"Tante, aku ingin tinggal dengan Tante Ara," lirihnya membuatku berkaca-kaca. Anak ini tidak paham siapa aku, jika ia tinggal bersamaku, sama saja aku menyiksa diri. Meskipun ia tidak salah apa-apa, tapi wajahnya mengingatkanku pada masa lalu."Anggi, Tante nggak bisa, maafin Tante, ya," ucapku padanya. Kemudian, aku masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.Kudengar suara tangisannya, ada rasa tidak tega bersemayam di dalam dada. Namun, aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri. Ya, aku pernah berjanji akan meninggalkan Mas Haviz, dan tidak mungkin aku menarik perkataanku itu hanya karena kasihan kepadanya.Satu-satunya cara adalah tidak menemui anak itu untuk sementara waktu, agar iba dan belas kasih tidak muncul dalam benakku.Mama mengetuk pintu, ia izin untuk masuk dan bicara denganku. Mama duduk di sebelahku."Sudah pulang, Mah?" tanyaku saat mama duduk. Ia mengangguk, lalu aku tersenyum agak sedih."Mama tahu perasaan kamu, pasti teringat perbuatan Haviz padamu," ujar mama.
"Ara ada di sini?" Mas Haviz bertanya dengan senyum semringah. Kemudian, Anggi diajak turun oleh Mas Haviz. Ketika Anggi turun, ia tidak seperti biasanya, menyergap lalu memelukku, yang dilakukan Anggi justru menunduk sambil berjalan ke arahku dengan wajah sendu.Perlahan langkahnya lama-lama mendekatiku. Kemudian ia menyodorkan tangannya yang memegang sekuntum bunga mawar merah."Loh, biasanya mawar putih, kenapa sekarang mawar merah?" tanya diiringi dengan senyum, namun Anggi tak juga menyunggingkan senyuman dari bibirnya."Tante, ini bunga terakhir untuk Tante, mawar berduri," celetuknya. Aku meraih bunga mawar yang ia berikan, setelah itu menatap wajah anak dari Mas Haviz dan istri sirinya, lalu menyorotnya sambil tersenyum, dan aku memeluknya erat.Responnya masih datar, ia tak kunjung menyunggingkan senyuman."Tante kenapa meluk aku? Bukankah Tante sudah tidak mau bertemu lagi dengan anak haram?" Astaga, anak ini dapat kata-kata itu dari mana?Aku tercengang mendengar penuturan
"Bu, ayo Bu kita ke rumah sakit! Kasihan anaknya khawatir ada luka dalam!" ajak salah satu petugas kepolisian yang melihatku berdiri tertegun menyorot Dhea."Iya, Pak." Aku menjawabnya sambil ikut masuk ke dalam ambulance yang sudah ada Mas Haviz terbaring lemah.Wajah Mas Haviz keluar darah segar, sepertinya ada benturan di bagian rahang pipinya. Tangan dan kaki sebelah kanan masih utuh tapi tidak tahu kondisi dalamnya seperti apa, sebab posisi Mas Haviz terjepit pintu yang diserempet oleh truk."Tante, Ayah baik-baik saja, kan?" tanya Anggi. Aku terdiam, ia pasti trauma setelah kehilangan dua orang sekaligus dalam satu hari."Anggi doakan saja, ya. Semoga Ayah baik-baik saja." Aku mengelus-elus rambut bocah yang sedang memegang tangan ayahnya.Suara ambulance mengingatkanku pada peristiwa empat tahun silam. Dimana saat itu kondisiku sakit tak berdaya. Mas Haviz begitu panik ketika almarhumah mertua mengabarkan bahwa aku tidak mampu berjalan. Ia menghubungi ambulance khawatir Mas Hav
Tiba-tiba team medis yang menangani Mas Haviz keluar. Dokter menghampiri kami semua."Dok, bagaimana suami saya?" Mata Anggi mendadak menyorotku ketika aku menyebut ayahnya adalah suamiku."Alhamdulilah, operasi berjalan lancar, setelah observasi enam jam, pasien akan masuk ke ruangan rawat inap," jawab dokter seketika membuatku dan keluarga bernapas lega."Terima kasih, Dok," ucapku sambil memeluk Anggi.Lalu Dhea menghampiri, ia ikut mendekatiku dan Anggi. "Anggi, wanita ini mengaku-ngaku istri ayahmu loh, kuburan ibumu masih basah," celetuk Dhea."Kan Tante Ara memang akan jadi mamaku," sahut Anggi.Kemudian, aku memutuskan tidak meladeninya. Namun, aku curiga ketika Dhea mendapatkan telepon masuk, ia menjauh dari kami. Akhirnya aku coba ikuti langkahnya.Dhea mengangkat telepon di balik pembatas dinding rumah sakit, aku coba menempelkan telinga ini untuk menguping pembicaraan."Makasih ya, Toni, sopir truk yang kamu kirim kerjanya bagus, tapi sayangnya orang yang kuincar tidak ter
"Ayah!" teriak seorang anak kisaran berusia 3 tahun. Aku dan Mas Haviz menoleh secara bersamaan. Namun, ketika kami menoleh, ibunya menarik lengan anak tersebut dan membawa bocah itu pergi. Wajah bocah itu masih menyorot Mas Haviz sambil melambaikan tangannya. "Kamu kenal anak itu, Mas?" tanyaku penasaran."Nggak, Sayang. Nggak kenal." Ia menjawab tapi seperti menyimpan rahasia."Apa sewaktu sakit kamu ...." Aku menghentikan ucapanku."Apaan sih, Dek. Aku nggak kenal bocah itu," jawabnya sambil merapikan belanjaan kami.Sepulang dari mall, Mas Haviz pergi lagi, hanya mengantarkan aku sampai gerbang. Namun, ketika masuk ke dalam, aku dikejutkan dengan kedatangan mertuaku."Hai, Ara," sapanya."Mama," jawabku sambil meraih punggung tangannya."Duduklah, kamu ingat empat tahun lalu, ketika kamu sakit berbulan-bulan?" tanyanya mengingatkan aku musibah 4 tahun silam."Iya, aku sakit lama," jawabku sambil mengingat."Ingatkah saat Mama datang pagi-pagi, dan waktu itu suasana ramai?" tanyan
Ponsel Mama Yuni tiba-tiba berdering. Ada panggilan masuk. Kulihat dari layar ponselnya nama My Son yang tertera. Itu artinya Mas Haviz yang hubungi beliau.Kemudian, mama angkat teleponnya, tapi ia menjauh dariku. Aku tunggu sampai ia selesai bicara dengan Mas Haviz, setelah itu barulah mendengarkan apa yang akan ia ceritakan.Mama Yuni datang kembali, dan menghampiriku."Sudah, Mah?" tanyaku. Meskipun sewaktu sakit ia pernah menyakiti hati ini, namun aku berusaha tidak mengingat hal itu lagi."Emm, sudah, Ra. Tapi Mama mendadak ada acara nih, maaf ya, Mama pamit dulu," ucapnya sembari menyodorkan punggung tangannya. Aku pun turut mengantarkan mama mertuaku ke depan. Ia tampak tergesa-gesa melangkah, namun aku tak berani menanyakan apa-apa.Kemudian, setelah ia pergi, aku pun masuk ke dalam rumah. Entah apa yang ingin dikatakan mama, pasti suatu saat akan kuketahui dengan sendirinya.Matahari mulai cetar, aku pun membantu Mbok Susi mengangkat pakaian. Ia sudah menjadi asisten rumah t
"Ayahku namanya Ayah Angga, Tante," ucapnya. Kemudian, wanita yang bersamanya menarik pergelangan tangan anak itu."Anggi! Ayo kita pulang, ingat pesan Mama, jangan banyak bicara dengan orang asing!" sungutnya marah. "Maaf, Mbak. Kami mau pulang dulu," pamitnya sambil menarik tangan anaknya.Akhirnya mereka pergi, lalu bocah itu masih menoleh dan melambaikan tangan. Ia memberikan kode padaku. Jarinya menunjukkan angka satu dan lima jari. Apa arti dari kode yang ia berikan?Aku melambaikan tangan seraya berpisah dengannya dan anak itu pun memberikan kiss bye dari jauh. Aku pun melakukan hal yang sama.***Setibanya di rumah. Mas Haviz sudah berada di teras, ia menungguku sambil nyeruput secangkir teh."Assalamualaikum, Mas," sapaku sambil meraih punggung tangannya."Waalaikumsalam," sahutnya. "Sudah ketemu Keyla tadi?" tanyanya."Tahu dari Mbok Susi ya, Mas?" tanyaku balik. Kemudian, aku duduk di sebelahnya."Aku mandi dulu, Dek," ucapnya sambil berdiri. Namun, aku meraih pergelangan t
Aku tidak tahu apa yang dirahasiakan Mas Haviz, yang aku tahu ia sangat mencintaiku hingga tidak meninggalkanku ketika sakit lama. Namun, chat masuk barusan membuat kepercayaanku musnah seketika.Mas Haviz tampak balik badan. Sepertinya ia akan tahu aku tengah melihat-lihat ponselnya. Ia mengusap mata, lalu duduk dengan mimik wajah ketakutan.Ponsel yang sempat kupegang dirampas olehnya. Tingkahnya barusan justru membuatku merasa aneh dan curiga."Kamu baca-baca ponsel ini?" tanya Mas Haviz terlihat panik. Jarinya mulai mengusap layar ponsel, kemudian membaca satu persatu pesan yang sudah kubaca. Alisku sedikit terangkat, senyum miring pun membuat Mas Haviz terlihat menjilati bibirnya seraya gugup."Kenapa, Mas? Panik? Panik lah masa, nggak? Ya kan ... ya kan," ejekku seraya becanda. Padahal ini sindiran untuknya. Kini keringat pun mulai keluar di pelipisnya. "Huh, sampai keluar keringat dingin gini," tambahku sambil mengelap keringatnya."Dek, anu, kamu baca yang mana? Mau tanya apa