Febrian Kusuma sedang berada di dalam rumahnya ketika alarm meraung di lorong-lorong."Apa-apaan ini?" gumamnya.Dia bergegas ke jendela dan melihat mimpi buruk di luar, ratusan orang mengerumuni gerbang, menggedor-gedor dan menjebol jeruji besi seolah-olah mereka bermaksud menghancurkan rumah itu.Di dalam, para petugas penjaga rumah sudah siap siaga.Satu regu berjongkok di dekat jendela aula masuk dengan senapan mesin terarah, keringat menetes di dahi mereka sambil menunggu perintah.Pemimpin mereka membentak, suaranya setajam baja."Jangan berani-berani mendobrak gerbang itu! Lewati batas dan kami akan menembak!""Dasar anjing Keluarga Kusuma!" sembur seseorang. "Kau nggak lihat dia sedang membunuh kita? Selanjutnya dia akan mengincarmu dan seluruh keluargamu. Bisa-bisanya kau berdiri di sana dan masih mendukungnya?" Kerumunan itu berteriak balik, tak tergerak oleh peringatan itu.Febrian menyambar ponsel pintarnya, putus asa mencari jawaban. "Kenapa aku nggak tahu apa-apa tentang
Rumah Sakit Pusat Rosia.Jumadi Kusuma mendorong pintu kaca dengan langkah penuh percaya diri, seolah-olah dunia masih berpihak padanya.Di belakangnya, kekasihnya berjalan terpincang-pincang dengan wajah meringis, meski hanya ada goresan kecil di lengannya.Antrean panjang mengular melewati meja resepsionis.Jumadi tidak ikut antre. Dia langsung menyerobot ke depan, memotong antrean seorang pria tanpa pikir panjang."Hei," protes pria itu. Jumadi terus melangkah tanpa menoleh.Di meja resepsionis, dia mencondongkan tubuh, suaranya tajam. "Suster. Panggil dokter terbaik yang kau punya. Sekarang."Sang resepsionis, seorang perawat muda yang sudah jengkel karena antrean dipotong, melirik singkat ke arah wanita yang berpegangan pada Jumadi.Lengannya hanya tergores sedikit, darahnya pun sudah kering menjadi garis merah tipis. Namun, wanita itu terisak-isak seakan ajalnya sedang menjemput.'Bahkan anak umur lima tahun pun nggak akan menangis sekencang itu cuma karena luka sepele,' pikir pe
Jenderal Minto duduk di ruang komando sementara yang menghadap ke Kota Rosia, yakin malam itu akan berakhir tanpa masalah.Dia memiliki seribu tentara di bawah komandonya. Para pemberontak? Mungkin hanya dua atau tiga ratus.Target mereka 8.000 orang yang miskin dan kelaparan, tersebar di jalanan, bertubuh kurus, lemah, dan tak bersenjata.Bagi Minto, mereka bukan apa-apa. Seribu senapan bisa melenyapkan mereka dengan mudah."Hei, ada apa ini? Sambungan kita terputus!" Salah satu petugas komunikasi tiba-tiba berteriak.Tentara lain mengangkat kepala, wajahnya pucat. "Di sini juga, Pak! Sinyalnya mati juga.""Komunikasi dengan Kota Rosia juga putus?" seru Minto, suaranya menggema di ruangan."Panggil orang ke sana sekarang. Suruh nyalakan lagi sambungannya."Saat prajurit itu bergegas keluar, Minto melambaikan tangan. "Kita masih punya telepon rumah dan radio militer. Pakai itu dulu."Prajurit yang bertugas di radio mengutak-atik tombol. "Pak, frekuensinya macet. Nggak ada suara sama se
Melisa duduk di ruang komando seolah-olah dirinya adalah ratu di atas singgasana.Di sekelilingnya, 20 sekretaris menunggu. Mereka bekerja seperti mesin dengan nama dan tugas mereka masing-masing. Mata mereka menelusuri setiap layar, jari-jari mereka melayang di atas keyboard.Mereka menunggu perintah Melisa berikutnya."Internet Kota Rosia mati," kata Melisa."Febrian perintahkan pemadaman, tanpa update berita, tanpa kebocoran informasi. Dia ingin kota ini buta sementara dia melakukan apa yang sedang dia lakukan."Di luar pemadaman listrik itu, pihak militer, polisi, dan para elite yang benar-benar terhubung masih mendapatkan informasi lewat tautan satelit.Mereka tidak buta. Hanya massa yang dibutakan."Aku mau setiap saluran diputus. Putuskan akses kota ini dari dunia. Baik itu saluran telepon kabel, telepon seluler, maupun satelit. Enam jam. Pemadaman total."Dia menatap dua sekretarisnya. "Kalian berdua, bisa bikin itu terjadi?""Baik. Kami akan hubungi hacker dan aktifkan alat pe
Di dalam ruang kerja, Febrian sedang bercakap-cakap dengan Dokter Hilmi ketika ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja yang mengilap."Ayah," panggil Jumadi dengan suara parau, napasnya terengah-engah lewat pengeras suara. "Para pemberontak menembaki kami. Aku kena tembak."Febrian berdiri dari kursinya, kepanikan mengoyak ketenangannya yang biasanya kokoh. "Nak! Kau baik-baik saja? Ada yang luka?"Jumadi tertawa kecil, suaranya bergetar."Nggak apa-apa, cuma memar di lenganku. Celyn dorong aku terlalu keras tadi. Dia masih perlu dikasih pelajaran, kau harus hukum dia nanti. Tapi pacarku ... dia terluka parah."Matanya menatap luka kecil di lengannya, darah merembes tipis. Bagi kebanyakan penduduk desa, luka semacam itu hanya dianggap remeh. Mereka akan meludah ke tanah, menepuk-nepuknya, lalu menganggap selesai.Namun melihat cara Jumadi bereaksi, orang-orang mungkin akan mengira wanita itu sedang hamil sembilan bulan dan akan melahirkan bayi kembar tiga di tengah jalan.Tiba-tiba l
"Tutup mulutmu! Kau cuma pelayan tua, jangan sok bicara tentang hal-hal yang nggak kau mengerti!" Suara Jesika menggelegar memenuhi ruangan.Matanya menyala marah saat dia menunjuk ke arah pintu. "Pergi! Panggil Dokter Hilmi. Dia harusnya ada di ruang makan!"Pelayan itu langsung berlari tanpa ragu."Sialan!" Febrian menghantam meja dengan tinjunya. Urat-urat di dahinya menonjol."Dia nggak boleh mati! Dia masih harus menikahi Yohan. Dia masih harus mengamankan Kota Vilego!"Amarah Febrian meluap seperti api. Semua yang dia bangun, semua yang dia rencanakan, serasa lenyap dalam sekejap. Dunia seakan mentertawakannya, dengan lancang menghalangi kebangkitannya.Dia ingin memegang kendali. Dia harus menang melawan Raja, bagaimanapun caranya.Wajah Jesika berubah panik."Sialan kau, Febrian! Kau tahu dia rapuh, tapi kau menyerangnya dengan sepenuh tenaga seperti prajurit! Dia putrimu, bukan musuh! Siapa yang akan mengendalikan Kota Vilego sekarang? Apa yang harus kita katakan pada Yohan?"