Share

Bab 4

Author: Dsdjourney17
last update Last Updated: 2025-02-06 02:17:33

Setelah urusan di hotel selesai, kami lanjut ke sebuah pemukiman padat penduduk.

Karena ada laporan masuk, sedang terjadi tawuran antar geng disana. Bayangkan, dengan dungunya mereka melakukan live sambil tawuran! Memang minta di gelandang, ke markas kami!

"Pegang senjatanya yang benar Senja! Saya mau lihat kehebatan kamu, yang kata Papa sudah diakui sebagai sniper itu!" perintahku.

"Baik Ndan," jawabnya dengan wajah datar.

Aku menggeram frustasi dibuatnya. Sebenarnya apa yang terjadi, sampai dia memiliki ekspresi menyebalkan itu?

Aku terbiasa mendapatkan senyuman, ataupun tatapan kagum dari para kaum hawa. Jadinya gondok, saat bertemu manusia berekspresi batu seperti Mentari Senja satu ini!

Jalanan mulai lengang, jadi kami semua bisa cepat mencapai lokasi kejadian.

Sementara dua orang menjijikkan yang kami ciduk tadi, sudah dibawa duluan oleh anak buahku yang lain!

Tarr ...

Kami kaget saat baru berada di simpang tiga, sudah disambut lemparan petasan berukuran besar.

Untung Gading dengan sigap memundurkan motor. Karena lambat sedikit saja bisa cidera, atau motor yang dia bawa bisa terbakar terkena ledakan petasan raksasa itu.

"Waahhh, nantangin Ndan!" teriak Gading geram.

"Tahan, jangan asal tembak sembarangan!" titahku.

"Siap, Ndan!"

Kami mulai memasuki gerbang komplek perumahan kumuh itu.

Aku kaget, tiba-tiba Senja membidik ke sebuah tempat gelap dan ... Dooorrr ...

Amunisinya terlihat bersarang di sebuah objek.

Braakkk ...

Ternyata sebuah katana, dilemparkan dari tempat gelap itu. Dan amunisi yang tertempel di samurai langsung meledak, membuat katana pecah berkeping-keping.

"Tangkap-tangkap!" teriakku.

Karena akhirnya para pemuda tanggung itu berlari menjauh, saat melihat yang terjadi pada salah satu senjata tajam milik mereka.

Aku kaget, Tiba-tiba Senja turun dari motor dan ikut berlari.

Dia ini, benar-benar tidak bisa menunggu perintah!

Dengan hati dipenuhi amarah, aku lajukan motor mengikuti arah lari Senja.

Tapi motorku terhenti, saat beberapa anak buahku membawa sepuluh orang pemuda tanggung yang sudah babak belur. Bahkan ada yang berdarah-darah, terkena sabetan senjata tajam. Benar-benar kelakuan bodoh, sama saja seperti bunuh diri hukumnya kalau begini!

"Tiarap semua, buka bajunya!" teriakku kesal.

Untungnya sepuluh orang pemuda tanggung itu patuh, dan langsung membuka baju lalu tiarap.

Langsung terlihat, banyak bekas luka serta disembunyikan senjata tajam dibalik baju yang mereka kenakan.

Dooorrr ...

Kami semua panik, karena itu bukan lagi suara dari SAGL. Itu suara pistol, berisi peluru tajam.

"Abeng, cepat periksa!"

"Siap, Ndan!"

Baru saja Abeng berbalik, kami kembali dibuat kaget melihat Senja berjalan dibelakang sekitar dua puluh pemuda tanggung. Yang membuat kami tercengang adalah, dia menodongkan SAGL, serta pistol pada mereka.

"Buka baju kalian, tiarap!" teriak Senja, saat mereka sudah berada di dekat kami.

"Kamu, bilang lagi apa yang kamu katakan ke saya di depan Komandan Pasya!" bentaknya, pada seorang pemuda tanggung yang terlihat ketakutan.

Kami semua kebingungan, dan menunggu salah satu dari mereka memberi penjelasan.

"Nggak mau ngomong, takut kamu! Baiklah, saya akan perlihatkan rekamannya saja pada rekan dan Komandan saya!" ancam Senja.

"Ada apa Senja?" tanyaku penasaran.

Senja mengambil handphonenya, lalu mengutak-atik sebentar.

"Ini rekamannya Ndan."

Aku mengambil handphone Senja, dan menonton sebuah rekaman video disana. Aku baru menyadari ada kamera, diletakkan Senja di bagian bahu kiri dan kanannya. Karena wajah para pemuda tanggung itu terlihat jelas. Sementara Senja, hanya terdengar suaranya saja.

"Ehhh, ternyata Mbak cantik yang kejar kami. Ke semak-semak sebentar yuk Mbak, senang-senang kita disana. Tenang saja, aku kemana-mana selalu bawa kondom. Dijamin Mbak puas!"

Aku langsung merasa jijik, melihat wajah mesum para pemuda tanggung itu.

"Jangan main-main kamu, saya ini Polwan! Hati-hati kalau bicara, jangan sampai menyesal!" ancam Senja.

Bukannya takut, para pemuda itu malah mendekat dan sepertinya berusaha mencolek dagu Senja.

Disaat itulah, aku melihat tangan Senja mengeluarkan pistol dan menembak ke udara.

Semua pemuda itu, langsung ketakutan dan ingin berlari.

"Jangan lari, saya ini sniper. Dengan bermodalkan rekaman, saya akan bebas kalau menembak kalian tepat di kepala!" ancam Senja.

Semua pemuda itu ketakutan, dan memohon ampun pada Senja.

"Ampun Mbak, kami main-main saja tadi. Tolong jangan bunuh kami ya, Mbak cantik."

"Berbalik dan jalan, kita temui Komandan Pasya! Biar beliau yang memutuskan, bagusnya manusia seperti kalian ini enaknya diberi hukuman apa. Cepat jalan!"

Semua anak buahku, termasuk aku sendiri bergidik ngeri melihat aksi Senja.

Ternyata alasan Papa mengambil Senja menjadi ajudan untuk Mama, sudah menjadi keputusan yang tepat.

Dibalik wajah lugu, sikap sopan, dan suara lembutnya, tersimpan jiwa gahar, sekaligus menakutkan!

Setelah berhasil mengumpulkan beberapa pemuda tanggung pelaku tawuran, kami membawa mereka semua ke markas.

Karena percuma, kalau mau mengejar yang lain saat ini. Mereka pasti sudah meletakkan kendaraan bermotor ditempat-tempat yang tidak kami duga, agar gampang kabur dari kejaran kami.

"Dek, sama Abang saja pulangnya. Kasihan kamu naik motor malam-malam," goda Bayu. Kebetulan, malam ini dia yang bawa mobil patroli.

"Nggak bisa Bayu, Ibu Jenderal sudah mengamanatkan Senja sama saya. Lain kali saja kamu dan yang lain, ngobrol dengan Senja. Kalau misalnya kedua orang tua saya, memperbolehkan Senja ikut kita lagi," cegahku.

"Siap Ndan. Semoga kita ada jodoh, untuk ketemu lagi ya Dek Senja," ucap Bayu sok romantis.

"Hmmm, iya Bang," jawab Senja singkat padat dan tanpa ekspresi.

Entahlah, bocah sembilan belas tahun satu ini benar-benar membuatku pusing dengan ekspresinya yang tidak pernah berganti menjadi sedikit lebih bahagia.

Anggota yang lain sampai menyoraki Bayu yang terlihat gondok, sementara Senja cuek saja! Dia malah sibuk memperbaiki letak kamera, yang dia pasang sendiri di bagian kiri dan kanan bahunya.

"Siapa yang suruh kamu pasang kamera?" tanyaku penasaran.

"Inisiatif sendiri Ndan. Supaya ada bukti, kalau misalnya saya kenapa-kenapa saat sedang melakukan pengejaran sendirian seperti tadi."

"Pintar, tapi lain kali kamu ikuti perintah saya saja ya Senja. Jangan tiba-tiba kabur saja, seperti tadi. Kenapa juga kamu tadi mendadak menembak? Kalau itu bukan senjata, tapi tubuh manusia bagaimana!" omelku.

"Saya yakin itu senjata tajam, karena ada kilatan cahaya saat melihat ke arah tempat gelap itu. Dan tadi komandan sendiri yang teriak, suruh tangkap," ucapnya dengan wajah lugu.

Aku mengusap wajah kasar, dan menatap Senja frustasi.

"Senja, kamu itu diamanahkan Papa ke saya. Kalau sampai kamu kenapa-napa, pasti saya yang dimarahi. Apalagi seluruh keluarga saya sudah suka sekali sama kamu. Dan masalah saya suruh tangkap, maksudnya itu untuk para polisi laki-laki. Kamu lihatkan, mereka mengejarnya bersama-sama. Bukannya nyelonong sendirian, kayak kamu tadi! Lihat hasilnya, nggak ada yang percaya kalau kamu itu polwan. Coba kalau tidak ada rekaman, dan kamu benar-benar di bawa ke semak-semak oleh mereka. Apa jadinya? Walaupun kamu polwan, tapi kami yang polisi laki-laki tetap wajib menjaga dan melindungi kamu. Paham Senja!"

"Paham Ndan, maaf."

Kepalaku berdenyut kencang, melihat tatapan hampa dan jawaban singkat itu. Benar-benar ya, wanita satu ini tidak bisa dipahami ada isi apa di kepalanya itu!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 59 End

    Akhirnya setelah penantian sekian lama, acara pernikahanku dan Rora dilaksanakan juga. Dari semalam aku sudah berdebar-debar, dan berusaha menghafal ucapan ijab qobul yang lengkap. Sebab nama Rora, sekarang terasa begitu susah untuk aku lafazkan.Keesokan harinya tepat pukul sembilan pagi di sebuah masjid, aku menggenggam tangan seorang wali hakim. "Saya terima, nikah dan kawinnya Putri Aurora Walter Laurens binti Aldiansyah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sejumlah seribu dinar dibayar tunai," ucapku lantang. "Sah, bagaimana saksi?" tanya Pak penghulu. "Sah," jawab semua saksi. Aku langsung bisa bernafas lega, dan kami berdoa bersama setelahnya. Tidak lama datang Rora, dengan kebaya pengantin berwarna putih gading. Aku benar-benar terpesona melihatnya, karena ternyata Rora memakai hijab. Rora duduk di sebelahku, lalu kami sama-sama menandatangani buku nikah dan memakai cincin pernikahan. Setelah itu kami diminta berfoto, sambil memperlihatkan buku nikah dan c

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 58

    Aku benar-benar ketar-ketir sekarang, karena Andi, Firdaus dan Doni, naik ke pelaminan untuk bersalaman dengan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Lalu ketiganya berbisik pada Ayah Aldi, sontak calon mertuaku itu menatap ke arahku sambil melotot tajam. Aku langsung ketakutan, karena sorot tajam itu seolah mengatakan "Mati kau Pasya!"Benar saja, dua hari setelahnya aku dipanggil oleh Ayah Aldi ke sebuah gym tempat beliau dan anggota TNI AD yang lain biasa berlatih. Tentu saja aku ketakutan, bagaimana kalau aku benar-benar digantung dan dipukuli oleh calon Ayah mertuaku yang besar tinggi dan kekar itu? Sesampainya di tempat gym, aku langsung keluar dari mobil setelah memarkirkan mobil di halamannya yang sepi. Tapi aku melihat beberapa mobil yang aku kenali, terparkir juga di dekat mobilku. Begitu memasuki ruang gym, aku kembali dikagetkan dengan penampakan semua keluarga intiku dan kedua orang tua Rora berkumpul. Mata mereka menyorotku tajam, sementara Rora terlihat duduk di sebelah Bunda

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 57

    Akhirnya hari pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz, datang juga. Kami sekeluarga besar, diberikan kamar hotel mewah. Agar bisa melakukan persiapan disana, sebab letak gedung pernikahan memang agak jauh dari rumah kami. Jadi Ayah Aldi berinisiatif, untuk membooking beberapa kamar hotel agar kami tidak terlambat datang. Jam sembilan pagi, adalah acara ijab qobul. Ravi datang, dan dia terlihat paling bahagia. "Bro, happy sekali," godaku."Pastilah Bang, akhirnya aku dan Kak Rora jadi punya keluarga yang utuh. Lagipula Ayah Aldi, adalah sosok Ayah yang kami berdua impikan.""Maksudnya?" tanyaku bingung. "Iya, kami dulu di panti asuhan sering berdoa agar bisa menjadi anak Jenderal. Karena setiap melewati Polres ataupun markas TNI, rasanya bangga saja melihat para Bapak-bapak disana terlihat keren dengan mengenakan seragamnya masing-masing," jawab Ravi bangga. Aku tersenyum mendengarnya, karena Allah selalu punya cara tersendiri untuk mengabulkan doa para umatnya. Hanya saja sayang,

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 56

    Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Bunda menerima lamaran Ayah Aldi. Setelah itu, kami semua dibuat sibuk dengan persiapan pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Sebab pernikahan seorang Perwira TNI AD berpangkat Mayor Jenderal, harus memenuhi banyak persyaratan. Ditambah lagi dari pihak Bunda Syahnaz, ini adalah pernikahan pertama beliau. Jadi pasti Bunda ingin menikah, dengan perayaan yang mewah. Karena kolega bisnis beliau sangat banyak, dan harus mengetahui tentang pernikahan antara dirinya dan Ayah kandung sang putri satu-satunya. Jadilah Mamaku, Kak Cepi, dan Friska ikut turun tangan membantu semua persiapan pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Kalau Rora, dia lebih detail lagi. Rora sendiri yang mempersiapkan gaun pernikahan untuk Bundanya, berkonsultasi dengan designer yang ditunjuk oleh Bunda untuk membuat gaun. Pokoknya semua yang berhubungan dengan penampilan Bunda, adalah bagian dari calon istriku. Sampai kami tidak memiliki waktu, untuk bertemu atau sekedar v

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 55

    Akhirnya setelah seminggu, Bunda Syahnaz mau juga bertemu dengan keluargaku dan Pak Aldi. Beliau mengundang kami semua, untuk makan malam di rumah mewahnya. Papa, Mama, Kak Cepi, Bang Fikri, si kecil Jericho, Friska dan Johnson juga ikut. Ada perasaan berdebar, tapi lebih dominan perasaan bahagia. Aku tidak menyangka bisa kembali bertemu Rora, hanya dalam waktu satu minggu. Karena aku pikir bisa memakan waktu berbulan-bulan. Sesampainya di rumah mewah tersebut, kami bersamaan datang dengan Pak Aldi. Beliau tersenyum bahagia, dan mengajak kami masuk ke rumah yang berisi calon istriku. Rora menyambut kami dengan senyum sumringah. Dia langsung mencium tangan kedua orang tuaku, dan lanjut ke Kak Cepi baru terakhir aku. "Jangan aneh-aneh dulu kata Bunda," ucapnya dengan wajah mengejek. Semua orang menyorakiku, tapi aku tetap tertawa lepas karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan gadis yang sangat aku cintai ini. Kami dibawa oleh Rora, ke sebuah ruang keluarga yang sangat luas dan ter

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 54

    Aku ingin menertawakan diriku sendiri, saat melihat kepergian Rora dan Bunda Syahnaz. Padahal maksudku baik, ingin menyambung kembali silaturrahmi antara Rora dan Ayah kandungnya. Tapi aku terlalu bod**, karena tidak mencari tahu dulu apa penyebab utama kebencian membara yang ditunjukkan oleh Bunda Syahnaz pada Pak Aldi. "Pasya tolong maafkan saya, karena sudah tidak jujur pada kamu dan keluargamu. Saya juga tidak memiliki hak, untuk menjadi wali nikah untuk Rora. Tapi saya janji, akan membantu kamu agar bisa mendapatkan restu dari Syahnaz," janji Pak Aldi. Aku hanya bisa mengangguk, dan Pak Aldi langsung pamit pulang setelahnya. Sementara aku naik ke kamar, dan mencoba untuk menghubungi Rora. Tapi kedua handphonenya tidak aktif, dan hal itu membuatku semakin frustasi. Tiba-tiba masuk telpon dari Friska, Adik bungsuku yang super ceriwis. "Assalamualaikum, Abang Pasya yang ganteng tapi tidak laku!" ejeknya."Heeii, nggak boleh ngomong begitu, ingat kamu lagi hamil Yang!" omel Joh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status