Keesokan paginya, dokter sudah bersiap memeriksa kondisi Damien lebih lanjut. Untuk sementara, Dyandta, Airin dan Bailey menunggu di luar. Mereka berharap tidak ada hal serius lainnya yang bisa mengguncang pikiran Damien nantinya. Dyandta terus mendoakan Damien di dalam hati.Airin menyentuh pundak Dyandta. "Nak, tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Aku yakin, Damien pasti bisa pulih dengan cepat berkat dukunganmu, Nak.""Iya, Bu. Aku akan melakukan apapun untuknya."Bailey menatap Dyandta. Hatinya masih mengganjal perihal hubungan Dyandta dengan orang tua kandungnya. Bailey melihat langsung penolakan keras dari kedua orang tua menantunya itu. Dyandta diusir dari rumah dan diberikan sumpah serapah oleh Hilaire karena tidak menuruti kemauan mereka untuk menikah dengan Mike."Nak," panggil Bailey.Dyandta pun menoleh. "Ya, Ayah?""Apa kau sudah menghubungi orang tuamu?" tanya Bailey.Dyandta menggeleng pelan. Mendadak tubuhnya lemas saat Bailey membahas tentang orang tuanya. Inilah res
Dyandta masuk ke dalam ruang rawat suaminya dengan wajah murung. Ia masih kesal perihal kehadiran Cacha di rumah sakit. Apalagi wanita itu berbicara buruk padanya. Dyandta duduk di sofa dan tetap dalam posisi diam tanpa kata. Airin yang melihat perubahan ekspresi Dyandta pun bergegas mendekati menantunya itu. Airin duduk tepat di samping kanan Dyandta.Dipegangnya pundak Dyandta dengan pelan sambil berkata, "Ada apa, Nak? Kenapa wajahmu murung begitu? Ada masalah?""Bu," Dyandta menatap Airin, "apakah tadi Cacha masuk ke ruangan ini?"Airin langsung mengernyit. "Cacha? Tidak. Dia tidak ada masuk ke ruangan ini. Kenapa kau membicarakan Cacha?""Hhh! Syukurlah," ucap Dyandta lega. "Aku tadi bertemu dengannya sebelum masuk ke ruangan ini, Bu.""Wanita sialan itu? Apa tujuannya datang ke rumah sakit?" tanya Airin penasaran.Dyandta menggeleng. "Aku juga tidak tahu, Bu. Tapi aku mempunyai firasat buruk.""Apa yang kau rasakan, Dyandta? Apa kau takut Cacha akan merebut Damien kembali?""Iya
Cacha terlihat mondar-mandir di ruang tamu sambil memegangi ponselnya. Ini sudah masuk hari kedua setelah George menghubunginya kemarin. Memaksanya untuk membebaskan George dari penjara. Besok adalah waktu yang ditunggu oleh George. Baru saja Cacha mendapat panggilan telepon lagi dari George. Itu sebabnya dia panik saat ini.Kegelisahannya itu semakin bertambah saat George kembali mengancamnya tadi. George akan menyebut namanya dan akan membuatnya merasakan dinginnya lantai penjara. Cacha tidak bisa membayangkan hidupnya akan berada di dalam penjara. Sudah pasti, Albert tidak akan membantunya."Astaga! Bagaimana ini? Ayo berpikir, Cacha. Berpikir," gerutunya.Cacha ingin menghubungi kedua orang tuanya. Tapi nomornya sudah diblokir. Orang tua Cacha juga sudah pindah rumah dan sengaja tidak memberitahukan hal ini pada Cacha. Sampai detik ini, Cacha tidak pernah lagi bertemu dengan kedua orang tuanya."Sial!"Wanita itu duduk di sofa sambil memukul ujung sofa dengan kesal. "Kenapa harus
Setelah menunggu beberapa saat, Cacha kembali melihat Bailey masuk ke dalam ruang rawat Damien. Bailey membawa selembar kertas dan pena lalu menyerahkan benda tersebut pada Cacha. Cacha yang menerimanya merasa bingung sambil menatap Bailey."Apa ini?" tanya Cacha sambil menunjuk lembaran kertas itu.Bailey bersidekap lalu menjawab dengan santai, "Surat perjanjian.""Surat perjanjian?""Ya," jawab Bailey. "Jika kau menginginkan uang itu, maka kau harus menandatangani surat ini. Disitu tertulis, kau harus menjauhi keluargaku, terutama Damien dan Dyandta. Jika tidak, kau akan berurusan dengan polisi. Bagaimana?"Cacha mendecak kesal. Ia tidak menduga hal ini sebelumnya. Ternyata Bailey jauh lebih pintar daripada dirinya. Tapi Cacha harus menerima perjanjian itu. Ia tidak punya pilihan lain."Jika kau setuju, tandatangani sekarang dan aku akan memberikan uangnya," lanjut Bailey.Cacha masih menatap surat perjanjian itu. Ia ragu untuk menandatanganinya. Jika surat itu ia tandatangani, otom
Airin membuka pintu ruang rawat Damien dengan tergesa-gesa. Ia terlambat datang karena terjebak macet di jalan. Setelah melihat Damien bersama Dyandta, barulah Airin bisa bernapas lega."Syukurlah," ucap Airin sambil mengelus dada dan menghampiri menantunya. "Ibu kira Damien sendirian di sini. Tadi Ibu terjebak macet di jalan. Maafkan Ibu ya."Dyandta tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu.""Iya, Bu. Tidak perlu meminta maaf," sambung Damien.Airin dipersilahkan duduk oleh Dyandta. Sementara Dyandta mengambil kursi yang lain untuknya. "Ibu, Cacha datang ke sini saat aku sedang mengurus pasien. Damien yang mengatakannya padaku," ucap Dyandta."Benarkah?" Airin terkejut dan menatap Damien. "Apa yang dia lakukan di sini? Dia menyakitimu, Nak?" tanyanya.Damien menggeleng. "Tidak, Bu. Dia datang ke sini untuk meminta uang.""Untuk apa dia meminta uang padamu? Harusnya dia minta pada suami barunya itu. Berani sekali dia mengganggu putraku," gerutu Airin."Aku juga tidak tahu tujuannya apa meminta
"Apa? Dari mantan suamimu?"George tampak terkejut mendengar ucapan Cacha. Ia tidak percaya Damien memberikan uang sebanyak itu dengan mudah. "Bagaimana bisa? Apa dia masih mencintaimu?" tanyanya lagi."Dia masih mencintaiku, tapi tidak mau mengakuinya. Dia bahkan sengaja menikahi Dyandta untuk membuatku cemburu. Jika dia mau mengakui, aku bersedia kembali padanya," ucap Cacha dengan santai.George mendecih. "Kau sudah mencampakkannya, tapi masih berharap kembali padanya? Kau sudah tidak waras, Cacha. Aku tidak yakin, Damien masih mencintaimu. Yang aku tahu, dia sangat tergila-gila pada Dyandta. Wajar saja dia menikahi Dyandta.""Dan untuk kembali padanya, itu mustahil. Damien tidak akan mungkin menerimamu kembali. Jadi, jangan terlalu bermimpi. Fokuskan saja hidupmu pada Albert. Dia juga kaya dan punya banyak aset. Bahkan uang seratus milyar bisa kau dapatkan darinya. Kenapa harus meminta pada Damien?" lanjut George.Cacha mendecak kesal. "Apa kau mau aku dipukuli lagi oleh Albert? Al
Cacha duduk termenung di halte bis. Ia bingung harus pergi kemana. Apalagi, ia tidak punya uang sama sekali untuk menginap di hotel. Cacha ingin pergi ke rumah sakit dan meminta bantuan pada Damien. Tapi rasanya itu tidak mungkin ia lakukan. Pasti akan timbul masalah baru lagi nantinya. Cacha masih mengingat isi dari surat perjanjian itu."Hhh!" Cacha menghelakan napas panjang. Kali ini ia tidak bisa berpikir dengan baik untuk sekadar mencari solusi terbaik.Saat Cacha masih sibuk memikirkan nasibnya, tiba-tiba saja terdengar suara klakson mobil yang cukup memekakan telinga. Cacha yang sedari tadi melamun pun terkejut dan menoleh ke arah mobil jeep hitam itu. Cacha mengernyitkan dahi.Tampak seorang pria turun dari mobil itu sambil membuka kacamata hitamnya. Pria bertubuh tegap itu berjalan dengan santai, menghampiri Cacha yang masih kebingungan."Kau Cacha, kan?" tanya pria asing itu.Cacha mengangguk ragu. "I-Iya. Siapa kau?""
Enam bulan kemudian, Damien tiba di rumah sakit untuk kembali menjalankan terapi agar penyembuhannya semakin berjalan lancar. Saat ini, ia sudah tidak tinggal di Prancis. Ia beserta keluarganya memilih menetap di New York. Sesuai dengan pernyataan Bailey yang ingin membawa Damien pergi ke rumah sakit terbaik agar Damien bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi.Kursi roda yang digunakan Damien tampak bergerak memasuki ruangan Jhonson yang selalu merawatnya dengan baik selama berada di New York. Dokter berusia 45 tahun itu menyambut Damien dan Dyandta dengan senyuman manisnya."Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Curtis," sapa Jhonson."Selamat pagi, Dok," balas Damien dan Dyandta secara bersamaan.Jhonson kembali tersenyum. "Sudah siap menjalani terapi, Tuan Curtis?""Tentu saja saya siap, Dok," jawab Damien dengan semangat yang membara."Baiklah. Ayo, kita ke ruang terapi sekarang."Dyandta menyerahkan Damien pada Jhon