"Apa kabar, Luis? Kau pasti sedang merindukanku. Aku pun sama, aku rindu jalan-jalan berdua denganmu lagi. Aku ingin berkendara sampai malam, melepas penat usai berpikir seharian. Kabarku baik, Lu. Aku sudah mulai bekerja sejak Senin. Jadi, kira-kira sudah seminggu aku tinggal di kampung halaman. Orang-orang di sini menerimaku dengan baik. Bibi mengurusku dengan benar, aku makan tiga kali sehari, dan tetangga di sini ramah-ramah.
Aku minta maaf, tapi sepertinya aku merasa nyaman tinggal di sini, Lu. Aku belum berniat pulang ke kota. Selain karena lingkungan yang nyaman, uangku juga belum cukup untuk biaya transportasi ke sana. Hehe, maaf.Pekerjaanku juga menyenangkan. Aku punya teman-teman baik, seperti di sekolah. Oh ya, sampaikan salam pada kawan-kawanku di sana. Sampaikan pada mereka bahwa aku tidak bisa hadir saat pesta kelulusan di rumah Nora nanti. Kami sudah berencana membuat pesta, Lu, biar kau paham. Walau gaji yang kuterima pas-pasan, tapi aku bahagia, Luis. Mungkin terkesan hidup di kota membuatku tidak nyaman, tapi memang faktanya begitu. Terlalu banyak masalah di rumah. Ini jadi semacam pelarian.Luis, tunggu aku, ya. Mungkin akan sedikit memakan waktu, tapi kuusahakan untuk berkunjung setiap dua bulan sekali. Aku bisa menghabiskan akhir pekan setelah gajian. Aku tidak bisa sering-sering pulang, dompetku bisa bolong. Maklumi pacarmu yang pas-pasan ini, hehehe. Oh ya, Luis, tolong balas surat ini, berapa nomor teleponmu? Kapan-kapan kalau ada waktu aku ingin bicara denganmu, aku rindu mendengar suaramu.Doakan yang terbaik untukku, aku juga selalu berdoa yang terbaik untukmu. Semoga sekolahmu berjalan dengan baik. Ed tidak mengganggumu lagi, kan? Semoga kau lulus dengan baik.Aku mencintaimu, Luis. Tolong sabar, ya, hubungan jarak jauh ini akan berakhir setelah kondisiku membaik.Salam,Gadis Cookies."---Luis membaca surat dari Emma di halaman rooftopnya. Pak pos datang saat Luis hampir berangkat dengan mobil."Luis Arias?" Pak Pos bertanya pada orang yang tepat."Ya?""Ada surat untukmu."Luis menerimanya dengan tangan kanan. Senyumnya merekah kemudian tatkala melihat nama pengirim di belakang amplop putih berbingkai garis-garis biru-merah. Itu Emma, bintang hatinya. Ia menepati janji untuk mengirim surat setiap minggu. Suratnya datang hari Sabtu, kemungkinan Emma mengirimnya kemarin. Tadinya Luis hendak pergi ke toko buku untuk membeli seri detektif edisi terbaru, tapi niatnya diurungkan. Luis cepat-cepat naik ke lantai paling atas. George sedang sibuk menghitung pemasukan di ruang administrasi, jadi dia tidak menyadarinya. Luis memang menghindari sang ayah, malas kalau ditanya surat itu dari siapa. Berbohong dosa, tidak bohong mungkin suratnya bakal direbut dan dibuang, kemungkinan mereka bakal bertengkar. Sudah cukup bagi Luis ribut-ribut di sekolah, rumah adalah tempat istirahat yang tenang. Sebisa mungkin ia menghindari konflik dengan George.Lega rasanya usai membaca surat tersebut. Luis melipat kertas itu lagi, mengikuti lipatan yang sudah ada. Ia masukkan kembali ke dalam amplop guna disimpan rapi. Luis berlari ke kamar mencari tempat aman untuk menyimpan barang berharganya. Sebuah kotak hitam tempat sepatu olahraga yang dibeli tiga hari lalu—Luis belum sempat memakainya, dikeluarkan sepatu mentereng tersebut lantas ditaruh rapi di kolong ranjang kayu. Isi kotak tergantikan oleh sebuah amplop yang perkiraan Luis bakal penuh dalam berminggu-minggu ke depan. Luis menaruh kembali kotak sepatu itu ke tempat semula, pada rak sepatu di sudut kamar. Saking bahagianya mendapat surat dari Emma, Luis hampir lupa dengan rutinitasnya.Bola mata Luis berotasi ke atas, mengingat-ingat kegiatan apa yang hendak dilakukan. "Oh, ya. Aku mau ke toko buku." Ia segera berlari keluar dengan semangat menggebu-gebu, seperti baterai yang baru dibuka dari bungkusnya. Menuruni tangga di bagian ujung bangunan, di lantai dua ia berpapasan dengan George yang sedang menaiki anak tangga."Bukannya kau sudah pergi?" tanya George sambil memegang erat kertas-kertas di tangan. Luis tidak mau tahu kertas apa itu, ia belum berminat mengurusi bisnis saat ini. Kalau uangnya tentu tidak menolak."Ada barangku yang tertinggal di kamar.""Nanti sore pastikan kau sudah pulang. Aku ada urusan di luar petang nanti. Giliranmu bertugas.""Pergi ke mana? Sabtu kemarin kau juga pergi.""Aku perlu bertemu kolega.""Kolega apa? Kau buat bisnis lagi?""Kau akan tahu nanti. Tugasmu belajar yang giat agar kelak kau bisa menggantikanku dengan baik dan membuat usaha kita semakin maju.""Ah, ya, baiklah. Kalau itu bukan urusanku, maka sebaiknya aku pergi sekarang. Aku juga punya urusan. Dah, Ayah!"Luis melanjutkan perjalanannya lagi. George memperhatikan, anak itu tampak lebih bersemangat dari biasanya. Dia ingin menduga-duga apa penyebabnya, tapi sudahlah, namanya juga anak muda. Perasaan masih labil, sebentar lesu tiba-tiba berubah semangat.***Luis pulang tepat waktu seperti yang dijanjikan. George sudah memakai setelan jas cokelat, berdasi senada, serta fedora yang berwarna sama. Ia membawa buku catatan bersampul cokelat juga, dengan pembatas berwarna merah yang menyembul keluar, diapit pada lengannya. "Ah, untung kau datang di waktu yang tepat!"Luis bergeming mengamati George. "Ini masih satu jam sebelum petang. Tidak usah buru-buru.""Aku harus pergi sekarang! Oh ya, kamar nomor lima belum dibersihkan. Tolong—""Iya, iya, aku paham. Pergilah, katanya harus segera pergi."George bergegas meninggalkan ruangan. Dia naik taksi, tidak mengendarai mobil yang tempo lalu dibeli oleh uang hasil warisan. Meski pada buku kepemilikan tercatut nama George Arias sebagai pemilik si merah, secara harfiah Luis lah pemilik sesungguhnya. Luis kadang cerewet kalau George minta kunci."Hati-hati saat menyetir! Jangan sampai penyok! Bensinnya baru kuisi, saat pulang nanti pastikan garisnya sama seperti semula!"Ya ampun, banyak sekali ocehan Luis. Padahal kalau bukan jasa sang ayah, belum tentu nasibnya bisa berubah segini jauhnya. Memang anak tidak tahu diri.Sebelum bertugas, Luis mengganti pakaian di kamar. Tidak lebih dari tiga menit, mengawasi tempat bisnis seorang diri sungguh merepotkan. "Dasar orang tua pelit! Bukannya merekrut pegawai agar tidak susah begini, malah kukuh tidak butuh tenaga tambahan."Luis sesekali menengok ke bawah takut-takut ada tamu yang datang atau lebih buruk, ada yang menyambangi ruang administrasi dan menggasak uang di laci. Bisa-bisa Luis kena masalah besar gara-gara teledor.Tugas pertama, beres-beres kamar nomor lima. Semua kamar terisi kecuali kamar satu ini. Dengan cepat, Luis membersihkan sampah, debu, merapikan seprai, serta tugas lainnya. Televisi dibiarkan menyala, sengaja biar ada hiburan. Menonton acara televisi lokal, lebih tepatnya mendengarkan. Luis memang hanya menyimak audio tidak serta-merta menonton kotak bervisual tersebut, kadang melirik sekilas kalau ada yang menarik. Tidak sempat juga buat Luis terpaku pada TV, kerjaannya bisa ngaret.Luis menyalakan vacum cleaner sebagai bagian akhir rutinitasnya. Di tengah-tengah kegiatan tersebut, sebuah kabar dari televisi mengejutkan telinga. "Dean Winchester, ketua yayasan pendidikan mencalonkan diri sebagai walikota ....""Heh, Si Belang mau menjadi walikota?" Luis terkekeh. "Mengurus rumah tangga saja tidak becus, apalagi mengurus kota. Dia mau cari gara-gara."Luis geleng-geleng kepala. Yang jelas, Luis tidak akan memilih orang bejat sebagai pemimpin. Jika pun kandidatnya hanya Dean seorang, pilihannya memilih atau tidak, sudah jelas Luis bakal memilih opsi kedua, atau golput saja sekalian.Tapi Luis malah terpikirkan ide cemerlang. "Ah, aku memegang kartu matinya. Bagaimana kalau aku manfaatkan saja dia?" Sebuah seringai menghiasi wajah Luis.Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it