Share

Tiba di Kota

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2023-01-31 13:45:23

Bu Wati mengucap istighfar beberapa kali. Tak ada gunanya dia menjawab, hanya memperpanjang masalah saja. Lebih baik mendoakan Zidan agar tidak seperti yang disebutkan Bu Tejo. Melangitkan doa langsung kepada Yang Maha Kuasa.

"Astaga, Tejo Tejo. Namamu itu artinya cahaya, tapi kelakuanmu suram. Lagian, nama laki-laki kok dipakai perempuan? Pantas aja kelakuannya pun sudah kayak preman, sampai membahayakan suamimu sendiri," kekeh Bu Irma, orang kaya yang merupakan saingan Bu Tejo. Hanya dia dan keluarga yang tidak diundang ke pesta pernikahan putri sulung Bu Tejo. 

"Nama-nama saya, apa urusannya buat kamu? Ngapain kamu disini?" sergah Bu Tejo, berkacak pinggang melihat perempuan yang selalu modis dan cantik itu menghinanya. Apalagi di depan Bu Wati, orang yang selalu jadi bulan-bulanan hinaannya . 

Pemilik nama lengkap Tejo Nikmatul Wardiah itu memang sengaja diberi nama Tejo oleh orang tuanya dengan harapan kehidupan ekonomi mereka bercahaya dan dikaruniai adik laki-laki kelak. Dan … dia memang akhirnya memiliki adik laki-laki, tapi kehidupan mereka tetap susah. Setelah datang pinangan dari Pak Supri, orang terkaya di kampung Marpirpir, barulah mereka merasa kalau nama Tejo itu membawa keberuntungan.

"Saya ke sini niatnya mau melayat. Kalau ada kemalangan, tidak diundang pun wajib datang. Kirain di sini memang ada tangisan pilu, eh rupanya Bu Tejo sedang tertawa bahagia," ujar Bu Irma, mengusap kepalanya yang ditutupi kerudung warna hitam. Pakaiannya juga berwarna senada, khas orang-orang yang mau melayat. Hobinya hampir smaa dengan Bu Tejo, mencari gara-gara. 

"Kalau mau menghina orang kecil, itu gak pantas. Lawannya gak seimbang, Bu Tejo. Masa Bu Wati yang tak punya apa-apa untuk dibanggakan, kamu hina terus. Kalau berani, lawan saya," kekeh Bu Irma, lalu pulang tanpa menunggu jawaban Bu Tejo. 

Beberapa orang tertawa, lalu bungkam saat melihat tatapan menusuk perempuan yang sedang terbakar api amarah itu. Saat ia tersadar, Bu Wati sudah tak ada di tempat. Dengan menghentak-hentakkan kaki, dia masuk ke rumah dengan kesal.

Di lain tempat. 

Sepanjang perjalanan menuju kota yang menghabiskan waktu sekitar 6 jam perjalanan, Zidan tak pernah merasa ngantuk.  Ia melirik sekilas, semua rombongan di kursi penumpang telah tertidur. 

"Kalau ngantuk, tidur saja, Nak Zidan, " ujar sang sopir yang sejak tadi memperhatikan remaja berkulit agak gelap itu. 

"Saya belum pernah melihat berbagai macam keindahan alam maupun bangunan seperti ini, Pak. Saya mau merekamnya di memori otak," balas Zidan. Matanya menatap keluar jendela mobil, tersenyum bahagia. 

Pak Alatas, supir kepercayaan Bu Isma itu tertawa sekilas. 

"Kamu itu polos banget, Nak. Semoga keras dan liarnya dunia kota tak terlalu mempengaruhimu," ujarnya.

"Aamiin, Pak."

Tak terasa, minibus itu akhirnya berhenti di depan sebuah ramah bergaya modern, dengan desain yang luas. Rumah dengan garis bersih dan tajam, palet warna yang didominasi silver, dan penggunaan material yang meliputi logam, kaca, dan baja.

Taman yang lumayan luas, ditumbuhi aneka bunga yang indah dipandang mata. Garasi pun dibuka seorang lelaki yang berpakaian hitam dan terparkir di sana 2 unit mobil pribadi dan 3 motor keluaran terbaru dari berbagai type.

Zidan tak henti mengucapkan masya Allah, menatap takjub dengan keindahan di depan mata. Apa yang dia lihat sekarang jauh lebih mewah dibanding rumah paling kaya di kampungnya.

Pak Alatas memasukkan mobil ke garasi, lalu pamit pulang dengan para rombongan yang rata-rata dekat rumahnya, meninggalkan dua orang yang masih baru saling kenal itu. 

"Ayo masuk, Zidan," ajak Bu Isma. Seorang perempuan paruh baya membawakan tas milik majikannya. 

Anak sulung Bu Wati itu tersenyum dan mengikuti pemilik rumah. Lantai marmer yang putih membuatnya langsung membuka sendal jepit yang sudah menipis dimakan usia. Menentengnya sembari mata terus menatap sekeliling. 

"Loh, kenapa dibuka sendalnya, Zidan?"

"Bukannya kalau masuk rumah, sendal harus dibuka, Bu?" tanyanya balik dan heran. 

Bu Isma tertawa, lalu ikutan menenteng sepatunya. Mereka pun duduk di sofa empuk yang mengisi ruang tamu. 

"Ibu tinggal sendirian di rumah seluas ini?" tanya Zidan penasaran. Sejak memasuki rumah, tidak ada yang menyambut selain perempuan yang membukakan pintu pertama kali dan  menyajikan minuman. 

"Anak Ibu ada dua, Zidan . Yang pertama laki-laki, sudah menikah dan punya rumah. Mereka tidak tinggal di sini, tapi sering berkunjung dan menginap di rumah ini. Yang kedua sekaligus terakhir, perempuan, namanya Najwa. Dia masih kuliah, mungkin sebentar lagi pulang. Bi Ina, asisten rumah tangga sekaligus sudah seperti keluarga kita juga tinggal di sini," jelas Bu Isma. "Dan ... sekarang kamu juga akan tinggal bersama kami."

Zidan mengangguk paham. Masih tak menyangka akan tinggal di rumah sebesar itu, meskipun hanya sebagai pekerja. Teringat akan Ibu dan adiknya yang tidur beralaskan kasur kapuk yang sudah lapuk. Sering tak sengaja bergeser dan membuat Aisyah maupun Ahmad terjatuh. Cukup sakit karena anggota badan langsung bersinggungan dengan papan yang jadi alasnya. 

"Apa mungkin aku bisa membangun rumah yang layak buat Ibu? Adik-adik akan besar dan dewasa, mereka akan mencari kehidupan masing-masing. Tapi Ibu, beliau hanya mengharapkan anak-anaknya," batin Zidan. Belum sampai setengah hari, dia sudah merindukan orang-orang terkasihnya. 

"Minum dulu, lalu istirahat di kamarmu yang itu," ujar Bu Isma, menunjuk salah satu ruangan dengan pintu berdempetan. Perempuan yang sudah kelelahan itu langsung pamit mau istirahat di kamarnya yang terletak di lantai dua. 

Zidan mengiyakan, menyesap minuman berwarna hijau dan manis dengan pelan, menikmati rasanya agar tidak cepat berlalu dari tenggorokan. 

Setelahnya, pemuda itu berjalan ke dapur, mencari Bi Ina. Matanya kembali berbinar takjub melihat dapur begitu bersih dan berbagai alat masak yang bahkan bisa memantulkan bayangan dengan jelas. 

"Zidan, mau cari apa, Nak?" tanya Bi Ina. 

"Eh, Bi?"

Zidan kaget karena perempuan yang dicarinya muncul dari pintu belakang. 

"Hmm, saya ...." Ragu melanjutkan kata, takut dikira kurang sopan karena baru saja ketemu. 

"Ada apa? Jangan sungkan, Zidan. Bibi yakin, kamu orang baik. Bu Isma tak pernah salah memilih orang untuk tinggal di rumah ini," jelas perempuan yang sudah mengabdi belasan tahun di rumah itu. 

Zidan nyengir, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Sa-saya mau minjam hape, Bi. Mau nelpon Ibu di kampung kalau Zidan sudah sampai," ujarnya takut-takut. 

Bi Ina tertawa, lalu merogoh kantong celananya. Meskipun tak muda lagi dan hanya di rumah, dia lebih suka memakai stelan tunik selutut dipadukan dengan celana panjang. Tetap saja jauh lebih modis dibandingkan ibunya Zidan yang lebih sering mengenakan baju kebangsaan emak-emak, daster. 

"Pakailah, pulsanya masih banyak."

Zidan meraih benda pipih nan canggih itu dengan takut-takut. 

"Saya tak bisa memakainya, Bi. Takut rusak. Bibi bisa telponkan nomor ini?" tanya pemuda itu. Ia hanya pernah memakai ponsel jadul yang sering mati karena baterainya sudah soak. 

Bi Ina langsung mengangguk dan meraih selembar kertas yang disodorkan lelaki muda yang dibawa majikannya. Tak menyangka, di zaman serba canggih begini masih ada remaja yang tak bisa menggunakan android. 

Setelah tersambung, Zidan pamit ke kamar. 

"Assalamualaikum, Bu. Ini Zidan, sudah sampai di rumah Bu Isma," sapanya dengan pipi yang menghangat mendengar suara perempuan yang melahirkannya dari seberang. 

"Walaikumsalam, Nak. Alhamdulillah, sudah makan, Nak?"

"Sudah, Bu. Tadi di jalan, sekalian sholat zuhur," balas Zidan dengan suara bergetar. 

"Abang Zidan! Abang Zidan! Kami makan sup ayam loh. Enak sekali, tadi Ibu yang masak," ujar Ahmad, adik pertama Zidan. Terdengar berebutan dengan Aisyah, ingin bicara dengan abang mereka. 

"Iya, enak banget, Bang. Abang pasti belum pernah makannya. Biasanya kan, kita makan sop sayur," timpal Aisyah. 

Zidan mengusap sudut mata dan menghirup udara dengan rakus. Menetralkan suara agar tidak terlalu kentara sedang terharu. Tak tahan lagi, pemuda itu menjauhkan ponsel dan berlari ke kamar mandi, membasahi wajah yang sudah berurai air mata. 

Yang kuat ya, Zidan. Kamu harapan mereka untuk mengubah nasib

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yeni Sipayung
air mataku meluncur...
goodnovel comment avatar
Ketut Sedana
sangatlah baik ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Amplop Isi Lima Ribu   Tamat

    Rumah Bu Wati kembali lengang setelah anak, menantu, cucu dan besannya pulang. Hanya celotehan Vania yang tak ada habisnya memberikan warna yang berbeda. Ahmad dan Saripah juga sudah istirahat di kamar karena selama bertamu, mereka paling direpotkan sebagai tuan rumah. "Nenek, Bang Erlang dan Kak Airin sudah sampai rumah mereka?" tanya gadis kecil itu. Bu Wati terkekeh. "Baru satu jam mereka pergi, Van. Masih jauh. Kamu rindu, ya?""Iya, Nek.""Nanti mereka akan telpon kalau sudah istirahat di jalan atau sampai, ya. Sabar, ya, cucu Nenek yang cantik."Vania mengangguk bahagia. Matanya tertuju pada beberapa temannya yang mengintip di dekat pintu, lalu memanggil untuk bermain di luar. "Mainnya jangan jauh-jauh, ya!""Iya, Nek." Kompak anak-anak itu mengiyakan. Sekarang gantian Bu Wati yang tak ada teman mengobrol. Kemaren Bu Tejo yang kesepian, sekarang dia sedang sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Tawanya begitu lepas setelah anaknya Juniarti mau bicara dan duduk dipangkuan sang n

  • Amplop Isi Lima Ribu   Kompak

    "Ibuuuuu! Harusnya Ibu masih tinggal di rumah Kak Najwa dan Bang Zidan agar aku bisa sering berkunjung. Apalagi Kak Najwa sedang hamil."Aisyah melancarkan serangan bujuk rayu. Setelah pesta kemarin, ia dan keluarga suami menginap di hotel di sebuah kabupaten yang baru pemekaran menjadi pemerintahan kota. Tak begitu jauh dari rumah Bu Wati, cuma sekitar sejam perjalanan. Sekalian mereka pergi jalan-jalan dulu sebelum kembali ke kota. Mereka memang berencana balik bersama keluarga kecil Zidan dan Najwa."Tante, gak boleh cengeng. Ini Nenek aku!" Vania berkacak pinggang. Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir itu mengerucutkan bibir."Sok berkuasa! Ini Nenek aku juga," cetus Erlang."Nenek aku! Ayaaaah!" seru Vania, mengadu pada Ahmad."Harus akur dong, Sayang. Ini nenek Vania, neneknya Airin, neneknya Erlang juga. Semuanya sama-sama sayang Nenek, kan?" tanya Bu Wati.Ketiga anak itu kompak mengiyakan."Kalau begitu, peluk dan cium Nenek sama-sama!" titah Ahmad.Bu Wati berjongkok, mem

  • Amplop Isi Lima Ribu   Berkumpul dengan Keluarga

    Beberapa tahun kemudian, berketepatan pada bulan syawal, rumah Bu Wati begitu ramai. Akan ada acara bahagia. Anak, menantu dan cucu-cucu serta kerabat sedang makan berbagai olahan khas hari raya. Cucu kembar jandanya Pak Imran itu paling heboh. Karena merasa paling tua di antara anak-anak lainnya, yang perempuan terus mengkoordinasi sepupunya untuk tertib. Namun, yang satu lagi malah bikin ulah, suka menjahili yang lain.Di sana ada Bu Tejo juga, memakai kaca mata karena penglihatannya sedikit mulai terganggu. Berulang kali dia mengusap mata yang menghangat. Tahun ini tidak ada anak menantunya yang menemani. Begitu pulang solat idul fitri, dia langsung diajak Bu Wati ke rumahnya.Rio dan istri sedang pergi liburan beberapa hari yang lalu dan mengabarkan belum bisa pulang. Mungkin beberapa hari lagi. Bu Tejo sangat kesepian dan akhirnya tak menolak tawaran bertandang ke rumah orang yang paling sering membelanya."Nenek! Lihat! Si Erlang nakal!" seru Vania, putra dari Ahmad yang berusia

  • Amplop Isi Lima Ribu   Rengekan Rio

    "Oh, jadi kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi dia memilih yang lain? Gak nyadar gitu kalo kamu sudah suka sama dia sejak duku?"Sheila mengangguk."Kok bisa sama, ya?" tanya Jerikho dengan kening berkerut. Setelah berbagai cara dan alasan dia lakukan, akhirnya gadis bernama Sheila itu mau bicara dengannya. Dia tertarik pada gadis kampung itu sejak pertama berjumpa. Entahlah, apakah karena dia sedang galau setelah gadis yang dulu menolaknya telah menikah dengan rekan bisnisnya. Dunia terkadang sesempit itu. Tak bisa dihindari, padahal sudah mati-matian berusaha menjauh.Awalnya gadis yang sudah konsisten berjilbab itu cuek, lama-kelamaan mau diajak bicara. Sheila hanya menganggap teman karena sadar kalau dia sedang putus asa, merasa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Zidan di hatinya. "Sama? Maksudnya Bos juga di tinggal kawin sama cewek yang Bos suka?" "Ya, begitulah. Parahnya, aku datang di acara mereka tanpa tahu kalau pengantinnya adalah perempuan yang mematahkan hatiku

  • Amplop Isi Lima Ribu   Nomor Misterius

    Assalamualaikum dan semangat sore, Bestie😍😍Kemesraan iniJanganlah cepat berlaluKemesraan iniIngin kukenang selaluHatiku damaiJiwaku tentram disampingmuHatiku damaiJiwaku tentram bersamamuSuara pengamen itu ternyata cempreng dan tidak nyaman di telinga. Untung saja dia menyanyikan intinya saja. Selembar uang warna biru diberikan Zidan pada lelaki itu. "Makasih, Mas. Semoga umurnya panjang dan rejeki berlimpah."Pemuda itu terlihat senang, bagai mendapat rejeki nomplok. Mengusap dada berkali-kali. Kelihatan kalau uang itu sangat berharga buatnya. "Ngapain dikasih banyak sih, Bang? Lagunya aja gak enak," protes Najwa setelah pemuda bercelana sobek-sobek di lutut dan betis itu pergi. "Gak apa-apa. Dia gak ngemis loh, Sayang. Sekalian biar kamu gak kelamaan malunya sama dia," kekeh Zidan. Najwa mengerucutkan bibir. Wajahnya masih sedikit memerah karena salah paham tadi. "Habisnya itu orang emang ngeselin, kok. Dia bilang tante sambil menatapku."Bu Wati tertawa sekilas. Mena

  • Amplop Isi Lima Ribu   Tante?

    "Astaghfirullah, sampai lupa ngajak kalian masuk. Ayo semuanya, kita ngobrol di dalam!"Bu Isma merangkul bahu perempuan yang seumuran dengannya. Dia sebenarnya lebih muda beberapa bulan dari Bu Tejo, tapi nikah muda dan cepat dipercayai keturunan. Itu sebabnya putra pertama Bu Isma lebih tua dari anak sulung sahabatnya. Namun, karena Bu Tejo pernah cerita dia lebih tua sedikit, jadilah Sheila lebih nyaman menyebut Bu Isma dengan sebutan tante. Terlebih wajah perempuan paruh baya itu kelihatan lebih muda dari ibunya. "Hai, siapa namamu?" Jerikho mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sheila menatap sekilas, lalu mengambil tasnya dan masuk mengikuti yang lain. Rio sudah kebelet mau ke toilet dan tak menunggu kakaknya lagi sehingga tinggal mereka berdua. "Sombong banget, sih? Atau ada perasaan yang harus dijaga? Oh, atau laki-laki tadi calon suamimu?" cerocos Jerikho asal. Dia ingin mendengar suara perempuan itu. "Sembarangan. Dia itu adikku dan … Anda jangan terlalu sok akrab," cetus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status