"Kenapa Pak Alex membelaku sampai seperti tadi? Aku merasa menjadi orang penting dalam hidupnya." Alana berdiri menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis itu membasuh tangannya dan diam di sana sejenak. Memikirkan Alex tidak akan pernah ada habisnya, Alana juga semakin heran dengan dirinya sendiri. Cukup beberapa menit Alana berdiam diri di dalam sana, ia membuka kembali pintu di hadapannya dan berjalan menuju ke ruangan meeting. "Nyonya Alana!" Suara memanggilnya membuat Alana menoleh cepat, ia memutar tubuhnya ke belakang dan mendapati sosok Harlan yang berjalan mendekatinya, demi apapun Alana sangat membenci laki-laki ini. "Pak Harlan, ada apa?" tanya Alana begitu Harlan mendekatinya. "Aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu, Nona Alana," ujar Harlan melangkah mendekat. Alana mundur perlahan. "Ka... Katakan saja, saya ada urusan dan harus segera pergi." "Heem, berapa Alex membayarmu sampai kau bisa membuatnya bertekuk lutut membelamu, hem? Dia bahkan berani membentakku di h
"Kasihan deh, si kembar itu tidak punya Papa!" "Huuu... Tidak punya Papa! Jangan temenan sama kita! Sana pergi!" Kenzo menarik lengan Kenzi, adik kembarannya itu menangis karena dijatuhkan dari ayunan hingga terluka dan terbentur. Bukan itu saja, mereka juga diejek tidak punya Papa, itulah hal yang paling menyakitkan untuk si kembar. Keduanya diminta pergi oleh semua teman-temannya karena mereka berdua berbeda. Semua teman-temannya punya kedua orang tua yang lengkap, sedangkan Kenzo dan Kenzi hanya memiliki sosok Mama saja. "Ayo pergi, jangan menangis. Ayo pulang saja, kita adukan mereka sama Mommy," ajak Kenzo membawakan tas milik Kanzi dan merangkulnya. "Sakit Kenzo, kakiku berdarah," ujar Kenzi menunjukkan lututnya yang terluka hingga berdarah-darah. "Ya ampun, ayo aku gendong!" Kenzo langsung duduk di hadapan Kenzi. Dengan cepat adiknya memeluk punggung Kenzo dan sambil terisak-isak keduanya keluar dari taman bermain. Kenzo menggendong adiknya melewati trotar jalanan, denga
"Kondisi Kenzi cukup serius karena bukan hanya luka robekan di kakinya. Saat kami memeriksa lebih lanjut, kemungkinan dia terjatuh cukup keras dari ayunan sampai ada benturan di kepala bagianbelakang. Itu cukup serius untuk anak seusianya." Dokter Anne menjelaskan hasil pemeriksaannya pada Kenzi setelah beberapa jam lamanya mereka menangani Kenzi yang kini masih dibawa ke ruangan khusus. Alana hanya bisa menangis, tanpa berbuat apapun lagi saat ini. Syukurlah Alex menemaninya, memeluknya, dan mencoba menjadi sosok penenang untuknya. "Ke depannya apa akan bermasalah untuk anak saya dok?" tanya Alex dengan serius. "Ya Tuan, saya takutnya menjadi masalah besar kedepannya untuk Kenzi kalau tidak dipantau dengan sungguh-sungguh." Alana menangis memeluk Alex, ia sudah kacau sejak tadi. "Tolong... Tolong sembuhkan anak saya," pinta Alana pilu. Dokter Anne mengangguk. "Pasti Nyonya, mohon terus berdoa untuk kebaikan Kenzi dan kami akan selalu berusaha yang terbaik. Saya permisi," pamit
"Oma siapa? Kok ada di rumah Daddy, sih?" Kenzo duduk bersila di atas ranjang mendongakkan kepalanya memberikan tatapan polos pada Renata yang menyisir rambutnya. Renata seketika menghentikan kegiatannya, ia harap telinganya tidak salah dengar saat Kenzo menyebut kata Daddy barusan. "Daddy?" tanya Renata menyipitkan kedua matanya. Dengan polos Kenzo mengangguk. "Heem, Om tampan tidak masalah kok kalau Kenzo panggil dia sebagai Daddy. Kenzo 'kan tidak punya Daddy," jawab anak itu. Renata kembali menyisir rambut Kenzo, wanita itu hanya tersenyum tipis. Ia baru saja memandikan Kenzo, menggantikan bajunya dengan baju baru. "Oma ini Mamanya Om tampan," jawab Renata meletakkan sisir di atas meja dan duduk di hadapan Kenzo. "Emm... Begitu ya, boleh kan kalau Kenzo panggil Oma?" "Boleh Sayang." Kenzo langsung berdiri dan memeluk leher Renata dengan erat. Kedua tangan Renata membalas pelukan Kenzo yang hangat. Pintu kamar terbuka dan masuk Hans ke dalam sana. Kenzo hanya diam memperh
"Daddy...." Suara Kenzi membuat Alex mengangkat kepalanya. Ia terpana menatap Kenzi yang terbangun dan anak itu tersenyum lemah padanya. "Sayang, kau sudah bangun nak," seru Alex langsung memeluk Kenzi dengan erat. "Kangen Daddy," bisik Kenzi memejamkan kedua matanya dan menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher Alex. "Daddy jangan tinggalkan Kenzi ya, Dad...." "Tidak Sayang, Daddy tidak akan ke mana-mana." Alex menangkup kedua pipi Kenzi dengan hangat. Kenzi memeluk lengan Alex dengan erat. Tatapan anak itu tertuju pada Alana yang tertidur di sofa.Alex mengusap punggung mungil Kenzi dan menunjuk ke arah Alana. Senyuman Kenzi terbit dengan lembut, wajahnya yang pucat tidak melunturkan senyuman manis bocah itu. "Ssshhttt...." Kenzi meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Jangan bangunkan Mommy, kasihan Monmy-ku." "Tidak Sayang." Alex mengusap pipi mungil Kenzi. "Kenzi lapar? Atau haus?""Iya Daddy, Kenzi mau minum," pinta anak itu. Baru saja Alex beranjak bangkit perla
"Oma, ayo antarkan Kenzo bertemu Mommy dan Adik! Ayolah Oma...." Kenzo merengek menarik-narik tangan Renata sejak tadi. Bocah itu sudah banyak protes meminta untuk diantarkan bertemu dengan Mama dan Adik kembarannya. "Sabar Sayang, iya ini Oma antarkan," jawab Renata mengemudikan mobilnya."Kenzo juga kangen Daddy," ujar Kenzo tiba-tiba seraya menatap ke arah luar jendela. Renata tersenyum manis mendengar kata-kata menggemaskan namun pernuh makna yang diucapkan oleh Kenzo. Bersama Kenzo selama dua hari meskipun tidak bertemu dengan Alex, namun Renata merasa kalau dirinya nyaman dengan anak itu. Renata ingin lebih dan sering bersama dengan Kenzo. "Kenzo kalau tinggal dengan Oma, Kenzo bisa meminta apapun yang Kenzo mau," seru Renata tiba-tiba. Kenzo menoleh. "Tapi Kenzo tidak bisa kalau sendirian. Kenzi suka sakit kalau Kenzo tidak ada di samping Kenzo, Oma." "Ya... Nanti kita ajak juga Kenzi, gampang kan? Apapun yang kalian minta, pasti akan Oma belikan!" seru Renata merayu-ray
"Kenzi, bagaimana Mommy dan Daddy? Mereka dekat atau dekat sekali? Atau malah sangat-sangat dekat?!" Kenzo duduk bersila di samping kembarannya yang terbaring di atas brankar. Ia sangat ingin tahu perkembangan hubungan Mamanya dengan Om tampan mereka. Kenzi tersenyum puas. "Sangat, sangat, sangat dekat sekali pokoknya! Jelasnya aku memenuhi apa yang kau katakan, aku meminta yang aneh-aneh pada mereka!" Kenzo berbinar mendengarnya. "Bagus! Good job, Kenzi. Ada gunanya juga kau sakit, heh!" "Heumm... Kau ini! Kau sendiri, selama aku sakit kau tinggal dengan Oma ya, Kak? Oma itu siapa?" tanya Kenzi memiringkan kepalanya. Kenzo menggelengkan kepalanya pelan dan memasang wajah berpikir. "Aku juga tidak tahu, katanya Mamanya Daddy. Tapi Kenzi, Oma ngajak kita tinggal dengan Oma. Kau tahu, rumah Oma itu besar sekali! Dan Oma juga mau ngajak kita naik Thomas setiap hari! Jadi kita tinggal dengan Oma, begitu." Obrolan akhir si kembar di dengar oleh Alana yang tengah duduk di sofa menata
"Wah... Terima kasih Oma, mainannya banyak! Nanti kalau Kenzi sudah sembuh kita ajak main sama-sama ya, Oma!" Kenzo berbinar-binar menata banyak sekali mainan puzzle di atas meja besar ruang keluarga di kediaman Alex. Sejak pagi tadi bocah itu ikut dengan Renata hingga kini hari sudah malam. Renata tidak peduli dan ia selalu mengalihkan pembicaraan Kenzo setiap kali anak itu meminta pulang. "Kalau Kenzo mau ikut dengan Oma, kita bisa beli mainan setiap hari," seru Renata duduk di sofa dan tersenyum lebar pada Kenzo. "Tapi, nanti ajak Kenzi juga, ya?" Kenzo cemberut. "Tapi, kalau Mommy sendirian, nanti Mommy akan sedih. Kenzo kan tidak mau kalau buat Momny sedih," jawab anak itu. "Kata siapa Mommy-mu akan sedih, Sayang? Tidak akan, percaya dengan Oma!" "Heum, Oma serius?" tanya Kenzi melebarkan kedua matanya yang cemerlang. "Kalau begitu Kenzo mau! Nanti jalan-jalan sama Kenzi naik Thomas!" pekik anak itu bahagia. Renata tersenyum lebar mendengarnya, sebisa mungkin ia harus men