Share

Insiden di Motel

Luis duduk menggunakan kursi lipat, menikmati langit senja di halaman rumah uniknya—di rooftop. Merasakan angin sejuk berembus menerjang dirinya. Rambut Luis sudah agak gondrong, esok dia berniat potong rambut model terkini agar tidak kalah gaya dengan pemuda-pemuda seusianya. Sebatang rokok diapit belah bibirnya dan ada sebotol bir di atas meja bundar kecil di sebelah.

George menghampiri, ikut duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa. "Umurmu belum delapan belas, Luis. Belum boleh minum alkohol."

"Tidak banyak, Ayah. Aku hanya minum sedikit, tidak bakal sampai mabuk dan tidak akan jadi peminum berat macam dirimu juga," pungkas Luis. "Ngomong-ngomong, bulan depan usiaku genap delapan belas," tambahnya seraya menenggak seteguk minuman. Sensasi soda bercampur pahit dan malt menyeruak di mulut.

"Luis, setelah lulus SMA, kau harus kuliah. Ambillah jurusan bisnis agar kelak pemikiran cemerlangmu bisa mengembangkan usaha rintisan ini. Aku percaya kau berbakat, kau pasti akan menjadi pebisnis sukses."

Sejujurnya Luis belum kepikiran apa pun mengenai kuliah. Belum ada ide mau apa setelah lulus sekolah. Luis tengah terbuai oleh secuil harta yang dia dan ayahnya punya. Pemuda itu lebih peduli dengan bersenang-senang saat ini layaknya remaja pada umumnya, ketimbang menyusun strategi untuk menggapai masa depan cemerlang. Setelah mendengar arahan George, pikiran Luis terbuka. Sangat benar, di masa depan ia harus menjadi orang sukses, pebisnis hebat, dengan begitu pundi-pundi kekayaan dapat bertambah. Luis hampir melupakan rasanya hidup susah.

"Kuharap ketika kau tumbuh dewasa, hidupmu berada di atas. Tidak seperti aku yang membuat keluargaku hidup susah."

Luis menoleh memandangi George dari samping. Orang tua itu tampak menyesal.

"Sudahlah, lupakan saja. Hidup kita sekarang sudah lebih baik. Jadi, tidak usah memandang ke belakang lagi. Aku bahkan ingin melupakan kenangan pahit itu."

George tertunduk dengan tatapan nanar. Luis ada benarnya, mereka harus move on.

Kemudian Luis menyodorkan botol minumannya. "Minumlah, kau akan merasa lebih baik."

***

Sabtu malam, Motel Emerald kedatangan tamu. Seorang wanita dewasa, berpakaian menggoda mata para laki-laki, datang ke ruang administrasi. Kebetulan Luis sedang berjaga, George ada urusan di luar dengan kolega, katanya.

"Selamat malam! Ada yang bisa dibantu?"

"Apa kamar nomor tiga kosong?" tanya wanita itu beraksen lembut.

"Iya," jawab Luis. "Kau ingin bermalam di kamar itu, Nyonya?"

"Semalam saja." Sang wanita memberi sejumlah uang kepada Luis.

"Kamar di lantai dua juga ada yang kosong. Mungkin kau berminat? Pemandangan malam hari sangat indah dari atas."

"Tidak, aku sudah biasa menggunakan kamar itu," ungkapnya diiringi senyum simpul.

"Oh, kau sudah sering datang?"

"Iya, beberapa kali. Biasanya ayahmu yang bertugas. Ke mana dia?"

"Katanya ada urusan di luar," balas Luis singkat tanpa menyebar privasi orang tuanya kepada orang asing.

Wanita itu menatap Luis lekat-lekat, terkesan seperti sedang menerawang sesuatu. "Kau cukup tampan. Aku punya anak perempuan seusiamu, mau kukenalkan? Dia anak yang manis."

"Um, maaf, Nyonya. Aku sudah punya pacar. Hubungan kami sudah terjalin cukup lama."

"Ah, sayang sekali .... Omong-omong, boleh minta kunciku, sekarang?"

"Iya, aku hampir lupa." Luis mengambil kunci dari dalam laci. "Ini kunci dan nota pembayarannya. Semoga malam Anda di Emerald menyenangkan!"

Sang wanita melempar senyum seraya pergi menuju kamar nomor tiga yang berada di paling tengah. Luis mengamati dari ruang administrasi, karena ruangan tersebut berbelok seperti huruf L, jadi pintu-pintu kamar dapat terlihat jelas. Si wanita telah masuk ke kamarnya, Luis kembali duduk di kursi empuk, lanjut membaca buku seri detektif kesukaannya sambil mengangkat kaki ke meja.

Beberapa saat berlalu, datang sebuah mobil, terparkir tepat di depan kamar nomor tiga. Seorang pria berjas rapi, memakai fedora turun dari kendaraan dan berjalan menuju kamar nomor tiga tanpa menoleh. Tampaknya agak tergesa-gesa.

Luis menyeringai, "Hah, pasti mau asyik-asyik."

Racaunya mungkin benar, mengingat penampilan wanita yang check in tadi amat menggoda. Beruntung Luis bukan tipe pria yang mudah terpancing, kalau tidak, kemungkinan Luis tadi menggodanya. Tulisan di buku lebih menarik baginya daripada sekadar wanita seksi. Konflik-konflik menarik memutar otak justru ia anggap lebih seksi.

Tatkala Luis baru beberapa menit terfokus pada bukunya, dua mobil menepi di halaman.

"Ada tamu lagi. Bisnisku berjalan lancar." Luis sudah girang duluan, padahal mereka datang bukan untuk menginap.

Dua wanita turun dari satu mobil, satu tampak sebaya dengan wanita yang menempati kamar nomor tiga, satunya lagi terlihat tua, sudah keriput. Namun, jalannya masih tegak. Sedangkan dari mobil satu lagi, turun empat orang laki-laki berbadan tegap. Keenamnya menggeruduk kamar nomor tiga. Luis mengawasi mereka dari ruangannya, kedua wanita terus menggedor pintu, sepertinya berteriak. Luis tidak bisa dengar dari dalam sini.

Tidak lama, pintu kamar terbuka. Pria yang memakai fedora keluar, mematung di ambang pintu. Pria itu dan kedua wanita nampak berdebat. Luis mulai mengangkat bokong dari kursi, situasinya memburuk. Terjadi saling dorong antar pria-wanita di ambang pintu, dugaan Luis para wanita ingin masuk ke kamar, tetapi di halangi. Pria berbadan tegap pun beraksi, mereka menarik pria berfedora agar minggir, dan menahan si pria supaya tidak ke mana-mana.

Luis bergegas keluar ruangan menuju sumber keributan. Dia takut properti milik ayahnya menjadi sasaran amuk. Orang yang marah suka tidak sadar merusak barang. Motelnya tidak boleh merugi gara-gara perbuatan orang asing.

"Selamat malam, Tuan-Tuan!" Langkah Luis terhenti di dekat kamar nomor tiga. Di saat yang sama terdengar suara tamparan keras dari arah pintu dan seseorang berteriak mengumpat, "Dasar wanita jalang! Jadi, selama ini kau yang selalu menggoda suamiku?!"

Ternyata masalah rumah tangga. Sekarang Luis malah jadi penonton pertunjukan drama. Pemeran prianya tidak terlihat jelas, wajahnya terhalang badan para pria bertubuh besar yang memagarinya. Namun, suaranya terdengar familiar.

"Jangan berteriak!" kata pria berfedora.

Wanita yang sebaya dengan wanita di kamar nomor tiga membentak, "Terus saja bela selingkuhanmu! Kalau begini, aku bisa menceraikanmu besok."

"Tidak ada perceraian!" balas si pria.

"Tinggalkan dia sekarang atau kau akan benar-benar menerima surat tuntutan."

Situasi mendadak hening.

"Baiklah, aku akan pulang." Pria berfedora memilih keputusan tepat. Keluarga selalu menjadi rumah terbaik.

"Tidak, Dean! Kau sudah berjanji akan menikahiku!" sahut wanita penyewa kamar. Dia keluar beriringan dengan wanita tua yang tampak marah.

"Eh—tunggu, siapa namanya? Dean?" Luis mencari celah guna melihat tampang si pria pelaku perselingkuhan. Namanya sama seperti pemilik sekolah.

"Mary, aku harus kembali kepada istriku."

Luis masih sibuk mencari arah yang tepat, dia tidak fokus dengan percakapan ribut-ribut mereka. Saat akhirnya pria itu diberondong pergi, barulah Luis bisa melihat wajahnya secara jelas.

"Ketua Dean?" tegur Luis. Benar seperti dugaannya.

Ketua Dean menatap tegang. "Luis Arias? Mengapa kau ada di sini?"

"Ini motel milik ayahku, Pak."

Ketua Dean mengerutkan dahi. "Tutup mulutmu dari siapa pun! Jangan menyebarkan rumor!"

"Bukankah ini kabar yang sangat menarik dikonsumsi publik?" Luis mengembangkan seringai licik. "Aku butuh biaya tutup mulut."

Dean mengusap muka dengan kasar. Tidak bisa dibayangkan, ini kali kedua ia diperas oleh salah satu murid di sekolah miliknya.

"Siapa anak ini, Dean?" Wanita yang menurut dugaan Luis adalah istri Dean berbicara ketus.

"Dia murid di sekolahku. Temannya Ed."

"Apa?!" Istri si Ketua nampak terkejut.

"Begini, Bu. Reputasi Pak Ketua sudah pasti akan hancur jika aku menyebarkan peristiwa ini, maka dari itu—"

"Berapa yang kau butuhkan?" Wanita ini sangat peka.

"Hmm, untuk sebuah insiden besar ... sepuluh ribu dollar cukup."

"Jangan, Sayang. Dia sudah pernah memeras tiga ribu dollar dariku," cegah Dean.

"Dia memerasmu dalam rangka apa?" Istrinya malah menatap tajam ke arah Dean.

"Itu karena anak kalian, Edward. Bukan karena perselingkuhan yang tertangkap basah begini, Nyonya."

"Edward?" Istri Ketua malah bingung. "Ada apa dengan putraku?"

"Ah, rupanya Anda belum tahu? Suami Anda tidak memberitahumu, ya, Nyonya? Kelakuan Edward di sekolah seperti sampah. Dia gemar menindasku sejak lama."

Wanita itu mendongak sambil mengerjap, tampak menahan emosinya. Seketika ia membuang napas kasar dari mulut. Lalu mengeluarkan cek dari dalam tas, menuliskan nominal sepuluh ribu dollar di atas kertas.

"Aku tidak bawa banyak uang tunai," pungkasnya.

"Tidak masalah. Aku paham cara mencairkannya." Luis segera menarik cek itu dengan capitan jempol dan telunjuk.

"Jika masalah ini menguar ke publik, kau adalah orang pertama yang akan kucari. Ingat tanggung jawabmu!" tegas wanita itu.

"Siap, Bu!" Luis menyimpan cek di saku dengan rapi.

Rombongan Ketua Dean hampir berlalu. Mobil lain datang, penumpangnya lantas keluar satu per satu.

"Heh, kau pasti anak si jalang itu." Luis mendengar istri Ketua Dean berbicara di belakang. "Semoga kau tidak menuruni kelakuan ibumu!"

Luis mendengar suara mesin mobil menyala, serta tarikan gas menandakan mobil berjalan pergi. Ia lupa dengan keributan yang terjadi di motel, berkat uang sepuluh ribu dollar. Luis yang tadinya ingin memberi simpati pada wanita menyedihkan di depan pintu nomor tiga pun urung. Namun, niatnya batal ketika terdengar suara perempuan muda memanggil, "Ibu!"

Gadis itu berlari menuju sang ibu dan memeluknya. Luis menganga dibuatnya, kehadiran sang gadis amat mengejutkan.

"Emma?"

Sontak Emma menoleh.

"Luis ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status