Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .
“Ada apa?” Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya. “Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel. Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri dengar percakapan Ardiaz di seberang—taman kecil di halaman rumahnya. Suara pria itu rendah, namun cukup jelas untuk ditangkap oleh telinga yang terbiasa peka. “Gambarnya aneh. Kirimkan ke tim untuk diselidiki,” ujar Ardiaz sebelum diam, mendengarkan respons dari lawan bicara di seberang telepon. Narumi berhenti memindai layar, keningnya berkerut. Kenapa Ardiaz juga membahas gambar aneh? Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tetapi ia tidak sempat berpikir lebih jauh karena sebuah pesan baru masuk di ponselnya. [Sorry Na, aku salah kirim.] Narumi membaca pesan itu sekilas, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tangannya menurunkan ponsel dan kembali menatap ayahnya. “Salah kirim rupanya,” ucapnya santai, nada suaranya berusaha terdengar ringan. “Siska terlalu sibuk sampai jadi human error.” Bramastyo hanya mengangguk pelan, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. “Kalau begitu, ayo kita masuk ke dalam,” matanya mengamati wajah Narumi dengan saksama. “Kamu pasti lelah.” Senyuman di bibir Narumi perlahan memudar. Ia tahu arah pembicaraan ini. Kalimat sederhana itu terlalu sarat dengan maksud tersembunyi. Sebuah pengingat halus tentang kejadian yang tak bisa ia hapus dari pikirannya, momen memalukan di depan Ghali, dan semua yang menyaksikan. Narumi menarik napas perlahan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. Namun, matanya tak bisa menahan rasa penasaran yang membuncah. “Sudah berapa lama Papa... mengawasiku?” tanyanya hati-hati. Bramastyo mengangkat alis sedikit, seolah pertanyaan Narumi bukan hal yang mengejutkan. “Semenjak kamu keluar dari rumah Papa,” katanya dengan lembut, tangannya perlahan meraih tangan putrinya. Genggaman itu tidak kuat, tetapi penuh kehangatan. Narumi hanya terpaku. Mata cokelatnya membulat dengan bibirnya terbuka sedikit, seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi gagal menemukan kata-kata yang pas. tiba-tiba saja, dadanya gemuruh, terharu. Ayahnya itu, punya cara sendiri untuk mengawasinya dari kejauhan. “Pa—” Suaranya bergetar, nyaris pecah oleh emosi, tetapi ia tak sempat melanjutkan. Sebuah suara dari belakang menyela, memecah momen yang seharusnya menjadi miliknya dan ayahnya. “Maaf, Om,” ujar Ardiaz yang muncul dengan langkah mantap. Suaranya tenang, tetapi cukup tegas untuk menarik perhatian semua orang di sana. “Sepertinya aku harus kembali. Ada pekerjaan mendesak yang perlu kuselesaikan.” Bramastyo menatap Ardiaz dengan alis sedikit mengerut, tetapi ia segera mengangguk kecil. “Oh, sangat disayangkan,” katanya, suaranya penuh nada kecewa. “Padahal Om ingin berbicara lebih lama dengan kalian. Ada satu hal penting yang ingin Om bahas, masalah pertunangan kalian.” Narumi tetap diam. Ia hanya memperhatikan percakapan itu dengan hati yang masih berdebar. Namun, tatapannya tak bisa lepas dari Ardiaz. Ada sesuatu di balik sorot mata keemasan pria itu, seberkas kegelisahan yang tidak selaras dengan senyumnya. “Lusa,” kata Ardiaz dengan wajah kembali ramah, seperti topeng yang dipasang dengan sempurna. “Kita bisa makan malam bersama. Sekalian Papa dan Mama juga ingin bertemu dengan calon istriku.” Tatapannya bergeser ke arah Narumi, pandangan yang hangat namun sulit untuk dibaca. Bramastyo menyambutnya dengan senyuman lebar. “Oho, ternyata teman lama Om sudah di Indonesia rupanya,” ujarnya dengan nada bahagia. “Baiklah, kalau begitu. Om tidak sabar bertemu dengan Papa dan Mamamu.” Ardiaz mengangguk, ekspresinya tetap tenang. “Kalau begitu, aku pamit dulu, Om.” Tatapannya kembali pada Narumi, kali ini lebih tajam, meskipun bibirnya tetap melengkung dalam senyum. “Bisa aku meminta nomor WA-mu?” Narumi menatap ponsel yang disodorkan Ardiaz. Ia tak segera meraih ponsel itu, seolah-olah benda kecil tersebut membawa beban yang lebih berat dari yang seharusnya. Di dalam hatinya, keraguan menyelinap perlahan, menciptakan rasa tak nyaman yang tak ia pahami. Namun, suara deham ayahnya yang tegas, meski tak keras membuyarkan pikirannya. Bramastyo menatapnya, sebuah isyarat halus yang tak bisa Narumi abaikan. Dengan berat hati, ia akhirnya mengambil ponsel itu dari tangan Ardiaz. Jari-jarinya nyaris menyentuh layar ponsel saat sebuah notifikasi melintas di atas layar. Mata Narumi seketika menyipit, mencoba membaca tulisan singkat itu. Sebuah nama muncul, terasa begitu akrab hingga membuat jantungnya berdetak lebih cepat: Siska. Narumi membeku sejenak, otaknya berputar menghubungkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul. Tapi sebelum ia sempat membaca lebih jauh, Ardiaz dengan gerakan cepat menggeser notifikasi itu ke atas, Hal ini membuat Narumi langsung menatap wajah Ardiaz. “Nomormu,” ujarnya dengan senyum yang tampak kaku. Narumi mengalihkan pandangannya dari wajah Ardiaz yang menyimpan banyak teka-teki. Ia menatap layar ponsel, kemudian helaan napas meluncur sebelum mengetikkan nomor ponselnya. Mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran liar yang mulai muncul di kepalanya, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa itu hanya kebetulan, nama yang sama, tak lebih dari itu. Saat Narumi selesai memasukkan nomornya, Ardiaz menarik kembali ponselnya. Tanpa banyak basa-basi, pria itu bergegas pergi. Langkah-langkahnya terdengar tergesa, seolah ada sesuatu yang dikejarnya. Narumi menatap punggungnya yang semakin menjauh. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap hingga suara ayahnya memecah keheningan. “Dia anak yang baik,” ujar Bramastyo, suaranya penuh keyakinan. “Papa yakin kamu akan bahagia bersamanya.” Narumi mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya, mencoba mencari ketulusan dalam ucapan tersebut, sampai ia tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya, namun sudut bibirnya terangkat, meski ia diam seribu bahasa. Dalam hatinya, sebuah pertanyaan menggantung tanpa jawaban. Apakah benar ia bisa menggantungkan kebahagiaannya pada pria yang baru beberapa jam ia temui? Atau, seperti pesan yang melintas di layar tadi, ada lebih banyak hal tentang Ardiaz yang masih tersembunyi? Di sisi lain, mobil Ardiaz meluncur cepat, menembus keramaian ibukota yang padat. Langit kekuningan tampak indah itu, tak cukup mengusir pikirannya yang kusut. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir, tanda kegelisahan yang sulit disembunyikan. Nada dering yang nyaring memecah kesunyian di dalam mobil. Dengan gerakan cepat, Ardiaz menekan tombol panggil di ponsel yang terhubung ke speaker mobil. “Apa kamu sudah menyelidiki gambar itu?” Suaranya terdengar tajam ketika ia berbicara, {Sudah, Bos. Sepertinya nona itu salah kirim. Dia baru saja mengonfirmasi.} Alis Ardiaz bertaut, menimbulkan kerutan di dahinya yang semakin dalam. “Salah kirim? Kamu yakin? Bagaimana dengan rekaman CCTV?” {Aspek itu aman, Bos.} Suara penuh keyakinan itu tak cukup membuat Ardiaz merasa lega. Matanya menatap lurus ke jalan, tapi pikirannya sibuk berputar, mencari celah yang mungkin terlewat. “Apa kamu benar yakin? Firasatku begitu buruk tentang hal ini.” Nada suaranya merendah, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. {Yakin seratus persen, Bos,} Ardiaz mengembuskan napas panjang atas keyakinan orang kepercayaannya itu. Otot-otot di wajahnya yang tadi tegang perlahan melunak, meskipun bayangan buruk masih membayangi pikirannya. “Baiklah,” katanya akhirnya, suara dalam itu kembali tenang. “Aku akan ke tempatmu sekarang.” Dengan satu gerakan, ia menekan tombol untuk mengakhiri panggilan, dan mobil mewah itu melesat lebih cepat, secepat detak jantung Karin yang kini berhadapan dengan ayahnya, Mahendra Pramudya. pria paruh baya itu berdiri seperti gunung berapi yang siap meletus, matanya menyala tajam dengan napas berat. “Gugurkan janin haram itu!”Ardiaz membukakan pintu mobil untuk Narumi. Gestur sederhana, namun bagi Narumi, ini seperti dunia baru yang terbuka. Saat masuk ke dalam mobil, aroma parfum Ardiaz yang maskulin menyambut indera penciumannya, membuatnya merasa aman.Suasana dalam mobil terasa hening beberapa saat. Hanya suara AC dan deru lalu lintas Jakarta yang terdengar samar. Sesekali klakson kendaraan dan teriakan pedagang kaki lima di persimpangan jalan menembus keheningan mereka. Ardiaz menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tapi dari sudut matanya, ia sesekali melirik Narumi. Wanita itu duduk tenang di sampingnya, jemarinya bermain dengan ujung blazer hitam yang dikenakannya—kebiasaan kecil saat ia gugup yang Ardiaz hapal di luar kepala.“Na,” panggil Ardiaz pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bercampur dengan gemuruh mesin kendaraan lain. “Aku ingin kamu ikut ke rumahku sekarang.”Narumi menoleh, alisnya terangkat sedikit. Pantulan sinar matahari dari jendela membuat mata cokelatnya terlihat lebih teran
Bramastyo menghela napas panjang, berat dengan beban rahasia yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. Matanya meredup seperti lilin yang hampir habis sumbu.“Boleh Papa masuk ke kamarmu?” tanyanya pelan, suaranya bergetar halus, menggantung di udara seperti kabut tipis di pagi hari.Narumi mengangguk tanpa kata. Tubuhnya yang lelah oleh tangis masih terasa kebas. Ia tahu... malam ini, akan ada kebenaran lain yang akhirnya keluar dari balik kabut panjang dalam hidupnya. Jantungnya berdegup kencang, menghitung detik-detik menuju pengakuan yang telah ia tunggu seumur hidup, seperti penantian panjang burung dalam sangkar yang melihat pintu sangkarnya mulai terbuka perlahan.Bramastyo melangkah masuk dengan langkah berat, setiap injakannya seperti membawa seluruh beban dunia. Ia tidak memilih untuk duduk, melainkan berjalan langsung menuju balkon kamar, seolah membutuhkan udara malam untuk membantu melepaskan rahasia yang telah tertanam begitu dalam di jiwanya.Pria paruh baya itu bersa
Tubuh Narumi menggigil hebat, seolah seluruh darah di tubuhnya membeku seketika. Bukan karena udara yang dingin, melainkan karena kenyataan pahit yang baru saja terungkap di hadapannya seperti belati yang menghujam tepat ke jantungnya. Dunia di sekitarnya berputar liar, membuat lantai di bawah kakinya terasa miring dan bergoyang. Ia hampir kehilangan keseimbangan, tangannya secara naluriah mencengkeram tepi meja untuk bertahan.Matanya yang biasanya berbinar penuh kehidupan kini kosong menatap pria yang berdiri dengan angkuh di tengah ruang tamu rumah keluarga Kwong — Demetrius Kallistos. Pria itu, dengan senyum tipis penuh kepuasan di wajahnya, menjadi perwujudan dari setiap ketakutan yang selama ini menghantuinya.Suara hatinya bergema penuh luka, seperti bisikan pilu yang mencekik batinnya. Apakah semua orang di sekitarku tidak memiliki ketulusan? Semuanya... selalu memiliki motif tersembunyi. Semuanya... selalu bermain drama.Narumi merasakan sesuatu hancur di dalam dirinya—ke
Tangan Narumi mengepal erat di sisi tubuhnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa membeku. Napasnya memburu, seakan ia baru saja ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.Ia menoleh, menatap Ardiaz dengan sorot mata penuh pertanyaan dan kemarahan. “Kau tahu siapa ‘Tuan’ yang dia maksud?”Ardiaz menggeleng pelan, tetapi ekspresinya semakin tegang. “Aku masih menyelidikinya. Tapi ini membuktikan satu hal, Na.”Ia menatap layar, seolah ingin menghancurkan sosok Larry yang masih tampak di sana. “Larry bukan dalang utamanya. Dia hanya eksekutor. Ada seseorang di balik layar yang mengendalikan semuanya.”Narumi menggigit bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga ketakutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.Siapa yang cukup berkuasa untuk mengatur semua ini?Dan lebih penting lagi—kenapa dia menargetkan Siska? Kenapa dia menargetkan dirinya?Tiba-tiba, Narumi merasa perutnya mual. Ia bergegas bangkit dari kursi, t
Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada
Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur