Suasana kanti sudah mulai ramai dengan beberapa karyawan yang sedang beristirahat atau sekedar duduk dan mengobrol. Seperti pesannya tadi pada Arum, Bayu sudah menunggu hampir setengah jam, tapi Arum belum juga menunjukan batang hidungnya. Beberapa kali dia menatap layar ponsel hendak menghubungi, akan tetapi Arum terlebih dahulu mengirim pesan.Arum :Bay, maaf, aku nggak bisa nemui kamu. Kerjaan aku masih banyak. Kalau mau ada yang di bicarakan, bisa hubungi aku atau telepon akuTerlihat sekali pria itu sangat kecewa, dia bangkit tanpa membalas pesan dari Arum. Kecewa dengan keadaan. Bayu yakin bukan karena sebuah pekerjaan, melainkan sebuah perasaan yang harus dihindari.Gugatan perceraian Arum dan Surya sudah didaftarkan, ada kelegaan karena terlepas dari pria yang dia anggap brengsek dan tidak tahu malu. Bayu sangat yakin jika dirinya akan memenangkan hak asuh anak Arum. Hanya itu yang bisa dilakukan untuk melihat orang yang dia sayang tersenyum bahagia.“Dan, dia menghidar lagi
Dalam perjalanan Nanda dan Kaila terlihat senang. Mereka tak berhenti bernyayi, tertawa juga saling bercanda. Arum sangat bahagia melihat kedua anaknya tertawa lepas bersama ayah mereka. Namun, dalam hatinya ia merasa sedih. Kembali berpikir tentang ucapan Surya. Bersatu demi dua buah hati mereka.Suasana pegunungan yang sejuk dan udara yang membuat hawa semakin dingin. Sepanjang perjalanan terlihat begitu cantik perkebunan teh yang terlihat oleh mata. Wanita itu sangat menikmati pemandangannya. Tanpa terasa sudah sampai di villa."Kita sudah sampai, ayo turun. Mau di dalam saja?" tanya Surya seraya membukakan pintu mobil."Iya, Mas."Suasana puncak mengingatkannya tentang kebahagiaan mereka yang dulu. Saat akhir pekan, Surya selalu mengajak keluarga menikmati udara sejuk di puncak. Arum duduk memandang kedua anaknya bermain lari-larian bersama ayah mereka. Sungguh pemandangan yang langka.Setelah puas bermain, Surya duduk menghampiri Arum. Wanita itu gugup seketika saat pria itu suda
Esoknya aetelah mendapat telepon dari Ayah Arum, Bayu segera datang ke rumahnya mereka. Arum terperangah dengan kedatangan pria berhidung mancung itu. Ia menatap wanita yang berhijab merah dengan dingin. Tatapannya tajam seperti ingin membunuh.“Kamu ngapain?” tanyanya heran.Sebelum Bayu menjawab, Wiryo terlebih dahulu menjawab pertanyaan Arum. “Ayah yang menyuruh dia datang.”“Untuk, apa?” Kembali ia bertanya heran.“Untuk membuka mata kamu, agar tidak memilih rujuk dengan Surya,” jawab ayahnya ketus. Lalu, pria berambut putih itu meninggalkan mereka agar leluasa berbicara. Keheningan menyelimuti suasana, semilir udara menusuk kulit tubuh. Diam dan tak satu kata pun terlontar dari bibir Arum.“Apa benar kamu mau membatalkan gugatan perceraian itu?” tanya Bayu dengan raut wajah gusar.“Belum tahu,” balas Arum singkat tanpa menatap wajah cemas dihadapannya.“Kalau begitu kemungkinan, akan?” Bayu mulai tersulut emosi.Wanita di hadapannya urung menjawab pertanyaan dari pengacaranya. Di
Setelah menunggu hampir sebulan, ini kali pertama sidang perceraian mereka digelar. Arum duduk didampingi oleh kuasa hukumnya, Bayu. Sedangkan Surya, menatap sinis pada calon mantan istrinya. Suasana tegang mulai terasa, apalagi saat hakim ketua sudah memasuki ruangan. Proses mediasi ini sebenarnya ditujukan untuk mereka yang ingin mengubah keputusan mereka. Namun, kata hati wanita itu kekeh pada pendiriannya. Perceraian yang memang seharusnya terjadi. Wanita berhijab biru itu menatap gusar pada Bayu. Pria itu tahu jika Arum sedang merasa takut. "Tenang, ada aku." Wanita itu mengangguk. Kemudian sidang dimulai dengan pembacaan pemohon atau gugatan. Ketua hakim memulai dengan berbagai macam pertanyaan dan ia mengusahakan agar pihak penggugat benar-benar memikirkan kembali keputusannya. "Apa tidak bisa dipikirkan kembali Saudari Arum? Korban dari perceraian ini adalah anak-anak. Apa Anda tidak memikirkan itu?" tanya ketua hakim. Wanita itu memberanikan diri menjawab pertanyaan hakim
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen
Di rumah terpisah Surya terperangah menatap tudung nasi yang masih kosong. Sepulang kerja harusnya Renata sudah menyiapkan masakan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan jika wanita itu sama sekali tidak menyediakan makanan.Perutnya yang sudah minta di isi mulai terasa perih. Asam lambungnya juga mulai kambuh. Geram ia memanggil wanita yang sedari tadi hanya sibuk dengan kuku-kukunya. Apalagi sepulang sidang tadi, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. "Renata!" teriaknya nyaring. Wajahnya terlihat pucat menahan perih yang mulai menggangu perutnya. Sekali ia memanggil, tapi istrinya tak juga datang meghampirinya. Kembali Surya memanggilnya. "Renata!" Suaranya kian meninggi. Namun, masih saja wanita berambut pirang itu tidak juga datang. Luapan emosinya tak tertahan lagi. Ia menghampiri dan mendapati Renata sedang asik mendengarkan aerophone di telinganya. Renata berbalik saat aerophone terasa di cabut dari telinganya. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" tanyanya dengan perasaan
Ia tertunduk lemas di hadapan sang ibu. Menceritakan nasib yang menimpanya. Sekilas ibunya hanya menatap iba, akan tetapi wanita tua itu berdecak kesal. Bahkan berulang kali mengelus dada. Lalu, menatap tajam pada anak semata wayangnya.“Lalu, kamu mau bagaimana?”“Aku nggak tahu, Bu.”“Apes banget kamu, Le. Udah jatoh ketimpa tangga pula. Udah Ibu bilang, hidup itu jangan neko-neko. Nikmati aja yang dikasih Gusti Allah, eh ini malah buat kesalahan fatal. Kehilangan berlian, eh sama kerikil juga ditendang. Sepertinya kamu kena karma dari perbuatan kamu sama mantan istrimu.” Wanita tua itu tak hentinya berbicara.“Bu, jangan menyudutkan aku.”“Loh, kenyataan. Untung Ibu kaya, kalau nggak, bisa gila Ibu tiba-tiba jatuh miskin.”“Bu.”“Yasudah, nanti Ibu hubungi Pamanmu. Kesempatan kedua pergunakan dengan baik. Awas aja kamu kalau sudah membaik perekonomian kembali sama Renata atau bersikap arogan lagi. Ibu sumpahin kere lagi kamu.”“Ibu, kok ngomong gitu?” Wajahnya memelas saat mendenga
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg