“Kau akan pergi ke mana?” tanya Amora pada Lilith yang tampaknya akan ke luar dari gua.
Meskipun kini mereka sudah berpindah ke markas baru yang jelas lebih aman dan tersembunyi, tetapi Xavier ternyata masih saja harus ke luar dari tempat tersebut untuk mengurus sesuatu yang tidak bisa dikatakan pada Amora. Karena kini Amora sudah berbaikan dengan Lilith, jadi Amora bisa menghabiskan waktu dengannya dengan nyaman. Karena kali ini Xavier lagi-lagi sibuk dengan kegiatannya di luar desa, jadi Amora rasa tidak ada salahnya jika menghabiskan waktu dengan Lilith. Karena dirinya memang hanya bisa menghabiskan waktu dengan Lilith, karena yang lainnya disibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing. Mendengar apa yang ditanyakan oleh Amora, Lilith menghentikan langkahnya dan bertanya balik, “Memangnya kenapa?”
Kini Amora dan Lilith berhadapan di dekat lorong gua. Amora pun menjawab, “Bukankah Xavier meminta kita untuk lebih berhati-hati? Itu artiny
Xavier berdiri di tengah-tengah lahan yang terlihat seperti bekas hutan yang telah terbakar hangus. Ia menatap ke sekelilingnya dengan pandangan sendu. Tempat tersebut sangat berarti bagi Xavier. Bahkan, masa lalunya sebagian besar dihabiskannya di tempat ini. Dalam artian, tempat ini memang memiliki tempat tersendiri dalam ingatan Xavier. Namun, penampilan tempta tersebut kini sangat berbeda dengan ingatan Xavier. Ia pun memejamkan matanya, merasakan kesedihan yang terekam jelas di alam di mana dirinya tengah berpijak. Kesedihan berpadu dengan kemarahan dan kekecewaan, membuat suasana tiba-tiba menjadi sangat berat dan udara pun tersa begitu menekan. Xavier tahu, jika kemarahan tersebut alam alamatkan kepadanya.Mereka marah karena sebagai seorang Amagl, ia tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Ia tidak bisa menjaga keseimbangan alam, dan membuat dunia di mana dirinya tinggal menjadi rusak seperti ini. Bahkan, kaum Amagl sendiri menjadi musnah. Salah satu dari kaum me
“Pergilah ke bukit itu, petik bunga kecil dengan kelopak putih dan putik keemasan. Jika dikeringkan dengan baik, lalu diseduh dengan air hangat, itu akan menjadi obat batuk yang sangat baik untuk anak-anak,” ucap Lilith sembari menunjuk sebuah bukit yang di puncaknya ada sebuah pohon berdaun rindang.“Apa aku pergi sendiri?” tanya Amora.Lilith mengangguk. “Aku harus mencari tanaman seperti yang kemarin kau cabut. Ternyata kita memerlukan tanaman itu lebih banyak. Aku akan menjemputmu lagi sekitar setengah jam kemudian,” ucap Lilith membuat Amora agak ragu. Jelas Amora takut jika dirinya akan ditinggalkan di tempat asing ini. Apalagi, ini daerah yang lebih jauh dari tempat kemarin. Seperti yang dikatakan oleh Lilith sebelumnya, ternyata mereka benar-benar pergi agak jauh dari mulut gua. Amora bahkan sama sekali tidak mengingat jalan yang sudah mereka lewati. Jika Lilith benar-benar meninggalkannya, maka Amora sudah dipastikan akan te
Amora membuka matanya yang terasa merekat dengan begitu erat. Napas Amora juga terasa sangat berat, seakan-akan ada sesuatu yang menekannya. Rasa sakit tiba-tiba menimpa kepalanya, membuat Amora meringis dan meneteskan air matanya. Jelas, Amora sadar jika saat ini dirinya tengah sakit. Sakit yang entah datang karena alasan apa. Padahal, sebelumnya Amora tidak merasakan sakit sama sekali, tetapi setelah jatuh tidak sadarkan diri kini Amora malah merasakan sakit seperti ini. Saat Amora masih tersiksa oleh rasa sakit itu, tiba-tiba merasakan keningnya disentuh oleh sesuatu yang terasa begitu dingin. Perlahan, Amora mengarahkan netra hijaunya untuk menatap hal yang membuat tubuhnya terasa lebih nyaman daripada sebelumnya.“Xavier,” gumam Amora dengan suaranya yang serak dan mengerikan. Xavier tidak mengatakan apa pun dan hanya memberikan tatapan dingin padanya. Entah mengapa, Amora malah menangis semakin keras.Xavier yang melihat hal itu, pada akhirnya mengulu
Amora menatap area latihan dengan tidak semangat. Jujur saja, Amora tidak berpikir jika hal yang dimaksud oleh Xavier dengan menghabiskan waktu ersama tak lain adalah mengunjungi area berlatih yang dibangun khus di desa tersembunyi yang mereka jadikan markas tersebut. Jelas, Amora lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dalam rumah dengan membaca novel atau menghabiskan waktu di dalam rumah terasa lebih baik. Karena Amora sendiri sebenarnya tidak terlalu menyukai aktifitas fisik yang membuatnya harus berkeringat banyak. Melihat raut wajah Amora yang masam, Xavier pun bertanya, “Apa mungkin kau tidak menyukai kegiatan ini? Bukankah kau ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku?”“Tapi aku tidak suka menghabiskan waktu dengan cara ini,” keluh Amora. Untungnya, area berlatih yang akan mereka gunakan, terpisah dengan area berlatih yang digunakan oleh para siluman lain yang kini berlatih dengan dipimpin oleh Vheer dan Penyihir Putih.Rasa tid
“Aku pergi dulu, ada hal yang perlu aku lakukan bersama Penyihir Putih. Ingat, jangan ke luar dari desa. Kali ini Lilith yang akan menemanimu berlatih. Setelah selesai, kau bisa bermain dengan Hoia dan anak-anak,” ucap Xavier lalu mencium kening Amora dengan lembut.Sedikit banyak, Amora merasa senang karena itu artinya, ia tidak akan mengalami hari yang teralalu berat karena berlatih di bawah pengawasan Xavier. Pria itu memang tidak melunak sama sekali saat melatih Amora. Ia menarapkan kedisiplinan yang tinggi saat melatih Amora memanah dan berlatih mantra sihir yang rasanya begitu sulit bagi Amora yang memang tidak memiliki bakat sihir sedikit pun. Amora pun mengangguk, tetapi ia menahan tangan Xavier sebelum berkata, “Saat kau pulang nanti, aku ingin membicarakan sesuatu. Apa boleh?”“Tentu saja. Sampai bertemu nanti sore,” ucap Xavier sebelum meninggalkan istrinya yang menuruti apa yang sudah dikatakan olehnya.Xavier perg
Xavier terlihat serius untuk memastikan jika tempat yang dijadikan sebagai markas mereka benar-benar aman. Karena ternyata Xavion bahkan sudah bisa memasuki alam bawah sadar Amora, bahkan menciptakan dunia yang membuat Amora terus bermimpi buruk. Itu artinya, sangat besar kemungkinan bagi Xavion untuk menemukan keberadaan Amora dan desa ini. Namun, ini belum terlambat. Jika Xavier memperkuat perlindungan dari dalam, itu sudah lebih dari cukup untuk menyulitkan Xavion melacak keberadaan Amora. Setelah selesai melakukan hal itu, Xavier pun segera beranjak menuju area berlatih di mana Amora sudah menunggu untuk melanjutkan pelatihannya. Kini, Amora memang sudah belajar merapal mantra untuk menggunakan busur sihir. Namun, ia belum bisa melakukannya dengan baik.Masalah mimpi Amora yang tak lain adalah ulah Xavion, Xavier tidak mengatakan apa pun pada Amora atau yang lainnya. Karena Xavier yakin, hal itu hanya akan membuat situasi semakin rumit. Para pengikut pasti akan merasa cem
“Tuan, Anda sudah kembali?” tanya Penyihir Putih yang memang menunggu kepulangan Xavier. Tidak seperti apa yang dibayangkan oleh dirinya, ternyata pembicaraan Xavier dan Blax menghabiskan banyak waktu. Xavier bahkan kembali kala fajar menyingsing dengan kondisi yang tidak terlalu baik. Penyihir Putih bisa melihat jika Xavier benar-benar kelelahan. Penyihir Putih sendiri merasa cemas, dan penasaran mengenai apa yang sudah terjadi. Ia memang harus kembali lebih cepat ke desa, untuk memastikan jika pertahanan tetap dalam kondisi baik.“Xavion menjebak kita,” ucap Xavier tiba-tiba membuat Penyihir Putih terkejut.“Apa maksud Anda, Tuan?” tanya Penyihir Putih meminta penjelasan lebih lanjut.Saat akan menjawab, tubuh Xavier limbung dan membuat Penyihir Putih dengan sigap menangkap tubuh sang tuan. “Orang yang aku temui di istana itu bukanlah Blax, melainkan Xavion. Aku hampir mati saat berhadapan dengannya,” jawab Xavie
“Ka, Kau siapa?!” tanya Amora dengan nada tinggi. Jelas terlihat jika Amora tengah merasa ketakutan. Xavier sama sekali tidak menjawab pertanyaan Amora. Ia malah meraih tangan Amora dan menariknya untuk jatuh ke dalam pelukannya.Jelas Amora berontak untuk melepaskan dari pelukan itu. Namun, ia sama sekali tidak bisa melepaskan diri. Ia malah mendengar perkataan yang membuat bulu kuduknya berdiri seketika. “Jika aku bukan Xavier, suamimu. Lalu, kau pikir siapakah aku?”Amora menggigit bibirnya, merasa benar-benar takut karena Xavier yang kini tengah memeluknya terasa begitu asing dan menakutkan baginya. Ia bahkan hampir menangis saat itu, tetapi kecupan pada kening Amora membuatnya tersadar dari gelombang rasa takut yang membuat tubuhnya bergetar hebat. Amora bertatapan dengan Xavier yang menatapnya dengan begitu lembut. “Sebenarnya apa yang kau khawatirkan, Amora? Aku Xavier. Mem