“Aku jalan ya mas,” pamit Luna lalu meraih tangan suaminya.
“Hati-hati ya. Nanti malam, kamu lembur lagi?” tanya Irwan dengan raut wajah lesu.
“Belum tau, mas.”
“Eh Lun, kayaknya aku ke tempat mama aja ya. Nggak enak sama ibu kamu, jam segini belum berangkat pasti nggak ke toko.”
Luna menghela pelan, padahal ibunya tidak masalah dengan kondisi mereka tapi Irwan yang minder dan malu sendiri.
“Ya sudah terserah mas saja.” Ojek yang akan digunakan Luna ke kantor sudah menunggu di depan pagar. Menerima helm dan langsung ia pakai, motor pun melaju.
Sudah hampir satu tahun Irwan menganggur karena di perusahaan tempat bekerjanya bangkrut dan diambil alih oleh perusahaan lain. Lamaran sudah dikirim ke mana pun, nyatanya belum ada yang berhasil sampai diterima. Ada orang dalam pun masih harus melewati tes dan wawancara.
Katakan saja Irwan tidak kompeten karena selalu tidak berhasil setelah melakukan tes dan wawancara. Sampai akhirnya persediaan tabungan mereka menipis lalu Luna inisiatif untuk mencari kerja.
Lamaran dikirim ketiga perusahaan, salah satunya menerima Luna. Tentu saja dengan serangkaian tes. Tiga bulan bekerja nyatanya tidak cukup membiayai hidup mereka berdua termasuk juga sewa kontrakan per tahun yang sudah jatuh tempo.
Luna mengajak Irwan tinggal dengan orangtuanya, dari pada harus tinggal dengan orangtua Irwan. Khawatir ada drama mertua dan menantu seperti cerita di ftv dan sinetron ikan terbang.
Irwan tidak lagi mengirimkan surat lamaran atau bertanya pada teman dan kerabatnya mengenai lowongan pekerjaan. Entah karena sudah malas atau memang ingin menggeluti usaha seperti yang pernah direncanakan. Sayangnya terkendala dengan modal usaha.
“Irwan,” terdengar teriakan dari dalam rumah.
“Iya bu,” sahut Irwan padahal sudah nangkring di atas motor bersiap menuju pos di ujung jalan gabung dengan bapak-bapak gabut dan tukang ojek pangkalan sambil menunggu sampai ibu mertuanya berangkat ke toko. Setelah itu dia bisa pulang dan rebahan atau bermalas-malasan seharian.
Mulutnya sempat komat-kamit seperti mbah dukun, bukan baca mantra melainkan mengumpat.
“Luna sudah berangkat?” tanya ibu mertuanya.
Irwan menghela nafas. Melihat ibu mertuanya masih mengenakan daster dan sibuk mengganti channel TV dengan remote, artinya wanita itu tidak akan dinas di toko kelontong usaha keluarga mereka.
“Sudah bu,” jawab Irwan masih berdiri seperti murid yang dihukum oleh gurunya.
“Hm. Jangan kemana-mana, nanti siang ada tugas untuk kamu.”
“Tu-gas apa Bu?” tanya Irwan lagi. Dia takut kalau ada barang datang dan harus dipindahkan ke gudang, artinya dia harus angkat-angkat. Mana cocok dia melakukan hal itu, merasa tubuh dan penampilannya sempurna dan hina kalau disamakan dengan para kuli pasar.
“Ya pokoknya nanti bantu ibu. panggil Bik Ela, minta merapikan kamar tamu di samping kamar kalian, minta juga masak makan siang. Lauk yang spesial, terserah mau ikan, daging atau ayam.” Ibu sudah membuka dompetnya hendak mengeluarkan lembaran merah.
Irwan melirik.
Bisa kecipratan rejeki nih. Gue tilep aja selembar dua lembar mah, batin Irwan.
Namun, Ibu malah menutup kembali dompetnya. “Panggil aja bik Elanya, nanti saya yang kasih perintah.”
Bik Ela adalah perempuan yang biasa cuci setrika atau rapi-rapi di rumah itu, hanya saja datang dua hari sekali dan tidak menginap. Tinggal masih di satu kampung hanya beda gang.
“Nggak di telpon aja Bu.”
“Jam segini Ela lagi sibuk masak atau nyuci, mana dia peduli sama hp. Nggak kayak kamu seharian hp terus. Memang bisa telpon ke panci."
“Saya ‘kan main hp sambil usaha bu. Ya udah saya samperin ke rumahnya,” tutur Irwan dongkol karena gagal dapat rejeki dan diceramahi ibu mertuanya.
Entah tamu siapa yang akan datang karena ibu mertuanya sibuk mempersiapkan kedatangan.
***
“Pagi,” sapa Luna yang sudah tiba di kubikelnya.
Ratna yang kubikelnya tepat di samping Luna bukan menjawab sapaan malah menggeser kursinya mendekat. “Ada gosip baru, posisi wakil manager kosong. Artinya Pak Sadam lagi cari orang,” bisik Ratna.
“Oh,” sahut Luna lalu menghidupkan komputer.
Sadam adalah manager operasional di perusahaan tempatnya bekerja. Pria matang dan dewasa berstatus duda. Sebagai manajer pria itu berwibawa dan kharismatik. Tampan sudah pasti dan sering menjadi bahan pembicaraan para karyawan perempuan. Namun, untuk urusan pekerjaan sangat disiplin dan tegas bahkan sedikit arogan.
“Lo ada kesempatan untuk jadi wakilnya, sana samperin dia sudah datang.” Ratna bertitah sambil berbisik.
“Apaan sih.”
“Denger ya Lun, dari pada mbak-mbak senior di divisi kita yang otaknya sering ngelag kayak pentium jebot, lo lebih pantas. Selama ini Pak Sadam lebih mengandalkan lo kok. Percaya deh. Kemampuan oke, tampang juga lumayan. Minus dari diri lo karena masih sayang sama suami pengangguran dan nggak guna itu.”
“Ratna,” tegur Luna. “Ngapain bawa-bawa suami aku.”
Ratna adalah teman SMA Luna dan mereka bertemu lagi saat hari pertama bekerja. Ratna sudah dua tahun lebih lama bekerja di tempat itu dibandingkan Luna.
“Udah deh, lo denger apa kata gue. Itu laporan kemarin hasil lembur tim kita, antar ke ruangan Pak Sadam.”
“Tapi ….” Luna ragu. Namun, sudah berdiri dari kursinya. Laporan yang dimaksud Ratna memang harus dia antar. Biasanya ia dan Ratna atau rekannya yang lain yang menghadap Sadam untuk menyampaikan laporan, kali ini Ratna minta dia sendiri yang menyampaikan.
Ratna sudah beranjak dan meraih map berisi dokumen lalu diletakan di telapak tangan Luna dan mendorong tubuhnya pelan. “Buruan, keburu Pak Sadam sibuk. Anggap aja ini perintah dari senior,” usir Ratna.
Luna menarik nafas lalu melangkah, sempat menoleh dan mendapatkan pengusiran dengan lambaian tangan dari rekannya. “Cepat!”
Suasana ruangan tersebut belum ramai, waktu kerja masih sepuluh menit lagi. Walaupun sudah ada yang datang belum ada yang memulai kerja, ada yang fokus dengan ponsel karena sibuk dengan media sosial atau asyik mengisi keranjang di portal belanja online meski tidak tahu kapan akan melakukan cek out.
Luna melewati pintu kaca menuju ruangan Sadam. Sekretaris pria itu belum datang, terlihat meja kerjanya masih rapi. Mengetuk pintu yang tidak tertutup rapat.
“Masuk.” Suara bass penghuni ruangan, terdengar begitu berat dan dalam. Sangat mencerminkan seorang pria yang dewasa.
Luna menghela pelan lalu mendorong pintu tersebut.
“Selamat pagi pak,” sapa Luna.
“Oh Luna, masuklah.”
Luna mengangguk lalu mendekat dan duduk di depan meja kerja Sadam. Ruang kerja pria itu tidak terlalu luas, ada toilet di dalam dan sofa untuk menerima tamu. Hari ini Sadam menggunakan batik lengan panjang. Sesuai dengan aturan perusahaan terkait penggunaan pakaian. Luna mengenakan celana panjang dan blouse hitam lengan pendek dilapisi blazer motif batik.
“Ini laporan yang sudah selesai pak.” Luna meletakan dokumen di atas meja.
Sadam yang tadinya fokus pada layar laptop mengalihkan pandangannya dan mengambil map tersebut. Membuka helai demi helai laporan yang sudah tersusun.
“Kalau sudah acc bapak, bantex berisi bukti dan nota akan saya simpan di ruang arsip.”
Nyatanya Sadam malah meletakan dokumen tadi, bukan membubuhkan tanda tangan sebagai tanda dia sudah menyetujui audit yang dilakukan oleh tim Luna.
“Ini proyek X?” tanya Sadam.
“i-ya pak,” jawab Luna dan Sadam pun mengangguk.
“Luna, ada dua posisi yang saya tawarkan. Sekretaris atau wakil manager, keduanya akan bekerja di bawah arahan dan tanggung jawab saya. Kamu pilih yang mana?” tanya Sadam menatap lawan bicaranya.
“Apa?”
Sherin menyodorkan piyama saat Irwan keluar dari toilet dengan handuk mengalung di pinggangnya.“Beni udah tidur?”“Sudah,” jawab Sherin lalu duduk di tepi ranjang dan mengalihkan pandangan saat suaminya berganti piyama. Padahal mereka sudah sah, tapi malu kalau harus memperhatikan Irwan berganti meski ia menyukai dada kekar suaminya. Bahkan saat masih melakukan affair, senang sekali bersandar di dada dan bahu pria itu.“Ibu gimana?”“Udah tidur dari sore. Kenapa?”“Nggak pa-pa,” sahut Irwan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Di toko masih dibantu Encing nggak?”“Iya, paling siang ke sana. Kalau nggak ke sana, encing sore pasti kemari.”“Kamu jangan capek-capek, lagi hamil. Kalau bik Ela sudah nggak kerja, kita cari orang lagi. Beni masih anter jemput ‘kan?” cecar Irwan setelah menggantung handuk lalu ikut duduk di samping Sherin.Akhir-akhir ini ia lembur dan pulang agak malam. Semangat untuk menjalani, karena hidupnya sekarang harus menafkahi Sherin, Beni dan calon anak m
“Tenang, Sadam udah di jalan mau ke sini.” Ratna tersenyum karena menjadi perhatian dari semua orang di ruangan itu. Meski rasanya ingin sekali menghardik kalau memang pria itu ada di hadapannya.Mendengar Sadam memang dalam perjalanan ke tempat itu, Luna pun menghela lega. Sempat berburuk sangka kalau Sadam mungkin berubah pikiran untuk melamarnya.“Tenanglah, Sadam pasti datang,” bisik Ibu dan Luna mengangguk pelan.Mami Sadam masih mengoceh karena putranya berulah. Padahal dia sendiri yang mengusulkan waktu lamaran hari ini tanpa persiapan berarti, ternyata sibuk dan sudah satu minggu ini ia belum bertemu dengan putranya itu.“Bapak, Ibu, kita bercakap-cakap saja dulu. Lamaran pasti jadi, tunggu orangnya datang,” tutur Papi Sadam.Akhirnya ramah tamah pun terlaksana sebelum acara dimulai sambil menunggu kedatangan Sadam. Satu jam menunggu akhirnya Sadam tiba. Dengan nafas terengah bersama supirnya yang membawakan paper bag berisi dompet dan ponsel.“Pagi menjelang siang, aku tidak
Sadam tidak akan gentar dan goyah dengan rencana menikahi Luna. Baginya wanita itu adalah pelabuhan terakhir dan rumah untuknya pulang. Pemikiran yang sama mengenai kehidupan berumah tangga akan membuat perjalanan mereka lebih mudah. Sadam berprinsip kalau istri adalah pusat dari sebuah keluarga. Bagaimana kondisi rumah tangga, tergantung kondisi si istri. Akan lebih baik seorang istri menjadi penyemangat suami dan selalu berada di sampingnya. Begitupun dengan Luna yang ingin menjadi ibu rumah tangga saja. Berbakti pada suami dan memastikan suami serta anak-anaknya dalam limpahan kasih sayang. Wanita karir bukan cita-citanya setelah ia menikah. Sudah dua kali bertemu dengan Meli sang mantan istri. Pernah begitu mencintai dan tergila-gila pada wanita itu, tapi sekarang fokus Sadam hanya untuk Luna. Yang Sadam tahu Meli bekerja di stasiun TV, tapi sekarang malah mewakili perusahaan kontraktor.“Pak Sadam nggak salah, Bu Meli wow begitu diceraikan.”“Tidak, justru aku salah kalau teta
Luna hanya menggeleng sambil menggigit bibirnya saat Ratna datang. Berbeda dengan Sadam yang biasa saja dan memberikan arahan pada gadis itu.“Iya, gampanglah itu,” sahut Ratna. Sadam memintanya untuk membantu Luna mempersiapkan acara lamaran.Sadam pun akhirnya pamit dan memberikan sebuah kartu pada Luna untuk persiapan lamaran mereka. Mendekat untuk memeluk dan mencium kening Luna, dilakukan di hadapan Ratna.“Iya, nggak pa-pa terusin aja. Anggap aja gue nggak ada.”Luna tersenyum dan mengekor langkah Sadam meninggalkan ruang kerjanya, begitu pun dengan Ratna.“Hati-hati ya,” ujar Luna.“Hm, jangan segan menghubungiku.”Sore harinya, Ratna pun menemani Luna ke butik untuk memilih busana mereka saat lamaran. Mencari tempat untuk proses lamaran, karena permintaan Ibu juga Sadam. mengingat keluarga itu baru saja mengadakan pernikahan untuk Sherin.“Di sini bagus, lo setuju nggak?” tanya Ratna pada Luna yang sedang memfoto ruangan yang akan mereka sewa.“Hm, aku setuju, tapi nanti bilan
“Bu,” panggil Luna.Ibu yang sedang mengarahkan bik Ela dan suaminya agar membawa pulang makanan yang masih ada pun menoleh. Para kerabat dan tamu sudah pulang semua, termasuk Ardan dan Ratna. Beni sedang sibuk dengan mainan baru di kamarnya yang juga baru. Sherin dan Irwan sedang berganti pakaian.“Mau pulang?” tanya Ibu.“Iya, tapi Pak Sadam mau ngobrol dulu.” Luna memeluk lengan ibunya mengajak ke beranda di mana Sadam menunggu.“Ada apa nak Sadam?”Luna duduk di samping Sadam, sedangkan Ibu tepat di hadapan mereka.“Begini bu, saya berniat serius dengan Luna. Setelah ini saya akan bicarakan dengan orangtua untuk datang kemari bermaksud melamar Luna. Apa ibu keberatan? Saya paham mungkin terlalu cepat, apalagi Sherin baru saja menikah.”“Ibu paham, ini bukan masalah baru saja ada pernikahan di sini. Nak Sadam sudah yakin dengan Luna?”“Yakin, bu.”“Dengan segala latar belakang dan kekurangannya.”Sadam tidak langsung menjawab, ia meraih tangan Luna dan menggenggamnya. “Saya dan Lun
Sherin mematut wajahnya di cermin. Mengenakan kebaya putih gading yang membentuk tubuhnya. Polesan make up juga tatanan rambut dengan sanggul melengkapi penampilannya. Hari ini, tepatnya sesaat lagi ia akan menikah dengan Irwan.Pernikahannya yang kedua dan tidak pernah ada dalam rencananya ia akan gagal berumah tangga dan kembali memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak terbersit dalam benaknya akan menikah dengan Irwan. Awalnya hanya main-main dengan pria yang saat itu adalah adik ipar, nyatanya ia harus menanggung akibat itu.Awal hanya main-main malah berakibat fatal dan menjadi masalah. Luna menyaksikan affairnya dan saat ini ia sangat menyesal. Imbasnya bukan hanya Luna, tapi juga pada keluarga khususnya Ibu. Luna akhirnya bercerai bahkan keguguran.Pintu kamar dibuka, ternyata Ibu yang datang.“Sudah siap?” tanya wanita itu.Sherin tidak menjawab, ia menatap wanita yang sudah melahirkannya menghampiri dan berdiri di belakangnya. Rasa sesal dan malu yang ia rasaka