Mobil hitam yang dikendarai Adrian Wijaya melaju kencang di jalanan sepi. Malam terasa begitu sunyi, seolah kota ini menahan napas, menunggu sesuatu yang besar akan terjadi.
Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, Adrian mengaktifkan speaker."Apa yang kau pikirkan, Adrian?" Suara Aldo terdengar penuh kemarahan. "Kau gila kalau pergi sendirian! Ini jelas jebakan!""Aku tahu," jawab Adrian dengan suara tenang, meskipun di dalam dadanya, jantungnya berdetak keras. "Tapi aku tidak punya pilihan. Jika aku tidak datang sendirian, mereka mungkin akan menyakiti Clara.""Aku bisa mengirim orang untuk membantumu—""Jangan, Aldo," potong Adrian. "Orang itu ingin aku sendirian. Jika ada orang lain yang ikut, dia tidak akan ragu untuk membunuh Clara. Aku tidak bisa mengambil risiko itu."Di ujung telepon, Aldo terdiam. Namun, napasnya yang berat menandakan betapa marah dan cemasnya dia."KalauLangit Jakarta kembali mendung. Hujan seolah tak pernah lelah mengguyur tanah yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Di sebuah vila tua yang terletak di atas bukit, dengan pemandangan yang menghadap ke laut lepas, ketegangan memuncak untuk terakhir kalinya.Alan, Adrian, Andre, Arga, dan Aldo berdiri berjajar di depan gerbang utama rumah keluarga Wijaya. Di sisi lain, Indra Wijaya berdiri diam, menatap ke arah mereka dengan mata yang tak bisa ditebak—antara luka lama dan kejutan yang belum sepenuhnya sembuh.“Semua ini akhirnya mengerucut pada satu titik,” gumam Aldo. “Dan itu bukan Calvin. Bukan Dimas. Tapi… sesuatu yang lebih besar.”Adrian menoleh dengan pandangan tajam. “Alverez.”Seketika suasana menjadi hening. Nama itu, yang selama ini hanya muncul sebagai bisikan samar dalam dokumen, jejak keuangan misterius, dan saksi-saksi yang menghilang, kini disebutkan dengan jelas untuk pertama kalinya.“Alverez?” tanya Alan dengan dahi berkerut. “Bukankah itu—”“Bukan nama depan, bukan
Langit Jakarta masih diselimuti mendung ketika Arga Wijaya keluar dari sebuah bengkel tua di kawasan Kemang. Sudah beberapa hari ia hidup berpindah-pindah, menghindari sorotan media dan buruan Calvin Rahadian. Meski telah kembali ke lingkaran keluarga, Arga masih lebih nyaman bekerja dari balik bayang-bayang. Pagi itu, ia tidak tahu bahwa seseorang tengah membuntutinya. Viero Santosa, mengenakan hoodie abu-abu dan kacamata hitam, duduk di atas motor tua beberapa meter dari tempat Arga berdiri. Ia mencatat segala pergerakan pria itu, dari cara berjalan, pola bicara saat memesan kopi, hingga kode tangan yang digunakan saat mengirim pesan lewat ponsel. “Gaya informan,” gumam Viero pelan. “Tapi tetap mudah dibaca jika kau tahu cara membacanya.” Viero tidak buru-buru menyapa. Ia menunggu. Menunggu hingga Arga pergi ke tempat yang sudah diprediksi. Dan benar saja. Arga naik taksi menuju sebuah gudang tua—markas sementara Bara Valentino. *** Di dalam gudang, Bara dan Adrian sedang men
Angin malam menerpa gedung pencakar langit di pusat bisnis Jakarta. Di puncaknya, lampu redup menyala di lantai tertinggi, tempat kantor rahasia Calvin Rahadian beroperasi di luar pengetahuan publik. Malam itu, ia tidak sendiri.Seorang pria duduk bersandar di sofa kulit hitam, menyilangkan kaki, dengan segelas whisky di tangan. Wajahnya tajam, berambut gelap disisir rapi ke belakang, dan senyum sinis yang menyembunyikan banyak rahasia.Namanya: Viero Santosa."Jadi," kata Viero perlahan, menatap Calvin yang sedang menuangkan minuman untuk dirinya, "kau benar-benar kehilangan kendali atas Mitha?"Calvin meletakkan botol di atas meja kaca. "Dia masih berguna. Tapi dia mulai ragu. Dan Andre Wijaya... aku pikir dia mulai berbalik arah."Viero terkekeh pelan. "Kau tahu aku bisa mengambil alih. Kalau kau izinkan, aku bisa 'menenangkan' Andre untuk selamanya."Calvin menatapnya tajam. "Jangan sentuh dia dulu. Aku butuh dia tetap bermain. Masih ada peran yang harus dia mainkan."Viero berdir
Langit Jakarta malam itu berwarna kelabu, seolah menyerap seluruh ketegangan yang melayang di udara. Hujan turun rintik-rintik, mengguyur balkon apartemen tempat Andre Wijaya berdiri. Ia belum beranjak sejak menerima pesan dari Mitha Rahadian."Kau harus pilih, Andre. Aku... atau keluargamu."Kalimat itu bukan sekadar ancaman. Itu adalah ultimatum, pedang bermata dua yang siap mengoyak semua sisi hidupnya.Andre menatap ke pantulan lampu kota yang basah, pikirannya melayang ke berbagai titik masa lalu. Tentang malam saat ia menundukkan kepala di depan Indra Wijaya, tentang cemburu terhadap Aldo, tentang ambisi yang dipendam dalam diam. Dan kini, tentang seorang perempuan bernama Mitha—yang begitu mempesona sekaligus beracun."Semua ini tidak seharusnya terjadi seperti ini," gumamnya.Tiba-tiba suara pintu dibuka dengan cepat dari dalam apartemen. Sosok Arga Wijaya berdiri di ambang pintu, wajahnya basah karena hujan, tapi matanya tajam, penuh urgensi."Andre," serunya. "Kau harus ikut
Alan Wijaya duduk di ruang kerja pribadinya, lampu temaram menyinari meja kayu mahoni yang penuh berkas, catatan, dan peta strategi. Malam semakin larut, tapi pikirannya masih menolak untuk tenang. Terlalu banyak variabel yang kini menyatu dalam satu pusaran: kembalinya Adrian, kehadiran Bara, bangkitnya Aldo, dan kini... Clara.Ia belum mengatakan pada siapa pun bahwa ia mendapat pesan singkat tanpa identitas—berisi hanya satu kalimat: "Calvin sedang menuju ke tempatmu." Alan tahu, pertemuan ini tak bisa dihindari. Ia tidak takut. Tapi ia tahu, sekali salah langkah, keluarga mereka bisa runtuh dalam satu malam.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang rumah itu. Arga dan Adrian muncul dari balik pintu, ekspresi mereka tegang."Dia benar-benar datang," kata Adrian.Alan mengangguk pelan. "Sudah waktunya kita menghadapinya."***Sementara itu, mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah keluarga Wijaya. Dari dalam, Calvin Rahadian melangkah keluar. Set
Langit Jakarta pagi itu tertutup awan kelabu. Hujan belum turun, tapi udara membawa kelembapan yang membuat suasana mencekam. Di sebuah vila tersembunyi di pinggiran kota, suasana hening sejenak setelah malam penuh ledakan dan peluru. Adrian duduk bersandar di sofa dengan perban di lengan kirinya. Clara duduk di sampingnya, wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih tajam dibanding sebelumnya. Arga mondar-mandir di ruang tengah, sementara Bara berdiri menghadap jendela, memperhatikan gerakan sekecil apa pun di luar. “Kalau mereka tahu kita di sini,” gumam Arga, “kita cuma punya waktu beberapa jam sebelum lokasi ini juga terbongkar.” Bara mengangguk. “Aku sudah siapkan satu tempat lagi. Tapi kali ini kita tidak hanya kabur. Kita harus mulai menyerang balik.” Clara menatap mereka satu per satu, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku akan ikut. Aku tidak akan kabur lagi. Aku sudah cukup lama menjadi boneka dalam permainan Calvin.” Adrian menoleh, memandangi Clara dengan sorot mat