Hai, terima kasih untuk kalian yang sudah mendukung cerita ini. Semoga kalian menikmati ceritanya ya.
Damien menatap Dyandta dengan tajam karena telah merusak kesenangannya. Bahkan Damien dengan lantang menepis tangan Dyandta yang masih bertengger di lengan kekarnya. Dyandta benar-benar merusak suasana. Wanita yang ada di samping Damien pun menatap Dyandta dengan tatapan tidak suka."Apa yang kau lakukan di sini, hah?! Kau merusak kesenanganku!" Suara Damien meninggi karena marah. "Pergi dari hadapanku sekarang! Kau itu tidak pantas menghalangiku!"Dyandta merasa sedih mendengar teriakan itu. Bagaimana bisa Damien setega itu padanya? Padahal Dyandta datang untuk menjelaskan semuanya. Tapi kondisi Damien saat ini tidaklah baik."Damien, tolong dengarkan aku. Kau hanya salah paham. Waktu kau datang ke rumah sakit, aku....""Cukup!" Damien menyela dengan cepat. Ia tidak suka mendengar alasan. "Aku tidak akan mendengar alasanmu! Apapun itu, aku sudah membencimu dan menjauhlah dariku!"Damien mendorong tubuh Dyandta hingga tersungkur ke lantai. Dyandta meringis kesakitan, sementara Damien
Dyandta menangis sesenggukan di dalam kamar. Ia merasa hancur melihat perubahan Damien. Tidak menyangka kesalahpahaman itu akan mengubah karakter seseorang menjadi lebih buruk seperti itu. Dyandta sangat menyesal karena tidak memikirkan hal ini sebelumnya.Saat ketukan pintu terdengar dari luar, Dyandta langsung menghapus airmatanya. Suara ibunya sudah terdengar dan memintanya untuk sarapan.Pagi ini, Dyandta memang izin untuk tidak masuk kerja karena merasa tidak enak badan dan juga pikirannya sedang kacau. Sejak semalam ia tidak tidur, mencari cara untuk menyadarkan Damien dari segala perbuatan buruknya. Dyandta tidak ingin Damien terjebak di dalam dunia gelap itu."Dyandta, ayo sarapan, Nak."Suara ibunya kembali terdengar. Dyandta bergegas turun dari tempat tidur. Sebelum membuka pintu, Dyandta memastikan airmatanya sudah mengering agar ibunya tidak banyak bertanya mengenai hal itu.Pintu dibuka dan Dyandta memaksakan senyuman agar ibunya tidak curiga. "Iya, Bu. Nanti aku menyusul.
Ketika hati terluka, luka itu tidak akan sembuh secepat kilat. Butuh proses untuk menyembuhkannya. Begitu juga hati Damien yang sempat terluka untuk kedua kalinya. Meskipun sebenarnya ini hanyalah kesalahpahaman saja. Tapi Damien tidak mau mengerti. Mungkin karena trauma masa lalu yang masih menghantuinya sampai detik ini. Dikecewakan itu memang tidak enak.Damien juga sadar, dirinya hanyalah seorang duda yang pernah gagal dalam pernikahan dan tidak bisa mempertahankan pernikahan itu. Mengalami trauma dan depresi berat sehingga membuatnya seperti orang tidak waras. Wajar jika orang tua ataupun saudara Dyandta yang lain masih ragu untuk memberi restu.Saat ini, Damien tengah termenung di ruangannya. Sudah berapa hari dirinya tidak datang ke kantor itu hanya karena ingin melampiaskan emosi bersama wanita lain. Jujur saja, melihat Dyandta dekat dengan pria lain dan tertawa lepas, membuat hatinya hancur. Sakit. Damien tidak bisa menerima itu dengan mudah meskipun sudah dijelaskan berkali-
Setelah jam kerja selesai, Damien tidak berkunjung ke bar, melainkan langsung pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin karena hasratnya sudah ia lampiaskan pada Celine saat di kantor tadi. Bahkan sebelum pulang, ia sempat menemui Celine dan kembali mengancam agar kejadian itu tidak disebar-luaskan. Celine hanya bisa menurut dan tidak berani melawan perintah atasannya itu karena Celine butuh pekerjaan tersebut untuk menafkahi anak-anaknya.Damien berjalan memasuki pekarangan rumah. Dilihatnya sang ibu sedang menyiram tanaman di halaman. Beberapa tanaman hias sangat terawat dengan baik di sana. Airin memang rajin merawat tanaman hias itu.Damien memeluk Airin dari belakang. Airin hanya tersenyum sambil mengelus kepala putranya yang bersandar di bahunya. "Cepat ganti pakaianmu. Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu," kata Airin."Aku masih belum lapar, Bu.""Pergi dan lihatlah ke meja makan. Kau akan merasa lapar setelah melihat masakan Ibumu ini," ujar Airin.Damien pun melepas pelukannya.
Dyandta terduduk lemas salah satu kafe yang tak jauh dari lokasi ia diturunkan oleh Damien. Kondisinya masih belum pulih total. Ditambah lagi perlakuan Damien yang sangat menyesakkan hati. Wanita mana yang suka diperlakukan kasar seperti itu? Hanya karena salah paham, semuanya menjadi hancur dan berubah dalam sekejap. Dyandta juga mengutuk dirinya sendiri yang memang tidak bisa mengendalikan rasa senangnya saat bertemu dengan Malvis.Selama ini, Malvis adalah pria yang selalu mendengarkan segala keluh-kesahnya dalam hal apapun. Malvis juga sering membantu Dyandta jika mengalami kesulitan. Dyandta tidak bisa bersikap cuek pada pria itu. Ia menganggap Malvis sudah seperti saudara. Apalagi Dyandta sendiri hanya anak tunggal.Dyandta memesan segelas cokelat panas untuk menghilangkan rasa stresnya. Dyandta benar-benar membutuhkan hiburan saat ini. Untungnya, suara musik dari kafe itu membuatnya sedikit lebih tenang dan santai. Ia menarik napas lalu membuangnya perlahan sambil menutup mata.
Pukul 01.00 dini hari, Alex mendapati Damien yang sedang berkelahi di ruang VVIP dengan salah satu tamu pria. Alex dan beberapa karyawan bar lain berusaha melerai perkelahian itu. Bahkan petugas keamanan yang berjaga di luar bar turut membantu. Alex berusaha memegangi tubuh Damien yang terus memberontak untuk dilepaskan. Sementara pria yang berkelahi dengan Damien tampak babak belur di sofa.Masalahnya hanya karena pria itu menggoda salah satu wanita yang mendampingi Damien di ruangan tersebut. Damien yang sudah terlanjur mabuk berat dan tidak suka dengan pria itu, akhirnya Damien menyerang pria itu tanpa pikir panjang."Lepaskan aku!""Sudah hentikan, Damien! Dia sudah babak belur!" teriak Alex."Biarkan saja! Aku akan menghabisi nyawanya sekarang juga!"Damien berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Alex. Ia hendak menyerang pria yang sedang sekarat itu. Tapi pergerakannya berhasil dicegah oleh Alex. Alhasil, Damien kembali memberontak sambil berteriak tidak jelas."Lepaskan aku! A
Malam hari, Dyandta tampak setia menjaga Damien yang masih koma di ruang ICU. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia memutuskan untuk menetap di rumah sakit. Airin sudah melarang Dyandta, takut orang tua Dyandta akan marah jika mengetahui hal ini. Tapi Dyandta terus meyakinkan pada Airin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Airin pun percaya dan pulang ke rumah bersama Bailey. Tinggallah Dyandta yang duduk di samping tempat tidur rawat Damien sambil membaca buku tentang ilmu kedokteran. Sesekali Dyandta melihat wajah Damien yang begitu pucat."Cepatlah sadar, Damien. Aku akan setia menunggumu di sini," ucap Dyandta lirih.Tak lama kemudian, Alex muncul dari balik pintu ruangan tersebut. Dyandta menatap Alex yang berjalan ke sisi kiri Damien. Kedua mata Alex tampak berkaca-kaca sambil menatap Damien. Airmata pun sudah mengalir di pipinya."Maafkan aku, Damien. Ini semua salahku." Alex menangis sambil menundukkan kepala. "Harusnya aku tidak mengusirmu dari bar. Maafkan aku."Dyandta yang
Hilaire dan Frederic masih terlihat tidak enak dengan Mike karena penolakan Dyandta tentang perjodohan itu. Hilaire mencoba memberi pengertian pada Mike untuk lebih bersabar menunggu sampai Dyandta bisa menerima perjodohan tersebut."Ibu mohon padamu untuk bersabar sebentar, Mike. Dyandta memang seperti itu. Tapi tidak sulit untuk membujuknya. Nanti Ibu akan bicara baik-baik padanya," ucap Hilaire.Mike tersenyum. "Tidak masalah jika dia menolak perjodohan ini. Aku juga tidak ingin memaksakan kehendak. Pria yang dia sebut sebagai kekasihnya itu mungkin pria terbaik untuknya."Ucapan Mike seakan menohok hati Hilaire. Wanita paruh baya itu tidak mungkin membatalkan perjodohan dan mengingkari janjinya pada mendiang orang tua Mike. Itu bukanlah sifat Hilaire. Janji tetaplah janji dan itu harus ia tepati apapun resikonya."Mike, Ibu sudah berjanji pada orang tuamu tentang perjodohan ini. Ibu tidak mungkin mengingkari janji itu," kata Hilaire. "Tunggulah sebentar saja. Ibu akan membujuk Dya