Share

Bab 9

Dyandta berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan mendadak berhenti saat mendengar percakapan seseorang di ujung lorong. Wajah mereka tidak terlihat jelas, namun Dyandta menangkap sebuah nama didalam percakapan orang tersebut. Damien. Ya, salah satu dari mereka menyebut nama Damien. Rasa penasaran pun menyelimuti benak Dyandta hingga membuatnya sedikit berjalan mendekat agar lebih jelas mendengar percakapan dua orang tersebut. Ia bersembunyi dibalik tembok sekat di dekat lorong.

"Kau ingin tahu kabar terakhir yang kudapat tentang Damien?"

"Apa?"

"Kudengar, dia mengalami depresi berat setelah kau tinggalkan."

Dyandta mengernyit. Suara pria itu seakan tak asing di telinganya. Tapi, siapa dia? Sial! Lorong ini tidak terlalu terang saat malam, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Jadi, Dyandta tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pria yang berbicara tadi.

"Apa mungkin wanita itu mantan istri Damien?" gumam Dyandta.

"Kau tahu darimana?" tanya wanita yang sudah jelas adalah Cacha.

"Hei, aku bekerja di rumah sakit ini. Jadi, segala informasi pasti aku dapatkan dengan mudah."

Dyandta semakin penasaran dengan pria itu. Pria itu mengaku bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Ini semakin membuatnya curiga. Bisa jadi, pria itu memata-matainya semenjak dirinya bersedia menerima Damien sebagai pasiennya.

"Jangan banyak basa-basi. Aku datang karena ingin mendengar informasi yang detail, bukan setengah-setengah," ujar Cacha sedikit kesal.

"Dengar, aku tahu informasi ini dari salah satu perawat Dokter Dyandta. Dia mengatakan kalau Dokter Dyandta baru saja mendapatkan pasien bernama Damien, karena orang tuanya memohon padanya."

Cacha mengernyit heran. "Maksudmu, si tua Bailey itu yang memohon pada dokter itu?"

"Iya. Aku melihat sendiri di lobi dan aku langsung bertanya pada perawat Dokter Dyandta."

"Kau tidak bercanda, kan?" tanya Cacha seakan tidak yakin dengan ucapan pria itu. "Karena tidak mungkin, seorang Bailey memohon seperti itu pada orang lain. Aku tahu betul watak mantan mertuaku itu."

Pria itu mendecak kesal. "Jika kau tidak percaya, jangan pernah hubungi aku lagi."

"Astaga! Kau itu terlalu sensitif," cibir Cacha. "Baiklah, aku percaya. Ini imbalanmu. Tetap beri informasi tentang Damien padaku. Jika tidak, aku tidak akan membayarmu lagi. Dan kupastikan, kau dipecat dari rumah sakit ini."

"Itu ancaman yang mengerikan," gerutu pria itu kesal. "Aku akan terus memberi informasi itu, selagi kau memberiku uang. Jika tidak, aku tidak akan memberimu informasi sedikitpun tentang Damien."

Cacha mendengus. "Terserah!"

Setelah itu, Cacha bergegas pergi. Pria itu hendak pergi, namun tak sengaja menangkap sosok Dyandta di balik tembok penyekat. Ia pun bergegas pergi agar tidak ketahuan. Dyandta mencoba untuk mengejar, namun tidak berhasil.

"Sial! Larinya cepat sekali," gerutu Dyandta.

Dyandta pun memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Hari ini memang ia bertugas untuk berjaga di rumah sakit. Jadi dia harus tetap di sana sampai besok pagi.

Di ruangan, Dyandta masih memikirkan identitas pria tersebut. Apakah dia seorang dokter? Atau perawat? Atau bahkan petugas lainnya? Ah, hal ini membuat kepalanya mendadak pusing. Ia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa seseorang memanfaatkan kekurangan orang lain untuk kepentingannya sendiri? Demi uang?

"Apa aku harus memberitahukan hal ini pada Tuan Bailey? Apakah tidak mengganggu jika aku menghubunginya di jam selarut ini?"

Dyandta mencoba mencari nomor telepon Bailey di kontak ponselnya, lalu menekan tanda memanggil. Meskipun ragu, tapi Dyandta harus mencoba. Ia tidak bisa menutupi kejadian ini sendirian. Dia harus berbicara pada salah satu keluarga yang bersangkutan.

"Halo, Dok," sapa Bailey di seberang telepon.

"Halo, Tuan. Maaf, mengganggumu," ucap Dyandta.

"Ah, tidak apa-apa. Ada perihal apa, Dok?" tanya Bailey.

"Begini, Tuan. Tadi aku tidak sengaja mendengar percakapan antara mantan istri Damien dengan seorang pria yang bekerja di rumah sakit ini. Pria itu memberikan informasi mengenai psikis Damien pasca ditinggal oleh mantan istrinya dan menerima sejumlah uang darinya," ujar Dyandta.

"Apa? Untuk apa Cacha mengetahui kondisi Damien? Dan siapa pria yang dokter maksud?"

Dyandta menghela napas berat. "Aku tidak tahu siapa pria itu. Saat aku ingin mendekatinya, tiba-tiba saja dia lari. Untuk Cacha sendiri, mungkin dia ingin tahu apakah Damien bahagia pasca ditinggalkan olehnya atau tidak."

"Astaga! Dia masih saja ingin mengganggu putraku!"

Bailey terdengar marah dan tidak terima dengan apa yang sudah diperbuat Cacha. Pasalnya, Damien menderita seperti ini juga karena ulahnya. Kenapa dia masih ingin mencari informasi tentang Damien? Apa dia belum puas dengan penderitaan yang dialami Damien?

"Tenang, Tuan. Aku akan mencari informasi yang lebih tentang mereka. Fokuslah pada kesembuhan Damien," kata Dyandta mencoba menenangkan Bailey.

"Baiklah. Aku serahkan padamu, Dok."

Dyandta mengangguk sendiri. "Aku tutup teleponnya, Tuan. Selamat malam."

"Selamat malam."

Dyandta meletakkan ponselnya di atas meja kerja, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya terpejam sambil memikirkan bagaimana cara untuk mengetahui informasi tentang pria itu.

"Aku harus menemukan identitasnya dengan cepat," gumam Dyandta.

***

Dyandta terlihat membereskan buku-buku yang ia baca semalaman di ruang kerjanya. Sinar mentari pagi juga sudah memasuki ruangannya hingga membuatnya merasa bersemangat, meskipun tidak tidur. Ia bergegas keluar ruangan untuk menikmati suasana pagi di taman rumah sakit. Dyandta menyapa beberapa pasien yang berlalu lalang di sana sambil mengumbar senyum termanisnya.

Langkahnya mendadak terhenti saat seseorang menghampirinya. George tersenyum manis padanya dan menyodorkan sebuah bucket bunga mawar untuknya. Hal itu tentu saja membuat dahi Dyandta mengernyit kebingungan.

"Bunga mawar indah untuk orang yang spesial," ucap George.

Dyandta tertawa pelan. "Ada hal apa yang membuatmu memberikan bunga ini?"

"Tidak ada. Aku hanya ingin memberikan ini padamu. Karena menurutku, kau orang yang istimewa," jawab George.

"Ya, itu menurutmu. Tapi tidak menurutku," ujar Dyandta. "Berikan saja pada pasien di sana itu. Aku rasa, dia lebih membutuhkannya."

"Tapi aku...."

"Bye, George!"

Dyandta pun langsung bergegas pergi sambil melambaikan tangannya pada George. Entah kenapa, akhir-akhir ini George selalu bertingkah aneh padanya. Karena tidak biasanya George bersikap baik seperti itu padanya. Tapi sudahlah. Dyandta tidak ingin memusingkan perubahan sikap George padanya. Fokusnya saat ini adalah menyembuhkan Damien dan mencari tahu siapa pria yang bekerjasama dengan Cacha.

Kini, Dyandta tampak menikmati suasana taman dengan santai tanpa diganggu siapapun. Dia menghirup harum bunga-bunga yang ditanam di sana dan menikmati sinar matahari pagi sambil duduk di salah satu kursi taman. Tanpa ia sadari, seseorang sudah muncul di hadapannya.

"Da-Damien?"

Dyandta langsung berdiri dan berhadapan dengan Damien. Ia masih sangat terkejut dengan kehadiran pria itu di hadapannya. Dyandta juga melirik ke arah lain, barangkali ada Bailey di sana. Tapi, hasilnya nihil.

"Kau datang sendiri?" tanya Dyandta.

Damien menggeleng. Lalu dia menunjuk ke arah Bailey yang baru saja muncul di tengah orang-orang yang berlalu-lalang di teras rumah sakit. Dyandta pun menghela napas lega. Ia sempat mengira Damien datang sendirian ke ruamh sakit untuk menemuinya.

"Ayo, duduk di sini!"

Dyandta mengajak Damien untuk duduk bersamanya dan Damien pun hanya menurut saja. Dyandta menatap Damien sambil tersenyum manis. Seketika timbul ucapan di hatinya mengenai pria itu.

"Pria setampan dan semenarik ini saja, bisa disia-siakan wanita. Ah, betapa bodohnya wanita itu meninggalkan pria yang begitu mencintainya sampai separah ini," batin Dyandta.

Damien membalas tatapan Dyandta dengan tatapan datarnya. "Lapar," ucapnya.

Dyandta tertegun sesaat. "Kau lapar? Apa kau belum sarapan?"

"Belum. Istriku belum membuatkannya untukku," jawab Damien yang langsung membuat hati Dyandta terenyuh.

"Aku bisa membuatkannya untukmu," ujar Dyandta.

Damien langsung menggeleng cepat. "Aku tidak mau buatan siapapun! Aku mau buatan istriku!"

"Ah, baiklah. Maaf ya," ucap Dyandta, mencoba untuk tetap tenang menghadapi tingkah Damien.

Bailey baru saja tiba dengan napas yang sedikit tersengal-sengal. Ia menatap Damien dan Dyandta secara bergantian.

"Selamat pagi, Tuan Bailey," sapa Dyandta ramah sambil berdiri.

"Selamat pagi, Dok," balas Bailey. "Aku tidak menyangka Damien bisa tahu keberadaanmu."

Dyandta tertawa kecil lalu menatap Damien dengan senyumannya. "Aku juga terkejut saat dia sudah ada di hadapanku, Tuan. Aku sempat mengira dia datang sendirian."

Bailey hanya tertawa sambil mengusap kepala Damien dengan penuh kasih sayang.

"Bagaimana kalau kita ke ruanganku saja? Kita bisa berbicara banyak di sana," kata Dyandta.

Bailey mengangguk setuju dan membawa Damien mengikuti Dyandta untuk masuk ke ruangan. Dyandta hanya tidak ingin ada yang mengetahui segala aktivitasnya saat ini, karena dirinya masih belum menemukan siapa yang sedang memata-matainya. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya sampai Bailey datang dan memohon padanya untuk merawat Damien hingga sembuh.

TBC~

Wii

Hai semua. Ini lanjutan ceritanya. Silahkan dibaca dan jangan lupa beri dukungan kalian. Terima kasih 😊

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status