Share

Pulang

Akhirnya di sinilah Ifa berada, menjadi guru sukarela sebuah sekolah dasar di pinggiran kota Solo yang hampir roboh gedungnya. Tidak, ia tidak menyesal. Sebab hidup adalah pilihan. Dan keputusannya untuk mengajar anak-anak itu datang dari panggilan nuraninya. Ia tak lagi mempedulikan masalah gaji. Tak lagi mempermasalahkan spesialisasi. Di dunia yang carut-marut oleh aturan-aturan buatan manusia yang suka mengkotak-kotakkan pikiran sehingga membatasi kreativitas dan kesempatan untuk berkarya, ada banyak hal berharga yang bisa dilakukan sebagai ajang aktualisasi diri, tak harus terpaku pada keahlian yang ia punyai. Karena ilmu Allah itu maha luas, tak terdikotomi, tak terbagi-bagi. Kemampuan dan profesionalisme akan datang dengan sendirinya seiring kemauan kerasnya untuk terus belajar dari realita kehidupan yang ada. 

Ia lepaskan gelar sarjana tekniknya, lalu dengan bangga ditekuninya pekerjaan barunya. Anak-anak itu... ia sadar bahwa ternyata kebahagiaannya ada saat bersama mereka. Dengan sepenuh hati ia mengajari mereka menulis, membaca, menggambar, menyanyi, bercerita, berpuisi, membuat prakarya, juga pelajaran-pelajaran sejati dari kehidupan yang seringkali dinomorduakan oleh para pendidik bangsa ini: ketauhidan, bakti pada orang tua, persahabatan, persaudaraan, kebersamaan, cinta dan kasih sayang.

Pertama kali diterima mengajar Ifa ditugaskan untuk mengampu anak-anak kelas satu. Ia tak keberatan. Dalam setiap kesempatan di kelas ia berusaha mendekati anak-anak itu satu persatu lalu mulai mencoba memahami karakter mereka masing-masing. Gita yang pemalu, Andi yang masih suka ngompol di kelas, Wildan yang ditakuti oleh teman-temannya, Sinta yang terlalu cerdas hingga Ifa tercengang-cengang dibuatnya, Intan yang cerewet dan suka bercerita apa saja, Budi sang biang keributan di kelas, Hesti si penidur, Anto, Rio, Ikhsan... Subhanallah, ternyata banyak sekali hal-hal menakjubkan yang Ifa temui di sana. Ia menjadi semakin jatuh cinta.                                                  

                                                                                                                                                                                                                                                                        

* * *

Pesawat yang membawanya terbang beberapa jam lalu sebentar lagi akan mendarat. Terdengar peringatan dari pengeras suara yang meminta semua penumpang memasang sabuk pengaman mereka. Seorang wanita di sampingnya menyenggol lengannya dan tersenyum padanya, mengingatkan akan sikap acuhnya terhadap peringatan itu. Para pramugari berkeliling untuk memeriksa. Ia menurut.

Dipejamkannya matanya. Kembali pikirannya mengembara tak tentu rimbanya. Segalanya terasa hampa. Keriuhan dunia yang penuh sesak oleh manusia tak mampu menyingkap kesepiannya hingga ia  pun terus terperangkap dalam kesendiriannya.

Apa kabar, Kak, sapa hatinya. Dua bola bening menetes dari pelupuk matanya. Seperti apa rumah kita sekarang, ia mereka-reka. Apakah masih seindah dulu saat mama masih bersama kita. Bagaimana kabar bunga-bunga di kebun kaca kita? Adenium. Euphorbia. Apakah kau masih ingat untuk menyiram dan merawatinya? Aku rindu melihat putih Ace of Heart dan Chameleon yang cantik itu, rindu menyentuh Siamese Ruby si pinky yang menawan, Sultry, Calypso, juga Shang tip atau Red Flare. Tetapi... aku sangsi apakah setelah mama tiada keindahan bunga-bunga itu masih bisa membuatku mampu untuk bertahan di sana. Dulu kita dan mama selalu menghabiskan pagi kita di kebun kaca dengan bercanda dan tertawa-tawa. Lalu sekarang... apakah yang tersisa buat kita. Hanya luka. Kesepianmu, kesepianku, kesepian kita... dengan apakah kita akan mencari penawarnya.  

* * *

Langkah Al terhenti. Sebuah ruangan di sebelah kanannya membuatnya menolehkan kepalanya dan menjadikan dirinya terngiang-ngiang kembali pada sebuah nama, dan sejujurnya dari alam bawah sadarnya ia berharap suara-suara itu datang mengulurkan sapa. Ada rasa perih yang mengiris dada. Ada kepahitan saat mengingat semuanya. Dibukanya pintu ruangan itu. Segera ia mendapati benda-benda penuh warna-warni yang semakin menambah kepiluannya. Boneka Teddy yang teronggok di sudut meja, pesawat-pesawatan  yang tergantung di atas tempat tidur, sprei biru bergambar Kawai Arisa – tokoh kartun kesayangan Titania – dengan bantal dan gulingnya, bola-bola kaca yang tertata di atas meja belajar, kertas gambar yang berisi coretan-coretan tak beraturan...

Al menyentuh semuanya, mengingat sekaligus merindukan suara-suara kecil nan riang yang dulu pernah mengisi kamar ini. Dan saat matanya bersitatap dengan semua yang ada di dinding kamar itu, rindu di dadanya tak dapat lagi ditahannya. Air matanya jatuh berlinang-linang. Perlahan ia menyentuhkan tangannya dari dinding ke dinding, memandangi satu demi satu gambar-gambar dan foto-foto yang terpampang di depan matanya. Foto-foto yang semakin menorehkan luka: Titania yang tergolek polos saat masih bayi. Titania kecil tertawa. Titania kecil naik kuda. Titania kecil merentangkan tangan di gendongan papa. Titania kecil bersepeda. Titania...

Al seolah-olah mendengar dan merasakan kembali segala keindahan masa kecil adiknya. Rengekan manja Titania, mata bulat nan beningnya, lengking tangisnya jika tak berada di dekat mama saat tidurnya, suara cadelnya, kehalusan kulitnya, dua lesung pipitnya yang menawan saat tertawa, nyanyian-nyanyian kecil yang pernah ia dendangkan untuk meninabobokan Titania... 

Ia jatuh terduduk, tak mampu menanggung  semua kenangan yang kini hadir bertubi-tubi menyerangnya dan membuatnya dihantui luka lara nestapa karena kesendiriannya. Dibenturkannya kepala dan tangannya ke dinding, sekedar menumpahkan emosi yang semakin kuat memenuhi isi kepalanya. Betapa ia ingin saat-saat itu kembali, mengisi hari-harinya yang kini terasa kian sepi. Sunyi. Tak punya arti. Agar ia tidak semakin tersiksa. Agar ia tidak semakin merana. Ia lelah menghadapi semua ini, semua kekacauan yang membuat jiwanya seperti mati rasa. Air matanya semakin deras membasahi pipinya. Deras. Dan makin deras.

Mungkin sudah  seharusnya engkau  pergi

dan tak sudi untuk kembali.

Maka izinkan di detik-detik kesepian ini

Kuhabiskan waktu untuk mengingatmu

Karena sebenarnya aku ingin terus selalu bersamamu

Dan kalau memang keinginan ini terlalu mahal bagiku

- hingga tak sanggup mengantarkan kepulanganmu -

Cukuplah kau ingat aku dalam belitan tawamu

Sentuh hatiku dalam genggaman tanganmu.

Lalu biarkan semuanya

tersimpan sebagai kenangan yang tak perlu dibuka lagi

Kita sudah terlalu terluka

Kita sudah banyak hidup dengan menanggung derita

Maka biarkan semuanya berakhir dengan perasaan rela

Karena sebelum aku memejamkan mata yang ingin kuingat hanyalah rasa bahagia

Sebab  memiliki ‘saudara’ sepertimu  amatlah berarti bagiku

Al mencoba melepaskan semua rasa itu, beban itu, mencoba tertawa-tawa dan menari-nari... demi melupakan semuanya. Persis seperti orang gila. Diusirnya bisikan-bisikan dan harapan-harapan yang selama ini mengakar kuat di jantung kehidupannya agar ia bisa merelakan semuanya.

Pergi, pergilah Titania

Kepakkan sayapmu ke manapun engkau suka

Bumi bukanlah tempat yang layak untuk menyatukan persaudaraan kita

Ia jatuh tersungkur ke tempat tidur.

Ternyata kata-kata tak membantunya mengobati rasa kehilangannya. Ia tak bisa membohongi perasaannya.

Tidak, aku tak sanggup berpisah dengan cara seperti ini, jerit hatinya pilu. Dengan pahit direguknya kembali kesakitan itu.

Ditemani keheningan malam ia jatuh tertidur di ruangan itu.

* * *

Malam-malam saat Al terbangun, ia jumpai semuanya gelap segelap hatinya. Segera ia melangkah keluar tanpa menoleh lagi, tak ingin membiarkan luka itu semakin lama bersemayam di hatinya dan membuatnya jatuh ke jurang yang semakin dalam. Tidak. Ia harus bangkit. Entah untuk apa. Diraihnya handuk yang tergantung di lemari dan bergegas ia pergi ke kamar mandi, berlama-lama di bawah kucuran shower tanpa ingin memikirkan apa-apa.

Dengan rambut yang masih basah ia keluar dari kamar mandinya lalu duduk di tepi tempat tidurnya, berganti pakaian pendek yang diambil dari lemarinya, dan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Baru saja ia  beranjak keluar dan menutup pintu kamarnya untuk pergi ke ruang kerjanya saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.

”Kak, aku pulang,” suara di seberang sana lirih, nyaris tak terdengar. Tetapi pengaruhnya melebihi getaran ultrasonik hingga kegembiraan di hati Al meluap dan hampir meledak. Tergesa-gesa ia meraih kunci mobilnya dan lari ke garasi. Menstarter mobil dan membunyikan klaksonnya berkali-kali sesampainya di pintu gerbang sehingga satpamnya yang sedang terkantuk-kantuk terperanjat mendengarnya. Lalu setelah itu Al pun melarikan mobilnya melesat di jalan raya menuju satu tujuan. Ke bandara. Menjemput Titania. Masih dengan kaos oblong, celana pendek, dan rambut yang awut-awutan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status