“Telinga kamu masih berfungsi ‘kan?” tanya Sadam yang kini menyandarkan punggung dan bersedekap menatap Luna.
“I-ya masih pak, jadi saya harus pilih antara jadi sekretaris wakil bapak?”
“Hm.”
Luna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pilihan yang sulit dan kedua posisi itu lebih baik dari tugasnya sekarang, sudah pasti penghasilannya pun berbeda. Kalau ia pilih tentu saja bisa lebih banyak mengumpulkan dana untuk modal usaha sang suami.
“Bagaimana?” tanya Sadam karena Luna malah melamun.
“Ehm, boleh saya pikirkan dulu, pak.”
“Tidak, harus sekarang atau saya tawarkan ke yang lain.” Sadam masih bersedekap menatap Luna yang bingung dan ragu memilih menjadi sekretaris atau wakil Sadam.
“Hei, pilih sekarang atau tidak!”
“Satu jam pak, tolong beri saya waktu satu jam,” seru Luna sambil mengangkat jari telunjuknya.
“Sekarang, saya hitung sampai lima. Satu, dua ….”
“Pak Sadam, saya mau jadi wakil bapak, iya wakil bapak.” Luna memilih wakil manager daripada sebagai sekretaris. Yang iya tahu sekretaris pria itu sering berganti, entah karena tidak bisa mengikuti ritme kerja pimpinannya atau memang ada alasan lain.
“Oke, kembali ke tempatmu. Saya hubungi HRD untuk revisi kontrak kerja dan satu jam lagi kita rapat.”
“Baik pak,” sahut Luna lalu berdiri dan meninggalkan Sadam, tanpa ia tahu kalau Sadam terus menatapnya sampai menghilang di balik pintu.
Sadam menghela nafas. Luna Wijaya, sejak hari pertama menjadi staf sudah menarik perhatian. Hanya dia perempuan yang tidak menatapnya penuh damba atau sorot mata menggoda. Kompetensinya lumayan dan cepat tanggap saat menerima penjelasan atau arahan, hanya saja sangat mudah panik.
Tawaran yang ia berikan tadi bukan karena ada maksud lain, memang posisi sekretaris dan wakilnya sedang kosong. Yang satu ia pecat, yang satu lagi resign mendadak karena orangtuanya sakit parah. Bisa saja ia tawarkan dua posisi tadi pada staf lain yang lebih senior. Hanya saja hatinya lebih condong pada Luna.
Semoga bukan karena ketertarikan lawan jenis karena itu salah. Saat ini ia memang single, duda cerai sudah lebih dari tujuh tahun karena mantan istri selingkuh. Sedangkan Luna statusnya sudah menikah atau istri orang.
Sadam menghubungi HRD untuk segera mencari posisi sekretaris dan mengupgrade kontrak kerja milik Luna.
“Iya, Luna Wijaya. Untuk posisi sekretaris, aku kembalikan pada kalian saja.”
“Dam, standar lo turunin dikit dong. Satu tahun sudah berapa kali lo ganti sekretaris, udah kayak ganti apaan aja,” tutur Kepala HRD yang memang berteman dengan Sadam.
“Kalau mereka nggak tahu kerja, tahunya dandan sama caper ke gue. Ngapain harus dipertahankan. Cari secepatnya, kerjaan lagi banyak nggak mungkin gue handle sendiri.” Terdengar suara decakan di ujung sana, Sadam pun mengakhiri panggilan.
***
Irwan kesal karena tidak bisa berkutik. Setelah memanggil Bik Ela yang langsung sibuk mengerjakan perintah Ibu mertuanya, dia juga tidak boleh pergi. Sudah jam dua belas lewat, perutnya sudah berteriak minta diisi. Apalagi aroma masakan yang dibuat oleh Bik Ela sangat harum membuatnya semakin kelaparan.
“Irwan!”
“Iya bu.” Irwan yang menunggu di beranda tergopoh-gopoh masuk ke rumah menghampiri sang mertua.
Ia mengernyitkan dahi mendapati ibu mertuanya sudah rapi dan siap berangkat. Seingatnya akan ada tamu, tapi kenapa malah mau pergi.
“Siapin mobil, kita jalan bentar lagi.”
“Kemana Bu?” tanya Irwan sambil menuju buffet di ruang keluarga. Kunci mobil biasa disimpan di salah satu laci.
“Nanti juga kamu tahu.” Terdengar ibu mertuanya bicara pada Bik Ela.
Irwan menggerakan bibirnya mengikuti ucapan wanita paruh baya itu, seraya mengejek.
“Hah, suruh jadi supir. Mending kalau dikasih uang rokok.”
Irwan membuka lebar pintu pagar lalu menghidupkan mesin mobil dan membiarkannya sampai sang mertua datang. Sambil bersiul dan mematut dirinya di center mirror, Ibu mertuanya masuk dan duduk di kabin tengah.
“Ayo, jalan!”
Perlahan mobil pun melaju meninggalkan rumah.
“Ke bandara, penerbangan domestik.”
“Iya, bu,” sahut Irwan. “Ke bandara mau ngapain bu?”
“Lihat pesawat.”
Irwan menarik nafasnya sambil terus fokus dengan kemudi. Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya atau jawaban dari sang ibu cukup mind blowing. Hampir satu jam setengah perjalanan dan sempat terjebak macet, akhirnya mereka tiba di bandara.
“Parkir dulu, kamu ikut ibu.”
“Saya tunggu di sini saja, nanti kalau sudah selesai saya jemput di ….”
“Ikut turun, barang bawaannya banyak. Kamu bantu bawakan.”
Mengekor langkah ibu mertuanya, Irwan terlihat tidak bersemangat. Entah siapa yang akan mereka temui, apa ada yang baru pulang naik haji sampai barang bawaannya banyak.
“Ibu.”
“Sherin.”
Irwan ikut menoleh ke arah suara dan kembali mengekor. Ternyata yang ditemui adalah perempuan dan mereka saling berpelukan, bahkan perempuan itu menangis dipelukan Ibu.
“Sudah nggak usah nangis, malu dilihat orang. Mana cucu Ibu?”
Cucu, batin Irwan lalu menatap perempuan itu.
“Itu siapa, bu?” tanya si perempuan.
“Oh iya, Irwan ini Sherin kakaknya Luna. Sherin, ini Irwan adik iparmu,” ujar Ibu dan Irwan mengangguk dan tersenyum. “Sherin tidak bisa hadir waktu kamu menikah,” ujar Ibu lagi.
Irwan tidak peduli dengan ibu mertuanya yang sibuk dengan Beni -- putra Sherin. Ia lebih fokus mengamati sang kakak ipar lewat spion tengah, tentu saja sambil fokus dengan kemudi. Terlihat cantik dan seksi dengan pakaian yang dikenakan. Meski ia akui kalau Luna memang cantik juga, tapi tidak pernah dandan maksimal seperti Sherin.
“Nggak usah sedih, kamu sama Beni sekarang tanggung jawab Ibu. Laki-laki nggak ngotak, istri dicerai dan ditinggal gitu aja.”
“Tapi Bu, Beni mulai besar, aku harus pikirkan biaya sekolahnya. Nggak yakin ayah Beni mau kasih nafkah. Aku mau kerja juga nggak tahu kerja apa.”
“Tenang aja, kamu fokus rawat anakmu. Ibu masih bisa cari uang. Mana tahu nanti ada laki-laki yang bisa terima kamu dan Beni.”
Saat ibu mengatakan hal itu, tatapan Sherin dan Irwan bertemu melalui center mirror. Perhatian Irwan tidak fokus dan hampir menabrak motor yang menyalip. Beruntung dia sigap menginjak rem.
“Irwan!” teriak Ibu.
“Maaf bu, tadi ada kucing lewat. Masa harus saya lindas Bu.” Irwan beralasan, tidak mungkin dia mengatakan kalau fokusnya terbagi dengan sosok bahenol di kabin tengah. Sedangkan Sherin tersenyum simpul dan mereka kembali saling tatap.
Di mobil, Sadam dan Ratna bertukar peran. Sadam yang mengemudi, Ratna menemani Luna dikabin tengah. Tujuan mereka tentu saja rumah sakit terdekat. Jalanan lumayan padat karena jam makan siang banyak yang beraktivitas di luar. Luna masih meringis merasakan sakit di perutnya. Ratna tidak mengerti harus bagaimana menenangkan. Melihat darah yang mengalir sudah jelas ada yang masalah dengan kandungan Luna.“Sabar, sebentar lagi sampai,” ujar Ratna. “Sadam, cepetan!”“Ratna,” panggil Luna. Meski keadaannya darurat, tapi Ratna membentak Sadam yang jelas atasan mereka rasanya tidak pantas.“Sudah dekat. Setelah lampu merah di depan,” sahut Sadam. “Luna, kamu jangan tidur. Ratna jangan biarkan dia tidur.”“Lo nggak ngantuk ‘kan?” tanya Ratna. Luna menggeleng pelan.Mobil berbelok memasuki kawasan rumah sakit dan berhenti tepat di depan UGD. Sadam kembali menggendong Luna, Ratna berteriak memanggil petugas yang segera datang mendorong brankar. Sadam membaringkan tubuh Luna dengan pelan dan hat
“Mbak Luna, maaf. Saya hubungi ke atas katanya udah keluar istirahat. Orangnya maksa, sudah saya bilang janjian dulu,” jelas salah satu staf resepsionis.“Nggak pa-pa. Di mana ya?” tanya Luna, pandangannya ke arah pintu lobby. Tidak menduga siapa yang datang mencarinya.“Saya minta tunggu di sana!” staf itu menunjuk ke arah sofa area tunggu. “Ah itu dia, kayaknya dari toilet.”Luna menatap ke arah yang ditunjuk lalu mengernyitkan dahi. “Mama,” ucapnya.“Mbak kenal?”“iya, aku temui dulu. Makasih ya,” ujar Luna. Kalau ditanya apa ia mau menemui ibu mertuanya, tentu saja tidak. Saat ini ia tidak ingin bertemu dengan siapapun yang berhubungan dengan Irwan.Namun, sudah terlanjur sudah ada di sini. Di usir pun tidak enak. Kecuali dia sedang tidak ada di tempat. Luna menghampiri, raut wajah mama Irwan terlihat tidak bersahabat saat pandangan mereka bertemu.Sekesal apapun, wanita itu adalah orang tua Irwan. Statusnya masih ibu mertua.“Mah,” sapa Luna lalu meraih tangan wanita itu untuk c
“Makasih ya Ceng,” seru Ibu menerima kunci mobil dari Aceng.“Sama-sama mpok. Aye pulang dulu ya.”“Iya,” sahut Ibu lalu mengantar sampai pagar dan merapatkan pintu.“Ibu dari mana?” tanya Sherin saat Ibu menutup pintu depan.Hampir pukul delapan malam ibunya datang diantar oleh Aceng orang kepercayaannya di toko.“Bertemu Luna,” jawab Ibu.“Kenapa nggak dia aja suruh ke sini, orangtua dikerjain,” gumam Sherin.“Ibu tidak merasa dikerjai oleh anak sendiri. Malah ibu yang minta kami bertemu di luar saja, demi kenyamanan dia. Kamu tunggu, ada yang harus dibicarakan. Ibu ganti baju dulu.”Melihat ibunya sudah ke kamar, Sherin bergumam mengejek kebijakan ibunya. Menurut dia, ibu pilih kasih. Merasa seperti tahanan saja, tidak dibebaskan keluar rumah kecuali atas izin dari sang ibu.Ibu keluar dari kamar sudah berganti daster yang lebih nyaman. Menuju sofa ruang tamu dan memanggil Sherin untuk ikut duduk.“Mana Beni?”“Udah tidur, dari sore ngambek mau ketemu Luna. Aku hubungi tidak aktif,
“Apa, hamil?”Luna mengangguk pelan menatap sendu ibunya. Salamah pun tidak bisa berkata-kata, ia bingung harus bersikap bagaimana antara senang dan sedih. Hanya bisa mengerjapkan matanya.“Bu,” panggil Luna. “Ibu tidak senang aku hamil?”“Senang, tentu saja ibu senang. Tambah cucu dan ini juga keinginan kamu ‘kan?” tanya Ibu sambil mengusap pipi Luna. “Tapi … kamu bilang mau cerai. Lalu bagaimana dengan anakmu nanti.”“Bukannya aku egois, tapi aku tetap ingin pisah dengan Mas Irwan. Banyak anak-anak yang tetap bahagia meski dilahirkan dari keluarga pasangan yang berpisah. Anakku nanti tidak akan kekurangan kasih sayang, ibu bantu aku dan semangati aku bu,” rengek Luna.“Pasti sayang, pasti ibu bantu. Mana mungkin ibu tidak bantu kamu.” Ibu kembali mengusap punggung tangan putrinya. Kehamilan dijalani Luna pasti akan berat. Harusnya ia didampingi suami tercinta, tapi ada masalah diantara mereka.Cukup berbincang, Luna dan Ibunya memutuskan untuk pulang.“Jaga diri baik-baik, hubung ib
“Saya tidak terima, kalian menginjak-injak harga diri Irwan sama saja menghina kami. Kalaupun Irwan belum bekerja, kami masih sanggup membiayai kebutuhan Irwan juga Luna,” teriak Mama Irwan.Perdebatan itu terjadi di beranda rumah, tentu saja didengar oleh tetangga depan dan samping rumah. Belum reda keluarga Luna menjadi omongan tetangga, ditambah dengan kedatangan orang tua Irwan yang langsung mencak-mencak merasa tidak bersalah.“Siapa menghina kalian, seharusnya aku dan Luna yang terhina,” seru Ibu Salamah berusaha tetap tenang.“Mah, sudah, kita bicarakan baik-baik. Jangan begini, malu dilihat tetangga,” ujar Papa Irwan.“Biarkan saja, biar mereka yang malu.”“Aku tidak malu, justru seharusnya kalian yang malu. Bertamu langsung teriak seperti orang kesurupan.”“Wajar kesurupan, di sini banyak setan.”Salamah hanya bisa mengurut dada menanggapi besannya atau calon mantan besan. Sepertinya ia tidak sanggup kalau Irwan dan Luna berbaikan dan kembali berbesanan dengan keluarga itu.“
“Aku … aku tetap ini cerai.” Luna menghela nafas setelah mengatakan itu.Sangat yakin dengan keputusannya. Apa yang dilakukan oleh Irwan sangat fatal, mengingkari janji suci pernikahan mereka. Membiarkan Luna menjadi tulang punggung padahal ia adalah tulang rusuk, sudah tidak masuk akal. Ditambah lagi Irwan berkhianat.Yang paling menjengkelkan, baik Irwan ataupun Sherin tidak terlihat menyesal akan kesalahan mereka. Kalaupun Irwan memohon mohon, terlihat tidak tulus. Jika Irwan meminta maaf, Luna akan maafkan, tapi tidak akan bisa melupakan kejadian itu dan keputusannya akan tetap sama.“Lo yakin?” tanya Ratna lagi dan dijawab Luna dengan anggukan. “Mungkin agak aneh kalau gue kasih saran, karena menikah juga belum. Tapi coba lo bicara lagi sama keluarga lo. Ibu atau dengan Irwan juga.”“Tentu saja, aku akan bicara dengan mereka.”“Apapun keputusan lo nanti, gue selalu dukung lo.”Luna tersenyum. “Terima kasih ya.”Ratna beranjak membereskan peralatan makan mereka, sudah sepakat sebe