Share

Bab 2

Author: Dsdjourney17
last update Last Updated: 2025-02-06 02:16:37

Jam tujuh malamnya, aku pulang dengan tubuh lelah. Karena harus menginterogasi, kawanan begal yang kami tangkap semalam. Lalu membuat laporan, duduk di depan komputer memang lebih membuat lelah daripada mengejar para penjahat di jalanan.

Karena kalau aku sedang mengejar penjahat, banyak pasang mata kaum hawa yang memandang kagum. Lalu tidak lama, videoku akan fyp serta trending di dunia maya. Sementara Mama dengan bangga, akan mengirimkan video-videoku ke semua grup yang beliau ikuti.

Begitu sampai di rumah, aku lihat mobil dinas Papa sudah terparkir di depan rumah.

Begitu memasuki rumah, aku mencium aroma sambal terasi yang pedas tapi bisa dipastikan rasanya enak. Memang sambal terasi, adalah makanan kesukaanku.

"Enak nih," ucapku begitu sampai di meja makan.

"Enak dong, Senja masak makanan khas Tanjung Pandan. Lihat, ada gangan ikan kakap merah, sambal belacan ya Senja?" tanya Mama.

Senja keluar dari dapur, dengan membawa dua piring yang mengepulkan asap beraroma terasi juga. Aku langsung meneguk ludah, karena dari aromanya saja sudah menjanjikan rasa yang lezat.

"Iya Ibu, ini juga genjer tumis belacan. Silahkan dimakan, Bapak, Ibu dan Adek," ucapnya ramah.

"Belacan itu apa Kak Senja?" tanya Friska.

Aku langsung menaikkan alis sebelah, karena tidak biasanya Friska bersikap sopan dan ramah pada orang yang baru dikenal.

"Belacan itu terasi, tapi yang ini terasi khas Tanjung Pandan Belitung. Jadi beda rasanya, langsung dicicip saja."

Aku langsung mengambil nasi hangat, lalu sambal belacan dan tumis genjer belacan juga ikut masuk ke piring.

"Ini gangannya, lebih enak kalau yang berkuah pakai mangkuk terpisah," ucap Senja dengan senyum manis di wajah cantiknya.

Mendadak aku gugup, dan aku segera mengambil mangkuk dari tangan Senja. Karena Papa terlihat menggodaku, dengan mengedipkan sebelah mata.

Benar saja, semua yang ada di piring dan mangkuk memiliki rasa yang luar biasa enak. Sambalnya juga tidak terlalu pedas, jadi perutku aman setelah memakannya.

Senja juga ikut makan bersama kami, padahal biasanya ajudan makan bersama. Tapi sepertinya keluargaku, bisa menerima kehadiran Senja dengan baik.

"Usiamu berapa?" tanyaku penasaran. Karena wajah Senja, terlihat begitu cantik. Eh, salah, maksudnya terlihat masih sangat muda.

"Sembilan belas tahun."

Aku langsung mengernyit kaget mendengarnya.

"Pa, apa nggak terlalu muda untuk dijadikan ajudan?" tanyaku sangsi.

"Nanti malam, Abang ada rencana raziakan? Ajak Senja, dan berikan dia sebuah Stand-alone Grenade Launcher, (SAGL). Jangan lupa kasih amunisi senjata, jenis 40 mm Round RLV-High Explosive Fragmentation Jump (HEFJ) Grenade," ucap Papa terlihat bangga.

Tidak biasanya Papa bangga pada anak buahnya, sampai seperti ini. Aku jadi makin penasaran dibuatnya.

"Senja, ada empat ajudan laki-laki disini. Dua bujangan tapi sudah memiliki tunangan, dan dua sudah menikah. Ibu minta, kamu jangan mau ya kalau diajak pacaran sama salah satu dari mereka," pinta Mama.

"Benar itu, kalau kerja harus fokus. Sama penjaga di depan, jangan kamu godain juga!" ketusku.

Entahlah, rasanya seperti ada yang terbakar di dalam diriku saat membayangkan Senja bermesraan dengan pria lain. Kalau denganku, sudah pasti boleh.

"Iya Ibu. Sesuai dengan pesan Ibu, saya akan meminta laki-laki yang ingin melakukan pendekatan harus laporan dulu dengan Ibu," ucap Senja sopan.

Ahhh, dia terlalu lembut untuk dijadikan ajudan!

Setelah makan, aku melihat Senja membantu Bik Mumun dan Mbak Asih beres-beres meja makan. Dia terlihat ramah, sopan dan santun pada semua orang.

Baguslah, jadi dia tidak akan menjadi sumber keributan ke depannya.

Begitu masuk kamar, aku langsung membuka baju bersiap untuk mandi.

Tapi sebelumnya, aku ingin menelpon Emily kekasih hatiku.

Sudah dua kali aku mencoba memanggil, tapi tidak satupun panggilan dariku diangkat. Kebiasaan memang si Emily, setiap malam weekend selalu susah dihubungi!

Akhirnya aku memilih mandi, dan mungkin beristirahat sebentar sambil menunggu jam sepuluh untuk berangkat ke Polres. Kami akan kumpul dulu disana untuk apel, dan melakukan persiapan lainnya.

Aku tersentak bangun, saat mendengar pintu kamarku di ketuk.

"Bang Pasya, Bapak bilang kita harus berangkat sekarang."

Aku tersenyum sendiri, saat mendengar suara lembut Senja membangunkanku.

"Sebentar Nja, Abang siap-siap dulu. Kamu juga pakai seragam, dan kelengkapan lainnya."

"Siap, Bang."

Setelah memakai seragam lengkap, aku keluar kamar. Dibawah, Senja sudah menunggu dengan ditemani Bang Adam salah satu ajudan Papa.

"Ingat, sama tunangan di kampung," godaku.

Bang Adam hanya tersenyum malu, padahal aku lihat wajah Senja biasa saja. Type cewek jinak-jinak merpati, ternyata.

Kami berdua berangkat dengan motor dinas, tentu saja aku yang bawa.

Begitu sampai di Polres, para anak buahku yang memang laki-laki semua untuk malam ini. Terlihat bersiul, saat melihat Senja membuka helm.

"Laporan sama Ibu Jenderal dulu, kalau mau pendekatan sama Senja," ucapku memperingatkan.

Wajah mereka langsung terlihat kecewa, dan jujur itu adalah hiburan yang menyenangkan untukku.

"Ndan, ada laporan tentang prostitusi artis di sebuah hotel mewah. Katanya malam ini akan ada satu transaksi, yang sudah deal. Jadi kita bisa langsung merapat kesana, untuk mengamankan penyakit masyarakat itu," lapor Bang Joko.

"Oke, kita langsung kesana. Dan tolong kasih senjata SAGL, untuk Senja. Itu pesan dari Bapak Irjen. Pol. Drs. H. Tommy Handoko, M.Si."

Bang Asep mengangguk, dan memberikan sebuah SAGL pada Senja.

Aku dan Senja tetap menaiki motor yang sama.

Jalanan Ibukota di malam weekend sangat padat. Jadi kami membutuhkan waktu hampir satu jam, untuk sampai ke lokasi hotel yang dimaksud.

Entah kenapa perasaanku langsung tidak tenang, saat memasuki lobby hotel.

Aku mendekat ke resepsionis, untuk menanyakan kebenaran informasi yang anggotaku dapatkan.

"Selamat malam Mbak, saya IPTU Pasya. Kami mendapatkan informasi, katanya ada transaksi prostitusi di hotel ini."

"Tidak ada Bapak, semua yang datang ke hotel kami harus memperlihatkan surat nikah yang sah kalau memang mereka datang sebagai pasangan," sanggah Mbak resepsionis.

"Baiklah, ini ada bukti chat dari pemesan kepada yang open BO. Mbak bisa lihat sendiri, diketikkan dengan jelas nama dan nomor kamar hotel ini!" tekanku.

Mbak resepsionis dengan name tag Indri terlihat panik, dan mencari atasannya.

Tidak lama datang seorang Bapak-bapak, yang kisaran usia awal empat puluh tahun mendatangi kami.

"Malam Bapak, saya Budi Supervisor yang bertanggung jawab malam ini. Ada yang bisa dibantu?" tanyanya ramah.

Aku kembali memperlihatkan, bukti chat tadi padanya.

"Baiklah, kami akan bersikap kooperatif Pak. Tapi tolong, biarkan saya dan dua orang security untuk ikut menemani," pinta Pak Budi.

"Silahkan, tidak masalah."

Saat didalam lift, perasaanku semakin terasa tidak tenang. Aku jadi gelisah, dan itu ternyata disadari oleh Senja.

"Komandan kenapa?" tanyanya dengan suara lembut, yang membuatku kecanduan.

Aku hanya menggeleng, dan Ting ... Lift sampai di lantai empat, tempat dimana kamar hotel itu berada.

"Pak, boleh saya yang mengetuk pintu?" tanya Pak Budi.

"Boleh," jawabku singkat.

Ttookkk ... Ttooookkk ...

"Room service," ucap Pak Budi.

Aku menyunggingkan senyum sinis, melihat gesture Pak Budi terlihat begitu alami. Sepertinya hotel mewah ini, sudah sering digrebek. Tapi entah bagaimana caranya, masih bisa memiliki nama yang baik.

Ceklek, pintu terbuka dan kami langsung menghambur masuk.

Ternyata ini, alasan kenapa hatiku terus merasa tidak tenang ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 59 End

    Akhirnya setelah penantian sekian lama, acara pernikahanku dan Rora dilaksanakan juga. Dari semalam aku sudah berdebar-debar, dan berusaha menghafal ucapan ijab qobul yang lengkap. Sebab nama Rora, sekarang terasa begitu susah untuk aku lafazkan.Keesokan harinya tepat pukul sembilan pagi di sebuah masjid, aku menggenggam tangan seorang wali hakim. "Saya terima, nikah dan kawinnya Putri Aurora Walter Laurens binti Aldiansyah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sejumlah seribu dinar dibayar tunai," ucapku lantang. "Sah, bagaimana saksi?" tanya Pak penghulu. "Sah," jawab semua saksi. Aku langsung bisa bernafas lega, dan kami berdoa bersama setelahnya. Tidak lama datang Rora, dengan kebaya pengantin berwarna putih gading. Aku benar-benar terpesona melihatnya, karena ternyata Rora memakai hijab. Rora duduk di sebelahku, lalu kami sama-sama menandatangani buku nikah dan memakai cincin pernikahan. Setelah itu kami diminta berfoto, sambil memperlihatkan buku nikah dan c

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 58

    Aku benar-benar ketar-ketir sekarang, karena Andi, Firdaus dan Doni, naik ke pelaminan untuk bersalaman dengan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Lalu ketiganya berbisik pada Ayah Aldi, sontak calon mertuaku itu menatap ke arahku sambil melotot tajam. Aku langsung ketakutan, karena sorot tajam itu seolah mengatakan "Mati kau Pasya!"Benar saja, dua hari setelahnya aku dipanggil oleh Ayah Aldi ke sebuah gym tempat beliau dan anggota TNI AD yang lain biasa berlatih. Tentu saja aku ketakutan, bagaimana kalau aku benar-benar digantung dan dipukuli oleh calon Ayah mertuaku yang besar tinggi dan kekar itu? Sesampainya di tempat gym, aku langsung keluar dari mobil setelah memarkirkan mobil di halamannya yang sepi. Tapi aku melihat beberapa mobil yang aku kenali, terparkir juga di dekat mobilku. Begitu memasuki ruang gym, aku kembali dikagetkan dengan penampakan semua keluarga intiku dan kedua orang tua Rora berkumpul. Mata mereka menyorotku tajam, sementara Rora terlihat duduk di sebelah Bunda

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 57

    Akhirnya hari pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz, datang juga. Kami sekeluarga besar, diberikan kamar hotel mewah. Agar bisa melakukan persiapan disana, sebab letak gedung pernikahan memang agak jauh dari rumah kami. Jadi Ayah Aldi berinisiatif, untuk membooking beberapa kamar hotel agar kami tidak terlambat datang. Jam sembilan pagi, adalah acara ijab qobul. Ravi datang, dan dia terlihat paling bahagia. "Bro, happy sekali," godaku."Pastilah Bang, akhirnya aku dan Kak Rora jadi punya keluarga yang utuh. Lagipula Ayah Aldi, adalah sosok Ayah yang kami berdua impikan.""Maksudnya?" tanyaku bingung. "Iya, kami dulu di panti asuhan sering berdoa agar bisa menjadi anak Jenderal. Karena setiap melewati Polres ataupun markas TNI, rasanya bangga saja melihat para Bapak-bapak disana terlihat keren dengan mengenakan seragamnya masing-masing," jawab Ravi bangga. Aku tersenyum mendengarnya, karena Allah selalu punya cara tersendiri untuk mengabulkan doa para umatnya. Hanya saja sayang,

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 56

    Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Bunda menerima lamaran Ayah Aldi. Setelah itu, kami semua dibuat sibuk dengan persiapan pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Sebab pernikahan seorang Perwira TNI AD berpangkat Mayor Jenderal, harus memenuhi banyak persyaratan. Ditambah lagi dari pihak Bunda Syahnaz, ini adalah pernikahan pertama beliau. Jadi pasti Bunda ingin menikah, dengan perayaan yang mewah. Karena kolega bisnis beliau sangat banyak, dan harus mengetahui tentang pernikahan antara dirinya dan Ayah kandung sang putri satu-satunya. Jadilah Mamaku, Kak Cepi, dan Friska ikut turun tangan membantu semua persiapan pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Kalau Rora, dia lebih detail lagi. Rora sendiri yang mempersiapkan gaun pernikahan untuk Bundanya, berkonsultasi dengan designer yang ditunjuk oleh Bunda untuk membuat gaun. Pokoknya semua yang berhubungan dengan penampilan Bunda, adalah bagian dari calon istriku. Sampai kami tidak memiliki waktu, untuk bertemu atau sekedar v

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 55

    Akhirnya setelah seminggu, Bunda Syahnaz mau juga bertemu dengan keluargaku dan Pak Aldi. Beliau mengundang kami semua, untuk makan malam di rumah mewahnya. Papa, Mama, Kak Cepi, Bang Fikri, si kecil Jericho, Friska dan Johnson juga ikut. Ada perasaan berdebar, tapi lebih dominan perasaan bahagia. Aku tidak menyangka bisa kembali bertemu Rora, hanya dalam waktu satu minggu. Karena aku pikir bisa memakan waktu berbulan-bulan. Sesampainya di rumah mewah tersebut, kami bersamaan datang dengan Pak Aldi. Beliau tersenyum bahagia, dan mengajak kami masuk ke rumah yang berisi calon istriku. Rora menyambut kami dengan senyum sumringah. Dia langsung mencium tangan kedua orang tuaku, dan lanjut ke Kak Cepi baru terakhir aku. "Jangan aneh-aneh dulu kata Bunda," ucapnya dengan wajah mengejek. Semua orang menyorakiku, tapi aku tetap tertawa lepas karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan gadis yang sangat aku cintai ini. Kami dibawa oleh Rora, ke sebuah ruang keluarga yang sangat luas dan ter

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 54

    Aku ingin menertawakan diriku sendiri, saat melihat kepergian Rora dan Bunda Syahnaz. Padahal maksudku baik, ingin menyambung kembali silaturrahmi antara Rora dan Ayah kandungnya. Tapi aku terlalu bod**, karena tidak mencari tahu dulu apa penyebab utama kebencian membara yang ditunjukkan oleh Bunda Syahnaz pada Pak Aldi. "Pasya tolong maafkan saya, karena sudah tidak jujur pada kamu dan keluargamu. Saya juga tidak memiliki hak, untuk menjadi wali nikah untuk Rora. Tapi saya janji, akan membantu kamu agar bisa mendapatkan restu dari Syahnaz," janji Pak Aldi. Aku hanya bisa mengangguk, dan Pak Aldi langsung pamit pulang setelahnya. Sementara aku naik ke kamar, dan mencoba untuk menghubungi Rora. Tapi kedua handphonenya tidak aktif, dan hal itu membuatku semakin frustasi. Tiba-tiba masuk telpon dari Friska, Adik bungsuku yang super ceriwis. "Assalamualaikum, Abang Pasya yang ganteng tapi tidak laku!" ejeknya."Heeii, nggak boleh ngomong begitu, ingat kamu lagi hamil Yang!" omel Joh

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 53

    Pov. RoraAku seharusnya tahu, kalau Bunda memiliki mata-mata yang akan mengawasiku selama dua puluh empat jam. Begitu melihat kami berlima muncul, Bunda langsung mendekati Ayah dan ... Plaaakkkk ... Tamparan super keras, Bunda layangkan ke pipi Ayah kandungku. "Aldiansyah, masih belum puas kamu menyakiti kami berdua! Kamu ingat, dulu waktu aku bilang hamil apa yang kamu katakan! Cepat bilang sekarang, mumpung ada Rora, Pasya dan kedua orang tuanya!" teriak Bunda. Ayah hanya bisa diam, dan aku tahu jawaban beliau pasti akan menyakiti hatiku dengan sangat. "Rora, laki-laki yang kamu panggil Ayah ini dulunya meminta agar Bunda menggugurkan kamu! Karena setelah dia wisuda Kedokteran, beliau juga lulus tes Akademi Militer TNI AD! Dia tidak mau menyakiti kedua orang tuanya, dengan bertanggung jawab atas hadirnya kamu di rahim Bunda!"Tubuhku gemetar dan air mataku mengalir mendengarnya, karena selama ini aku kira Ayah hanya lari dari tanggung jawab. Tapi ternyata Ayah malah mau memb

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 52

    Setelah puas menggodaku, Pak Aldi baru mengajakku ke ruangannya. "Saya mandi dan berganti baju sebentar ya Pasya.""Iya Pak."Tidak lama Pak Aldi sudah kembali lagi, dengan kondisi tubuh lebih segar. "Jadi, ada apa calon menantu?" tanya Pak Aldi. "Rora mau bertemu dengan Bapak, tapi katanya tolong tentukan tempatnya. Karena Rora takut, akan ketahuan Bunda Syahnaz dan menyakiti hati beliau."Pak Aldi terdiam, dan dia terlihat berpikir lumayan lama. "Oke, ajak Rora ke rumahmu saja. Karena kata Pak Tommy, Bunda Syahnaz belum mau mendatangi rumah kamu. Bolehkan?" tanya Pak Aldi, penuh harap. "Tentu boleh Pak, tapi kita harus cocokkan waktunya dengan jadwal kuliah Rora. Sebab katanya Rora sedang UTS, selesainya minggu depan. Jadi Bapak masih bisa bersabarkan?""Tentu, saya akan terus bersabar untuk bisa bertemu dan memeluk Putriku satu-satunya," ucap Pak Aldi, dengan tatapan nanar. Aku hanya bisa mengangguk, dan segera pamit untuk kembali ke kantor. Satu minggu kemudian, aku baru bi

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 51

    Setelah Pak Aldi pulang, tiba-tiba saja Bang Ucok masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu. Padahal aku sedang menatap hampa, ke layar laptop. "Pasya, sekarang Abang ingat siapa Bapak tadi. Beliau itu Mayor Jenderal TNI AD Aldiansyah. Abang pernah bertemu sekali, saat baru mulai bertugas. Tapi setelah itu, beliau ditugaskan ke Timika Papua selama beberapa tahun. Makanya Abang lupa-lupa ingat dengan wajah beliau. Kenapa Bapak Aldi cari kau?" cecar Bang Ucok. "Bapak Mayjen itu Ayah kandungnya Rora," jawabku pelan, seperti kehilangan semangat. "Alamak, mulut rombeng kau sudah buat masalahnya?""Sudah Bang, habislah aku," ucapku, sambil memejamkan mata dan membenturkan kening ke meja kerja. "Aaahhhh, sudah kita. Wooiiii, komandan Lion King batal nikah lagi!" teriak Bang Ucok tidak sopan. Walaupun hatiku dongkol, tapi aku sudah kehilangan tenaga untuk memarahi Bang Ucok. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, dan saat aku menengadahkan kepala ternyata itu Abeng. "Kenapa kau jadi selalu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status