Share

Bab 5

Author: Dsdjourney17
last update Last Updated: 2025-02-06 02:18:04

Keesokan harinya, aku bangun jam lima pagi. Karena Papa selalu mewajibkan keluarganya, dan semua pekerja yang beragama Islam di rumah ini untuk sholat subuh berjamaah.

Mama dan Friska juga ikut. Tapi pagi ini ada tambahan anggota baru, yaitu Senja. Dia terlihat tinggi menjulang sendirian, mengenakan mukena warna putih yang sudah pudar dan berwarna sedikit kekuningan.

"Senja, kenapa mukena kamu sudah jelek? Nanti Ibu belikan yang baru ya, atau mau Ibu berikan salah satu koleksi mukena Ibu jadi bisa langsung kamu pakai sekarang?" tanya Mama.

"Nggak apa Ibu, tapi ini mukena milik almarhumah Ibu Suryati pemilik panti asuhan. Beliau mewariskan mukena ini untuk saya. Makanya akan selalu saya pakai, dan rawat terus," jawab Senja sendu.

Mama terlihat tidak enak, dan mengelus pundak Senja.

Aku juga ikut terenyuh, mendengar asal usul mukena lusuh itu. Terkadang sebuah barang dicintai bukan karena kemewahannya, tapi bisa juga karena kenangan indah dari seseorang yang tersimpan di dalamnya.

Pagi ini, giliranku menjadi imam. Karena memang Papa menetapkan sendiri, jadwal untuk menjadi Imam di rumah ini. Jadi saat sempat, kami akan sholat berjamaah di mushola yang Papa bangun di dekat kolam renang.

Setelah sholat, kami memulai aktivitas masing-masing. Aku kembali ke kamar untuk mandi, dan bersiap-siap berangkat kerja.

Saat sarapan, aku tersenyum senang melihat lontong sayur tersedia di meja makan.

"Enak kayaknya, beli dimana Ma?" tanyaku, setelah mencium kening Mama.

"Senja yang buat. Dia jago lho, membuat lontong menggunakan daun simpor yang Senja bawa dari Tanjung Pandan. Mama sampai mau tanam sendiri daun simpor di rumah, jadi bisa buat lontong khas Tanjung Pandan di rumah kita," jawab Mama bangga.

"Daun simpor, kayak gimana bentuknya Nja?" tanyaku penasaran.

Senja langsung jalan ke dapur, dan kembali lagi dengan beberapa lembar daun berwarna hijau tebal, tapi berukuran super besar.

"Cuma tumbuh di Tanjung Pandan, apa bagaimana? Abang belum pernah lihat sebelumnya."

"Nggak tahu juga Bang, cuma daun simpor memang menjadi ciri khas Belitung. Sampai ada batik daun simpor, yang dijadikan baju, tas, dan kerajinan tradisional khas Belitung lainnya."

"Terus, daun simpor bisa buat masakan apa saja?" tanyaku kepo.

"Bisa buat bungkus lemper sambal lingkung, yang dibakar. Kadang, daun simpor bisa juga dijadikan alas untuk makan bedulang. Makan ramai-ramai pakai nampan besi, tapi alasnya daun simpor ini."

"Sambal lingkung, itu apa Kak?" tanya Friska penasaran.

"Itu, abon ikan pedas yang ada di dekat tangan kiri kamu," tunjuk Senja.

Aku langsung mengambil kotak kecil itu, dan mencium aroma yang khas perpaduan dari berbagai macam rempah serta ikan.

"Buat Nja, Abang penasaran ingin mencicipi lemper bakar isi sambal lingkung kata kamu itu," pintaku bersemangat.

"Boleh Bang."

Aku langsung bersemangat makan, karena lontong buatan Senja sangat lembut dan memiliki aroma daun simpor yang khas. Pokoknya berbeda dengan lontong yang dibuat menggunakan daun pisang, seperti yang biasa aku cicipi selama ini.

Selesai sarapan aku berangkat kerja menggunakan mobil. Karena misiku hari ini adalah bertemu langsung dengan istri sah Pak Cahyo, yang memiliki hobi selingkuh itu!

Begitu sampai di depan gerbang rumah mewah itu, seorang satpam keluar menemuiku.

"Selamat pagi Pak, mau bertemu siapa?" tanya satpam paruh baya itu sopan.

"Mau bertemu Ibu Dahlia, bilang saja IPTU Pasya Haitham Isyraf yang datang."

Satpam itu mengangguk, dan dia masuk lagi untuk laporan dengan bossnya.

Setelah lima menit menunggu, satpam itu keluar lagi sambil membukakan gerbang besar itu.

Aku langsung melajukan mobil, dan membuka kaca jendelanya.

"Terima kasih Pak," ucapku.

"Sama-sama Pak," balas Pak Satpam ramah.

Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik, dan awet muda menyambutku di pintu rumahnya yang super mewah.

"Aduh, Mas Polisi ganteng ada apa mencari saya? Mau melamar  putri bungsu saya, apa bagaimana?" sapanya lembut.

Aku jadi tidak enak, karena harus mengabarkan berita buruk pada wanita yang terlihat lebih tua dari Mamaku ini.

"Bukan Ibu, bisa kita bicara di dalam rumah saja?"

"Boleh Mas, kebetulan kedua putra dan putri saya sedang kumpul. Kami suka lho, menonton aksi Mas dan rekan polisi yang lain di TV. Ternyata lebih gagah aslinya ya," pujinya.

Aku tersipu malu, dan mencium tangan Ibu Dahlia yang sehalus tangan Mamaku.

Begitu pintu rumah dibuka, aku menatap kagum dengan  design interior rumah ini. Sangat indah, mewah, dan di penuhi dengan barang-barang mahal.

"Silahkan duduk Mas Pasya. Aduh, mimpi apa saya semalam sampai bisa bertemu langsung dengan Mas polisi ganteng. Perkenalkan saya Damian, putra pertama Pak Cahyo dan Ibu Dahlia," sambut seorang lelaki yang sepertinya sedikit lebih tua dari Kak Cepi.

Aku mengangguk, dan duduk di sofa berwarna merah darah. Tidak lama keluar seorang gadis muda, yang memiliki wajah cantik mirip Ibu Dahlia. Dia tersenyum manis, dan mengulurkan tangan ke arahku.

"Azalea," ucapnya lembut.

"Pasya," ucapku sambil menyambut uluran tangannya.

"Lea putri saya ini sedang kuliah S2, jurusan manajemen bisnis internasional di Austria. Tapi lagi pulang karena liburan, sepertinya jodoh sama Mas Pasya makanya bisa bertemu," ujar Ibu Dahlia.

Aku hanya tersenyum, karena sekarang yang terbayang di kepalaku adalah wajah Senja yang sedang serius membuat lemper pesananku.

"Maaf, tapi kedatangan saya pagi ini untuk memberitahu berita kurang menyenangkan," ucapku serius.

"Ada apa ya Mas Pasya?" tanya Mas Damian bingung.

"Semalam saya melakukan penggerebekan di hotel milik keluarga Ibu Dahlia, dan menemukan pasangan tanpa ikatan pernikahan yang sah disana. Saya yakin, beritanya pasti sudah tersebar saat ini. Apa Mas, Mbak, dan Ibu belum menonton berita pagi ini?"

"Saya sudah tahu, dan itu katanya hanya kesalahpahaman saja. Bahkan nama baik hotel kami, tidak terganggu sama sekali," ucap Mas Damian percaya diri.

"Memang, tapi apa tidak ada yang tahu keberadaan Bapak Cahyo saat ini?" selidikku.

"Bapak sedang meninjau lokasi baru, untuk membangun hotel baru di Lombok. Memang ada apa ya Mas Pasya, jujur saja," ucap Ibu Dahlia.

"Maaf sebelumnya, sebenarnya ini bukan ranah polisi untuk ikut campur. Tapi sebagai seorang anak dari keluarga yang harmonis, saya ingin memberitahu kalau Bapak Cahyo berada di Lombok bukan untuk kepentingan bisnis. Tapi beliau sedang berlibur disana, bersama kekasih barunya seorang wanita yang masih berusia muda."

Mas Damian terlihat marah, sampai tangannya mengepal dengan buku-buku tangan memutih. Sementara Azalea dan Ibu Dahlia, terlihat terpukul sampai tidak bisa berkata-kata.

"Bagaimana saya bisa bertemu dengan Papa?" tanya Mas Damian, setelah terlihat tenang.

"Jam sepuluh pagi ini, Pak Cahyo janji akan datang ke Polres tempat saya bertugas. Kalau memang Mas dan keluarga ingin bertemu, silahkan datang juga. Tapi janji, jangan buat keributan. Karena saya yakin, akan banyak wartawan berkumpul disana. Jangan hancurkan nama baik keluarga Ibu Dahlia. Karena Pak Cahyo sudah mengaku, kalau hotel itu sebenarnya warisan dari keluarga Ibu. Cukup Ibu bawa pengacara, untuk membantu agar semua harta menjadi atas nama putra dan putri Ibu. Karena laki-laki yang suka berselingkuh, tidak pantas untuk diberikan kepercayaan."

"Baik Mas Pasya, terima kasih atas nasihatnya. Kami akan segera bergerak cepat," ucap Mas Damian.

Aku mengangguk, dan segera pamit undur diri. Karena harus kembali bekerja, sekaligus mempersiapkan para anggotaku untuk mendapatkan tontonan gratis sekaligus mendidik.

Jangan pernah berharap bisa hidup bahagia, diatas jerit tangis anak dan istri di rumah!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 59 End

    Akhirnya setelah penantian sekian lama, acara pernikahanku dan Rora dilaksanakan juga. Dari semalam aku sudah berdebar-debar, dan berusaha menghafal ucapan ijab qobul yang lengkap. Sebab nama Rora, sekarang terasa begitu susah untuk aku lafazkan.Keesokan harinya tepat pukul sembilan pagi di sebuah masjid, aku menggenggam tangan seorang wali hakim. "Saya terima, nikah dan kawinnya Putri Aurora Walter Laurens binti Aldiansyah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sejumlah seribu dinar dibayar tunai," ucapku lantang. "Sah, bagaimana saksi?" tanya Pak penghulu. "Sah," jawab semua saksi. Aku langsung bisa bernafas lega, dan kami berdoa bersama setelahnya. Tidak lama datang Rora, dengan kebaya pengantin berwarna putih gading. Aku benar-benar terpesona melihatnya, karena ternyata Rora memakai hijab. Rora duduk di sebelahku, lalu kami sama-sama menandatangani buku nikah dan memakai cincin pernikahan. Setelah itu kami diminta berfoto, sambil memperlihatkan buku nikah dan c

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 58

    Aku benar-benar ketar-ketir sekarang, karena Andi, Firdaus dan Doni, naik ke pelaminan untuk bersalaman dengan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Lalu ketiganya berbisik pada Ayah Aldi, sontak calon mertuaku itu menatap ke arahku sambil melotot tajam. Aku langsung ketakutan, karena sorot tajam itu seolah mengatakan "Mati kau Pasya!"Benar saja, dua hari setelahnya aku dipanggil oleh Ayah Aldi ke sebuah gym tempat beliau dan anggota TNI AD yang lain biasa berlatih. Tentu saja aku ketakutan, bagaimana kalau aku benar-benar digantung dan dipukuli oleh calon Ayah mertuaku yang besar tinggi dan kekar itu? Sesampainya di tempat gym, aku langsung keluar dari mobil setelah memarkirkan mobil di halamannya yang sepi. Tapi aku melihat beberapa mobil yang aku kenali, terparkir juga di dekat mobilku. Begitu memasuki ruang gym, aku kembali dikagetkan dengan penampakan semua keluarga intiku dan kedua orang tua Rora berkumpul. Mata mereka menyorotku tajam, sementara Rora terlihat duduk di sebelah Bunda

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 57

    Akhirnya hari pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz, datang juga. Kami sekeluarga besar, diberikan kamar hotel mewah. Agar bisa melakukan persiapan disana, sebab letak gedung pernikahan memang agak jauh dari rumah kami. Jadi Ayah Aldi berinisiatif, untuk membooking beberapa kamar hotel agar kami tidak terlambat datang. Jam sembilan pagi, adalah acara ijab qobul. Ravi datang, dan dia terlihat paling bahagia. "Bro, happy sekali," godaku."Pastilah Bang, akhirnya aku dan Kak Rora jadi punya keluarga yang utuh. Lagipula Ayah Aldi, adalah sosok Ayah yang kami berdua impikan.""Maksudnya?" tanyaku bingung. "Iya, kami dulu di panti asuhan sering berdoa agar bisa menjadi anak Jenderal. Karena setiap melewati Polres ataupun markas TNI, rasanya bangga saja melihat para Bapak-bapak disana terlihat keren dengan mengenakan seragamnya masing-masing," jawab Ravi bangga. Aku tersenyum mendengarnya, karena Allah selalu punya cara tersendiri untuk mengabulkan doa para umatnya. Hanya saja sayang,

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 56

    Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Bunda menerima lamaran Ayah Aldi. Setelah itu, kami semua dibuat sibuk dengan persiapan pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Sebab pernikahan seorang Perwira TNI AD berpangkat Mayor Jenderal, harus memenuhi banyak persyaratan. Ditambah lagi dari pihak Bunda Syahnaz, ini adalah pernikahan pertama beliau. Jadi pasti Bunda ingin menikah, dengan perayaan yang mewah. Karena kolega bisnis beliau sangat banyak, dan harus mengetahui tentang pernikahan antara dirinya dan Ayah kandung sang putri satu-satunya. Jadilah Mamaku, Kak Cepi, dan Friska ikut turun tangan membantu semua persiapan pernikahan Ayah Aldi dan Bunda Syahnaz. Kalau Rora, dia lebih detail lagi. Rora sendiri yang mempersiapkan gaun pernikahan untuk Bundanya, berkonsultasi dengan designer yang ditunjuk oleh Bunda untuk membuat gaun. Pokoknya semua yang berhubungan dengan penampilan Bunda, adalah bagian dari calon istriku. Sampai kami tidak memiliki waktu, untuk bertemu atau sekedar v

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 55

    Akhirnya setelah seminggu, Bunda Syahnaz mau juga bertemu dengan keluargaku dan Pak Aldi. Beliau mengundang kami semua, untuk makan malam di rumah mewahnya. Papa, Mama, Kak Cepi, Bang Fikri, si kecil Jericho, Friska dan Johnson juga ikut. Ada perasaan berdebar, tapi lebih dominan perasaan bahagia. Aku tidak menyangka bisa kembali bertemu Rora, hanya dalam waktu satu minggu. Karena aku pikir bisa memakan waktu berbulan-bulan. Sesampainya di rumah mewah tersebut, kami bersamaan datang dengan Pak Aldi. Beliau tersenyum bahagia, dan mengajak kami masuk ke rumah yang berisi calon istriku. Rora menyambut kami dengan senyum sumringah. Dia langsung mencium tangan kedua orang tuaku, dan lanjut ke Kak Cepi baru terakhir aku. "Jangan aneh-aneh dulu kata Bunda," ucapnya dengan wajah mengejek. Semua orang menyorakiku, tapi aku tetap tertawa lepas karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan gadis yang sangat aku cintai ini. Kami dibawa oleh Rora, ke sebuah ruang keluarga yang sangat luas dan ter

  • Anak Jenderal & Ajudan   Bab 54

    Aku ingin menertawakan diriku sendiri, saat melihat kepergian Rora dan Bunda Syahnaz. Padahal maksudku baik, ingin menyambung kembali silaturrahmi antara Rora dan Ayah kandungnya. Tapi aku terlalu bod**, karena tidak mencari tahu dulu apa penyebab utama kebencian membara yang ditunjukkan oleh Bunda Syahnaz pada Pak Aldi. "Pasya tolong maafkan saya, karena sudah tidak jujur pada kamu dan keluargamu. Saya juga tidak memiliki hak, untuk menjadi wali nikah untuk Rora. Tapi saya janji, akan membantu kamu agar bisa mendapatkan restu dari Syahnaz," janji Pak Aldi. Aku hanya bisa mengangguk, dan Pak Aldi langsung pamit pulang setelahnya. Sementara aku naik ke kamar, dan mencoba untuk menghubungi Rora. Tapi kedua handphonenya tidak aktif, dan hal itu membuatku semakin frustasi. Tiba-tiba masuk telpon dari Friska, Adik bungsuku yang super ceriwis. "Assalamualaikum, Abang Pasya yang ganteng tapi tidak laku!" ejeknya."Heeii, nggak boleh ngomong begitu, ingat kamu lagi hamil Yang!" omel Joh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status