Home / Romansa / Ambil Saja Suamiku / 1. Jabatan Baru

Share

1. Jabatan Baru

Author: dtyas
last update Last Updated: 2025-02-09 22:03:15

“Aku jalan ya mas,” pamit Luna lalu meraih tangan suaminya.

“Hati-hati ya. Nanti malam, kamu lembur lagi?” tanya Irwan dengan raut wajah lesu.

“Belum tau, mas.”

“Eh Lun, kayaknya aku ke tempat mama aja ya. Nggak enak sama ibu kamu, jam segini belum berangkat pasti nggak ke toko.”

Luna menghela pelan, padahal ibunya tidak masalah dengan kondisi mereka tapi Irwan yang minder dan malu sendiri.

“Ya sudah terserah mas saja.” Ojek yang akan digunakan Luna ke kantor sudah menunggu di depan pagar. Menerima helm dan langsung ia pakai, motor pun melaju.

Sudah hampir satu tahun Irwan menganggur karena di perusahaan tempat bekerjanya bangkrut dan diambil alih oleh perusahaan lain. Lamaran sudah dikirim ke mana pun, nyatanya belum ada yang berhasil sampai diterima. Ada orang dalam pun masih harus melewati tes dan wawancara.

Katakan saja Irwan tidak kompeten karena selalu tidak berhasil setelah melakukan tes dan wawancara. Sampai akhirnya persediaan tabungan mereka menipis lalu Luna inisiatif untuk mencari kerja.

Lamaran dikirim ketiga perusahaan, salah satunya menerima Luna. Tentu saja dengan serangkaian tes. Tiga bulan bekerja nyatanya tidak cukup membiayai hidup mereka berdua termasuk juga sewa kontrakan per tahun yang sudah jatuh tempo.

Luna mengajak Irwan tinggal dengan orangtuanya, dari pada harus tinggal dengan orangtua Irwan. Khawatir ada drama mertua dan menantu seperti cerita di ftv dan sinetron ikan terbang.  

Irwan tidak lagi mengirimkan surat lamaran atau bertanya pada teman dan kerabatnya mengenai lowongan pekerjaan. Entah karena sudah malas atau memang ingin menggeluti usaha seperti yang pernah direncanakan. Sayangnya terkendala dengan modal usaha.

“Irwan,” terdengar teriakan dari dalam rumah.

“Iya bu,” sahut Irwan padahal sudah nangkring di atas motor bersiap menuju pos di ujung jalan gabung dengan bapak-bapak gabut dan tukang ojek pangkalan sambil menunggu sampai ibu mertuanya berangkat ke toko. Setelah itu dia bisa pulang dan rebahan atau bermalas-malasan seharian.

Mulutnya sempat komat-kamit seperti mbah dukun, bukan baca mantra melainkan mengumpat.

“Luna sudah berangkat?” tanya ibu mertuanya.

Irwan menghela nafas. Melihat ibu mertuanya masih mengenakan daster dan sibuk mengganti channel TV dengan remote, artinya wanita itu tidak akan dinas di toko kelontong usaha keluarga mereka.

“Sudah bu,” jawab Irwan masih berdiri seperti murid yang dihukum oleh gurunya.

“Hm. Jangan kemana-mana, nanti siang ada tugas untuk kamu.”

“Tu-gas apa Bu?” tanya Irwan lagi. Dia takut kalau ada barang datang dan harus dipindahkan ke gudang, artinya dia harus angkat-angkat. Mana cocok dia melakukan hal itu, merasa tubuh dan penampilannya sempurna dan hina kalau disamakan dengan para kuli pasar.

“Ya pokoknya nanti bantu ibu. panggil Bik Ela, minta merapikan kamar tamu di samping kamar kalian, minta juga masak makan siang. Lauk yang spesial, terserah mau ikan, daging atau ayam.” Ibu sudah membuka dompetnya hendak mengeluarkan lembaran merah.

Irwan melirik.

Bisa kecipratan rejeki nih. Gue tilep aja selembar dua lembar mah, batin Irwan.

Namun, Ibu malah menutup kembali dompetnya. “Panggil aja bik Elanya, nanti saya yang kasih perintah.”

Bik Ela adalah perempuan yang biasa cuci setrika atau rapi-rapi di rumah itu, hanya saja datang dua hari sekali dan tidak menginap. Tinggal masih di satu kampung hanya beda gang.

“Nggak di telpon aja Bu.”

“Jam segini Ela lagi sibuk masak atau nyuci, mana dia peduli sama hp. Nggak kayak kamu seharian hp terus. Memang bisa telpon ke panci."

“Saya ‘kan main hp sambil usaha bu. Ya udah saya samperin ke rumahnya,” tutur Irwan dongkol karena gagal dapat rejeki dan diceramahi ibu mertuanya.

Entah tamu siapa yang akan datang karena ibu mertuanya sibuk mempersiapkan kedatangan.

***

“Pagi,” sapa Luna yang sudah tiba di kubikelnya.

Ratna yang kubikelnya tepat di samping Luna bukan menjawab sapaan malah menggeser kursinya mendekat. “Ada gosip baru, posisi wakil manager kosong. Artinya Pak Sadam lagi cari orang,” bisik Ratna.

“Oh,” sahut Luna lalu menghidupkan komputer.

Sadam adalah manager operasional di perusahaan tempatnya bekerja. Pria matang dan dewasa berstatus duda. Sebagai manajer pria itu berwibawa dan kharismatik. Tampan sudah pasti dan sering menjadi bahan pembicaraan para karyawan perempuan. Namun, untuk urusan pekerjaan sangat disiplin dan tegas bahkan sedikit arogan.

“Lo ada kesempatan untuk jadi wakilnya, sana samperin dia sudah datang.” Ratna bertitah sambil berbisik.

“Apaan sih.”

“Denger ya Lun, dari pada mbak-mbak senior di divisi kita yang otaknya sering ngelag kayak pentium jebot, lo lebih pantas. Selama ini Pak Sadam lebih mengandalkan lo kok. Percaya deh. Kemampuan oke, tampang juga  lumayan. Minus dari diri lo karena masih sayang sama suami pengangguran dan nggak guna itu.”

“Ratna,” tegur Luna. “Ngapain bawa-bawa suami aku.”

Ratna adalah teman SMA Luna dan mereka bertemu lagi saat hari pertama bekerja. Ratna sudah dua tahun lebih lama bekerja di tempat itu dibandingkan Luna.

“Udah deh, lo denger apa kata gue. Itu laporan kemarin hasil lembur tim kita, antar ke ruangan Pak Sadam.”

“Tapi ….” Luna ragu. Namun, sudah berdiri dari kursinya. Laporan yang dimaksud Ratna memang harus dia antar. Biasanya ia dan Ratna atau rekannya yang lain yang menghadap Sadam untuk menyampaikan laporan, kali ini Ratna minta dia sendiri yang menyampaikan.

Ratna sudah beranjak dan meraih map berisi dokumen lalu diletakan di telapak tangan Luna dan mendorong tubuhnya pelan. “Buruan, keburu Pak Sadam sibuk. Anggap aja ini perintah dari senior,” usir Ratna.

Luna menarik nafas lalu melangkah, sempat menoleh dan mendapatkan pengusiran dengan lambaian tangan dari rekannya. “Cepat!”

Suasana ruangan tersebut belum ramai, waktu kerja masih sepuluh menit lagi. Walaupun sudah ada yang datang belum ada yang memulai kerja, ada yang fokus dengan ponsel karena sibuk dengan media sosial atau asyik mengisi keranjang di portal belanja online meski tidak tahu kapan akan melakukan cek out.

Luna melewati pintu kaca menuju ruangan Sadam. Sekretaris pria itu belum datang, terlihat meja kerjanya masih rapi. Mengetuk pintu yang tidak tertutup rapat.

“Masuk.” Suara bass penghuni ruangan, terdengar begitu berat dan dalam. Sangat mencerminkan seorang pria yang dewasa.

Luna menghela pelan lalu mendorong pintu tersebut.

“Selamat pagi pak,” sapa Luna.

“Oh Luna, masuklah.”

Luna mengangguk lalu mendekat dan duduk di depan meja kerja Sadam. Ruang kerja pria itu tidak terlalu luas, ada toilet di dalam dan sofa untuk menerima tamu. Hari ini Sadam menggunakan batik lengan panjang. Sesuai dengan aturan perusahaan terkait penggunaan pakaian. Luna mengenakan celana panjang dan blouse hitam lengan pendek dilapisi blazer motif batik.

“Ini laporan yang sudah selesai pak.” Luna meletakan dokumen di atas meja.

Sadam yang tadinya fokus pada layar laptop mengalihkan pandangannya dan mengambil map tersebut. Membuka helai demi helai laporan yang sudah tersusun.

“Kalau sudah acc bapak, bantex berisi bukti dan nota akan saya simpan di ruang arsip.”

Nyatanya Sadam malah meletakan dokumen tadi, bukan membubuhkan tanda tangan sebagai tanda dia sudah menyetujui audit yang dilakukan oleh tim Luna.

“Ini proyek X?” tanya Sadam.

“i-ya pak,” jawab Luna dan Sadam pun mengangguk.

“Luna, ada dua posisi yang saya tawarkan. Sekretaris atau wakil manager, keduanya akan bekerja di bawah arahan dan tanggung jawab saya. Kamu pilih yang mana?” tanya Sadam menatap lawan bicaranya.

“Apa?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambil Saja Suamiku   55. Keguguran

    Di mobil, Sadam dan Ratna bertukar peran. Sadam yang mengemudi, Ratna menemani Luna dikabin tengah. Tujuan mereka tentu saja rumah sakit terdekat. Jalanan lumayan padat karena jam makan siang banyak yang beraktivitas di luar. Luna masih meringis merasakan sakit di perutnya. Ratna tidak mengerti harus bagaimana menenangkan. Melihat darah yang mengalir sudah jelas ada yang masalah dengan kandungan Luna.“Sabar, sebentar lagi sampai,” ujar Ratna. “Sadam, cepetan!”“Ratna,” panggil Luna. Meski keadaannya darurat, tapi Ratna membentak Sadam yang jelas atasan mereka rasanya tidak pantas.“Sudah dekat. Setelah lampu merah di depan,” sahut Sadam. “Luna, kamu jangan tidur. Ratna jangan biarkan dia tidur.”“Lo nggak ngantuk ‘kan?” tanya Ratna. Luna menggeleng pelan.Mobil berbelok memasuki kawasan rumah sakit dan berhenti tepat di depan UGD. Sadam kembali menggendong Luna, Ratna berteriak memanggil petugas yang segera datang mendorong brankar. Sadam membaringkan tubuh Luna dengan pelan dan hat

  • Ambil Saja Suamiku   54. Penyerangan

    “Mbak Luna, maaf. Saya hubungi ke atas katanya udah keluar istirahat. Orangnya maksa, sudah saya bilang janjian dulu,” jelas salah satu staf resepsionis.“Nggak pa-pa. Di mana ya?” tanya Luna, pandangannya ke arah pintu lobby. Tidak menduga siapa yang datang mencarinya.“Saya minta tunggu di sana!” staf itu menunjuk ke arah sofa area tunggu. “Ah itu dia, kayaknya dari toilet.”Luna menatap ke arah yang ditunjuk lalu mengernyitkan dahi. “Mama,” ucapnya.“Mbak kenal?”“iya, aku temui dulu. Makasih ya,” ujar Luna. Kalau ditanya apa ia mau menemui ibu mertuanya, tentu saja tidak. Saat ini ia tidak ingin bertemu dengan siapapun yang berhubungan dengan Irwan.Namun, sudah terlanjur sudah ada di sini. Di usir pun tidak enak. Kecuali dia sedang tidak ada di tempat. Luna menghampiri, raut wajah mama Irwan terlihat tidak bersahabat saat pandangan mereka bertemu.Sekesal apapun, wanita itu adalah orang tua Irwan. Statusnya masih ibu mertua.“Mah,” sapa Luna lalu meraih tangan wanita itu untuk c

  • Ambil Saja Suamiku   53. Tamu Tak Diundang

    “Makasih ya Ceng,” seru Ibu menerima kunci mobil dari Aceng.“Sama-sama mpok. Aye pulang dulu ya.”“Iya,” sahut Ibu lalu mengantar sampai pagar dan merapatkan pintu.“Ibu dari mana?” tanya Sherin saat Ibu menutup pintu depan.Hampir pukul delapan malam ibunya datang diantar oleh Aceng orang kepercayaannya di toko.“Bertemu Luna,” jawab Ibu.“Kenapa nggak dia aja suruh ke sini, orangtua dikerjain,” gumam Sherin.“Ibu tidak merasa dikerjai oleh anak sendiri. Malah ibu yang minta kami bertemu di luar saja, demi kenyamanan dia. Kamu tunggu, ada yang harus dibicarakan. Ibu ganti baju dulu.”Melihat ibunya sudah ke kamar, Sherin bergumam mengejek kebijakan ibunya. Menurut dia, ibu pilih kasih. Merasa seperti tahanan saja, tidak dibebaskan keluar rumah kecuali atas izin dari sang ibu.Ibu keluar dari kamar sudah berganti daster yang lebih nyaman. Menuju sofa ruang tamu dan memanggil Sherin untuk ikut duduk.“Mana Beni?”“Udah tidur, dari sore ngambek mau ketemu Luna. Aku hubungi tidak aktif,

  • Ambil Saja Suamiku   52. Menyangkal

    “Apa, hamil?”Luna mengangguk pelan menatap sendu ibunya. Salamah pun tidak bisa berkata-kata, ia bingung harus bersikap bagaimana antara senang dan sedih. Hanya bisa mengerjapkan matanya.“Bu,” panggil Luna. “Ibu tidak senang aku hamil?”“Senang, tentu saja ibu senang. Tambah cucu dan ini juga keinginan kamu ‘kan?” tanya Ibu sambil mengusap pipi Luna. “Tapi … kamu bilang mau cerai. Lalu bagaimana dengan anakmu nanti.”“Bukannya aku egois, tapi aku tetap ingin pisah dengan Mas Irwan. Banyak anak-anak yang tetap bahagia meski dilahirkan dari keluarga pasangan yang berpisah. Anakku nanti tidak akan kekurangan kasih sayang, ibu bantu aku dan semangati aku bu,” rengek Luna.“Pasti sayang, pasti ibu bantu. Mana mungkin ibu tidak bantu kamu.” Ibu kembali mengusap punggung tangan putrinya. Kehamilan dijalani Luna pasti akan berat. Harusnya ia didampingi suami tercinta, tapi ada masalah diantara mereka.Cukup berbincang, Luna dan Ibunya memutuskan untuk pulang.“Jaga diri baik-baik, hubung ib

  • Ambil Saja Suamiku   51. Aku Hamil

    “Saya tidak terima, kalian menginjak-injak harga diri Irwan sama saja menghina kami. Kalaupun Irwan belum bekerja, kami masih sanggup membiayai kebutuhan Irwan juga Luna,” teriak Mama Irwan.Perdebatan itu terjadi di beranda rumah, tentu saja didengar oleh tetangga depan dan samping rumah. Belum reda keluarga Luna menjadi omongan tetangga, ditambah dengan kedatangan orang tua Irwan yang langsung mencak-mencak merasa tidak bersalah.“Siapa menghina kalian, seharusnya aku dan Luna yang terhina,” seru Ibu Salamah berusaha tetap tenang.“Mah, sudah, kita bicarakan baik-baik. Jangan begini, malu dilihat tetangga,” ujar Papa Irwan.“Biarkan saja, biar mereka yang malu.”“Aku tidak malu, justru seharusnya kalian yang malu. Bertamu langsung teriak seperti orang kesurupan.”“Wajar kesurupan, di sini banyak setan.”Salamah hanya bisa mengurut dada menanggapi besannya atau calon mantan besan. Sepertinya ia tidak sanggup kalau Irwan dan Luna berbaikan dan kembali berbesanan dengan keluarga itu.“

  • Ambil Saja Suamiku   50. Keputusan Luna

    “Aku … aku tetap ini cerai.” Luna menghela nafas setelah mengatakan itu.Sangat yakin dengan keputusannya. Apa yang dilakukan oleh Irwan sangat fatal, mengingkari janji suci pernikahan mereka. Membiarkan Luna menjadi tulang punggung padahal ia adalah tulang rusuk, sudah tidak masuk akal. Ditambah lagi Irwan berkhianat.Yang paling menjengkelkan, baik Irwan ataupun Sherin tidak terlihat menyesal akan kesalahan mereka. Kalaupun Irwan memohon mohon, terlihat tidak tulus. Jika Irwan meminta maaf, Luna akan maafkan, tapi tidak akan bisa melupakan kejadian itu dan keputusannya akan tetap sama.“Lo yakin?” tanya Ratna lagi dan dijawab Luna dengan anggukan. “Mungkin agak aneh kalau gue kasih saran, karena menikah juga belum. Tapi coba lo bicara lagi sama keluarga lo. Ibu atau dengan Irwan juga.”“Tentu saja, aku akan bicara dengan mereka.”“Apapun keputusan lo nanti, gue selalu dukung lo.”Luna tersenyum. “Terima kasih ya.”Ratna beranjak membereskan peralatan makan mereka, sudah sepakat sebe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status