Share

Berangkat Ke Kota

Seluruh anggota keluarga dan tamu yang belum pulang  mendadak riuh karena teriakan Bu Tejo. Tak terkecuali Bu Isma, begitu prihatin melihat dan mendengar sikap pongah teman lamanya. Jauh berbeda dengan Tejo remaja yang dulu begitu pemalu dan lembut. Sekarang, dia bahkan tak sungkan ribut dengan suami saat pesta baru usai. Suaranya terdengar jelas ke ruang tamu dimana tamu sedang istirahat. 

Sekarang, Pak Supri jadi korban pertengkaran mereka dan harus dilarikan ke puskesmas terdekat. Tangis Bu Tejo tak kentara dan terus meminta maaf pada sang suami. 

"Mungkin ini pertanda gluduk tadi siang. Bu Tejo mau jadi janda," celetuk seseorang. 

"Kalau udah janda, berarti gak bisa sombong lagi dong."

"Ihh, mending Pak Supri aja deh yang jadi duda. Aku gak rela kalau lelaki berkharisma seperti beliau meninggal cepat."

"Halah, bilang saja pengen jadi istri barunya orang kaya. Janda pengharap," timpal yang lain, lalu terbahak-bahak. 

Bu Isma menggeleng-gelengkan kepala mendengar percakapan ibu-ibu yang berkerumun saat terjadi kegaduhan itu. Ternyata para tetangga datang hanya ingin tahu apa yang terjadi, bukan murni karena peduli. 

"Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa," lirih seorang perempuan, berhasil mencuri perhatian perempuan kota itu. 

Dialah Bu Wati, menatap kepergian mobil keluarga Bu Tejo hingga menghilang di balik tikungan. 

"Kenapa Ibu masih mau ke sini? Bukannya Ibu sakit hati dengan peristiwa tadi siang, Bu?" tanya Bu Isma, mendekati orang tua tunggal dari  Zidan, calon pekerjanya. 

"Saya gak sakit hati kok, Bu. Yang dikatakan Bu Tejo tadi siang memang benar, saya tak punya malu. Saya terpaksa melakukannya karena tak berdaya. Saya tetap mendoakan semua warga sini agar sehat-sehat selalu. Selain akan merasa kehilangan, saya juga belum punya beras yang layak buat sumbangan kalau ada yang kemalangan," balas Bu Wati. 

Rasa iba bercampur takjub pada sesamanya itu membuat Bu Isma mengerjap perlahan. 

"Semoga rejeki Bu Wati berlimpah."

"Secukupnya saja, Bu, tidak berkekurangan saja sudah syukur. Kalau berlimpah, saya malah takut jadi orang sombong," balas Bu Wati seraya tersenyum. 

"Saya doakan juga agar tidak sombong kalau gitu," timpal Bu Wati, melempar senyuman balik. 

*

Suasana rumah Bu Tejo kembali kondusif. Semua peralatan pesta telah bersih dan dikembalikan pada pemiliknya. Halaman dan rumah sudah seperti sedia kala.

Bu Isma dan anggotanya yang berjumlah sepuluh orang sudah siap-siap, tetap akan pulang sesuai jadwal karena kata Bu Tejo, suaminya tidak terluka parah. Tangan kanan Pak Supri sempat menangkis kotak  kado yang ternyata berisi sepasang gelas keramik hingga luka di kening tidak terlalu parah. Namun, ia terjungkal karena hilang keseimbangan badan bercampur rasa terkejut. 

"Cepat sehat, ya, Pak Supri," ujar Bu Isma, memberikan amplop buat suami dari temannya itu. 

Pak Supri menolak, tapi akhirnya menerima karena melihat mata membeliak dari istrinya. Sejak tadi malam, Bu Tejo tetap menggerutu karena harus rugi uang berobat lagi. Belum lagi uang hajatan mewah tak balik modal. Dengan kesal, ia  menghitung uang amplop yang kebanyakan tanpa nama, nominalnya sangat membuat emosi terpancing. 

Menurutnya, Bu Wati adalah keluarga paling miskin yang terpaksa diundang karena masih tetangga. Namun, ternyata dia masih menemukan uang pecahan dua ribu. Tak tanggung-tanggung, ada sekitar 15 amplop yang memberikan nominal sejumlah itu. Seperti disengaja. Yang lainnya juga tak banyak-banyak, hanya sebagian kecil memberikan lembaran uang bergambar presiden pertama. 

Saat melihat teman lamanya memberikan amplop lagi pada suaminya yang sakit, Bu Tejo tak mau rugi. Makanya ia memberi kode agar sang suami menerima pemberian Bu Isma yang ia yakin jumlahnya tak sedikit. 

"Kamu kurangilah marah-marahnya sama anak, suami atau orang lain. Nanti cepat tua loh," kekeh Bu Isma, merangkul temannya. 

"Marah itu cuma gaya, Jeng. Aslinya tetap Tejo yang dulu."

Mereka tertawa sekilas, lalu Bu Isma pun pamit pada anak menantu Bu Tejo, Juniarti dan Alvir. Memberikan sedikit nasihat berumah tangga, lalu bergegas keluar, dimana kenderaan roda empat berbentuk mini bus terparkir. 

Bu Tejo mengantar sampai halaman, tapi matanya membulat sempurna, menatap tak suka pada Bu Wati dan ketiga anaknya. Ada juga satu tas hitam lusuh yang tergeletak di dekat Zidan. 

"Ya ampun, Bu Wati. Kalian mau kemana? Mau jadi pengemis di kota?" cibirnya. 

"Jaga ucapannya, Bu. Saya dan anak-anak tak akan pernah mengemis selama saya masih kuat bekerja," bantah Bu Wati. Dia sudah sengaja berdiri agak jauh, menunggu Bu Isma memanggil putranya. Tak disangka, perempuan yang dihindari datang menghampiri dengan ucapan mengalahkan tajamnya belati. 

"Saya sih gak peduli kalian mau kemana atau jadi apa, yang penting jangan merugikan. Apa kalian mau numpang di mobil sahabat baik sa …?"  

"Zidan, ayo masuk! Kamu duduk di samping supir saja," potong Bu Isma. 

Bu Tejo langsung menoleh pada perempuan bergamis hijau dengan jilbab senada itu. 

"Loh, kenapa anak itu harus ikut, Jeng?"

"Dia mau kerja di restoran saya, Jeng. Kebetulan lagi kekurangan anggota."

"Astaga, Jeng. Kalau mau cari anggota, kenapa gak bilang-bilang? Saya bisa carikan orang yang lebih terpercaya. Saya khawatir kalau dia jadi maling loh," ujar Bu Tejo dengan satu sudut bibir terangkat. 

Bu Isma tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau maling, saya penjarakan nanti. Kami pergi dulu, ya."

Bu Tejo tersenyum hambar. Temannya yang satu ini sangat setia meskipun tinggal berjauhan, tapi tetap saja sulit dipengaruhi. 

"Ayo, Zidan!" seru Bu Isma. 

"Iya, tunggu, Bu."

Pemuda yang akan pergi pertama kalinya dari kampung itu langsung memeluk ibunya. "Zidan janji, Ibu tak akan menangis lagi karena kemiskinan kita. Doakan anakmu, Bu."

"Orang tua selalu mendoakan terbaik buat anaknya tanpa diminta. Restu Ibu bersamamu," balas Bu Wati. Sekuat tenaga agar air mata tak lepas di depan anaknya yang akan pergi ke tempat yang belum pernah dikunjunginya. 

"Abaaaang!" seru Ahmad dan Aisyah bersamaan saat Zidan merentangkan tangan kepada dua adiknya. 

"Kalian baik-baik sekolahnya, Dek. Bantu Ibu juga," pesannya yang diangguki kedua adiknya, lalu bergegas ke minibus yang sudah menunggu. 

Bu Isma menyusut sudut mata, teringat akan putrinya yang tak bisa berkata selembut dan sedewasa Zidan. Padahal, anak perempuannya itu telah kuliah semester 6.

"Allah Maha Adil, menguji setiap insan dengan ujian yang beragam. Mereka ditempa dengan harta yang kurang, tapi aku ditempa melalui anak yang sulit diatur," batin Bu Isma, lalu menghampiri Bu Wati. 

"Ini sedikit uang buat perbaiki atap rumah Bu Wati. Nanti saya potong gaji Zidan saja, ya," ujarnya dengan lembut. 

"Gak usah, Bu. Anak saya belum bekerja."

"Tapi akan bekerja. Jadi, nanti potong gaji tentunya," balas Bu Isma meyakinkan. Dia merasa kalau remaja itu memang anak yang rajin dan amanah kelak, tapi tetap saja dia harus berhati-hati dalam bersikap. Salah satunya tidak terlalu memperlihatkan kebaikan. 

Bu Wati menerima uang itu dengan gemetar, lalu  menciumi tangan calon bos anaknya karena terlampau haru. 

Bu Isma pun bergegas pergi karena yang lain sudah menunggu. Setelah menghilang di ujung jalan, ibu dan dua anak itu memutar badan untuk pulang. 

"Halah, anak melarat begitu melihat kota pasti jadi langsung seperti legenda Malin Kundang. Tak ingat keluarganya lagi," cibir Bu Tejo, lalu terbahak-bahak hingga ia mengurut perut. 

Keterlaluan nih Buk Tejo. 😭

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bibn Binbin
perempuan kok namanya tejo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status