Home / Romansa / Alverez / Jejak di Tengah Bayangan

Share

Jejak di Tengah Bayangan

Author: Daffa
last update Huling Na-update: 2024-12-10 19:53:46

Hari itu berlalu seperti biasanya di Elite High, namun suasana tidak pernah benar-benar tenang ketika lima bersaudara Wijaya ada di sekolah. Kelas mereka berbeda, tetapi setiap orang merasa kehadiran mereka seperti menguasai seluruh bangunan. Aldo sibuk dengan klub debat, Andre tenggelam dalam buku di perpustakaan, Arga memimpin tim olahraga, Alan hilang di sudut ruangan seni, dan Adrian berkeliaran di lapangan parkir, menghindari semua tanggung jawab akademik.

Adrian memutuskan untuk melewatkan jam terakhir pelajaran hari itu. Dia duduk di atas kap mobilnya, mendengarkan musik dengan earphone, ketika sosok yang sama menarik perhatiannya lagi. Clara berjalan melewati area parkir dengan langkah cepat, seperti sedang mencoba tidak terlihat. Tapi bagi Adrian, gerak-geriknya terlalu mencolok untuk diabaikan.

Tanpa berpikir panjang, Adrian memanggilnya. "Hei, kamu!"

Clara berhenti sejenak, tetapi tidak langsung menoleh. Dia tahu siapa yang memanggilnya, tapi enggan untuk terlibat.

"Ya, kamu yang jalan cepat seperti lagi dikejar sesuatu," lanjut Adrian, kali ini dengan nada bercanda.

Clara akhirnya menoleh, menatap Adrian dengan ekspresi datar. "Apa maumu?"

Adrian tersenyum tipis, melompat turun dari kap mobilnya, dan berjalan mendekat. "Aku cuma penasaran. Kamu beda dari yang lain. Semua orang di sekolah ini sibuk memperhatikan aku dan saudaraku, tapi kamu terlihat tidak peduli. Kenapa?"

Clara mengangkat alisnya. "Mungkin karena aku punya hal yang lebih penting untuk dipikirkan."

Adrian terkekeh. "Keras kepala, ya? Aku suka itu."

Clara tidak menjawab, hanya memutar bola matanya dan melanjutkan langkahnya. Adrian tidak mengejarnya, tetapi senyumnya tidak memudar. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, meskipun ia tidak bisa menjelaskan apa.

Di tempat lain, Alan berdiri di ruang seni yang sepi. Di depannya ada kanvas kosong, tetapi pikirannya sibuk dengan hal lain. Dalam beberapa minggu terakhir, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pengamatan kecilnya—mobil asing yang sering terlihat di dekat rumah mereka, tatapan aneh dari beberapa staf sekolah, hingga rumor tentang konflik keluarga mereka di masa lalu—semua itu mulai membentuk pola di pikirannya.

Dia membuka buku catatannya dan mencoret-coret beberapa kata: "Siapa musuhnya?" Alan tahu ada sesuatu yang dirahasiakan oleh orang tua mereka, tetapi dia belum yakin apa. Satu hal yang pasti, keluarganya tidak sepenuhnya aman, bahkan di tempat yang tampaknya tak tersentuh seperti Elite High.

Saat Alan termenung, Arga tiba-tiba masuk ke ruang seni dengan langkah besar.

"Alan! Kenapa kamu selalu mengurung diri di sini? Kamu harus keluar dan bergabung dengan kami di lapangan," katanya dengan senyum lebar.

Alan menutup buku catatannya dengan cepat dan memasukkannya ke dalam tas. "Aku tidak punya waktu untuk itu, Arga."

"Ayolah, hidup tidak melulu soal buku atau seni. Kamu terlalu serius!" Arga menggodanya sambil mendekat.

Alan hanya mengangkat bahu dan berjalan keluar tanpa menjawab. Sifat Alan yang tertutup sering membuat saudara-saudaranya bingung, tetapi mereka terbiasa membiarkannya sendiri.

Sementara itu, Aldo dan Andre sedang berbincang di sudut perpustakaan. Mereka membahas rencana rapat keluarga yang akan diadakan malam itu.

"Papa pasti akan membicarakan ekspansi bisnis lagi," kata Aldo dengan nada serius. "Kita harus siap memberikan pendapat, terutama soal proyek properti baru."

Andre mengangguk. "Aku sudah membaca laporan keuangan perusahaan. Semuanya terlihat baik, tapi aku masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Kamu tahu Papa jarang membicarakan hal-hal yang terlalu personal."

Aldo mendesah. "Itu tugas kita, Andre. Kita tidak boleh mengecewakan Papa."

Mereka berdua tenggelam dalam diskusi serius, tidak menyadari bahwa di luar perpustakaan, Clara kembali mengawasi mereka dari kejauhan. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, merasa gelisah. Setiap kali melihat salah satu dari saudara Wijaya, ia selalu teringat kata-kata ayahnya:

"Jangan pernah dekat dengan mereka. Mereka adalah musuh kita. Jangan lupa, Clara, apa yang keluarga mereka lakukan pada kita."

Clara tahu dia harus menjauh. Namun, pandangannya tetap tertuju pada Adrian yang sekarang berdiri di lapangan, dikelilingi teman-temannya. Ada sesuatu dalam sikap Adrian yang membuatnya sulit untuk tidak peduli, meskipun ia tahu itu salah.

Saat hari berakhir, kelima saudara Wijaya kembali berkumpul di area parkir. Mereka berdiri mengelilingi mobil mereka, membahas hari mereka masing-masing.

"Adrian, kamu bolos lagi?" tanya Aldo dengan nada tajam.

Adrian hanya tersenyum santai. "Aku belajar banyak di luar kelas, kok."

"Seperti apa?" Andre ikut menimpali, kali ini dengan nada sarkastik.

"Seperti bagaimana membuat orang tertarik padaku tanpa usaha," jawab Adrian sambil tertawa kecil.

Arga tertawa keras. "Setidaknya Adrian jujur soal bakatnya."

Alan, yang biasanya diam, tiba-tiba berbicara. "Kalian tidak merasa ada yang aneh akhir-akhir ini?"

Keempat saudaranya menoleh ke arahnya.

"Aneh bagaimana?" tanya Aldo, penasaran.

Alan menggelengkan kepala, enggan menjelaskan lebih jauh. "Tidak ada. Lupakan saja."

Namun, di dalam hatinya, Alan tahu sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang lebih besar dari apa yang bisa mereka bayangkan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Alverez   Kembalinya Indra dan Aldo Wijaya

    Malam masih pekat saat mobil yang membawa Adrian, Alan, dan Arga melaju kembali menuju vila keluarga Wijaya. Mereka baru saja memastikan Clara selamat di tangan ayahnya, Dimas Mahendra—pertemuan singkat namun emosional, di mana Clara menangis dalam pelukan sang ayah, dan Dimas bersumpah akan menebus kesalahannya.Namun, saat ketiganya tiba di depan gerbang vila, mereka disambut oleh pemandangan tak terduga: dua mobil hitam elegan terparkir rapi di halaman, dijaga oleh tiga pria berbadan besar yang tak dikenal.Arga segera menyalakan mode siaga, sementara Alan menyipitkan mata, mencoba mengenali logo kecil di pelat mobil: simbol sayap perak dengan huruf IW di tengahnya.Alan menarik napas tajam. “Itu… hanya satu orang yang pakai lambang itu.”Adrian perlahan turun dari mobil, jantungnya berdetak lebih cepat. Pintu vila terbuka. Dan di sana, berdiri dua sosok yang hampir ia lupakan namun tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.Indra Wijaya, sang kepala keluarga, dan Aldo Wijaya,

  • Alverez   Pertempuran Terakhir

    Adrian Wijaya berdiri di depan jendela apartemennya, menatap ke luar dengan mata yang penuh tekad. Ia tahu bahwa waktu mereka semakin sempit. Calvin Rahadian yang jahat sudah mengetahui langkah mereka, dan pertempuran yang sudah lama dihadapi, kini semakin mendekat pada klimaks yang tak terhindarkan. Hanya ada satu hal yang ada di pikirannya: mengembalikan Clara kepada ayahnya, Dimas Mahendra, dan menghentikan Calvin selamanya.Di sampingnya, Clara duduk dengan tubuh tertunduk, matanya yang lelah mencerminkan beban emosional yang telah ia tanggung selama ini. Ia telah kehilangan begitu banyak, tetapi kini ada harapan—harapan yang datang dari Adrian dan orang-orang yang bersamanya.“Apakah kamu siap?” tanya Adrian pelan, suaranya penuh pengertian.Clara mengangguk, meskipun rasa takut masih menggantung di hatinya. “Aku sudah tidak bisa lagi bersembunyi, Adrian. Aku ingin kembali ke rumah. Aku ingin bertemu ayahku.”Adrian mera

  • Alverez   Operasi Balas Dendam

    Dua hari setelah video penyiksaan Clara sampai ke tangan Dimas Mahendra, suasana di kediaman Mahendra berubah drastis. Tak ada lagi perjamuan mewah atau rapat direksi penuh kepura-puraan. Dimas kini menjadi sosok ayah yang terbakar oleh rasa bersalah dan marah. Clara, darah dagingnya sendiri, telah dikhianati oleh orang yang ia percaya selama ini: Calvin Rahadian.Namun, Dimas adalah pria yang tidak terbiasa bermain dengan emosi. Ia belajar dari pengalaman bahwa emosi bisa menjadi kelemahan. Maka ia menyalurkan amarahnya menjadi satu hal: aksi.Di ruang kerjanya yang kini dijaga lebih ketat dari biasanya, Dimas memanggil orang-orang terdekatnya yang paling ia percayai. Di hadapan mereka, ia menyusun sebuah operasi balas dendam yang ia beri nama: Operasi Langit Hitam. Sebuah rencana rahasia yang bertujuan menghancurkan Calvin Rahadian secara sistematis—bukan hanya dari segi kekuasaan, tapi juga citra, loyalitas, dan jaringan kekuatannya."Kita tak

  • Alverez    Jalan Pulang untuk Clara

    Hujan mengguyur malam Jakarta dengan derasnya, membasahi jendela apartemen tempat Adrian Wijaya berdiri mematung. Pandangannya kosong menatap ke luar, namun pikirannya bekerja cepat. Sudah terlalu banyak yang terjadi, terlalu banyak yang dikorbankan. Alvian, saudara kembarnya yang ia kenal sejak kecil, telah mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan Clara Mahendra. Dan kini, Adrian tahu bahwa ia tidak boleh gagal. Clara harus kembali kepada ayahnya, Dimas Mahendra. Bukan hanya demi menyatukan kembali keluarga itu, tapi juga demi mengakhiri semua pertumpahan darah yang dipicu oleh obsesi Calvin Rahadian.Di balik ruangan, Clara duduk di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya yang masih lelah. Trauma yang ia alami tidak bisa dihapus begitu saja. Namun, ada semangat di matanya—semangat untuk bertahan, untuk kembali, dan untuk melawan.Adrian mendekat, duduk di samping Clara, menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku akan membawamu pulang, Clara. Ayahmu harus tahu bahwa k

  • Alverez   Nyala Api dalam Kegelapan

    Langit malam kembali mendung, seperti menyatu dengan suasana hati Andre Wijaya. Ia berdiri sendiri di balkon lantai atas rumah keluarga Wijaya, menatap lampu-lampu kota Jakarta yang tampak seperti bintang mati. Di dalam dirinya, badai mengamuk. Peristiwa malam perayaan khusus keluarga masih membekas jelas di kepalanya. Anya. Gadis yang selama ini ada di sudut hatinya. Gadis yang kini menjadi penyebab keterpurukan moralnya.Alan belum bicara padanya sejak kejadian itu. Tatapan dingin dari sang kakak seperti pisau yang tertancap dalam-dalam di dadanya. Andre tahu, ia sudah melewati batas. Ia sudah membuka celah bagi musuh untuk masuk lebih dalam ke dalam keluarga mereka.Sementara itu, Alan sibuk mengurus kerusakan reputasi yang perlahan mulai mencuat di media. Meski tidak secara eksplisit diberitakan, namun berbagai portal gosip sudah mencium skandal Andre. Sebuah video buram tersebar di media sosial, menunjukkan sosok yang mirip dengan Andre bersama seorang perempuan m

  • Alverez   Reputasi yang Terenggut

    Pagi itu, Vila Wijaya yang megah di kawasan Puncak tampak sunyi, meski baru saja semalam menjadi tempat perayaan penuh gegap gempita memperingati keberhasilan keluarga Wijaya mempertahankan kendali atas proyek pembangunan energi terbarukan di Kalimantan Timur. Namun, sukacita itu tak berlangsung lama. Karena tepat dini hari, seorang tamu tak diundang berhasil menyelinap ke kamar Andre Wijaya dan menodai kehormatan malam itu.Anya, wanita cantik yang dikenal sebagai sahabat masa kecil Andre, telah berhasil menyelesaikan misi pertamanya untuk Dimas Mahendra. Dengan gaun merah menyala dan aroma parfum yang begitu khas, ia menggoda Andre tepat saat semua orang sibuk merayakan keberhasilan mereka di halaman belakang vila. Andre yang sudah lama menyimpan rasa pada Anya, dan juga sedang berada dalam kondisi mabuk ringan akibat minuman perayaan, tak kuasa menahan godaan itu.Mereka berdua menghilang ke kamar Andre, dan tak lama kemudian suara tawa dan desahan samar mengisi rua

  • Alverez   Perayaan yang Ternoda

    Hujan belum reda sepenuhnya dari langit kota itu ketika pesta perayaan khusus keluarga Wijaya berlangsung dalam kemegahan yang tetap dijaga tertutup. Gedung keluarga, yang berada di kawasan dataran tinggi dengan pemandangan langsung ke kota, bersinar terang dari lampu-lampu kristal yang tergantung dari langit-langitnya. Para tamu undangan—terbatas hanya keluarga inti dan rekan terpercaya—berpakaian rapi dalam balutan formalitas dan anggur merah yang tak berhenti dituang.Namun di tengah suasana hangat dan selebrasi yang penuh prestise itu, Andre Wijaya berdiri di balkon lantai atas, jauh dari keramaian, memandang lampu-lampu kota yang berkedip dalam bayangan gelap malam. Rasa frustrasi yang terus menumpuk sejak konflik internal dengan Alan belum juga surut. Kini, kehadiran kembali Adrian, adik bungsu yang dianggap telah mati, membuat Andre merasa makin tenggelam dalam bayangan bayangannya sendiri.“Apa kabar, Andre?” Sebuah suara lembut menyusup ke balik keheningannya.

  • Alverez   Operasi Langit Hitam

    Langit malam tampak muram, dihiasi awan hitam pekat yang menggantung berat di cakrawala. Angin bertiup tajam, menyibak pepohonan yang berjajar di sepanjang jalanan hutan pinggiran kota. Di balik bayang-bayang gelap itu, Bara Alvino, Adrian Wijaya, Arga Wijaya, dan Clara Mahendra bersembunyi di markas sementara mereka yang tersembunyi di bawah tanah. Tempat itu dulu adalah bunker militer tak terpakai, yang kini mereka sulap menjadi pusat komando darurat.Bara berdiri di depan layar besar yang menampilkan peta kota. Tangan kirinya memegang tablet yang terus menerus memperbarui pergerakan musuh, sementara tangan kanannya meremas sisa luka tembak yang belum sepenuhnya sembuh."Operasi Langit Hitam akan dimulai malam ini," ucap Bara tegas, memecah keheningan ruangan.Adrian yang berdiri di dekat meja dengan berbagai dokumen intelijen mengangkat kepalanya. "Kau yakin ini waktunya? Calvin pasti sedang menggila mencari Clara. Keadaan sangat tidak stabil."Clara y

  • Alverez   Pelarian dalam Bayangan

    Sirene mobil terdengar samar di kejauhan. Di dalam mobil hitam yang melaju cepat di jalan-jalan belakang kota, Bara Valentino memelintir kemudi dengan penuh fokus. Di sampingnya, Adrian duduk dengan ekspresi dingin, sesekali menoleh ke kursi belakang tempat Clara duduk dengan wajah pucat dan mata masih sembab. Arga duduk di sebelah Clara, menatap jalanan di belakang melalui kaca spion kecil, berjaga-jaga."Kita sudah masuk ke zona aman?" tanya Adrian dengan suara rendah."Belum. Tapi kita hampir keluar dari radius pencarian mereka. Mobil-mobil Calvin tersebar ke seluruh penjuru. Kita harus menyeberang ke distrik timur sebelum fajar," jawab Bara dengan nada tergesa.Arga menghela napas berat. "Sial, semua ini karena Mitha. Kita kecolongan."Clara hanya diam. Tubuhnya masih gemetar. Peristiwa beberapa hari terakhir masih menghantui pikirannya. Ia belum sepenuhnya percaya bahwa Adrian—atau pria yang mengaku sebagai Adrian—masih hidup. Tapi ketika mereka bertemu, ada kilasan ingatan, luka

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status