Home / Urban / Ambisi Sang Penguasa / Insiden di Motel

Share

Insiden di Motel

Author: niandez
last update Last Updated: 2023-07-06 13:23:45

Luis duduk menggunakan kursi lipat, menikmati langit senja di halaman rumah uniknya—di rooftop. Merasakan angin sejuk berembus menerjang dirinya. Rambut Luis sudah agak gondrong, esok dia berniat potong rambut model terkini agar tidak kalah gaya dengan pemuda-pemuda seusianya. Sebatang rokok diapit belah bibirnya dan ada sebotol bir di atas meja bundar kecil di sebelah.

George menghampiri, ikut duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa. "Umurmu belum delapan belas, Luis. Belum boleh minum alkohol."

"Tidak banyak, Ayah. Aku hanya minum sedikit, tidak bakal sampai mabuk dan tidak akan jadi peminum berat macam dirimu juga," pungkas Luis. "Ngomong-ngomong, bulan depan usiaku genap delapan belas," tambahnya seraya menenggak seteguk minuman. Sensasi soda bercampur pahit dan malt menyeruak di mulut.

"Luis, setelah lulus SMA, kau harus kuliah. Ambillah jurusan bisnis agar kelak pemikiran cemerlangmu bisa mengembangkan usaha rintisan ini. Aku percaya kau berbakat, kau pasti akan menjadi pebisnis sukses."

Sejujurnya Luis belum kepikiran apa pun mengenai kuliah. Belum ada ide mau apa setelah lulus sekolah. Luis tengah terbuai oleh secuil harta yang dia dan ayahnya punya. Pemuda itu lebih peduli dengan bersenang-senang saat ini layaknya remaja pada umumnya, ketimbang menyusun strategi untuk menggapai masa depan cemerlang. Setelah mendengar arahan George, pikiran Luis terbuka. Sangat benar, di masa depan ia harus menjadi orang sukses, pebisnis hebat, dengan begitu pundi-pundi kekayaan dapat bertambah. Luis hampir melupakan rasanya hidup susah.

"Kuharap ketika kau tumbuh dewasa, hidupmu berada di atas. Tidak seperti aku yang membuat keluargaku hidup susah."

Luis menoleh memandangi George dari samping. Orang tua itu tampak menyesal.

"Sudahlah, lupakan saja. Hidup kita sekarang sudah lebih baik. Jadi, tidak usah memandang ke belakang lagi. Aku bahkan ingin melupakan kenangan pahit itu."

George tertunduk dengan tatapan nanar. Luis ada benarnya, mereka harus move on.

Kemudian Luis menyodorkan botol minumannya. "Minumlah, kau akan merasa lebih baik."

***

Sabtu malam, Motel Emerald kedatangan tamu. Seorang wanita dewasa, berpakaian menggoda mata para laki-laki, datang ke ruang administrasi. Kebetulan Luis sedang berjaga, George ada urusan di luar dengan kolega, katanya.

"Selamat malam! Ada yang bisa dibantu?"

"Apa kamar nomor tiga kosong?" tanya wanita itu beraksen lembut.

"Iya," jawab Luis. "Kau ingin bermalam di kamar itu, Nyonya?"

"Semalam saja." Sang wanita memberi sejumlah uang kepada Luis.

"Kamar di lantai dua juga ada yang kosong. Mungkin kau berminat? Pemandangan malam hari sangat indah dari atas."

"Tidak, aku sudah biasa menggunakan kamar itu," ungkapnya diiringi senyum simpul.

"Oh, kau sudah sering datang?"

"Iya, beberapa kali. Biasanya ayahmu yang bertugas. Ke mana dia?"

"Katanya ada urusan di luar," balas Luis singkat tanpa menyebar privasi orang tuanya kepada orang asing.

Wanita itu menatap Luis lekat-lekat, terkesan seperti sedang menerawang sesuatu. "Kau cukup tampan. Aku punya anak perempuan seusiamu, mau kukenalkan? Dia anak yang manis."

"Um, maaf, Nyonya. Aku sudah punya pacar. Hubungan kami sudah terjalin cukup lama."

"Ah, sayang sekali .... Omong-omong, boleh minta kunciku, sekarang?"

"Iya, aku hampir lupa." Luis mengambil kunci dari dalam laci. "Ini kunci dan nota pembayarannya. Semoga malam Anda di Emerald menyenangkan!"

Sang wanita melempar senyum seraya pergi menuju kamar nomor tiga yang berada di paling tengah. Luis mengamati dari ruang administrasi, karena ruangan tersebut berbelok seperti huruf L, jadi pintu-pintu kamar dapat terlihat jelas. Si wanita telah masuk ke kamarnya, Luis kembali duduk di kursi empuk, lanjut membaca buku seri detektif kesukaannya sambil mengangkat kaki ke meja.

Beberapa saat berlalu, datang sebuah mobil, terparkir tepat di depan kamar nomor tiga. Seorang pria berjas rapi, memakai fedora turun dari kendaraan dan berjalan menuju kamar nomor tiga tanpa menoleh. Tampaknya agak tergesa-gesa.

Luis menyeringai, "Hah, pasti mau asyik-asyik."

Racaunya mungkin benar, mengingat penampilan wanita yang check in tadi amat menggoda. Beruntung Luis bukan tipe pria yang mudah terpancing, kalau tidak, kemungkinan Luis tadi menggodanya. Tulisan di buku lebih menarik baginya daripada sekadar wanita seksi. Konflik-konflik menarik memutar otak justru ia anggap lebih seksi.

Tatkala Luis baru beberapa menit terfokus pada bukunya, dua mobil menepi di halaman.

"Ada tamu lagi. Bisnisku berjalan lancar." Luis sudah girang duluan, padahal mereka datang bukan untuk menginap.

Dua wanita turun dari satu mobil, satu tampak sebaya dengan wanita yang menempati kamar nomor tiga, satunya lagi terlihat tua, sudah keriput. Namun, jalannya masih tegak. Sedangkan dari mobil satu lagi, turun empat orang laki-laki berbadan tegap. Keenamnya menggeruduk kamar nomor tiga. Luis mengawasi mereka dari ruangannya, kedua wanita terus menggedor pintu, sepertinya berteriak. Luis tidak bisa dengar dari dalam sini.

Tidak lama, pintu kamar terbuka. Pria yang memakai fedora keluar, mematung di ambang pintu. Pria itu dan kedua wanita nampak berdebat. Luis mulai mengangkat bokong dari kursi, situasinya memburuk. Terjadi saling dorong antar pria-wanita di ambang pintu, dugaan Luis para wanita ingin masuk ke kamar, tetapi di halangi. Pria berbadan tegap pun beraksi, mereka menarik pria berfedora agar minggir, dan menahan si pria supaya tidak ke mana-mana.

Luis bergegas keluar ruangan menuju sumber keributan. Dia takut properti milik ayahnya menjadi sasaran amuk. Orang yang marah suka tidak sadar merusak barang. Motelnya tidak boleh merugi gara-gara perbuatan orang asing.

"Selamat malam, Tuan-Tuan!" Langkah Luis terhenti di dekat kamar nomor tiga. Di saat yang sama terdengar suara tamparan keras dari arah pintu dan seseorang berteriak mengumpat, "Dasar wanita jalang! Jadi, selama ini kau yang selalu menggoda suamiku?!"

Ternyata masalah rumah tangga. Sekarang Luis malah jadi penonton pertunjukan drama. Pemeran prianya tidak terlihat jelas, wajahnya terhalang badan para pria bertubuh besar yang memagarinya. Namun, suaranya terdengar familiar.

"Jangan berteriak!" kata pria berfedora.

Wanita yang sebaya dengan wanita di kamar nomor tiga membentak, "Terus saja bela selingkuhanmu! Kalau begini, aku bisa menceraikanmu besok."

"Tidak ada perceraian!" balas si pria.

"Tinggalkan dia sekarang atau kau akan benar-benar menerima surat tuntutan."

Situasi mendadak hening.

"Baiklah, aku akan pulang." Pria berfedora memilih keputusan tepat. Keluarga selalu menjadi rumah terbaik.

"Tidak, Dean! Kau sudah berjanji akan menikahiku!" sahut wanita penyewa kamar. Dia keluar beriringan dengan wanita tua yang tampak marah.

"Eh—tunggu, siapa namanya? Dean?" Luis mencari celah guna melihat tampang si pria pelaku perselingkuhan. Namanya sama seperti pemilik sekolah.

"Mary, aku harus kembali kepada istriku."

Luis masih sibuk mencari arah yang tepat, dia tidak fokus dengan percakapan ribut-ribut mereka. Saat akhirnya pria itu diberondong pergi, barulah Luis bisa melihat wajahnya secara jelas.

"Ketua Dean?" tegur Luis. Benar seperti dugaannya.

Ketua Dean menatap tegang. "Luis Arias? Mengapa kau ada di sini?"

"Ini motel milik ayahku, Pak."

Ketua Dean mengerutkan dahi. "Tutup mulutmu dari siapa pun! Jangan menyebarkan rumor!"

"Bukankah ini kabar yang sangat menarik dikonsumsi publik?" Luis mengembangkan seringai licik. "Aku butuh biaya tutup mulut."

Dean mengusap muka dengan kasar. Tidak bisa dibayangkan, ini kali kedua ia diperas oleh salah satu murid di sekolah miliknya.

"Siapa anak ini, Dean?" Wanita yang menurut dugaan Luis adalah istri Dean berbicara ketus.

"Dia murid di sekolahku. Temannya Ed."

"Apa?!" Istri si Ketua nampak terkejut.

"Begini, Bu. Reputasi Pak Ketua sudah pasti akan hancur jika aku menyebarkan peristiwa ini, maka dari itu—"

"Berapa yang kau butuhkan?" Wanita ini sangat peka.

"Hmm, untuk sebuah insiden besar ... sepuluh ribu dollar cukup."

"Jangan, Sayang. Dia sudah pernah memeras tiga ribu dollar dariku," cegah Dean.

"Dia memerasmu dalam rangka apa?" Istrinya malah menatap tajam ke arah Dean.

"Itu karena anak kalian, Edward. Bukan karena perselingkuhan yang tertangkap basah begini, Nyonya."

"Edward?" Istri Ketua malah bingung. "Ada apa dengan putraku?"

"Ah, rupanya Anda belum tahu? Suami Anda tidak memberitahumu, ya, Nyonya? Kelakuan Edward di sekolah seperti sampah. Dia gemar menindasku sejak lama."

Wanita itu mendongak sambil mengerjap, tampak menahan emosinya. Seketika ia membuang napas kasar dari mulut. Lalu mengeluarkan cek dari dalam tas, menuliskan nominal sepuluh ribu dollar di atas kertas.

"Aku tidak bawa banyak uang tunai," pungkasnya.

"Tidak masalah. Aku paham cara mencairkannya." Luis segera menarik cek itu dengan capitan jempol dan telunjuk.

"Jika masalah ini menguar ke publik, kau adalah orang pertama yang akan kucari. Ingat tanggung jawabmu!" tegas wanita itu.

"Siap, Bu!" Luis menyimpan cek di saku dengan rapi.

Rombongan Ketua Dean hampir berlalu. Mobil lain datang, penumpangnya lantas keluar satu per satu.

"Heh, kau pasti anak si jalang itu." Luis mendengar istri Ketua Dean berbicara di belakang. "Semoga kau tidak menuruni kelakuan ibumu!"

Luis mendengar suara mesin mobil menyala, serta tarikan gas menandakan mobil berjalan pergi. Ia lupa dengan keributan yang terjadi di motel, berkat uang sepuluh ribu dollar. Luis yang tadinya ingin memberi simpati pada wanita menyedihkan di depan pintu nomor tiga pun urung. Namun, niatnya batal ketika terdengar suara perempuan muda memanggil, "Ibu!"

Gadis itu berlari menuju sang ibu dan memeluknya. Luis menganga dibuatnya, kehadiran sang gadis amat mengejutkan.

"Emma?"

Sontak Emma menoleh.

"Luis ...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 15

    Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 14

    “Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 13

    Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 12

    Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 11

    “Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 10

    “Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status