Tiba-tiba team medis yang menangani Mas Haviz keluar. Dokter menghampiri kami semua."Dok, bagaimana suami saya?" Mata Anggi mendadak menyorotku ketika aku menyebut ayahnya adalah suamiku."Alhamdulilah, operasi berjalan lancar, setelah observasi enam jam, pasien akan masuk ke ruangan rawat inap," jawab dokter seketika membuatku dan keluarga bernapas lega."Terima kasih, Dok," ucapku sambil memeluk Anggi.Lalu Dhea menghampiri, ia ikut mendekatiku dan Anggi. "Anggi, wanita ini mengaku-ngaku istri ayahmu loh, kuburan ibumu masih basah," celetuk Dhea."Kan Tante Ara memang akan jadi mamaku," sahut Anggi.Kemudian, aku memutuskan tidak meladeninya. Namun, aku curiga ketika Dhea mendapatkan telepon masuk, ia menjauh dari kami. Akhirnya aku coba ikuti langkahnya.Dhea mengangkat telepon di balik pembatas dinding rumah sakit, aku coba menempelkan telinga ini untuk menguping pembicaraan."Makasih ya, Toni, sopir truk yang kamu kirim kerjanya bagus, tapi sayangnya orang yang kuincar tidak ter
"Ayah!" teriak seorang anak kisaran berusia 3 tahun. Aku dan Mas Haviz menoleh secara bersamaan. Namun, ketika kami menoleh, ibunya menarik lengan anak tersebut dan membawa bocah itu pergi. Wajah bocah itu masih menyorot Mas Haviz sambil melambaikan tangannya. "Kamu kenal anak itu, Mas?" tanyaku penasaran."Nggak, Sayang. Nggak kenal." Ia menjawab tapi seperti menyimpan rahasia."Apa sewaktu sakit kamu ...." Aku menghentikan ucapanku."Apaan sih, Dek. Aku nggak kenal bocah itu," jawabnya sambil merapikan belanjaan kami.Sepulang dari mall, Mas Haviz pergi lagi, hanya mengantarkan aku sampai gerbang. Namun, ketika masuk ke dalam, aku dikejutkan dengan kedatangan mertuaku."Hai, Ara," sapanya."Mama," jawabku sambil meraih punggung tangannya."Duduklah, kamu ingat empat tahun lalu, ketika kamu sakit berbulan-bulan?" tanyanya mengingatkan aku musibah 4 tahun silam."Iya, aku sakit lama," jawabku sambil mengingat."Ingatkah saat Mama datang pagi-pagi, dan waktu itu suasana ramai?" tanyan
Ponsel Mama Yuni tiba-tiba berdering. Ada panggilan masuk. Kulihat dari layar ponselnya nama My Son yang tertera. Itu artinya Mas Haviz yang hubungi beliau.Kemudian, mama angkat teleponnya, tapi ia menjauh dariku. Aku tunggu sampai ia selesai bicara dengan Mas Haviz, setelah itu barulah mendengarkan apa yang akan ia ceritakan.Mama Yuni datang kembali, dan menghampiriku."Sudah, Mah?" tanyaku. Meskipun sewaktu sakit ia pernah menyakiti hati ini, namun aku berusaha tidak mengingat hal itu lagi."Emm, sudah, Ra. Tapi Mama mendadak ada acara nih, maaf ya, Mama pamit dulu," ucapnya sembari menyodorkan punggung tangannya. Aku pun turut mengantarkan mama mertuaku ke depan. Ia tampak tergesa-gesa melangkah, namun aku tak berani menanyakan apa-apa.Kemudian, setelah ia pergi, aku pun masuk ke dalam rumah. Entah apa yang ingin dikatakan mama, pasti suatu saat akan kuketahui dengan sendirinya.Matahari mulai cetar, aku pun membantu Mbok Susi mengangkat pakaian. Ia sudah menjadi asisten rumah t
"Ayahku namanya Ayah Angga, Tante," ucapnya. Kemudian, wanita yang bersamanya menarik pergelangan tangan anak itu."Anggi! Ayo kita pulang, ingat pesan Mama, jangan banyak bicara dengan orang asing!" sungutnya marah. "Maaf, Mbak. Kami mau pulang dulu," pamitnya sambil menarik tangan anaknya.Akhirnya mereka pergi, lalu bocah itu masih menoleh dan melambaikan tangan. Ia memberikan kode padaku. Jarinya menunjukkan angka satu dan lima jari. Apa arti dari kode yang ia berikan?Aku melambaikan tangan seraya berpisah dengannya dan anak itu pun memberikan kiss bye dari jauh. Aku pun melakukan hal yang sama.***Setibanya di rumah. Mas Haviz sudah berada di teras, ia menungguku sambil nyeruput secangkir teh."Assalamualaikum, Mas," sapaku sambil meraih punggung tangannya."Waalaikumsalam," sahutnya. "Sudah ketemu Keyla tadi?" tanyanya."Tahu dari Mbok Susi ya, Mas?" tanyaku balik. Kemudian, aku duduk di sebelahnya."Aku mandi dulu, Dek," ucapnya sambil berdiri. Namun, aku meraih pergelangan t
Aku tidak tahu apa yang dirahasiakan Mas Haviz, yang aku tahu ia sangat mencintaiku hingga tidak meninggalkanku ketika sakit lama. Namun, chat masuk barusan membuat kepercayaanku musnah seketika.Mas Haviz tampak balik badan. Sepertinya ia akan tahu aku tengah melihat-lihat ponselnya. Ia mengusap mata, lalu duduk dengan mimik wajah ketakutan.Ponsel yang sempat kupegang dirampas olehnya. Tingkahnya barusan justru membuatku merasa aneh dan curiga."Kamu baca-baca ponsel ini?" tanya Mas Haviz terlihat panik. Jarinya mulai mengusap layar ponsel, kemudian membaca satu persatu pesan yang sudah kubaca. Alisku sedikit terangkat, senyum miring pun membuat Mas Haviz terlihat menjilati bibirnya seraya gugup."Kenapa, Mas? Panik? Panik lah masa, nggak? Ya kan ... ya kan," ejekku seraya becanda. Padahal ini sindiran untuknya. Kini keringat pun mulai keluar di pelipisnya. "Huh, sampai keluar keringat dingin gini," tambahku sambil mengelap keringatnya."Dek, anu, kamu baca yang mana? Mau tanya apa
Setelah dibukakan pintunya lebar-lebar. Kulihat Keyla datang tapi bersama suaminya, Firman. Pasti ia sengaja membuntuti istrinya karena disuruh oleh Mas Haviz.Aku melayangkan senyuman miring, rasa tidak menyukai kedatangan Firman pun aku tonjolkan."Kenapa sih suamimu ngintil terus? Takut kehilangan kamu atau nggak percaya?" Aku sengaja memberikan pertanyaan ini padanya. Mata mereka saling beradu pandang, lalu mengeluarkan senyuman mengembang. "Kami nggak disuruh duduk? Cuma disuruh masuk aja nih?" Sepertinya Firman sengaja mengalihkan. Tenyata Mas Haviz sudah mewanti-wanti pada Firman. Ini justru membuatku semakin curiga. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Keyla? Kenapa harus dicegah kalau memang bukan hal yang biasa?Aku mulai memikirkan ide, agar kedatangan Keyla tidak sia-sia. Sepertinya ia memang ingin mengatakan sesuatu. Namun, dihalangi suaminya, Firman. Caranya juga halus, dengan terus membuntuti Keyla. Jadi rumah tangga mereka pun tetap rukun tanpa harus ikut campur.
"Mimpi apa barusan, Man?" tanyaku sambil mengangkat alis. Kulihat mereka juga langsung beradu pandangan."Nggak tahu lupa, Ra. Emang tadi aku ngigau apaan?" tanya Firman balik. Aku pun menghela napas panjang sambil tersenyum.Sebenarnya aku tahu bahwa Firman hanya takut pada Mas Haviz. Ia adalah teman dekat yang terpercaya, lelaki yang dipegang memang hanya ucapannya, meskipun itu menjadi boomerang untuk orang lain nantinya."Sudahlah, lupakan masalah ngigau tadi, ngomong-ngomong kamu tuh tidur lama banget loh, kemarin nggak tidur ya?" candaku disertai mimik wajah ngeledek."Nggak tahu, tiba-tiba mataku ngantuk, apa jangan-jangan ...." Firman memutuskan ucapannya. Kemudian, ia menoleh ke arah istrinya."Nggak apa-apa, kamu cuma ngantuk aja, Mas. Sekarang udah nggak ngantuk kan? Kalau masih, aku yang nyupir mobil," tutur Keyla sambil berdiri.Ia meminta aku memanggil ibu mertuaku, dan Keyla pamit. Setelah itu mereka bergegas pergi. Sedangkan aku yang masih mengingat ucapan Keyla. Alama
Tiba-tiba telepon selulerku berdering. Dari orang tuaku di kampung."Ya, Mah. Ada apa?" tanyaku sambil mengamati kondisi salon. Khawatir Mas Haviz keluar."Eh iya, Ra. Minta nomor rekening kamu ya, nanti kalau uang cair Mama langsung transfer ke kamu," ucapnya dengan nada terdengar bahagia. Dimana-mana orang tua sangat bahagia jika memberikan sesuatu untuk anaknya. Kebahagiaannya tidak terkira, ia sangat terdengar semringah."Iya, nanti Ara kirim." Aku menjawab sambil celingukan."Kamu di mana sih? Kok sepertinya bising?" tanya mama."Di jalan, Mah. Udah dulu ya," jawabku kemudian mematikan sambungan teleponnya.Aku bergegas masuk ke dalam. Kulihat sekeliling, dan naik ke lantai atas. Kalau kata petugasnya, mereka berada di lantai atas."Tante!" teriak bocah kecil melengking.Padahal aku sudah diam-diam ingin memergoki mereka. Lagi-lagi ia memanggilku. Tidak lama kemudian, mamanya datang menghampirinya."Anggi, kamu ke play ground dulu ya, Mama ada urusan sebentar," tutur wanita itu p