Saat Luis sedang memeriksa kembali selembar cek yang tadi ia masukkan ke saku, takut nominalnya salah tulis. Minta sepuluh ribu dollar, siapa tahu yang ditulis hanya sepuluh tanpa ribu. Sebuah mobil datang lagi tanpa disadari Luis. Ia memasukkan kembali ceknya ke saku usai mengetahui tidak ada error pada cek miliknya. Seorang gadis memeluk wanita penyewa kamar nomor tiga yang seingatnya bernama Mary. Anak gadis itu ternyata adalah Emma.
Sontak membuat Luis terkejut. "Emma?""Luis ...." Emma pun tak kalah terkejutnya.Daniel turut hadir di sana, bersama seorang pria dewasa memegang kemudi."Emma, ajak ibumu!" perintahnya."Baik, Paman. Ayo, Bu, kita pulang."Daniel menunggui ibu dan adiknya di dekat pintu kursi belakang yang terbuka. Emma berjalan melewati Luis tanpa sepatah kata. Begitu mudahnya si bos Emerald diabaikan kekasih sendiri. Memang wujudnya tidak nampak di mata Emma?"Wanita selingkuhan itu ... ibunya Emma?"Emma bertindak demikian—mengabaikan Luis, bukan tanpa sebab. Melihat kehadiran Luis di tempat kejadian, pasti Luis menyaksikan keseluruhan kejadian, membuat Emma malu. Mau ditaruh di mana mukanya saat sang pacar tahu kalau Mary adalah selingkuhan orang? Emma saja terkejut sewaktu hendak berangkat ke motel, pamannya mengangkat telepon rumah, tiba-tiba menyuruh Emma dan Daniel bersiap-siap pergi menjemput Mary. Emma minta penjelasan atas apa yang terjadi sebenarnya, mengapa mereka pergi terburu-buru. Di perjalanan, barulah Emma tahu permasalahan sesungguhnya, soal hubungan gelap ibunda dengan seorang pria kaya.Usut punya usut, hubungan mereka telah terjalin lama. Pantas saja ibunya selalu punya uang kendati tidak bekerja. Selama ini pun, ternyata Emma bersekolah dengan cuma-cuma. Yah, Dean yang menanggungnya, tentu saja hasil jerih payah rayuan Mary. Jadi, anaknya bisa sekolah tanpa memikirkan biaya. Namun, kini semuanya usai. Permainan selama puluhan bulan telah berakhir. Tertangkap basah, Dean menyerah, sedang Mary tidak terima.Emma berjalan memapah tubuh sang ibu yang lemah menuju mobil. Pamannya sudah tidak sabar lagi untuk bergegas."Emma!" seru Luis tanpa bergerak.Emma hanya menoleh sedikit.Mary dan Daniel sudah masuk ke mobil, sementara Emma dicegah. Luis tidak tahan diabaikan, ia menarik lengan Emma mencegahnya ikut masuk. "Em, jangan pergi dulu."Emma tidak menjawab. Ia menarik paksa tangannya yang digenggam oleh Luis. Air matanya menetes seraya masuk dan duduk di kursi belakang. Tidak banyak yang bisa Luis lakukan selain mematung menyaksikan mobil melesat. Lalu desahan lemah terdengar dari mulutnya."Sudah kubilang, aku tidak suka dengan gadis itu." George tiba-tiba muncul. Sebetulnya ia sudah pulang sejak kejadian ribut-ribut. Namun, alih-alih melerai keributan di tempat usahanya, ia cuma mengawasi dari jauh. Jadi, George menyaksikan keseluruhan kejadian tadi.George berdiri di samping Luis, ikut memandangi mobil yang ditumpangi Emma sekeluarga memasuki jalan raya. "Keluarganya tidak baik, Luis. Dia bukan gadis yang tepat untukmu.""Ayah tahu apa? Jika kau pikir dirimu yang terbaik, ibu tidak akan pergi meninggalkanmu! Jadi, berhenti menghakimi seseorang!" Luis pergi dengan perasaan mendidih. George selalu berkomentar buruk soal Emma, apalagi usai keributan. George bakal semakin memandang Emma sebagai sesuatu yang buruk.Dua hari setelahnya, kegiatan sekolah dimulai lagi. Senin, selalu jadi hari yang buruk bagi kebanyakan orang termasuk Luis. Energi terpuruk, semangat luntur, inginnya setiap hari adalah hari Minggu. Namun, rutinitas memaksa tubuh untuk bergerak, tidak ada istilah santai di hari Senin. Luis tidak melihat Emma sejak tiba di sekolah. Gadis itu biasanya terlihat sedang mengobrol di koridor, tetapi eksistensinya lenyap. Luis mengintip ke kelasnya, hanya ada teman-teman Emma di sana.Saat istirahat makan siang pun, Emma tidak muncul di kafetaria. Apa gadis itu bolos? Mungkin ada kaitannya dengan peristiwa Sabtu malam. Luis khawatir kalau Emma terguncang. Sebagai pacar yang baik, Luis memutuskan untuk mengunjunginya. Pulang sekolah, Luis mengendarai mobilnya menuju kediaman keluarga Emma. Rumah bercat biru muda, dihiasi tanaman di pot gantung. Luis mengetuk pintu putih bersih, Daniel membukanya."Dan, Emma ada?"Daniel mempersilakan Luis masuk dan duduk di ruang tamu."Tunggu, ya. Aku panggil Emma dulu." Kalau diperhatikan, Daniel tampak lesu, cara bicaranya juga. Hari Senin memang menyedot energi setiap orang.Menunggu cukup lama, Emma turun dengan dandanan rapi. "Bicaranya di luar saja, Lu. Ayo, pergi!"Luis menurut. Ia mengendarai kendaraannya jauh dari pemukiman, melewati jalan besar, berbelok-belok, dan berhenti di jalan yang menjorok. Tempo hari mereka datang ke sini sewaktu senja, kala Luis menyatakan cintanya. Luis menepikan mobil, keduanya duduk di atas kap seraya angin kencang menerpa."Kau tidak masuk sekolah hari ini," kata Luis memusatkan seluruh atensinya pada gadis yang menunduk."Aku drop out.""Apa?! Satu semester lagi kita akan lulus. Kenapa harus berhenti sekarang?" Luis menyesal mengetahuinya."Terpaksa, Lu. Pemilik sekolah yang memutuskan. Aku tidak bisa apa-apa." Emma meremas ujung mid-dressnya."Gara-gara skandal ibumu?"Emma melirik canggung. Ia hanya menghela napas berat. "Ibuku meninggal kemarin.""Kau tidak mengabariku!" sontak Luis. "Ibumu sehat-sehat saja waktu terakhir kali kami bertemu.""Dia overdosis obat, malam usai pulang dari motel. Kami langsung memakamkannya kemarin.""Ya ampun, Emma. Aku turut berduka. Kau sama sekali tidak mengabariku soal ibumu. Setidaknya telepon aku.""Aku malu, Luis.""Emma, kenapa malu? Aku adalah pacarmu, jangan merasa malu. Aku menerimamu apa adanya. Jangan pernah merasa rendah di hadapanku."Emma malah sedih mendengar balasan Luis, ia tak mampu menahan air mata. "Aku merasa tidak pantas untukmu. Keluargaku sangat hina di mata orang lain. Keluargaku dikucilkan di lingkunganku, saat ibuku meninggal pun tidak ada yang datang, makanya kami segera menguburnya. Tidak ada yang peduli juga. Aku seseorang dari keluarga rendahan, Luis. Tidak semestinya bersama orang sepertimu, yang memiliki kehidupan baik."Luis mendekap Emma dalam rengkuhannya. "Sudah, hentikan tangismu. Apapun yang terjadi, bagaimana pun latar belakang keluargamu, aku tetap menyayangimu. Jangan pikirkan mengenai penilaian orang lain terhadapmu, apalagi orang yang tidak benar-benar mengenalmu. Kita memang hidup di tengah masyarakat yang suka menghakimi, jadi jangan dibawa ke dalam hati. Jangan didengar.""Sekolah lagi, ya. Biar aku yang tanggung biayanya," tambah Luis."Maaf, Luis. Aku tidak mau menjadi beban. Aku juga takut menjadi bahan olok-olok di sekolah." Emma menolak. "Akhir pekan ini aku akan pergi, Lu. Ada pabrik tekstil baru di kampung halamanku, aku akan bekerja di sana mulai Senin besok. Paman membantuku masuk kerja."Luis menatap tegang sang gadis. "Kau tidak boleh pergi! Bagaimana denganku, kau tega meninggalkanku sendirian?""Tidak bisa, Lu. Aku tidak bisa membatalkannya. Kasihan pamanku sudah susah-susah mencarikan pekerjaan. Lagipula aku membutuhkan pekerjaan itu, Luis. Aku perlu menghidupi diriku sendiri. Tulang punggung keluargaku telah pergi.""Tinggal saja denganku, ya. Biar aku yang membiayai hidupmu. Pokoknya jangan pergi!" Luis mendekap erat sang kekasih, tidak rela melepasnya pergi."Terlihat buruk di mata orang lain sudah cukup berat bagiku. Aku tidak mau menjadi benalu, itu hanya menambah pandangan buruk tentang diriku." Emma mengusap pucuk kepala Luis dengan penuh rasa sayang. Dia juga tidak ingin sebenarnya, tetapi kehidupan sangat mendesak. "Aku akan sering mengirim surat untuk memberi kabar. Aku tidak benar-benar menghilang, Lu. Kau akan mendapat kabarku setiap minggu.""Sepucuk surat tidak bisa kudekap seperti ini, Em." Luis mendekap semakin erat. "Kalau kau jauh dariku, kau bisa direbut laki-laki lain.""Jangan berkata konyol! Aku tidak akan beralih ke laki-laki lain. Kurang beruntung apa aku mendapat laki-laki sepertimu? Aku bukan orang yang tidak tahu diri, Luis."Emma mendorong paksa tubuh Luis guna menyimak wajah indah pemuda belahan jiwanya. Lensa cokelat terang itu nampak nanar. "Hanya kau raja di hatiku, Luis. Aku tidak akan pernah berpaling walau jarak memisahkan kita berdua.""Tepati janjimu. Aku akan menunggumu, sampai kau kembali."Sebuah kecupan mendarat pada bibir keduanya. Kecupan pertama dan terakhir sebelum Emma pergi pada Minggu pagi. Luis tak gentar melambaikan tangan kala Emma naik ke bus antar kota. Separuh dirinya terasa menghilang sejak saat itu. Hari-hari Luis di sekolah menjadi tidak karuan, terlebih tiap kali berpapasan dengan Edward."Cecunguk itu penyebab Emma pergi." Luis menaruh dendam. Pemuda yang tengah tertawa lebar bersama teman-teman gengnya tiba-tiba diseret dari belakang."Hei, Luis! Apa yang kau lakukan!" pekik Edward.Di depan kelas, Luis mendorong Ed ke papan tulis hitam, langsung saja dia melayangkan sebuah tinju yang tepat mengenai hidung Edward hingga mengeluarkan darah."Kau gila!""Tenang saja, Ed. Darahnya nanti berhenti sendiri. Aku hanya kesal padamu, sepertinya kau pembawa sial untuk hidupku.""Benar-benar kau Luis!" Edward hendak membalas Luis. Namun, Luis lebih cekatan. Saat berbalik, ia menyikut wajah Edward hingga membuatnya tersungkur."Dengar, ya. Jangan macam-macam denganku! Aku tidak takut padamu."Luis meninggalkan kelas dengan tatapan heran seluruh murid di kelas. Keheningan yang bertahan hingga beberapa saat kemudian pecah usai Edward berteriak pada kawan sepermainannya."Kenapa kalian diam saja?! Dasar teman-teman sialan!"Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it