Jebran terdiam sejenak, lalu tertawa kasar."Berani-beraninya kau bicara begitu padaku," geramnya.Alvaro hanya tersenyum, melemparkan sebuah lencana kecil dari platinum ke udara.Jebran menangkapnya, lalu jantungnya berdegup kencang begitu mengenali simbol itu. Organisasi Kujaya, pasukan rahasia yang bekerja langsung di bawah Raja baru."Para anjing pemburu milik Raja.""Jaga mulutmu," ucap Alvaro, melangkah maju dengan keyakinan yang menandingi arogansi dingin Jebran."Raja sudah muak denganmu. Kau pikir Kota Verma milikmu hanya karena mertuamu adalah raja lama? Sudah waktunya negara bagian ini kembali pada penguasa yang sah."Jebran menyeringai, memperlihatkan giginya."Jangan harap. Rakyatlah yang memilihku memimpin tempat ini, tak seorang pun yang bisa mengubah itu!""Sedangkan kau? Kau cuma orang tolol lain yang mengira dirinya pahlawan. Aku cuma perlu menghabisimu di sini dan tak ada seorang pun yang akan tahu."Senyum santai Alvaro tidak goyah."Membunuhku? Kau yakin bisa melak
"Siapa orang aneh ini?" desis salah satu pembunuh, suaranya bergetar saat dia menyaksikan tubuh rekan-rekan Elite Kota Verma tergeletak di atas lantai.Rasa takut menyerangnya. Begitu Alvaro memberinya izin untuk kabur, dia langsung berlari tanpa menoleh ke belakang.Mereka telah berlatih selama puluhan tahun agar tidak terkalahkan, untuk menguasai Kota Verma di sisi Jebran, tetapi semua itu tidak berarti apa-apa di hadapan kekuatan yang tak terbendung ini.Dia berlari menembus malam, paru-parunya terasa terbakar, dan menekan tombol panggilan di smartwatch-nya."Pak," katanya terengah, suaranya bergetar. "Kami bertemu dengan monster .... Dia ingin bertemu denganmu."Beberapa saat kemudian, Jebran menghantamkan tinjunya ke meja kayu.Meja itu berderak patah, remuk menjadi serpihan di bawah pukulannya."Bajingan sombong itu kira dia siapa? Cuma jadi pria simpanan Jasmin saja sudah berani memanggilku? Aku Gubernur Kota Verma!""Akan kubuat dia menyesal karena berani macam-macam denganku!"
Mereka saling bertukar pandang penuh waspada, masing-masing tidak tahu harus bereaksi bagaimana.Beberapa menit sebelum Alvaro tiba, Zed sudah berteriak cukup keras hingga setengah rumah sakit mendengarnya."Aku nggak peduli mau setan atau dewa sekalipun yang menyakiti Siti, aku akan membunuh mereka semua. Aku akan membakar seluruh dunia kalau perlu!"Yang lain ikut menyahut, keberanian palsu mereka menggelembung seperti gelombang pasang. "Benar sekali! Aku rela mati kalau memang itu yang dibutuhkan."Namun, begitu mereka tahu bahwa putri Jebran adalah dalang serangan itu, seluruh amarah mereka lenyap bagai asap tersapu angin.Dewa dan setan? Tentu, mereka mudah saja dibenci karena mereka tak terlihat, jauh, dan hanya sebatas bayangan.Namun, Jebran itu nyata, seorang pria yang bisa melenyapkan satu keluarga hanya karena iseng.Mendadak, tak seorang pun berani berbisik sekali pun.Fiona dan yang lain gelisah, semua paham satu hal. Berurusan dengan Keluarga Kasmir sama saja dengan bunuh
Rumah sakit dipenuhi bau antiseptik dan keputusasaan. Jebran menerobos pintu dengan amarah tak terkendali.Dia terhenti.Di sana, tampak Melisa, putrinya.Gadis emasnya.Tubuhnya hancur sampai tak lagi bisa dikenali.Wajahnya yang dulu bercahaya kini hanya tinggal darah dan tulang yang remuk. Tangannya?Tercabik seperti sayap malaikat yang jatuh.Kakinya? Patah dalam bentuk yang tidak bisa dijelaskan.Dia terhuyung mundur selangkah, bibirnya bergetar. Kemudian ...."Siapa pelakunya?"Raungan itu memecah ruang perawatan seperti tembakan senapan.Para perawat terperanjat. Seorang pengawal yang pincang maju, wajahnya pucat, satu matanya bengkak dan tertutup."Pak, Alvaro pelakunya." Suaranya serak."Pria simpanan Jasmin Kusuma ...."Buku-buku jari Jebran berderak saat dia mengepalkan tangan, amarah tampak di matanya."Alvaro? Bajingan itu lagi. Dia berani menyentuh putriku?"Dia menatap para pengawalnya dengan mata menyala. "Kenapa kalian nggak melindungi putriku?"Pengawal itu menelan lu
"Ugh." Semua orang terdiam mata terbelalak, menyaksikan Barbara jatuh ke lantai, darah menggenang di sekitarnya.Jika mereka tidak melihatnya sendiri, mereka pasti tak akan percaya.Seorang petarung legendaris yang tak terkalahkan di arena, kini tewas hanya dengan sebutir peluru.Rahang-rahang ternganga. Tidak ada yang menyangka ini akan terjadi.Mereka pikir kehadiran Barbara akan menuntaskan semua. Nyatanya, keadaan justru berbalik."Kau!" bentak Hasim. "Kau nggak punya harga diri? Kenapa kau pakai pistol dalam pertarungan?""Pertanyaan bagus." Alvaro mengangguk dingin."Kenapa ada orang yang nekat menghadapi senjata dengan tangan kosong? Apa dia bodoh? Kebanyakan orang lari kalau melihat pistol, bukan malah menyerbu, kecuali dia benar-benar yakin bisa menang.""Dia nggak mungkin menang!" Hasim menjerit."Dia yang menerjangku. Kupikir dia memang sanggup. Jadi ya kutembak saja." Alvaro membalas ketus."Baiklah, Barbara, maaf," tambahnya datar."Bajingan! Apa gunanya maafmu? Dia sudah
Satu per satu, setiap tamu melangkah maju dengan raut penuh tekad yang suram.Setiap kali seseorang mendekat, terdengar dua tamparan keras. Satu mendarat di pipi Melisa, satu lagi di pipi Hasim, lalu tamu itu pergi tanpa menoleh sedikit pun.Itu jadi parade penghinaan tanpa henti, semua orang terlalu takut untuk menentang pria yang memerintah mereka.Saat barisan tamparan itu berlanjut, seorang bawahan dari Organisasi Kujaya menyerahkan map tebal kepada Alvaro.Begitu membaca isinya, ekspresinya langsung menggelap.Namun tamparan terus berlangsung, seakan-akan para tamu itu adalah barisan pekerja pabrik.Wajah Melisa membengkak sampai dua kali lipat, bibir Hasim pun pecah dan bengkak parah.Air mata mengalir di pipi Melisa saat dia merintih, "Aku minta maaf."Alvaro menyilangkan tangan, wajahnya tak menunjukkan kesan."Oh, seriusan? Katakan padaku, Melisa, pernahkah kau mengampuni seseorang yang memohon belas kasih padamu?"Melisa terisak, suaranya bergetar. "Pernah. Maksudku, kalau ad