Airin membuka pintu ruang rawat Damien dengan tergesa-gesa. Ia terlambat datang karena terjebak macet di jalan. Setelah melihat Damien bersama Dyandta, barulah Airin bisa bernapas lega."Syukurlah," ucap Airin sambil mengelus dada dan menghampiri menantunya. "Ibu kira Damien sendirian di sini. Tadi Ibu terjebak macet di jalan. Maafkan Ibu ya."Dyandta tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu.""Iya, Bu. Tidak perlu meminta maaf," sambung Damien.Airin dipersilahkan duduk oleh Dyandta. Sementara Dyandta mengambil kursi yang lain untuknya. "Ibu, Cacha datang ke sini saat aku sedang mengurus pasien. Damien yang mengatakannya padaku," ucap Dyandta."Benarkah?" Airin terkejut dan menatap Damien. "Apa yang dia lakukan di sini? Dia menyakitimu, Nak?" tanyanya.Damien menggeleng. "Tidak, Bu. Dia datang ke sini untuk meminta uang.""Untuk apa dia meminta uang padamu? Harusnya dia minta pada suami barunya itu. Berani sekali dia mengganggu putraku," gerutu Airin."Aku juga tidak tahu tujuannya apa meminta
"Apa? Dari mantan suamimu?"George tampak terkejut mendengar ucapan Cacha. Ia tidak percaya Damien memberikan uang sebanyak itu dengan mudah. "Bagaimana bisa? Apa dia masih mencintaimu?" tanyanya lagi."Dia masih mencintaiku, tapi tidak mau mengakuinya. Dia bahkan sengaja menikahi Dyandta untuk membuatku cemburu. Jika dia mau mengakui, aku bersedia kembali padanya," ucap Cacha dengan santai.George mendecih. "Kau sudah mencampakkannya, tapi masih berharap kembali padanya? Kau sudah tidak waras, Cacha. Aku tidak yakin, Damien masih mencintaimu. Yang aku tahu, dia sangat tergila-gila pada Dyandta. Wajar saja dia menikahi Dyandta.""Dan untuk kembali padanya, itu mustahil. Damien tidak akan mungkin menerimamu kembali. Jadi, jangan terlalu bermimpi. Fokuskan saja hidupmu pada Albert. Dia juga kaya dan punya banyak aset. Bahkan uang seratus milyar bisa kau dapatkan darinya. Kenapa harus meminta pada Damien?" lanjut George.Cacha mendecak kesal. "Apa kau mau aku dipukuli lagi oleh Albert? Al
Cacha duduk termenung di halte bis. Ia bingung harus pergi kemana. Apalagi, ia tidak punya uang sama sekali untuk menginap di hotel. Cacha ingin pergi ke rumah sakit dan meminta bantuan pada Damien. Tapi rasanya itu tidak mungkin ia lakukan. Pasti akan timbul masalah baru lagi nantinya. Cacha masih mengingat isi dari surat perjanjian itu."Hhh!" Cacha menghelakan napas panjang. Kali ini ia tidak bisa berpikir dengan baik untuk sekadar mencari solusi terbaik.Saat Cacha masih sibuk memikirkan nasibnya, tiba-tiba saja terdengar suara klakson mobil yang cukup memekakan telinga. Cacha yang sedari tadi melamun pun terkejut dan menoleh ke arah mobil jeep hitam itu. Cacha mengernyitkan dahi.Tampak seorang pria turun dari mobil itu sambil membuka kacamata hitamnya. Pria bertubuh tegap itu berjalan dengan santai, menghampiri Cacha yang masih kebingungan."Kau Cacha, kan?" tanya pria asing itu.Cacha mengangguk ragu. "I-Iya. Siapa kau?""
Enam bulan kemudian, Damien tiba di rumah sakit untuk kembali menjalankan terapi agar penyembuhannya semakin berjalan lancar. Saat ini, ia sudah tidak tinggal di Prancis. Ia beserta keluarganya memilih menetap di New York. Sesuai dengan pernyataan Bailey yang ingin membawa Damien pergi ke rumah sakit terbaik agar Damien bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi.Kursi roda yang digunakan Damien tampak bergerak memasuki ruangan Jhonson yang selalu merawatnya dengan baik selama berada di New York. Dokter berusia 45 tahun itu menyambut Damien dan Dyandta dengan senyuman manisnya."Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Curtis," sapa Jhonson."Selamat pagi, Dok," balas Damien dan Dyandta secara bersamaan.Jhonson kembali tersenyum. "Sudah siap menjalani terapi, Tuan Curtis?""Tentu saja saya siap, Dok," jawab Damien dengan semangat yang membara."Baiklah. Ayo, kita ke ruang terapi sekarang."Dyandta menyerahkan Damien pada Jhon
Dyandta menghela napas lelah sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Seharian ini, banyak sekali pasien yang ia tangani. Sepertinya, ia membutuhkan asisten tambahan untuk meringankan pekerjaannya. Dyandta juga harus bisa membagi waktu untuk mengurus suaminya yang masih membutuhkan perhatian ekstra. Ia tidak mungkin membebankan tugasnya sebagai seorang istri kepada mertuanya.Sesaat kemudian, ada sebuah panggilan telepon yang masuk. Dyandta segera mengambil ponselnya dari dalam saku jas dokternya. Panggilan itu dari Airin. Dyandta menggeser ikon hijau di layar untuk menerima telepon dari Airin."Halo, Bu," sapa Dyandta."Halo, Nak. Kau masih di rumah sakit?"Dyandta menegakkan tubuhnya, lalu menjawab, "Iya, Bu. Ada banyak pasien hari ini. Sepertinya, aku membutuhkan asisten tambahan untuk membantuku di sini. Aku bahkan belum menjemput Damien. Dia pasti marah padaku.""Ah, kau tidak perlu khawatir soal itu, Nak. Damien sudah aman bersama Ibu. Tadi, dia menghubungi Ibu dan meminta Ibu unt
Dyandta mengeringkan rambutnya dengan hairdryer sambil duduk di depan meja rias. Ia menatap dirinya di pantulan cermin. Sekilas Dyandta melirik ke arah tempat tidur. Damien tampak tertidur pulas. Bahkan tidak terganggu sedikitpun dengan aktivitas yang dilakukan Dyandta sejak tadi. Terlihat jelas di wajah Damien yang sangat kelelahan karena terapi yang ia lakukan.Hairdryer itu diletakkan Dyandta ke dalam laci meja rias. Setelah itu, ia beranjak ke tempat tidur untuk melihat jelas wajah suaminya. Perlahan, Dyandta mengusap pelan wajah Damien sambil mengukir sebuah senyum. Ia merasa lega karena sudah menikahi pria yang dicintainya itu."Aku sangat mencintaimu, Damien.""Aku juga."Dyandta terkesiap mendengar balasan dari suaminya. Pria itu sudah membuka mata dan tersenyum menatap Dyandta. "Kau sudah bangun sejak tadi?" tanya Dyandta."Tidak. Aku terbangun saat kau menyentuhku," jawab Damien. "Tapi aku berpura-pura tidur. Sampai aku mendengar pernyataan cintamu. Barulah aku membuka mata.
Hari ini, George datang kembali ke rumah sakit milik Dyandta. Pria itu membawa saudaranya untuk melakukan berbagai terapi penyembuhan. George berharap bisa lebih leluasa mengobrol tentang banyak hal bersama Dyandta. Entah kenapa ia merasa rindu dengan kedekatan mereka dulu, sebelum terkontaminasi oleh sifat jahat Cacha.Menyesal? Sudah pasti George menyesal. Berulang kali George memikirkan hal itu dan merasa tidak tenang. Apalagi Dyandta belum memberinya maaf. George juga menyesal karena hampir melecehkan Dyandta waktu itu. Ia tidak habis pikir, kenapa dirinya bisa bertindak bodoh seperti itu demi uang.George tersadar dari lamunannya saat tak sengaja menyenggol seseorang. Ternyata yang ia senggol adalah Dyandta."Oh, maafkan aku, Dyandta. Aku tidak melihatmu," ucap George menyesal.Dyandta memegang bahunya yang disenggol oleh George. "Iya, tidak apa-apa.""Ehm, aku ke sini mau menemani saudaraku melakukan terapi.""Baiklah. Ikut aku."George mengikuti langkah Dyandta menuju ruang khu
George berjalan ke arah minimarket di seberang jalan. Ia ingin membeli sesuatu untuk menghadiahi Dyandta. Sesuatu yang bisa dimakan karena ia tahu Dyandta akan lembur sampai malam. George mengetahui jadwal Dyandta dari salah satu suster di tempat praktek itu.Dengan langkah riang, George menyeberang jalan. Setelah tiba di depan minimarket, ia tak sengaja melihat sosok pria yang sangat dikenal. Di samping kanan minimarket memang ada kafe yang tidak terlalu besar. Sosok pria yang ia lihat sedang duduk di salah satu kursi kafe yang ada di luar. Tapi pria itu tidak sendiri. Ada seorang wanita yang menemaninya.George mengernyit heran sambil menggumam, "Siapa wanita itu? Kenapa dia pergi dengan wanita lain? Sedangkan istrinya sibuk bekerja sendirian."Kalian sudah tahu siapa yang dimaksud oleh George. Damien. Pria itu duduk di kafe bersama seorang wanita yang tak lain adalah Velice, adik kembar Deborah. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra. Begitulah menurut pandangan George."Apa mungki