Home / Romansa / Ambil Saja Suamiku / 2. Kedatangan Sherin

Share

2. Kedatangan Sherin

Author: dtyas
last update Last Updated: 2025-02-09 22:03:57

“Telinga kamu masih berfungsi ‘kan?” tanya Sadam yang kini menyandarkan punggung dan bersedekap menatap Luna.

“I-ya masih pak, jadi saya harus pilih antara jadi sekretaris wakil bapak?”

“Hm.”

Luna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pilihan yang sulit dan kedua posisi itu lebih baik dari tugasnya sekarang, sudah pasti penghasilannya pun berbeda. Kalau ia pilih tentu saja bisa lebih banyak mengumpulkan dana untuk modal usaha sang suami.

“Bagaimana?” tanya Sadam karena Luna malah melamun.

“Ehm, boleh saya pikirkan dulu, pak.”

“Tidak, harus sekarang atau saya tawarkan ke yang lain.” Sadam masih bersedekap menatap Luna yang bingung dan ragu memilih menjadi sekretaris atau wakil Sadam. 

“Hei, pilih sekarang atau tidak!”

“Satu jam pak, tolong beri saya waktu satu jam,” seru Luna sambil mengangkat jari telunjuknya.

“Sekarang, saya hitung sampai lima. Satu, dua ….”

“Pak Sadam, saya mau jadi wakil bapak, iya wakil bapak.” Luna memilih wakil manager daripada sebagai sekretaris. Yang iya tahu sekretaris pria itu sering berganti, entah karena tidak bisa mengikuti ritme kerja pimpinannya atau memang ada alasan lain.

“Oke, kembali ke tempatmu. Saya hubungi HRD untuk revisi kontrak kerja dan satu jam lagi kita rapat.”

“Baik pak,” sahut Luna lalu berdiri dan meninggalkan Sadam, tanpa ia tahu kalau Sadam terus menatapnya sampai menghilang di balik pintu.

Sadam menghela nafas. Luna Wijaya, sejak hari pertama menjadi staf sudah menarik perhatian. Hanya dia perempuan yang tidak menatapnya penuh damba atau sorot mata menggoda. Kompetensinya lumayan dan cepat tanggap saat menerima penjelasan atau arahan, hanya saja sangat mudah panik.

Tawaran yang ia berikan tadi bukan karena ada maksud lain, memang posisi sekretaris dan wakilnya sedang kosong. Yang satu ia pecat, yang satu lagi resign mendadak karena orangtuanya sakit parah. Bisa saja ia tawarkan dua posisi tadi pada staf lain yang lebih senior. Hanya saja hatinya lebih condong pada Luna.

Semoga bukan karena ketertarikan lawan jenis karena itu salah. Saat ini ia memang single, duda cerai sudah lebih dari tujuh tahun karena mantan istri selingkuh. Sedangkan Luna statusnya sudah menikah atau istri orang.

Sadam menghubungi HRD untuk segera mencari posisi sekretaris dan mengupgrade kontrak kerja milik Luna.

“Iya, Luna Wijaya. Untuk posisi sekretaris, aku kembalikan pada kalian saja.”

“Dam, standar lo turunin dikit dong. Satu tahun sudah berapa kali lo ganti sekretaris, udah kayak ganti apaan aja,” tutur Kepala HRD yang memang berteman dengan Sadam.

“Kalau mereka nggak tahu kerja, tahunya dandan sama caper ke gue. Ngapain harus dipertahankan. Cari secepatnya, kerjaan lagi banyak nggak mungkin gue handle sendiri.” Terdengar suara decakan di ujung sana, Sadam pun mengakhiri panggilan.

***

Irwan kesal karena tidak bisa berkutik. Setelah memanggil Bik Ela yang langsung sibuk mengerjakan perintah Ibu mertuanya, dia juga tidak boleh pergi. Sudah jam dua belas lewat, perutnya sudah berteriak minta diisi. Apalagi aroma masakan yang dibuat oleh Bik Ela sangat harum membuatnya semakin kelaparan.

“Irwan!”

“Iya bu.” Irwan yang menunggu di beranda tergopoh-gopoh masuk ke rumah menghampiri sang mertua.

Ia mengernyitkan dahi mendapati ibu mertuanya sudah rapi dan siap berangkat. Seingatnya akan ada tamu, tapi kenapa malah mau pergi.

“Siapin mobil, kita jalan bentar lagi.”

“Kemana Bu?” tanya Irwan sambil menuju buffet di ruang keluarga. Kunci mobil biasa disimpan di salah satu laci.

“Nanti juga kamu tahu.” Terdengar ibu mertuanya bicara pada Bik Ela.

Irwan menggerakan bibirnya mengikuti ucapan wanita paruh baya itu, seraya mengejek.

“Hah, suruh jadi supir. Mending kalau dikasih uang rokok.”

Irwan membuka lebar pintu pagar lalu menghidupkan mesin mobil dan membiarkannya sampai sang mertua datang. Sambil bersiul dan mematut dirinya di center mirror, Ibu mertuanya masuk dan duduk di kabin tengah.

“Ayo, jalan!”

Perlahan mobil pun melaju meninggalkan rumah.

“Ke bandara, penerbangan domestik.”

“Iya, bu,” sahut Irwan. “Ke bandara mau ngapain bu?”

“Lihat pesawat.”

Irwan menarik nafasnya sambil terus fokus dengan kemudi. Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya atau jawaban dari sang ibu cukup mind blowing. Hampir satu jam setengah perjalanan dan sempat terjebak macet, akhirnya mereka tiba di bandara.

“Parkir dulu, kamu ikut ibu.”

“Saya tunggu di sini saja, nanti kalau sudah selesai saya jemput di ….”

“Ikut turun, barang bawaannya banyak. Kamu bantu bawakan.”

Mengekor langkah ibu mertuanya, Irwan terlihat tidak bersemangat. Entah siapa yang akan mereka temui, apa ada yang baru pulang naik haji sampai barang bawaannya banyak.

“Ibu.”

“Sherin.”

Irwan ikut menoleh ke arah suara dan kembali mengekor. Ternyata yang ditemui adalah perempuan dan mereka saling berpelukan, bahkan perempuan itu menangis dipelukan Ibu.

“Sudah nggak usah nangis, malu dilihat orang. Mana cucu Ibu?”

Cucu, batin Irwan lalu menatap perempuan itu.

“Itu siapa, bu?” tanya si perempuan.

“Oh iya, Irwan ini Sherin kakaknya Luna. Sherin, ini Irwan adik iparmu,” ujar Ibu dan Irwan mengangguk dan tersenyum. “Sherin tidak bisa hadir waktu kamu menikah,” ujar Ibu lagi.

Irwan tidak peduli dengan ibu mertuanya yang sibuk dengan Beni -- putra Sherin. Ia lebih fokus mengamati sang kakak ipar lewat spion tengah, tentu saja sambil fokus dengan kemudi. Terlihat cantik dan seksi dengan pakaian yang dikenakan. Meski ia akui kalau Luna memang cantik juga, tapi tidak pernah dandan maksimal seperti Sherin.

“Nggak usah sedih, kamu sama Beni sekarang tanggung jawab Ibu. Laki-laki nggak ngotak, istri dicerai dan ditinggal gitu aja.”

“Tapi Bu, Beni mulai besar, aku harus pikirkan biaya sekolahnya. Nggak yakin ayah Beni mau kasih nafkah. Aku mau kerja juga nggak tahu kerja apa.”

“Tenang aja, kamu fokus rawat anakmu. Ibu masih bisa cari uang. Mana tahu nanti ada laki-laki yang bisa terima kamu dan Beni.”

Saat ibu mengatakan hal itu, tatapan Sherin dan Irwan bertemu melalui center mirror. Perhatian Irwan tidak fokus dan hampir menabrak motor yang menyalip. Beruntung dia sigap menginjak rem.

“Irwan!” teriak Ibu.

“Maaf bu, tadi ada kucing lewat. Masa harus saya lindas Bu.” Irwan beralasan, tidak mungkin dia mengatakan kalau fokusnya terbagi dengan sosok bahenol di kabin tengah. Sedangkan Sherin tersenyum simpul dan mereka kembali saling tatap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambil Saja Suamiku   94. Tidak Ada Tempat Lagi

    Selama perjalanan ke kantor, tidak ada percakapan terjadi. Sadam bungkam dengan raut wajah tidak terbaca. Perubahan itu setelah bertemu dengan wanita yang dipanggil Meli. Luna penasaran ada hubungan apa Sadam dengan wanita itu. Namun, tidak berani bertanya.Mobil pun sudah memasuki area perusahaan lalu menuju basement terparkir rapi. Saat Luna melepas seatbelt dan hendak membuka pintu mobil. Sadam menahan tangan Luna.“Wanita tadi, dia mantan istriku.” Sadam mengatakan itu dengan pandangan lurus ke depan. Raut wajahnya masih datar dan tidak terbaca. “Sudah bertahun-tahun kami berpisah dan baru tadi bertemu lagi. Maaf kalau sikapku--”“Aku mengerti,” ujar Luna.Sadam pun menoleh. Tangannya masih memegang tangan Luna. Dari tatapan mata Sadam, Luna melihat ada luka di sana. Entah ada masalah apa dengan mereka di masa lalu yang jelas berakhir tidak baik. Mungkin sama seperti yang ia rasakan saat berpisah dengan Irwan.“Sepertinya dia ingin bicara dengan bapak. Kalau aku boleh saran, baikn

  • Ambil Saja Suamiku   93. Anak Kita

    “Iya, Pak Sadam,” sapa Luna. Baru selesai bersiap, ada panggilan masuk dari pria itu.Luna menjawab sambil mematut wajahnya di cermin.“Aku hampir sampai. Mau dijemput ke rumah atau di tempat semalam?”“Hah, Pak Sadam jemput aku?”“Hm. Kamu sudah siap?”“Su-sudah sih. Di tempat semalam aja, aku berangkat sekarang.”Luna mengakhiri panggilan, tidak ingin membuat Sadam kelamaan menunggu. Ada untungnya ia tidak membawa semua pakaian dan barang lainnya. Seperti sekarang ia tidak khawatir untuk bekerja meski tidak membawa pakaian ganti.“Bu, aku jalan ya.” Luna menghampiri ibu sedang menyesap teh. Sherin menemani Beni yang sudah siap dengan seragam nya sedang sarapan. “Tidak sarapan dulu?”“Nanti saja di kantor, aku sudah dijemput.” Luna meraih tangan ibunya, mencium dengan takzim dan mendapat usapan di kepala.“Ya sudah, jaga kesehatanmu. Sabar dulu, kita selesaikan semua satu-satu.”Luna mengangguk, paham dengan maksud ibunya.“Tante mau kemana?” tanya Beni menghentikan kunyahnya.“Ker

  • Ambil Saja Suamiku   92. Penyesalan Irwan

    Luna keluar dari kamar mandi ibunya dan sudah berganti piyama. Sudah malam, ibu tidak mengizinkannya pulang ke kosan. Namun, Luna tidak menempati kamarnya sendiri, melainkan di kamar ibu.“Sudah mau tidur?” tanya Ibu menutup pintu lemari lalu beranjak ke ranjang.“Hm, badan aku pegal bu.”“Mau ibu buatkan susu hangat.” Masih duduk di tepi ranjang dan siap beranjak sambil menatap putrinya.“Nggak usah bu, nanti malah sebah perut aku jadi nggak bisa tidur.” Luna membuka tasnya mengambil kabel charger. Namun, sebelum menghubungkan pada ponsel, ia mengirim pesan pada Sadam kalau malam ini tidak pulang ke kosan.“Ya sudah cepat baring, besok kamu harus kerja.”“Iya,” sahut Luna mencharger ponsel di atas nakas sisi ranjang yang akan ditempati.Hasil pembicaraan bersama Sherin dan Irwan, Ibu putuskan menunggu kedatangan keluarga Irwan untuk melamar dan memuaskan kapan Sherin dan Irwan akan melangsungkan pernikahan.Tidak menuntut bawaan pernikahan yang mewah apalagi resepsi, yang penting res

  • Ambil Saja Suamiku   91. Memang Salah

    “Kalian?” Luna menatap Sherin dan Irwan bergantian dengan tatapan kesal dan marah. Bukan karena masih ada perasaan pada Irwan dan rasa cemburu. Namun, marah mendengar ide gila Sherin.“Kamu bilang ke Luna kita mau bertemu?” tanya Sherin lalu memukul lengan Irwan.Irwan mengusap lengannya menatap Luna. Wajah cantik dan imut dari wanita itu, ada rasa sesal menyelinap dalam dada. Namun, Irwan gegas menggeleng pelan. Luna sudah bukan miliknya lagi. Tidak boleh ada penyesalan karena semua salahnya. Saat ini ia harus perjuangkan Sherin.“Nggak, aku nggak hubungi Luna. Ini pertama kali kami bertemu setelah putusan pengadilan,” tutur Irwan.“Jadi benar kamu hamil mbak?”“Kamu, tahu dari mana?” Sherin malah balik tanya. Ia sudah berusaha menutupi dan baru Irwan yang tahu masalah ini.“Tidak perlu tahu dari mana. Lalu apa maksud kamu mau buang janin. Sadar mbak,” cecar Luna.“Justru karena aku sadar makanya aku akan buang. Nggak mungkin aku nikah sama dia.” Sherin menunjuk Irwan. “Aku tidak ma

  • Ambil Saja Suamiku   90. Terungkap Juga

    “Aku bisa pergi sendiri.” Luna tidak enak karena Sadam akan mengantar dia pulang. Sudah janji pada ibu kalau sore ini akan pulang ke rumah.“Dan aku bisa antar kamu. Lalu masalahnya di mana?”“Akunya nggak enak.”“Enakin saja. Salah satu kelebihan menjadi kekasihku, ya ini,” seru Sadam lalu menekan sensor kunci dan membuka pintu mobil. “Silahkan, sayang,” ujar Sadam.Luna tidak bisa menolak apa yang ada di depan mata. Cinta dan perhatian Sadam yang terlihat tulus. Pria itu selalu memperlakukan Luna dengan sopan, tidak pernah menjurus pada hal yang aneh apalagi mesum.Dalam perjalanan tidak banyak percakapan yang terjadi karena Sadam fokus dengan kemudi dan jalanan di depan. Jam pulang kantor membuat jalanan macet dan padat di beberapa titik.Sejak tadi Luna selalu mencuri pandang pada Sadam. Saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas, pria itu pun menoleh dan tersenyum.“Lirik-lirik nanti makin cinta loh.”“Ish, siapa yang lirik kamu.” Luna membuat pandangannya ke luar jendela sambi

  • Ambil Saja Suamiku   89. Pengakuan Irwan

    Luna tidak bisa memberikan solusi dari masalah Sherin. Bagaimanapun wanita itu sudah dewasa. Tidak mungkin dipaksa atau diseret ke dokter memastikan hamil atau tidak hamil.Saran yang disampaikan Luna agar Ibu mengajak Sherin bicara dan menyampaikan kecurigaan itu dengan hati-hati. Semoga saja Sherin luluh dan mau mengaku atau bersedia melakukan pemeriksaan.Tidak ingin terlibat lebih jauh, walaupun Sherin benar hamil kemungkinan besar bayi itu milik Irwan. Hubungan mereka bertiga agak kembali canggung dan berjarak karena masalah ini.“Ck, kenapa jadi kacau begini,” gumam Luna.Ia harus menurunkan ego untuk menangani masalah Sherin. Tidak ingin kesehatan ibunya kembali drop karena masalah ini.“Sepertinya besok aku harus pulang.”Baru akan meletakan ponsel di atas nakas, nyatanya ponsel itu bergetar. ada pesan dari Sadam.[Aku sudah sampai apartemen][Tapi sudah kangen lagi]Luna tersenyum dan mengetik balasan. [Gombal][Aku serius, sayang. Kamu istirahat ya. Good night and sleep tigh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status