“Makasih ya, pak.” Luna menyerahkan helm pada ojek yang sudah mengantarnya pulang.“Sama-sama, mbak.”Rumahnya tampak sepi, padahal baru jam sembilan malam. Saat membuka pintu pagar dan menutupnya kembali serta langsung memasang gembok, ia sempat melirik ke arah motor milik suaminya.Irwan baru membalas chat tadi sore. Waktu menghubungi untuk menyampaikan kalau Luna akan lembur pun Irwan menjawab hanya dengan singkat. Padahal ia berharap sang suami akan menjemput ke kantor karena khawatir istrinya pulang malam.“Lembur lagi?”“Eh, iya, Bu,” sahut Luna saat mengunci pintu depan. Ibunya masih menonton TV, ia menghampiri lalu mencium tangan sang ibu.“Jangan sering lembur, kecapekan nanti kamu sakit.”“Kebetulan lagi ada yang urgent bu, kalau sudah aman pasti pulang kerja seperti biasa. Ibu kok belum tidur?”“Ini mau tidur.” Ibu mematikan televisi lalu meletakan remote di atas meja. “Sudah makan belum?”“Sudah bu.”“Coba kamu bicarakan lagi dengan Irwan, Ibu tidak masalah kalian bantu di
Luna menatap sekitar, mencari keberadaan Sadam. Sudah berkirim pesan saat berada dalam perjalanan kalau pria itu menunggu di depan pintu masuk. Padahal Sadam bisa saja menunggu di lounge, toh mereka sudah memiliki tiket elektronik.“Ah, itu dia,” gumam Luna gegas menyeret koper menghampiri Sadam yang berdiri sambil menekuni ponselnya. “Selamat pagi, pak,” sapa Luna.Sadam mengangkat wajahnya menatap Luna tanpa berkedip. Penampilan Luna kali ini dengan rambut digerai dan penjepit rambut di atas telinga kanan serta tanpa kaca mata membuat penampilannya berbeda.Pakaiannya pun tidak terlalu resmi. Blouse wrap dengan ikatan pita di sisi kiri dan bawahan celana pensil serta flatshoes lengkap dengan totebag di bahu kanannya memberikan kesan casual, tapi tetap elegan.Sadam mengenakan kemeja lengan panjang berwarna maroon yang lengannya dilipat sampai siku dengan bawahan celana bahan hitam. Lengkap dengan loafers coklat. Ia berdehem karena sempat terpaku sesaat. “Pagi. Ayo, masuk!”Mereka be
“Jangan gitu, Luna nggak mungkin selingkuh. Kamu kepala keluarga iya dibicarakan baik-baik,” ujar Sherin.Irwan meneguk kopinya lalu terdiam.“Aku paham kekhawatiran kamu. Karena pernah ada di posisi itu,” ujar Sherin lagi dan berhasil mendapatkan atensi dari Irwan. “Percaya dengan pasangan yang sedang cari nafkah, taunya malah main belakang. Ada affair dengan rekan kerjanya.”“Maaf mbak, saya bukan ….”“Tidak apa, saya sedang berbagi pengalaman aja. Biar kamu nggak mengalami apa yang saya rasakan.”“Tapi mau minta Luna berhenti kerja juga nggak enak, saya belum ada kerjaan. Jadi ya disabar-sabarin aja dulu. Meski rasanya gondok. Bayangin mbak, untuk sekedar kopi dan makan aja kadang saya harus ambil dan buat sendiri. Berasa masih bujangan,” tutur Irwan.Curahan hati Irwan sepertinya tercurahkan pada orang yang salah. Seharusnya ia menyampaikan keluh kesah rumah tangganya bersama Luna kepada Ibu mertua atau orangtua sang istri.“Ya sabar, kalian rencana buka usaha ‘kan?”“Iya, tapi ng
Sama-sama sibuk dan keras kepala sampai tidak ada yang mau mengalah, sumber masalah pernikahannya harus berakhir. Mantan istri Sadam yang bekerja di salah satu stasiun TV dan memiliki jabatan yang bagus kadang lebih sibuk dari suaminya.Komunikasi terbatas, bertemu pun jarang. Hubungan mereka semakin asing. Muncul perdebatan dan pertengkaran kecil sampai akhirnya Sadam memutuskan untuk tinggal di apartemen. Nyatanya hubungan mereka makin kacau.Sadam menemukan ada mantan istrinya bersama seorang pria di kamar rumah mereka sedang memadu kasih, padahal ia pulang berniat mengajak duduk bersama dan membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Nyatanya malah mendapatkan kejutan luar biasa.“Hah.”Kepala Sadam rasanya penat mengingat lagi masa kelam rumah tangganya dan sekarang Mami ingin mengenalkan dia dengan perempuan pilihannya. Meski tidak menjamin kalau hubungan mereka tidak berhasil karena perjodohan. Toh wanita pilihannya sendiri atas dasar sama-sama cinta akhirnya kandas.[Sadam, giman
Luna mengusap tengkuknya, agak pegal sejak tadi pagi hanya duduk mendampingi Sadam rapat. Bukan hanya tadi pagi, malah sejak kemarin. Setelah sarapan, Luna dan Sadam langsung cek out dan langsung ke kantor cabang meneruskan rapat kemarin. Barang bawaan mereka disimpan di mobil antar jemput.Sempat terjadi perdebatan antara Sadam dan pihak cabang. Namun, Sadam memiliki dasar dan alasan yang kuat sesuai dengan laporan dan dokumen yang mereka miliki. Sesekali Sadam melirik ke arah Luna yang terlihat tidak nyaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Sadam berbisik.“Saya ke belakang dulu, pak.”Sadam mengangguk pelan mengizinkan asistennya meninggalkan ruangan. Luna butuh meregangkan ototnya, ia menuju toilet lalu berdiam diri di ruang tunggu tidak jauh dari ruang rapat.“Ya ampun, badan aku kayaknya perlu dipijat.” Luna membuka ponsel yang sejak tadi ia simpan di kantong blazernya.Berharap ada panggilan atau pesan dari Irwan, nyatanya tidak ada. Malah ibunya sudah dua kali mengirimkan pesan me
Selama di pesawat kembali ke Jakarta, tidak ada yang bicara baik Sadam ataupun Luna. Sama-sama lelah, ingin lekas sampai. Luna bahkan tertidur sedangkan Sadam hanya terpejam dan masih terjaga.Terdengar informasi kalau pesawat akan mendarat, Sadam menoleh menatap Luna yang masih tertidur.“Luna,” panggil Sadam pelan. Namun, tidak ada pergerakan. “Luna, kita hampir sampai. Kamu harus pakai safety belt,” ujar Sadam lagi kali ini sampai menepuk lengan Luna.“Eh, kenapa pak?”“Pakai safety belt, sebentar lagi kita mendarat. Nanti lanjut istirahat di rumah.”Luna hanya mengangguk dan langsung memakai safety belt. Keluar dari armada dan menunggu bagasi, ia sempat menguap dan ulahnya tidak luput dari perhatian Sadam.“Saya boleh langsung pulang, pak?” tanya Luna.“Hm. Kamu dijemput?” Sadam balik bertanya sambil menyeret koper mereka melewati gate kedatangan.“Nggak pak, paling naik taksi.”“Tidak usah, nanti ikut saya,” usul Sadam.Luna menghentikan langkahnya tidak enak dengan ajakan pria i
Selama ini Luna sudah berusaha sabar dan menjaga ucapannya, tidak ingin sampai menyakiti Irwan. Dalam kondisi mereka, sudah pasti perasaan suaminya lebih sensitif. Meninggalkan rumah kontrakan karena tidak terbayar lalu menumpang di rumah orangtuanya, sampai harus berganti peran karena ia yang bekerja.Meskipun banyak alasan untuknya marah atau sekedar menyinggung sang suami. Kalau dipikir, Irwan malah semakin malas. Ada informasi lowongan kerja dari tetangga atau kerabatnya disambut biasa saja. Lokasi terlalu jauh, bukan bidangnya, tidak cocok, gaji tidak sesuai dan segala macam alasan lain.Rencana buka usaha pun harus dibarengi dengan modal. Tidak mungkin bisa terealisasi kalau hanya mengandalkan penghasilannya saja. Apalagi semua keperluan berdua, ia juga yang tanggung. Entah kapan terkumpul modal untuk buka usaha.Tuduhan Irwan kali ini sangat menyudutkan. Tidak terbersit dalam benak Luna ia merasa hebat dari suaminya. Ini hanya soal mau atau tidak mau berusaha, bukan siapa yang
“Ratna,” pekik Luna. Sedang mengantri lift ia malah ditarik ke toilet.“Cerita dong, gimana perjalanan kemarin sama duda ganteng?” tanya Ratna sambil menaik turunkan alisnya.“Apaan sih, biasa ajalah. Pengalaman pertama aku tugas luar, jadi fokus sama kerjaan. Ternyata banyak hal yang aku nggak tahu.”“Nggak ada kemana gitu, tempat wisata atau oleh-oleh?” tanya Ratna lagi dan Luna menggeleng dengan pasti. “Ih mana seru. Harusnya kalian manfaatkan waktu, mumpung lagi jauh dan Cuma berdua.”“Ngaco, aku masih setia sama pasangan aku ya.”“Eh iya, gimana kabar laki lo yang katro itu. Nggak bikin masalah sama iparnya ‘kan?”Luna menghela nafas dan mematut dirinya di cermin toilet memastikan penampilannya masih rapi.“Kalau diam berarti ada masalah. ‘iya ‘kan?”Daripada menanggapi Ratna dan berujung pada kegiatan ghibah. Gegas ia keluar dari toilet dan kembali antri lift.“Bener ‘kan, ada masalah?” tanya Ratna lagi, tapi Luna tidak menjawab. Ada Sadam berjalan ke arah mereka.“Selamat pagi,
“Besok … bisa, pak,” jawab Luna.Hanya makan malam, tidak ada alasan untuk menolak. Apalagi sampai berbohong, toh Sadam sangat profesional. Tidak ada ucapan atau sikap pria itu yang membuat tidak nyaman. Meski Luna pernah mendengar ada saja atasan yang bersikap kurang ajar pada staf wanita, tidak terlihat pada diri Sadam.“Oke, sampai ketemu besok.”Luna tersenyum dan mengangguk. Tidak langsung beranjak, ia menunggu sampai mobil yang dikendarai Sadam perlahan menjauh dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya.Jarak ke rumah sudah dekat, ia tidak menghubungi Irwan untuk menjemput. Berjalan sambil menyeret koper.“Luna, lo dari mana bawa koper?”“Tugas luar kota mpok,” jawab Luna.“Oh. Hebat ya kerja lo, tapi si Irwan gimana? Udah kerja dia?”“Belum, masih cari. Belum ada yang cocok,” sahut Luna lagi. Wanita paruh baya itu, tetangga Luna berpapasan saat akan ke warung. Baru beberapa langkah, tapi sudah ada yang memanggilnya lagi. Ternyata Sani, tetangganya juga.“Gimana Lun, yan
“Kalau punya Luna, aku nggak mau. Nanti dipikir aku mencuri.” Sherin mengembalikan gelang ke tangan Irwan.“Ini dibeli pakai uangku, sama aja ini punya aku. Luna Cuma tahu ngabisin uang doang.” Irwan kembali menyerahkan gelang ke tangan Sherin. Ia menuju toilet untuk membersihkan diri.“Serius buat aku?” tanya Sherin agak berteriak.“Hm. Nanti suratnya aku cari. Kamu bisa langsung jual,” tutur Irwan dari dalam toilet.“Makasih ya,” seru Sherin. Wajahnya sumringah, masih memperhatikan gelang emas berbentuk rantai dengan liontin berbentuk hati dan permata pink.Pintu toilet terbuka kembali. “Aku bisa kasih lagi, tapi ….” Irwan mengerlingkan matanya.“Gampanglah itu, bisa diatur.”Sherin meninggalkan kamar Luna menuju kamarnya.“Laku berapa ya, kayaknya nyampe sepuluh gram. Lumayan buat beli hp baru.” Sherin terkekeh sendiri. “Gampang juga morotin Irwan. Luna bego, siap-siap aja lo jadi kere. Capek kerja seharian, dapatnya apa.”Sherin dan Irwan pandai menyembunyikan hubungan mereka. Men
Gila, kata itu yang muncul dalam benak Irwan. Tepat ditujukan untuk hubungannya dengan Sherin. Atau nafsu mereka yang gila. Seakan lupa daratan, ia terus menyetu_buhi Sherin. Tidak ada rasa bersalah apalagi keraguan.Cinta, entahlah. Irwan sangat mencintai Luna. Ia merasa akhir-akhir ini komunikasi mereka buruk lalu salah paham dan sosok Sherin seakan membuatnya lupa bagaimana perjuangan mendapatkan Luna serta rasa cinta yang ada.Yang jelas, saat ini Irwan merasakan surga yang berbeda. Desahan dari mulut Sherin membuatnya semakin bersemangat untuk terus mengayun tubuhnya. Tidak ingin penyatuan diri itu berlalu cepat, ia kembali mengkonsumsi obat kuat.“Ir-wan ….”Senyum Irwan merekah karena Sherin terlihat akan mendapatkan puncaknya yang kedua, sedangkan dia sepertinya masih jauh.“Wan ….” Tubuh Sherin mengejang, tangannya mencengkram lengan Irwan. Bukannya berhenti, Irwan malah semakin mempercepat gerakannya membuat wanita itu semakin tersiksa dengan kenikmatan.Desahan yang keluar
Hujan lebat diiringi kilat dan petir, Sadam pun kembali ke dalam kamar menutup pintu rapat agar cipratan dan tampias dari hujan masuk ke kamar. ada dua single bed dalam kamar. sofa yang tidak terlalu besar juga meja.Masih ada waktu sebelum acara dimulai lagi, Sadam menempati sofa dan membuka ponsel. Sesekali ada kilatan cahaya dan gemuruh. Belum ada tanda hujan akan reda. Pintu toilet terbuka, Sadam melirik sekilas. Luna keluar dari sana sudah berpakaian.‘Aku mikir apa sih, mana mungkin dia keluar dari sana bug1l,’ batin Sadam.Masih fokus pada ponsel karena canggung, berdua di dalam kamar bersama lawan jenis. Apalagi diantara mereka tidak ada hubungan spesial. Melihat dari sudut mata, Luna sedang menggunakan make up di cermin yang tertempel di dinding tepat di sebelah lemari.“Loh, hujan ya.” Rupanya Luna baru menyadari kalau di luar hujan lebat. Ia berjalan menuju pintu dan membuka sedikit.“Sengaja saya tutup, takut air masuk.”Gegas Luna menutup lagi pintu kamar. “Hujannya camp
Irwan memarkir motornya dan langsung menutup rapat pintu pagar. Memperhatikan sekeliling rumah, memastikan tidak ada yang mengawasi dan melihat dia pulang. Lumayan lama berada di warung sambil merokok, sampai akhirnya Sherin menelpon kalau Ibu sudah berangkat.“Kamu dari mana?” tanya Sherin saat Irwan masuk.“Nunggu di warung, ayo aku udah nggak sabar nih.” Irwan langsung memeluk Sherin, tapi ditahan dengan tangan. “Kenapa lagi?”“Pintu tutup dulu, terus mau gituan di mana?” tanya Sherin.Irwan menatap pintu rumah. “Aku tutup sebagian, tapi nggak rapat. Kalau dikunci malah bikin orang curiga.” Irwan pun menutup pintu, tapi tidak rapat. Memastikan tidak ada yang mencurigakan.Bahkan Irwan mengganjal pintu dengan box mainan Beni, pasti akan jatuh dan menimbulkan suara kalau pintu bergeser.“Di sini aja.” Irwan menunjuk sofa ruang tengah, tempat Ibu menonton tv. Ia langsung melepas kaos dan membuka resleting celananya.“Eh, tunggu dulu.”“Apa lagi?”Sherin mendekat dan meraba dada Irwan.
“Tante Luna,” teriak Beni. Bocah itu sedang bermain lego, di sofa ruang tamu. Sedangkan Sherin dan Ibu berada di ruang tengah, menonton tv. Mendengar teriakan Beni, kedua wanita beda usia itu menoleh ke arah pintu.Luna mengucap salam kemudian menghampiri dan mengusap kepala Beni dengan sayang.“Sudah belajar belum?” tanya Luna.“Sudah dong, aku ‘kan jagoan bisa mengerjakan soal dari ibu guru.”Mendengar Beni berceloteh, Luna terkekeh. Kalau bisa kerjakan soal, bukan jagoan, tapi anak cerdas.”“Iya, aku anak cerdas,” seru Beni lagi.Luna menghampiri ibunya lalu mencium tangan dengan takzim.“Nggak lembur?” tanya wanita yang sudah melahirkannya.“Nggak, bu.” Luna duduk di sofa yang sama denga Sherin, meski bersisian tapi tetap berjarak.“Udah makan belum? Biar aku panaskan lauk,” seru Sherin sedangkan pandangannya tetap tertuju pada televisi.“Sudah mbak.” Masih memikirkan ucapan Sani yang melihat Sherin dan Irwan keluar dari Guest House. Langsung bertanya rasanya tidak elok, apalagi d
“Aneh,” gumam Bik Ela. “Neng Sherin,” panggilnya.“Iya, bik.” Sherin kembali membawa sapu.“Sudah saya sapu semua, di pel juga sudah. Lauk dan sayur ada di belakang ya, bibi mau pulang.”“Oh, iya,” sahut Sherin. Ia menghela lega karena wanita paruh baya itu tidak membahas lagi masalah Irwan yang keceplosan memanggilnya sayang.“Besok bibi nggak masuk, tolong kasih tahu Ibu ya. Takutnya nungguin, terus nggak ada yang masak.”“Beres, nanti aku yang masak.”“Ish, perempuan idaman banget atuh. Udah rajin beberes rumah, pinter masak, cantik pula. Mana ada pria yang nggak mau,” ucap Bik Ela lalu terkekeh.“Ada bik, itu Ayahnya Beni nggak mau lagi sama saya. Buktinya kami bercerai.”Bik Ela mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Manehna gelo. Masa berlian dipelukan malah dibuang. Ya udah ya, bibi pulang dulu.”Sherin tersenyum sinis ketika Bik Ela sudah menutup pintu pagar. “Banyak bacot, sok tahu urusan orang. Jadi pembantu kurang ajar sama majikan,” keluh Sherin. Memutuskan ke kamar untuk
Luna berjongkok hendak membersihkan pecahan kaca. Malah jarinya terkena pecahan beling.“Mbak, biar saya yang bersihkan. Mbak minggir dulu.” OB datang membawa pengki. “Kok bisa jatuh, melamun ya mbak?”Entah melamun, entah tidak fokus. Luna menjawab dengan hela nafas.“Saya buatkan lagi ya, mbak duduk aja di situ.”Sambil menunggu Luna menggunakan ponsel, membuka room chat kontak Irwan.[Mas, dimana?]Pesan pun terkirim. Padahal tadi pagi Irwan bilang akan mengunjungi mamanya, tapi Luna ragu. Perasaannya mengatakan kalau Irwan tidak kesana.“Apa aku tanya mama saja ya,” gumam Luna langsung menghubungi ibu mertuanya.Dua kali nada tunggu, panggilan pun terjawab.“Halo,” terdengar sapaan di ujung sana.Luna sampai menjauhkan ponsel untuk memastikan kontak yang dihubungi tidak salah. Ibu mertuanya menyapa dengan nada tidak biasa.“Halo, mah. Ini Luna.”“Iya, mama tahu.” Lagi-lagi nada bicara ibu mertua Luna tidak biasa. Cenderung tidak ramah.“Mama apa kabar?” tanya Luna.Terdengar hela
Tidak menunggu lama, Irwan langsung menggerakan motornya saat Luna sudah berada di angkutan umum. Meninggalkan halte menuju lokasi pertemuan dengan Sherin. Tidak jauh dari sekolah Beni.“Lama banget sih.” Sherin menunjukan wajah kesal dengan cemberut.Irwan malah terkekeh. “Maaf sayang, tadi pastikan semua aman dulu. Bibir kamu kondisikan, nggak tahan pengen menerkam.”“Dasar kucing mesum,” ejek Sherin.“Nggak masalah, ‘kan mesumnya sama kamu doang. Eh, kita mau kemana nih?”Sherin masih berdiri bersedekap dada. Ia menggeleng pelan sambil berdecak.“Pura-pura lupa ‘kan. Kamu janji bayarin aku perawatan loh.”“Itu mah gampang, tapi semalam gagal. Gimana dong?” tanya Irwan dengan tatapan mupeng. “Naik dulu deh, aku mau cari sarapan. Tadi makan belum kenyang bener.”Sherin pun duduk di belakang Irwan. “Bakso ya,” usul Sherin.“Siap, sayang. Apa sih yang nggak buat kamu.”Merespon dengan cibiran, Sherin memukul pelan bahu Irwan karena belum juga melaju.“Pegangan sayang, aku nggak mau ka