurnya lalu papa dan mama menemukannya tergolek di lantai dapur atau bahkan di halaman belakang, di atas rumput-rumput basah, tertidur dengan muka, kaki, dan tangan penuh tanah tanpa menghiraukan terpaan angin dan tetes-tetes embun yang hinggap di kulitnya. Wajah kecil penuh tawa yang sempat Al lihat dalam awal-awal kehidupan Titania tiba-tiba bermetamorfosis menjadi wajah yang muram, sayu, menunduk. Terdiam. Asing dan tak lagi merekah. Seandainya saja ia bisa menangkis semua hal yang membuat Titania kecil terluka. Sayangnya jawaban sebanyak apapun tak mampu mengembalikan kepercayaan Titania hingga ia hanya bisa memeluk gadis kecilnya itu lama-lama, menangisi, dan meratapi perginya Titania kecil yang tawa, canda, kecentilan, dan kepolosannya dulu menghiasi seisi rumah dan membuat siapapun yang mendengarnya merasa bahagia. 

Menjelang remaja Titania berubah menjadi gadis pendiam yang tak lagi mempertanyakan lebih dalam tentang masa lalunya. Jiwa Titania yang begitu peka sudah bisa menangkap semuanya tanpa perlu bertanya. Ia juga tidak pernah mendengar adiknya itu  mengeluh. Tapi Al dapat merasakan bahwa dalam diamnya Titania menjerit, meraung, meratap, dan menganggap dirinya sebagai manusia terbuang. Ya, manusia terbuang yang dipungut orang di pinggir jalan, diserahkan ke panti asuhan, lalu diadopsi oleh mama saat mama merasa terpukul dengan kematian putrinya – adik Al – dan tidak mungkin mengandung anak lagi karena kanker rahim yang dideritanya membuat rahimnya harus diangkat.

Jeritan itu begitu kuat menyentuh kalbu Al hingga ia hanya akan merasakan ketenangan bila berada di dekat Titania dan mendapati adiknya itu masih dalam keadaan baik-baik saja. Di sanubarinya telah terukir tekad untuk selalu menjadi perisai bagi Titania, yang melindungi dan menjaganya di manapun ia berada.

Tapi kini ia merasa jatuh ke dasar jurang. Tak berdaya. Tak bisa apa-apa. Pekerjaan telah menyita habis seluruh waktunya. Seandainya saja ia  bisa mengendalikan waktu dan tahu di mana Titania berada, ingin sekali ia menyusulnya agar keresahan dan kerinduannya terobati. Sangat ingin.

Perlahan didekatkannya foto itu ke jantungnya. Lembut. Darah serasa mengalir deras seiring dengan genggamannya yang kukuh. Dicobanya menepis kerinduannya dengan membayangkan refleksi seorang Titania yang kini memenuhi rongga hatinya. Matanya terpejam. Penuh air mata. Wajah dan tangannya menyentuh kaca. Rindu itu menyayat-nyayat kalbunya. Pilu. Merintih. Mengiba.

Air matanya kian deras mengalir.

Kita semakin asing, begitu asing

Seasing kesunyian di hatiku yang merayap

tiap malam-malam kelabu

dengan ratapan dan jeritan

yang merenggut hari-hari bahagiamu

Seasing terik panasku karena kehilanganmu

dengan salju dinginmu nan beku

yang kuberharap dapat meluluhkan

kebekuan itu

Namun aku percaya, begitu percaya

Jiwa kita, hati kita, keasingan kita, dan berjuta aksara

yang tak pernah bisa menjadi kata-kata

Bukanlah rintangan yang merenggut kebebasan

dan jalinan sebuah persaudaraan

Walau keinginan dan harapan

Tak bisa menghadirkan perjumpaan

Satu katamu

Dan kita akan berjabatan hati, mendekatkan

kedua telapak jiwa kita

menyentakkan kesadaran bahwa sesungguhnya

kita teramat dekat

di sana kau akan tersenyum dan melafadzkan kata

tanda kau menerimanya: Aku pulang, Kak.

Dan akan kutitipkan rindu itu

Pada angin

Lama Al berdiri terpaku, teringat saat-saat bersama Titania sedari mereka kecil hingga tumbuh dewasa. Bermain di taman belakang rumah, bersepeda santai bersama mama papa, berkebun, jalan-jalan ke Paris menyusuri Avon River dengan rowing boat, menikmati matahari dari Place Vendome, main ski di gunung-gunung bersalju, berjalan bersama menyusuri Henley Street, menikmati keindahan kebun-kebun anggur di Saint Emillion...

Semua kenangan itu begitu indah. Seindah keterpukauan mereka berdua menyaksikan bunga-bunga sakura yang berguguran di musim semi, hujan meteor yang menghiasi langit, titik-titik embun di pagi hari, dan kemilau sinar mentari yang datang menghangatkan bumi.

Suara sekretarisnya membuyarkan lamunannya.

”Pak, ada kiriman bunga dari Ibu Siska. Bapak ingin saya menaruhnya di mana?“

Refleks Al menghapus air matanya yang sudah membanjir. Diaturnya nafasnya yang terasa sesak agar suaranya tidak terdengar serak. Sekretarisnya masih menunggu jawaban.

”Taruh di meja kerjaku.“

Katherine, sekretarisnya yang setia, masuk dan menaruh kiriman bunga itu di meja Al. Lalu dengan hati-hati ia bertanya.

“Bagaimana untuk ajakan makan malamnya?“

Al menatap bunga itu sekilas. “Katakan terima kasih atas kiriman bunganya. Tetapi maaf kalau aku tidak bisa memenuhi permintaannya.“

Katherine mengangguk. “Saya mengerti.“ katanya. Ia berniat untuk pergi.

 “Kathy... “ Al memanggilnya. Sekretarisnya tak jadi pergi. Ia menoleh. Sekarang mereka berhadapan. Hanya dengan sepintas saja gadis itu tahu kalau bosnya baru saja menangis. Tetapi ia tak ingin bertanya. Kisah hidup bosnya, ia hampir tahu semuanya. Al terkadang menceritakannya tanpa diminta.

“Kau sudah pergi ke pameran bunga?“

Katherine mengangguk. “Sudah. Minggu lalu saya bersama teman saya pergi ke sana.“

“Apakah ada koleksi terbaru dari Euphorbia?“

Katherine menggeleng. “Sayangnya tidak ada, Pak. Tetapi ada banyak jenis bunga selain jenis itu yang dipamerkan di sana. Kalau Bapak mau saya bisa memfotonya untuk Bapak dan kalau mungkin Bapak nanti tertarik saya bisa juga menjadi perantara untuk membelinya,” dengan ramah sekretarisnya itu menawarkan diri.

“Tidak, terima kasih. Aku hanya ingin Euphorbia.“

“Tetapi bunga yang lain tidak kalah cantiknya, Pak. “

“Aku tidak tertarik pada kecantikannya.“

“Lalu kenapa Bapak bisa tergila-gila pada Euphorbia?“  

“Bunga itu bunga kesayangan Titania. Aku menyukainya sekadar untuk mengobati kerinduanku padanya.“

Katherine diam, tanda mengerti perkataan bosnya. Bosku yang malang, katanya dalam hati dengan pandangan iba. Sudah hampir enam bulan mereka bekerja bersama dan dalam waktu selama itu belum pernah sekalipun ia bertemu muka dengan Titania. Hanya dari cerita Al yang terpotong-potong ia dapat menangkap betapa Al sungguh-sungguh menyayangi adik semata wayangnya itu.

“Bapak masih merindukannya?“ tanyanya.

“Ia adikku satu-satunya dan aku menghabiskan waktu terbesar dalam hidupku bersamanya. Lalu bagaimana aku tidak merindukannya?“ ucap Al dengan nada pilu. Pandangannya menyiratkan kesedihan yang mendalam, membuat orang yang melihatnya tak bisa tidak ikut larut dan terbawa perasaannya. Katherine betul-betul tersentuh.

“Saya turut bersedih mendengarnya. Saya turut berdoa semoga ia segera ingat untuk pulang.“

Al mengangguk. Ia kembali berbalik menghadap jendela.

“Kathy... “

“Ya.“ Sekertarisnya menunggu. Agaknya pembicaraan mereka belum selesai.   

“Batalkan semua janji-janji meeting-ku hari ini. Juga janji makan siangku dengan Mr. Subroto besok. Setelah itu kau boleh pulang.“

Katherine menatapnya keheranan.

“Kenapa? Ini, kan belum waktunya pulang. Membatalkan janji dengan Mr. Subroto? Lalu bagaimana kalau beliau tidak mau mengerti? Bisa-bisa Bapak gagal menjalin kerja sama dengannya?“

“Aku tak peduli. Aku lagi ingin sendiri.“

Sekretarisnya angkat bahu. Ia tak ingin membantah.

“Baiklah, terserah Bapak. Ada hal lain yang ingin Bapak katakan?“

Al menggeleng lemah. Katherine melenggang keluar. Tetapi baru beberapa menit ia  menutup pintu  suaranya terdengar kembali di speaker telepon.

“Oya, Pak, kemarin ada seorang pria asing yang menelepon ke sini dan mengaku sebagai teman lama Bapak. Beliau memohon dengan sangat agar bisa dipertemukan dengan Bapak. “

“Teman lama? Siapa namanya?“ Al mengangkat alisnya. 

“Mr. Jack Hale. Beliau seorang jurnalis yang…”

What?“ Al tersentak. Tak percaya. Bukankah nama itu…

Really? Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?“

Katherine kaget, tak menyangka reaksi Al akan sekeras itu.

 “Tadi pagi Bapak baru pergi meeting dan saya lupa untuk segera menyampaikannya segera. Maaf... saya tidak tahu kalau orang itu sangat penting bagi Bapak.”

It’s okey.“ Al segera menata emosinya kembali. “Sorry. Aku hanya terkejut mendengarnya. Juga terlalu gembira. Sudah lama kami tidak saling berhubungan. Apakah dia meninggalkan nomor telepon atau mengatakan dia menginap di mana?“

“Ya, Pak.“

“Kalau begitu telepon dia dan katakan bahwa aku ingin bertemu dengan dia secepatnya.“

 “Baik, Pak.”

Jack Hale... Al menimbang-nimbang nama itu. Sesuatu membuncah di dadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status