"Mama ih, aku masih muda. Buat apa cepat-cepat nikah? Aku mau fokus belajar dulu, kerja, baru deh nikah. Aku belum mau kalau ada yang ngekang dengan berbagai tanggung jawab," balas Najwa dengan bibir mengerucut. Wajahnya sudah memerah, dengan terburu-buru menenguk minuman. Air conditioner yang terpasang di ruangan itu tidak mampu menghilangkan rasa gerah yang menjalar. "Hmm, pernikahan itu tidak mengekang kok, Najwa. Memang manusia itu tidak boleh terlalu bebas. Kita harus tunduk pada aturan-aturan agama maupun norma-norma. Semuanya demi kebaikan kita sebagai manusia," balas Bu Isma, tersenyum melihat putrinya yang terlihat salah tingkah. "Kalau Mama perhatikan, kamu sepertinya lagi suka sama seseorang. Mama gak tahu pasti, ya, tapi cuman sekedar menebak saja. Mama gak akan larang kamu kalau mau nikah muda, asal jangan dengan mudah pacar-pacaran saja. Mama juga berdosa nantinya. Jadi, cerita dong sama Mama, kamu lagi jatuh cinta sama siapa, ya?" lanjut perempuan paruh baya itu, men
"Dia gak ada di dalam, tadi sore saya lihat keluar naik mobil," ujar salah satu tetangga. Bu Wati menghela napas lega karena pemilik rumah sedang keluar. Setidaknya dia selamat. Ngeri membayangkan kalau nyawa yang belum lepas dari badan harus dilalap api yang panas. Warga bergotong-royong memadamkan api dengan peralatan seadanya. Sebagian memakai ember dan ada juga memakai selang yang diambil dari gudang perabotan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), lalu dialirkan dari kran kamar mandi tetangga. "Allohu Akbar. Ya Allah, selamatkan kami semua," seru ibu-ibu, mulai cemas karena usaha mereka tak banyak membantu. Angin pun mendadak bertiup kencang sehingga api semakin berkobar. Beberapa benda yang mudah terbakar tertiup angin dan warga langsung memadamkannya.Namun, tak berlangsung lama, angin mulai bersahabat. Usaha warga berhasil memadamkan bagian luar agar tidak merembet ke mana-mana. Namun suara benda terbakar dan terjatuh di dalam rumah terus saja membuat semua orang bergi
"Kenapa, Bu? Kok istighfar?" tanya Sheila bingung dan sedikit kecewa. Bukan itu reaksi yang dia harap. Seharusnya calon mertua langsung menganggukkan kepala dan memeluknya. Perempuan di hadapan gadis itu menggeleng lemah. Memijit pelipis yang mendadak berdenyut nyeri memikirkan Zidan yang masih terlalu muda untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. "Aku dan Zidan itu sangat dekat saat sekolah, Bu. Mulai dari SD sampai akhirnya aku pindah waktu SMA. Aku yakin, kami pasangan yang cocok," imbuh gadis itu dengan senyuman lebar. "Nak Sheila kan, baru saja tamat sekolah, Zidan juga. Menikah tak sesederhana yang kamu pikirkan, Nak. Kalau memang jodoh, tidak akan kemana. Untuk saat ini, jangan mikirin untuk pacaran atau nikah dulu, tapi pikirkan bagaimana agar kalian bisa bangkit dari masalah ini, ya, Nak," balas Bu Wati dengan hati-hati. Jika dulu suaminya sempat berpikir kalau Zidan akan sulit mendapatkan istri di masa depan karena mahalnya biaya seserahan di kampung mereka
"Ih, aku kok, gemetar begini? Tidak, tidak mungkin aku menjatuhkan harga diri di hadapan Zidan. Kalau dia ternyata gak suka padaku, mau ditaroh dimana muka ini? Ya Tuhan, ini memalukan," rutuk Najwa, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menghembuskan napas dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir. "Lebih baik kutunggu saja sampai dia mengungkapkan perasaannya. Tapi kalau keduluan sama Sheila, bagaimana? Argh!"Najwa membentangkan tangan, mendongakkan kepala menatap langit nan indah. Ribuan bintang nun jauh di sana bagaikan sedang menertawakan sikap konyolnya. "Ada apa, Non? Kata Bi Ina saya dipanggil Non Najwa, ya?" tanya Zidan, tergopoh menghampiri. "Non nan non. Jangan panggil aku 'non' lagi kalau sedang di luar kerjaan! Panggil saja Najwa. Kamu juga jangan memakai kata saya kalau bicara denganku. Aku ini masih muda, nanti dikira orang pula kalau kamu sedang jalan sama tantemu," cetus gadis yang mengenakan blazer warna coklat yang dipadukan dengan rok plisket warna senada.
"Astaghfirullah, Zidan. Aku kecewa sama kamu. Kukira kamu lelaki yang berbeda, tidak diperbudak hawa nafsu seperti pemuda kebanyakan yang hobi pacaran. Di depan banyak orang kamu terlihat seperti lelaki tanpa cela, tapi di belakang tak lebih dari buaya. Bisa-bisanya kamu mau melecehkan seorang gadis di rumah ini," ujar Najwa emosi. Semua penghuni rumah masih sibuk menenangkan Sheila yang sedang meraung-raung. Kondisi Sheila benar-benar meyakinkan sebagai korban. Rambut dan pakaiannya acak-acakan. Rencana yang sudah disusun matang layaknya sebuah serangan tindakan asusila.Bu Tejo yang sudah mulai pulih dan mengerti keadaan begitu marah. Ia memukuli Zidan dengan sekuat tenaga. Sumpah serapah pun bertebaran dari mulutnya. "Saya membawamu dari kampung agar kamu dan keluargamu tidak dihina orang lain, Zid. Namun, saya telah salah duga. Kamulah yang telah menghinakan dirimu sendiri. Saya tak menyangka kalau anak dengan tampang sepolos kamu bisa melakukan hal serendah ini pada putri sah
Sejenak waktu seperti berhenti. Kedua insan yang saling merindukan dalam diam dan juga doa masih bungkam. Tak ada yang memulai pembicaraan. Sang satpam menatap kedua insan itu secara bergantian. Segera menghampiri putri bungsu bosnya. "Neng, kenapa bengong? Apa dia penjahat atau pencuri? Biar saya amankan." Satpam menyodorkan botol susu. "Ya, dia pencuri. Tangkap dia, Pak!" titah perempuan yang semakin cantik itu. Tangannya mengusap-usap punggung sang bayi yang mulai menggeliat tak nyaman. Segera satpam berkumis tipis itu menangkap kedua tangan Zidan yang sedang panik. Tak menyangka kalau disebut pencuri. Dia meninggalkan rumah ini karena sebuah kasus yang tidak dilakukannya, tapi bukan karena pencurian. Lalu kenapa gadis yang pernah mengaku menyebut namanya dalam doa mengucapkan fitnah baru? "Saya bawa ke kantor polisi sekarang, Neng?" "Bawa saja masuk, Pak. Dia tidak akan mempan sama polisi," balas Najwa, menoleh sekilas, lalu melebarkan langkah menuju rumah bak istana itu.
"Ih, Mama, Bibi sama Abang nguping?" Najwa mengerucutkan bibir, lalu tersenyum malu. Semuanya senyam-senyum dan mendekati sejoli itu. "Masya Allah, pantas saja adik Abang satu-satunya ini kelihatan lebih cantik dari biasanya. Auranya bersinar, rupanya mau dilamar pria idamannya," goda Dani, menjawil dagu adiknya. Jika dulu mereka tak akrab, tapi belakangan ini sering komunikasi. Najwa mulai membenahi hubungan dengan saudara satu-satunya. "Ayo kita masuk kalau begitu, biar semuanya kita bicarakan dengan serius," ajaknya pada Zidan yang salah tingkah. Bi Ina kelihatan paling gembira di antara yang lainnya. Memeluk calon pasangan itu bergantian. Suasana pun berubah jadi riuh. Semua anggota keluarga merasa lega karena akhirnya Najwa mau menikah. Sempat takut kalau anak perempuan Bu Isma itu sudah menutup diri dari semua lelaki. Beberapa anak teman arisan datang untuk melamar gadis itu, tetapi Najwa selalu beralasan sedang sibuk meniti karir. "Walaupun saya belum pernah bertemu Dek Zi
Jika memang harta atau kepopuleran bisa jadi jaminan rumah tangga bahagia, mungkin tidak akan pernah ada kasus artis bercerai. Jika memang kemiskinan membuat keluarga bagai neraka, mungkin tidak akan pernah ada pasangan dengan ekonomi pas-pasan yang bertahan sampai gigi ompong semua dan rambut memutih. Tidak ada jaminan, karena semuanya terletak pada kesiapan hati kedua belah pihak melakukan hak dan kewajiban. Najwa memang bergelimang harta. Naik mobil sudah hal yang biasa, meskipun sebenarnya pakai motor tetap jadi favorit. Selain bisa menghindari jalanan yang macet, dia juga dengan mudah berbaur dengan siapa saja. Tak ada yang minder bicara dengannya atau pun memperlakukan istimewa karena keluar dari kenderaan roda empat. Cinta kepada pemuda miskin pencuri hati memang masih bertahta dalam sanubari gadis kota yang angkuh. Rasa kagum dan juga merasa bersalah silih berganti memenuhi rongga dada. Terkadang menangis tanpa disadari karena telah menzalimi orang terkasih. Sejatinya, dia p