"Kau bisa tinggalkan Alex, Alana. Kalau terus seperti ini, kau akan selamanya terluka."Alana menunduk diam meremas jari-jarinya membiarkan Rivaldo mengompres pipi memar Alana dengan handuk dan air dingin. Sejak tadi laki-laki itu setia memberikan banyak nasihat pada Alana. Hanya Rivaldo yang kini paham betapa hancurnya seorang Alana atas apa yang dirasakannya kini. Alana menunduk dan menggeleng pelan. "Aku tidak bisa jauh dari Alex. Anak-anakku sangat menyayanginya, mereka benar-benar menganggap kalau Alex adalah Papa mereka. Aku sudah meminta pada Alex untuk meninggalkan aku, Pak Rivaldo. Munafik kalau aku merasa tidak nyaman saat bersamanya," ungkap Alana mengusap air matanya. Ibu jari Rivaldo mengusap air mata di pipi Alana. Laki-laki itu merangkulnya duduk di sofa dan membiarkan Alana untuk menangis melegakan rasa marahnya. Usapan pelan terus ia berikan di punggung Alana dengan rasa perhatian. "Suatu saat kau akan mengerti, Alana," bisik Rivaldo. "Mengerti?" lirih Alana men
"Biarkan Alex menikahi Alana karena tanggung jawabnya. Anak Nyonya dan Tuan pantas melakukan hal itu." Seruan tegas itu terlontar dari Stella yang kini menemui kedua orang tua Alex. Geram dan tidak tahan atas semua tindakan Renata yang setiap hari Alana adukan padanya, Stella kehilangan kesabaran. "Kenzo dan Kenzi adalah darah daging putra kalian. Ini bukan permainan, dan saya tidak sedang drama di sini!" imbuh Stella menatap lekat Renata dan Hans. Hans pun menganggukkan kepalanya pelan dan tersenyum pada Stella. "Saya tahu, Nyonya Stella," ucap Hans menyandarkan punggungnya di sofa. "Saya selalu mendukung apapun yang putra saya putuskan." "Tapi tidak denganku, Pa! Aku menolaknya, keras!" tegas Renata menggelengkan kepalanya. Stella tersenyum kecut, ia sangat membenci Renata yang sangat keji. "Nyonya Renata harus mengajari Alex untuk punya sifat tanggung jawab. Setelah kejadian di mana putra kalian merusak putriku, aku sengaja menyembunyikan Alana dari kalian semua, ingatan Ala
"Maaf Tuan, Nona ini memecahkan piring keramik mahal. Dia tidak mau ganti rugi dan malah menangis di sini! Kalau memang tidak punya uang, lebih baik jangan bertingkah di sini!" Mendengar penjelasan karyawan toko itu membuat emosi Alex kian meledak. Dalam pelukannya, Alana menangis ketakutan karena gunjingan dan makian yang membuatnya trauma. Alex menunduk menatap wajah Alana, ia mengusap pipinya dengan lembut. "Ssshhhtt... Tenanglah, Sayang. Tidak akan ada yang berani menyakitimu di sini," bisik Alex. Alex merangkul pundak Alana dan berjalan mendekati beberapa piring yang berjajar di depannya. Piring keramik warna-warni cantik tertata rapi. Semua orang dan karyawan toko di sana menatap Alex yang meraih piring keramik itu. Ekor matanya sinis melirik dua pelayan toko dengan senyum devil di bibirnya. "Siapa kau berani membuat istriku takut, huh?!" Alex menatap dua wanita berseragam biru tersebut.Alex menatap piring di tangannya dan dengan sengaja ia membanting piring tersebut ke l
"Paman Benigno tidak boleh gangguin Kak Tery terus, kak Tery ini tugasnya jagain kita!" Kenzi mendorong-dorong Benigno untuk tidak dekat-dekat dengan Tery yang sedang menemani si kembar. Kenzo yang berada di sana juga tentu saja membantu memaki Benigno. "Mending Paman Benigno cari pacar sana, pergi. Masak kalah sama Daddy-ku sih!" "Kalian ini meremehkanku, heh?!" seru Benigno. "Tidak remeh kok, kan fakta. Jomblo ngenes, gantengnya tidak berguna." Kenzi si mulut petir mengatakannya dengan sangat lihai. Tery yang mendengar ejekan Kenzi pada Benigno pun langsung tersenyum. "Kenapa kau senyum-senyum, hah?!" sentak Benigno langsung membungkam gadis itu. "Paman! Kalau sama cewek itu tidak boleh galak-galak, mau laku gimana kalau Paman orangnya kayak gini!" Kenzo memukul lengan Benigno. "Sudah Pangeran kecil," bujuk Tery pada kedua anak itu. Kenzi dan Kenzo meninggalkan mainannya dan mendekati Tery dan duduk menjaganya dari Benigno. Setelah satu minggu Benigno tidak bertemu dengan
Untuk kali pertama Alana datang ke sebuah pesta megah yang tergelar di sebuah hotel bintang lima. Lebih lagi kedatangannya kali ini menjadi sorotan publik karena ia datang bersama seorang Alexsander Verolov, Presdir kaya yang paling disegani. Alana memeluk lengan Alex dengan erat. "Kenapa mereka menatapku seperti itu? Apa riasan wajahku ada yang salah?" cicit Alana berbisik pada kekasihnya. "Mereka terpukau denganmu, Sayang. Kau sangat cantik," balas Alex tersenyum dan mengecup singkat pipi Alana. Mereka berdua berjalan mendekati Rivaldo, pemilik pesta malam ini. Tatapan pertama Rivaldo terpana pada Alana yang sangat-sangat cantik malam ini. "Selamat malam Alana, wow... Kau sangat luar biasa malam ini," sanjung Rivaldo sangat manis. "Ekhem... Hati-hati, mulutmu harimaumu. Hentikan bualanmu atau pestamu akan hancur," sindir Alex tanpa menatapnya. "Ck! Kau ini. Apa kau iri karena aku tidak menyapamu? Aku cukup muak menyapamu, kawan!" Rivaldo tertawa pelan dan Alex membalasnya de
"Dok, bagaimana keadaan istri saya?!" Alex berjalan mendekati dokter yang baru saja keluar dari dalam ruangan di mana Alana diperiksa. Laki-laki berjubah putih itu melirik ke arah Glad yang juga menatapnya sebelum ia menepuk pundak Alex. "Mari ikut saya, Tuan," ajak dokter itu pada Alex. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan, di sana Alex langsung duduk dan menunggu dokter. Helaan napas berat terdengar dari bibir dokter tersebut. "Tuan, kondisi Nyonya Alana sepertinya cukup buruk untuk terus dipaksakan. Mohon untuk tidak memaksakan sesuatu padanya supaya Nona Alana tidak mengingat-ingat banyak hal, dia bisa mengalami sakit kepala yang hebat, dan sangat menyakitinya," ujar dokter tersebut. Alex mengembuskan napasnya pelan. "Tadi ada teman lamanya yang muncul, dia begitu syok dan menangis saat Alana tidak mengenalinya dan berusaha keras mengingatnya, karena itu Alana merasa sakit kepala dan pusing, dok," jelas Alex. "Tapi Tuan, Nyonya Alana bisa saja kembali ingatannya karena seb
"Mommy mana sih, kok belum pulang-pulang? Jangan-jangan Mommy dibuang sama Daddy."Ocehan itu terdengar dari bibir Kenzo, ia sudah jengah mendengar adik kembarannya yang menangis menunggu sang Mama. Bersama Tery dan Benigno, Kenzi duduk di teras menunggu Alex dan Alana. Tidak biasanya mereka pergi hingga nyaris tengah malam belum pulang-pulang. "Mommy...." Kenzi memeluk Tery dan sesenggukan. "Sudah, jangan nangis lagi. Kan ada Kak Tery di sini, ada Paman Benigno juga," bujuk Tery mengusap lembut punggung Kenzi. "Tidak suka Paman Benigno, Paman payah! Nakal," cicit bocah itu. Dari belakang mereka nampak Kenzo yang berjalan mendekat membawa boneka beruang yang ditenteng kepalanya. "Paman, Kenzi kok nangis terus sih?" tanya Kenzo dengan polosnya. Benigno merotasikan kedua matanya, setengah jengah juga dengan Kenzo yang tidak merasa bersalah sama sekali. "Adikmu tidak akan menangis kalau kau tidak menjitaknya!" pekik Benigno dengan kesal. "Hah? Masak iya? Kayaknya tadi pelan, cum
'Mama ingin mengajak Alana dan anak-anakmu makan malam bersama Papa juga, pulanglah ke Madrid!'Embusan napas berat terdengar dari bibir Alex kala ia mengingat kata-kata Mamanya yang pagi tadi menghubunginya. "Tuan Alex baik-baik saja?" "Tidak," jawab Alex tanpa menatap Benigno. Benigno beranjak bangun dari duduknya dan meletakkan beberapa dokumen di atas meja.Keresahan dan semua rasa yang Alex rasakan saat ini mampu Benigno lihat hanya dengan ekspresi dan mood-nya. "Apa aku harus benar-benar mengajak Alana bertemu Mama dan Papaku? Mereka meminta aku pulang ke Madrid," ujar Alex meminta pendapat pada Benigno.Kursi di hadapan meja Alex pun ditarik dan diduduki oleh Benigno. Laki-laki seusia Alex itu langsung mengangguk. "Feeling saya mengatakan kalau Tuan dan Nyonya besar akan memberikan kabar bahagia pada Tuan." Benigno tersenyum lembut."Cih, aku tahu selicik apa Mamaku. Mungkin saat ini dia punya rencana besar." Alex kembali menerka-nerka. "Aku bersumpah tidak akan memberikan