Share

Menerima Lamaran Baru

"Begitu ceritanya, Ayah, Ibu,"

Angeline dan David saling menatap saat puterinya menceritakan atasannya siap menggantikan Farel. Shira bisa menangkap gurat di wajah mereka, antara bingung, heran, juga senang karena pernikahan tetap berjalan. Namun, mereka juga tak kalah kaget konsekuensi yang harus diterima jika Shira menolak lamarannya. 

"Kalau Ibu terserah kamu, karena kamu yang akan menjalani biduk rumah tangga. Cuman saran, kamu harus kenali dulu sifat dan sikap Jonathan lebih dalam lagi. Kenal selama setahun yang hanya di kantor saja tidak akan cukup membuka tabir sifat asli masing-masing."

"Iya, Bu." Shira mengangguk paham.

"Kenali lebih dalam lagi gimana, Angeline? Atasannya cuma memberi waktu sampai besok? Kalau Shira menolak itu artinya dia harus keluar dari perusahaan. Ini kalau menolak, artinya kita dapat bencana dua kali lipat. Shira gagal menikah, dia juga dipecat!" protes David.

Perkataan ayahnya memang benar. Tetapi jika Shira menerima lamaran Jonathan, dia akan tetap menikah, orang tuanya tidak akan menanggung malu, dan tidak dipecat pula. Bahkan sebaliknya sangat bangga bisa berbesanan dengan keluarga Argoputra.

Tetapi Shira tidak melihat sisi kenikmatan saja jika menjadi istri dari Jonathan. Ada hal yang harus banyak dipertimbangkan, termasuk menyatukan dua keluarga yang berbeda kasta. Shira sadar dirinya tidak miskin, keluarganya berkecukupan, meskipun menyambung hidup dari usaha bengkel ayahnya, dan dari usaha catering sang ibu. Asal hidup tidak pernah menghutang, Shira merasa hidupnya sudah sangat sejahtera. 

Namun, jika harta kekayaannya harus disandingkan dengan Jonathan, rasanya terlalu jauh antara langit dan bumi. Yang Shira takutkan adalah, pandangan keluarga Jonathan padanya nanti. Apakah akan seperti di surga, atau justru sebaliknya. 

"Dari pada kamu terus bersedih memikirkan lelaki tidak tahu diri yang meninggalkanmu, sebaiknya kamu terima saja lamaran Jonathan. Kamu berhak bahagia dengan pria yang sudah menunggumu dengan begitu terhormat." Pungkas David kemudian. Pria yang sudah memasuki kepala lima itu masih menyimpan kekesalan besar pada Farel. 

Angeline hanya mendesah panjang. Hatinya justru lebih resah, khawatir  jikalau Shira menikah dengan orang bukan sembarangan seperti Jonathan, keluarganya akan lebih terinjak oleh kekuasaan mereka. Semoga saja, itu hanya ketakutan semata. 

***

Setelah berpikir semalaman, Shira memantapkan hati untuk melangkah. Ayahnya benar, dia tidak bisa terus-terusan bersedih karena memikirkan Farel yang mungkin sekarang tengah berbahagia dengan dunianya sendiri. Shira harus bangkit, dan dia butuh seseorang untuk melupakan sejarah buruk dalam hidupnya. 

Tok tok tok!

Shira mengetuk pintu di depan ruangan Jonathan. 

"Masuk!"

Entah kapan terakhir kalinya Shira melihat lelaki beralis tebal itu menautkan senyum. Dan sekarang, dia telah melihat senyumnya kembali. Senyum kebahagiaan ... mungkin. 

"Duduk!"

Shira mengangguk dan mulai melangkah untuk duduk di depan meja kerja Bara. Jujur, gugupnya melebihi perasaan saat menghadapi interview melamar pekerjaan. 

"Apa jadwal saya hari ini?"

"Untuk jam sepuluh nanti ada rapat dengan bagian pembelian, dan jam satu siang ada temu bisnis dengan Tuan Gilbert Santoso dari Sun Galaxy.

"Tambah lagi jadwal!"

"Baik, Pak. Apa jadwalnya?"

"Nanti malam kita berdua makan malam."

"Apa? Makan malam?" Shira meyakinkan pendengarannya. 

"Iya, karena kamu sudah menerima lamaran saya." Tandas Jonathan dengan ekor mata melihat cincin yang telah terpasang di jari manis Shira. 

Shira menunduk malu. Terbayang sekarang pipinya tengah memerah bak kepiting rebus. Mungkin sekarang Shira menerima lamaran Jonathan bukan karena cinta, dia hanya tidak ingin keluarganya malu karena gagalnya pernikahan, juga karena ingin secepatnya melupakan Farel dengan ada pria lain di sisinya. Meskipun sekarang, cintanya pada Farel sudah semakin terkikis, berubah menjadi kecewa dan benci. 

Lelaki yang memakai setelan tuxedo hitam itu berdiri, menghampiri Shira. Lantas tanpa aba-aba memeluk tubuh semampainya. 

"Terima kasih, Shira," ucap pria berahang kokoh itu di balik punggungnya, terdengar tulus.

"S-sama-sama, Pak."

Sekarang Jonathan melepas pelukannya. Dia mengangkat dagu Shira untuk ditatapnya, karena perempuan pujaannya  itu enggan melihat. Sangat lekat, sekarang Jonathan bisa melihat wajah Shira yang hanya berjarak lima centimeter saja. Menikmati indahnya kecantikan makhluk lembut bernama wanita. Hidung mancungnya, bulu mata lebat nan lentik, lesung pipi yang memikat, dan bibir merah alami yang memesona. Ini yang Jonathan suka darinya. Terlihat sempurna walaupun tanpa polesan. 

"Jangan melihat saya seperti ini, Pak. Malu."

Jonathan terkekeh. "Maaf, saya hanya jatuh cinta dengan pesonamu."

Shira hanya terdiam. Dia benar-benar bingung harus mengekspresikan bagaimana.

"Tadi Ayah saya meminta Pak Jonayhan iminta untuk datang ke rumah," ucap Shira kemudian. 

"Suatu kehormatan bisa memenuhi panggilan orang tuamu, sepertinya nanti setelah kita makan malam, saya akan menemui Ayah serta Ibumu, dan besoknya kamu harus bersiap-siap."

"Siap-siap? Untuk apa, Pak? Bukannya besok weekend?"

"Siap-siap saja selayaknya orang akan bepergian. Kamu akan tahu besok."

"Memangnya kita akan bepergian ke mana, Pak? Perjalanan jarak dekat atau jauh?"

Ya, Shira yang terbiasa segala detail mana mungkin bisa bersiap-siap tanpa judul yang jelas.

"Bawa koper, isinya terserah kamu. Dan jangan bertanya lagi!" tegasnya.

Shira mematung bingung. "Baik, Pak."

***

Tiba saatnya makan malam,  Jonathan dan Shira sekarang tengah berada di restoran mewah di meja VVIP. Di atas meja bundar sana, bertabur kelopak mawar merah, tiga batang lilin yang menyala, dan buket bunga yang sekarang tengah disodorkan oleh Jonathan.

Ini benar-benar syahdu. Apa lagi di sekelilingnya terdengar alunan musik biola yang dimainkan ahlinya, menambah keromantisan. Shira tidak pernah menyangka Jonathan yang dingin bisa romantis seperti itu juga. 

Jonathan terus saja menatap wanita yang memakai gaun hitam selutut itu. Terlihat sangat anggun dengan aksen mutiara di atas pundaknya, dan rambutnya seperti biasa terurai ke depan. 

"Sekali lagi saya tanya padamu, apa kamu mau menjadi istri saya?" 

Shira tersenyum canggung. Ia mengangguk dan mengambil buket bunga tersebut. "Iya, Pak."

"Bisakah kamu merubah panggilan pada saya? Jangan manggil Bapak, bisa?"

Shira menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Terus panggilnya apa, Pak?"

"Terserah kamu!"

"Nathan? Mungkin ...,"

"Boleh. Langsung panggil nama juga tidak masalah."

Dalam hati Shira mengatakan tidak jika harus memanggil nama. Rasanya tidak sopan pada seorang CEO yang disegani banyak orang. 

Dua orang pelayan datang membawa pesanan makanan. Dengan penuh keramahan, mereka menata berbagai jenis menu di atas meja. Seperti oyster, pizza, pasta, skirt steak, dan tiramisu sebagai pelengkap. Sedangkan untuk minumannya, ada kopi susu brown sugar, king manggo thai, dan nutello chocolate.

Jonathan memepersilahkan Shira untuk makan terlebih dulu. Karena mendapati pesan yang masuk pada ponselnya. 

[Kita sudah sampai.]

[Terus saja ikuti kemana pun dia pergi, dan tetap jaga jarak.] Jonathan mengirim balasan.

[Baik, Bos.]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status