Share

Tawaran Sang CEO

Seperti hari biasanya, pagi itu Shira sudah rapi dengan outfit kantor, siap berangkat bekerja. Motor warna biru kebanggaannya akan mengantarkannya ke sebuah perusahaan yang sudah satu tahun Shira mengabdi di sana. Hiruk-pikuk ibu kota pun bagai sebuah simfoni yang mengalun indah menemani  setengah jam perjalanan.

Tiba di lobby, Shira langsung saja menaiki lift. Sesampainya di lantai delapan, seseorang memanggilnya. Dia Della, HRD di perusahaan itu, memberitahukan jikalau Shira harus segera menemui Jonathan di ruangan. 

"Selamat pagi, Pak," sapa Shira.

"Pagi, saya ada janji temu apa saja hari ini?" tanya Jonathan tanpa menoleh. Ia sibuk dengan ponsel pintar di tangan.

"Pak Jonathan ada janji temu dengan Pak Alexo dari Angkasa Group jam sembilan pagi. Lalu, jam satu siang ada kunjungan dari kementrian industri dari pabrik makanan."

"Baiklah, kamu sudah mempersiapkan segalanya?"

"Sudah, Pak."

Sebagai sekretaris, Shira memang harus cekatan dan disiplin. Semuanya harus teratur sedemikian rapi dalam lincah tangan dan kepintarannya. Meskipun luka masih membekas perih karena tragedi kemarin, rasanya kurang profesional jika Shira harus membawa kesedihannya ke kantor. 

"Berarti kita ada waktu satu jam lagi?"

"Betul, Pak."

"Ya sudah, duduk. Saya perlu bicara diluar pekerjaan!" ucap Jonathan mempersilakan Shira agar duduk di hadapannya. 

"Apa yang ingin Pak Jonathan bicarakan?" 

Sekarang Jonathan menyimpan ponselnya dan melihat Shira. Membuat gadis itu sejenak mengheningkan cipta karena tatapannya. Bingung, kiranya hal apa yang akan dibahas di luar pekerjaan oleh lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu.

"Bagaimana dengan pernikahanmu?"

Tak langsung menjawab, entah kenapa pertanyaan itu seperti tusukan tajam yang menghunus ulu hati. "Batal, Pak."

Jonathan menaikkan sebelah alisnya. "Batal? Kenapa?"

"Saya juga tidak tahu, Pak. Tiba-tiba Farel membatalkan dengan alasan belum siap menikah."

"Lalu undangannya? Mmm ... maksud saya apa kamu sudah memberikan pengumuman atau klarifikasi pada semua orang yang kamu undang, memberi tahu kalau pernikahannya batal?"

Shira menggeleng. Jujur dia sendiri bingung dan malu. "Belum, Pak."

"Sebaiknya disegerakan, takutnya orang-orang yang telah kamu undang terlanjur membatalkan jadwal penting di hari pernikahanmu."

Shira merenung, apa yang dikatakan bosnya memang benar. Tetapi ia bingung harus mulai dari mana. Untuk mengatur hatinya yang remuk redam saja rasanya tak mampu, apa lagi jika harus memberi pengumuman besar. Masih Shira ingat bagaimana bahagianya dia  memberikan kabar sakral ke semua staf di kantor, semua temannya dari bangku merah putih sampai kuliah, dan semua orang-orang penting lainnya. 

"Atau ...,"

"Atau apa, Pak?"

"Saya akan menggantikan Farel untuk menikah denganmu."

Shira tercengang mendengar penuturan Jonathan yang tiba-tiba. "Maksud Pak Jonathan?"

"Apa maksud saya kurang jelas?" 

"Mmm ... tidak, Pak," jawab Shira kikuk. Belum mengerti arah pembicaraan lelaki di hadapannya.q

"Pikirkanlah, karena saya tidak pernah main-main dengan ucapan saya."

Jonathan menyodorkan sebuah kotak merah berbentuk love. Lagi-lagi Shira tak mengerti kenapa atasannya memberikan benda seperti itu. "Ini apa, Pak?" 

"Bukalah!"

Shira terhenyak saat membuka kotak tersebut, cincin brilian telah terpampang nyata di depan matanya. Harganya pun pasti sangat mahal, bisa mencapai sepuluh kali lipat dari harga motornya.

"Ini untuk siapa, Pak? Apa mau melamar seseorang?" 

"Iya, kamu!"

"Apa ini tidak salah?"

"Dalam berbisnis, saya tidak pernah salah mengambil strategi maupun keputusan. Begitu juga pernikahan, saya yakin kamu orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup saya. Mungkin selama setahun kamu bekerja di perusahaan ini, saya tidak pernah menunjukan jikalau saya menyukaimu. Tetapi saat tahu kamu dikabarkan gagal menikah, saya harus bergerak cepat agar tidak menunggu lebih lama lagi. Bukan saya tidak menghargai perasaanmu karena baru saja ditinggalkan lelaki tak bertanggung jawab itu, hanya saya tidak mau didahului orang lain."

***

Di meja kerjanya, Shira hanya terpaku pada arah jarum jam. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, tapi rasanya enggan untuk pergi. Dia malu jika keluar dari ruangannya, bertemu dengan Jonathan.

Saat tadi Shira menemani Jonathan melakukan pertemuan dengan Pak Alexo dan dari Kementrian Indistri pun, dia tak fokus. Terus memikirkan perkataan atasannya yang sangat mendadak. 

Shira membuka laci, membawa sebuah kotak merah yang diberikan Jonathan. Kalimatnya pun terngiang kembali.

"Bawalah cincin ini, saya beri waktu kamu sampai sore hari setelah kita meeting nanti. Tetapi jika kamu menolak, dengan berat hati saya akan memberhentikanmu dari perusahaan ini. Bukan saya jahat, saya hanya akan memindahkanmu ke perusahaan cabang. Karena kamu tahu sendiri bukan? Selalu berdekatan dengan orang yang sudah menolak kita itu rasanya sakit?"

Mata terpejam. Rasanya tidak mungkin seorang Jonathan Argaputra, yang memiliki kekayaan selangit karena memiliki ayah yang masuk ke dalam daftar sepuluh orang terkaya di negeri itu, bisa menyukai Shira dari kalangan biasa. 

Shira bingung, sepintas mungkin jika wanita lain yang berada di posisinya akan sangat senang dilamar oleh pemimpin perusahaan berparas oriental. Masih santer terdengar, saat empat tahun lalu Jonathan kembali ke tanah air untuk menggantikan posisi ayahnya yang telah menua, para wanita sosialita berlomba-lomba mendapatkan cinta dari Jonathan Argaputra. 

Namun lelaki itu terlalu dingin. Dia tidak pernah jalan dengan wanita mana pun untuk sekadar menghilangkan penat, dia hanya bersama wanita dalam satu ruang pekerjaan saja.  Tidak heran jika semua orang berpikir jikalau sang atasan adalah seorang gay. 

Sekarang, Shira menepis prasangka semuanya. Atasannya bukanlah seorang gay. Dia hanya berhati-hati dalam mengambil tindakan dan keputusan. Buktinya, Jonathan juga bisa melamar seorang wanita, dan wanita itu adalah Shira sendiri. 

Shira memasukkan cincin itu pada tasnya, dia harus segera pulang. Tak lupa ia mengunci ruangan. Saat keluar, benar saja sebagian karyawan sudah ada yang pulang, sebagian lagi memilih lembur. Tak lupa Shira pamit kepada mereka sebagai basa-basi semata.

Alangkah terkejutnya Shira saat memasuki lift, di dalamnya ada Jonathan tengah berdiri sangat gagah. Tidak ada senyum di wajah putih bersih itu. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa di pagi tadi. 

Shira menunduk sedikit untuk memberi hormat, dia berdiri di sampingnya. Nafasnya? Jangan ditanya lagi, bergemuruh tak beraturan. Telapak tangannya pun menjadi basah. Begitulah Shira saat perasaannya terhimpit, selalu keluar keringat dingin. 

"Bagaimana jawabannya?" tanya Jonathan tanpa menoleh. 

"Maaf, Pak. Saya harus bicarakan dulu dengan orang tua saya." 

"Baiklah, restu orangtuamu juga sangat penting. Jika kamu menerima niat baik saya, tolong pakai cincin yang saya berikan saat besok kamu ke kantor. Tetapi jika kamu menolak, jangan dipakai. Dan silahkan langsung masuk ke ruang HRD untuk mengundurkan diri. Cincin itu akan tetap jadi milikmu, asalkan kamu tidak menemui saya lagi." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status