"Kamu ini ngomong apa, sih?! Kamu nggak malu?! Di sini ada Siana, Ma! Cepetan pulang sana!" pekik Devan tak kalah lantang.
Siana yang melihatnya, seketika mencoba menenangkan keduanya.
"Sudah-sudah, lebih baik kalian berdua menyelesaikan permasalahan ini di rumah. Nggak baik kalo diselesaikan di jalan begini, nanti dilihat orang-orang," ucap Sania dengan suara lirih."Ikut aku pulang, Mas! Jangan main sama temen kamu!" pekik Ariana dengan suara lantang."Ok! Kalo itu maumu! Aku bakal turutin keinginanmu!" teriak Devan dengan suara lantang. Devan akhirnya berpamitan dengan Udin. Ia tersenyum dan berpelukan dengan sahabatnya itu.Setelah itu, dia berjalan ke motornya. Devan menyuruh Ariana menaiki motornya."Ariana, kalo ada apa-apa, kamu hubungin aku aja, ya," ucap Siana sebelum mereka berpisah. Ariana menganggukkan kepala.Selama perjalanan, Devan mengendarai motornya dengan kencang. Degup jantung Ariana berdetak kencang."Mas, kamu jangan kenceng-kenceng dong kalo ngendarain motor, aku takut," ucap Ariana dengan suara pelan."Anj***! Diem kamu! Kamu kan, yang nyuruh aku biar cepet pulang?! Kalo gitu, kamu nggak usah protes!" teriak Devan dengan suara lantang."Tapi kecepatannya nggak nyampek sembilan puluh kilo juga, Mas! Itu bahaya!" Ariana berusaha memperingatkan sang suami. Namun, Devan malah menambah kecepatannya."Sekali lagi kamu protes! Motor ini aku tabrakin ke truk, loh! Mau kamu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Ariana menggelengkan kepalanya pelan. Dia hanya bisa menggigit bibir bawahnya sambil menahan ketakutan.Di hari itu, dia pasrah dengan apa yang dia alami. Namun, dia tidak bisa menyangkal realita bahwa dia sangat kecewa dengan perlakuan suaminya. Setelah berada di rumah, Devan menaruh motornya sembarangan dan masuk ke dalam kamar."Kunci pintunya! Hari ini, nggak boleh ada yang ke rumah! Aku juga nggak mau kerja!" teriak Devan dengan suara lantang. Ariana merasa jengkel dengan perbuatan suaminya. Ia segera menaruh motor Devan di dalam rumah dan segera ke dalam."Mas! Aku nyuruh kamu pulang itu bukan buat tidur! Aku itu cuman mau nyelamatin kamu dari temen kamu yang enggak bener itu! Kenapa kamu nggak paham sih, Mas?!" tanya Ariana dengan suara lantang.Devan yang mendengar itu dari dalam kamarnya, bergegas ke luar kamar, mengambil gelas di dapur dan memecahkannya di lantai."Prang!""Astaghfirullah," ucap Ariana sembari menangis pelan, ia berjalan ke arah dapur dengan rasa khawatir. Degup jantungnya kembali berdetak kencang. Devan kemudian berjalan mendekati Ariana."Kamu itu maunya apa, sih?! Kamu yang tadi nyuruh aku pulang, Ma! Sekarang, pas aku pulang! Kamu malah marah-marah ke aku! Aku ini habis kecelakaan, Ma! Kamu nggak bisa ngertiin perasaanku apa gimana, sih?!" teriak Devan dengan suara lantang. Ariana hanya diam, ia berusaha memegangi dadanya."Mas, kamu nggak bisa ngomong pelan-pelan sama Istrimu sendiri? Udah tahu Ariana ini nggak bisa dibentak, kenapa kamu selalu ngebentak aku?" tanya Ariana sembari meneteskan air mata."Bagus! Kamu bisanya nangis terus! Dasar perempuan cengeng!" pekik Devan dengan suara lantang."Prak!" Devan lagi-lagi menampar pipi Ariana."Ayo, nangis terus biar didengerin tetangga! Dasar Istri nggak tahu malu! Kamu kalo nangis terus! Aku bisa mukul kamu seharian, Ma!" ancam Devan. Ariana yang mendengar itu, seketika berlari ke kamar dan mengunci pintunya. Namun, Devan langsung berlari menuju ke kamar.Devan mendobrak pintu itu hingga pintu itu rusak. Setelah itu, dia menyeret Ariana ke luar dari kamar. Ariana pun terjatuh di lantai dengan keadaan lemas."Enak aja kamu tidur di kamarku! Mendingan kamu tidur di kamar anakmu aja! Kamu juga bisa tidur di pinggir jalan kalo kamu mau! Biar kamu tau, cara buat ngehormatin suami kamu!" pekik Devan dengan tatapan tajam. Ia berkacak pinggang sembari masuk ke dalam kamar.Selang beberapa saat, suasana rumah kembali sepi. Ariana menggigit jarinya sendiri sembari menangis agar suaranya tidak terdengar oleh para tetangga.Di hari itu, pikiran dan hatinya hancur. Wanita itu tidak tahan dengan sikap suaminya yang terlalu keras terhadap dirinya. Ariana pun berjalan ke kamar anaknya. Ia menutup pintu dan menangis."Ya Tuhan, ujian apa yang kau berikan padaku? Kenapa suamiku sangat jahat terhadapku? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana caranya agar aku bisa menghidupi anakku?" tanya Ariana di dalam hatinya sendiri.Ariana menghabiskan waktunya untuk menangis. Tapi, dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa detak jantungnya masih berdetak kencang. Hal itu membuat dirinya tak nyaman.Di satu sisi, Devan berada di kamarnya sembari membuka pesan yang berasal dari temannya. Namun, karena kesal, dia melempar ponselnya ke sembarang arah."Dasar Istri gak tahu diri! Bisa-bisanya dia njelek-njelekin citraku di hadapan Siana?" batin lelaki itu.Setelah kejadian itu, Ariana memutuskan untuk tidak banyak berbicara kepada suaminya. Dia berjalan ke dapur dan segera membersihkan gelas yang pecah. Ketika itu terjadi, Devan seketika beranjak ke dapur."Ma, aku habis ini mau keluar. Aku udah ditunggu temenku di depan," ucap Devan dengan tatapan tajam. Ariana hanya melirik suaminya. Sangat labil. Itulah satu kalimat yang terlintas di benaknya. Namun, dia tidak mau membahasnya. Dia memilih untuk memperingatkan suaminya."Yah, jangan lupa buat balikin uangnya Sania. Jangan lama-lama balikin uangnya, nggak enak soalnya," Ariana berusaha memperingatkan suaminya itu."Harus aku yang balikin?! Daripada kamu ngomong kayak gitu! Lebih baik, kamu aja yang balikin, Ariana! Cari kerja sana! Biar kamu tahu susahnya cari kerja kayak apa!" jawab Devan dengan nada tinggi dan meremehkan.Ariana mengerutkan dahi.
"Maksud kamu, Mas?""Kamu budeg, ya? Sekarang, aku mau kamu saja yang kerja dan nafkahi keluarga kita!"
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a