Prang!
Sebuah gelas kaca jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Membuat penghuni rumah langsung berlari menuju sumber suara. Airin tampak terkejut melihat Damien melemparkan semua barang yang ada di hadapannya sambil berteriak histeris. Ibu Damien itu berusaha mendekati putranya, namun tidak bisa. Kondisi kejiwaan Damien benar-benar sangat buruk. Bahkan pria itu tak mengenali ayah dan ibunya sendiri.
Setelah perceraian itu, Damien memang belum ikhlas menerima semuanya. Kepergian Cacha dari hidupnya, membuatnya kehilangan akal sehat. Perusahaan yang ia bangun juga terbengkalai, sehingga memaksa Bailey untuk mengurusnya. Damien benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Sampai ia tidak ingat akan hal lain selain Cacha.
Hampir setiap hari, Damien terus menyebutkan nama Cacha dan setelah itu berteriak histeris. Menghancurkan semua barang hingga kamarnya berantakan layaknya kapal pecah. Airin dan Bailey begitu kewalahan menghadapi kegilaan Damien. Bahkan orang tua Cacha juga turut membantu mengurus Damien.
Ya, meskipun Damien dan Cacha telah berpisah, Darrel dan Fanette tak pernah absen untuk menjenguk Damien yang kini tinggal bersama Bailey dan Airin. Mereka turut prihatin dan merasa bersalah saat melihat kondisi Damien. Pria itu menjadi depresi karena perbuatan putri mereka.
"CACHA! AKU MENCINTAIMU! APA KAU TAHU ITU, HAH?!" teriak Damien.
Airin menangis, namun tak berani mendekat karena saat ini dirinya sedang sendirian. Ia tak mampu mengatasi kemarahan anaknya sendiri. Airin pun bergegas menghubungi Bailey dan memintanya untuk segera pulang ke rumah.
"Halo, Suamiku," sapa Airin saat panggilannya dijawab oleh Bailey.
"Ada apa? Apa Damien mengamuk lagi?" tanya Bailey di seberang telepon.
Airin mengangguk sendiri. "Iya. Dia mengamuk lagi seperti sebelumnya. Apa kau sudah menemukan dokter yang tepat? Kapan kita bisa membawanya?"
"Aku sudah menemukannya. Besok, aku akan membawanya untuk menemui dokter itu."
Airin sedikit menghela napas lega. "Baiklah. Cepat pulang. Aku tidak bisa mengatasinya sendirian."
"Ya, sebentar lagi aku sampai. Kau tunggu saja dan jaga dia," ujar Bailey lalu segera mematikan sambungan teleponnya.
Airin pun kembali menatap Damien. Seisi kamar benar-benar tidak sedap di pandang mata. Sangat kacau.
"Ya Tuhan. Kenapa putraku menjadi seperti ini? Aku benar-benar tidak tega melihatnya," gumam Airin sambil menangis.
"CACHA! DIMANA KAU?! AKU RINDU!"
Prang!
Kali ini, piala kebanggaan Damien pun turut menjadi korban. Piala itu jatuh ke lantai dan sudah tak berbentuk seperti piala lagi. Damien tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Tak berselang lama, Bailey datang dan langsung mendekati Damien saat hendak menghancurkan cermin di depannya. Bailey terpaksa harus mengikat kedua tangan dan kaki Damien agar putranya itu tak lagi menghancurkan barang-barang. Meskipun sedih, tapi Bailey harus melakukan ini. Setidaknya sampai Damien bertemu dengan Dyandta besok.
"Kau benar-benar sudah dibutakan cinta, Damien!" bentak Bailey.
"DIAM!" balas Damien sambil meronta-ronta di atas kursinya karena ikatan tali di kaki dan tangannya. "LEPASKAN! DIMANA KAU SEMBUNYIKAN ISTRIKU!"
"Sadarlah, Nak. Dia bukan istrimu lagi. Kalian sudah berpisah," ujar Airin lirih.
Damien menatap tajam Airin. "TIDAK! DIA MASIH ISTRIKU! KAU PEMBOHONG!"
Plak!
Bailey menampar pipi kiri Damien hingga menimbulkan bekas merah di sana. "KAU YANG BODOH! DIA SUDAH MENINGGALKANMU! SADARLAH!" teriaknya kemudian.
Mendengar hal itu, tiba-tiba saja Damien tertawa. Tertawa layaknya orang gila yang benar-benar tidak bisa disadarkan. Dia tertawa lalu menangis.
"Dia meninggalkanku? Benarkah?" gumam Damien sambil tertawa. "Ah, dia meninggalkanku ya? Apa salahku? Aku tampan, kan? Lalu, kenapa?"
Bailey mengusak wajahnya kasar. Dia tak mampu menahan segala kekesalan dan kesedihannya lagi. Kondisi Damien sangat buruk sekali. Bailey ingin sekali membalaskan dendam Damien kepada Cacha. Tapi Airin selalu menghalanginya.
Ayah Damien itu menghela napas, lalu berjalan keluar meninggalkan Damien yang masih menggumam sendirian sambil tertawa. Bailey mengajak Airin untuk ikut bersamanya. Tapi sebelum itu, Bailey mengunci pintu kamar Damien agar putranya itu tidak kabur.
Kini, sepasang suami-istri itu duduk berdua di sofa ruang tamu. Airin masih saja menangis karena memikirkan nasib Damien.
"Aku harus menemui Cacha," ujar Bailey.
Sontak Airin menghentikan tangisnya lalu menatap Bailey. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanyanya.
"Aku ingin memberi pelajaran pada wanita itu. Dia sudah membuat putraku menjadi seperti ini," jawab Bailey.
"Apa dengan kau melakukan itu, Damien bisa kembali normal lagi? Apa dia akan bersikap baik lagi?" tanya Airin seakan tidak setuju dengan rencana Bailey. "Tentu tidak, Suamiku. Hal itu tidak akan mengembalikan Damien seperti semula. Yang kita butuhkan saat ini hanyalah pengobatan untuk Damien. Bukan menemui wanita tak tahu diri itu."
Bailey menatap Airin. Kedua matanya tampak sudah berkaca-kaca. Sejujurnya, ia sudah tak sanggup melihat Damien seperti itu. Ia berpikir, jika dirinya bisa membalaskan dendam Damien pada Cacha, Damien akan kembali normal dan senang. Tapi ia tersadar setelah Airin mengatakan fakta yang sebenarnya. Tidak semudah itu membuat Damien sembuh dari kegilaannya.
"Aku tahu, kau sangat ingin Damien sembuh. Tapi kita tidak perlu berurusan dengan wanita itu lagi. Masih banyak cara lain yang lebih baik," ujar Airin sambil mengelus pundak suaminya.
"Ya, kau benar."
"Sekarang istirahatlah di kamar. Aku akan menyusul," kata Airin.
Bailey mengangguk lalu pergi untuk masuk ke kamar. Sementara Airin menuju ke dapur untuk membuat segelas susu.
***
Pagi ini, Bailey membawa Damien pergi menemui Dyandta untuk melakukan terapi. Airin pun turut ikut Bailey dan menjaga Damien di kursi belakang mobil. Tangan dan kaki Damien masih diikat agar tidak melakukan hal-hal yang buruk nantinya.
Selang beberapa menit, Bailey sudah tiba di rumah sakit tempat Dyandta bekerja. Bailey dan Airin membawa Damien dibantu beberapa perawat, karena Damien sedikit memberontak. Dan mereka pun sudah masuk kedalam ruangan Dyandta.
"Kalian berdua bisa menunggu di luar," ujar Dyandta.
"Baik, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk putra kami," pinta Airin penuh harap.
Dyandta mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan melakukan yang terbaik, Nyonya."
Bailey dan Airin mengangguk bersamaan sambil keluar dari ruangan Dyandta. Setelah kepergian orang tua Damien, Dyandta pun duduk di samping Damien. Ia dengan tenang membuka ikatan tali di tangan dan kaki Damien. Sementara Damien tampak diam dan tak memberontak.
Setelah membuka ikatan tersebut, Dyandta menatap Damien dengan tatapan lembut sambil tersenyum. Ia mulai memegang buku catatan serta penanya untuk mencatat hal-hal tentang perkembangan pasiennya.
"Hai," sapa Dyandta.
Damien hanya diam namun tetap menatap Dyandta. Tatapannya sungguh tidak bisa diartikan oleh Dyandta.
"Baiklah. Perkenalkan, aku Dyandta. Aku bekerja di sini dan akan merawatmu sampai sembuh. Apa kau bersedia menjadi teman sekaligus pasienku?" tanya Dyandta.
Damien masih diam. Tak memberi respon apa-apa, hingga membuat Dyandta sedikit kebingungan. Sepertinya, Damien masih harus beradaptasi lagi dengannya. Pikir Dyandta.
Dyandta menyentuh tangan Damien dan sedikit menggenggamnya. Tatapan Damien pun beralih pada tangan Dyandta yang berada di atas tangannya.
"Aku sudah punya istri."
Ucapan Damien sedikit membuat Dyandta tersentak kaget. Ia pun bergegas menjauhkan tangannya dari tangan Damien.
"Maaf. Aku tidak tahu jika kau sudah menikah," ucap Dyandta.
"Tidak apa-apa."
Dyandta berpura-pura menatap ke arah pintu ruangannya. "Tapi, dimana istrimu? Kenapa tidak ikut bersamamu?"
"Dia sedang sibuk mengurus bisnis berliannya. Jadi tidak ikut denganku," jawab Damien.
Dyandta mengangguk sambil mencatat respon Damien yang begitu mengejutkan ini. Menurut penilaiannya, respon Damien tidak menunjukkan bahwa ia sedang mengalami depresi berat. Tapi mungkin dia masih berhalusinasi bahwa dirinya masih bersama istrinya. Sementara menurut laporan Bailey, Damien sudah diceraikan oleh istrinya hingga mengalami depresi.
"Apa yang kau rasakan saat istrimu tidak ada bersamamu?" tanya Dyandta.
"Aku merasa kehilangan," jawab Damien yang mendadak tatapannya menjadi sendu lalu menunduk. "Aku benar-benar merasa kesepian tanpanya."
Ah, gejala itu sudah mulai muncul. Damien menunjukkan reaksinya saat Dyandta menanyakan tentang hal sensitif itu. Dyandta mengerti bagaimana perasaan Damien. Ia melihat pria itu sangat mencintai mantan istrinya dan sangat sulit untuk mengikhlaskannya pergi.
Dyandta mengelus pundak Damien. "Jangan bersedih. Aku ada di sini untukmu. Masih ada orang tuamu juga di luar sana. Kau tidak sendiri."
"Aku butuh dia. Aku butuh dia," ucap Damien sambil menangis sesenggukan.
Dyandta turut menangis melihat Damien seperti itu. Tidak mudah melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Bahkan hiburan sirkus sekalipun tidak akan bisa menghilangkan kesedihannya.
"Baiklah. Mungkin kau butuh waktu untuk sendiri saat ini. Kau boleh pulang dan datanglah kembali besok bersama orang tuamu," ujar Dyandta sambil menuntun Damien keluar dari ruangannya untuk menemui Bailey dan Airin.
Dyandta meminta Bailey untuk berbicara sejenak dengannya. Sementara Airin membawa Damien dan menunggu Bailey di mobil.
"Bagaimana, Dok?" tanya Bailey sedikit cemas.
"Begini, Tuan. Untuk melupakan seseorang yang dicintai itu butuh waktu. Tidak mudah. Saat ini, Damien masih terobsesi dengan mantan istrinya. Jadi saran saya, tolong buang semua barang-barang yang berhubungan dengan mantan istrinya," jelas Dyandta.
"Apa itu akan berhasil?"
Dyandta tersenyum. "Lambat-laun akan berhasil, Tuan. Tapi tidak instan. Semuanya butuh proses. Yang terpenting anda sabar untuk menghadapi sikapnya nanti."
"Baiklah. Terima kasih karena sudah bersedia membantuku," ucap Bailey. "Aku permisi."
Dyandta hanya mengangguk sambil melihat kepergian Bailey dan menghilang di balik pintu ruangannya. Ia pun sedikit menghela napas lalu melihat catatan tentang Damien. Dyandta berharap, semoga Damien segera sembuh dari depresinya dan melanjutkan hidup yang baru.
TBC~
Hai semua. Silahkan dibaca kelanjutan cerita ini ya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote kalian ya. Terima kasih 😊
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh