Suara deru nafas Surya seakan menjadi ancaman besar untuk Tamara. Suaminya menatap dirinya dengan sangat tajam.
"Sekarang kamu banyak berubah Tamara!" sentak Surya seakan mengenang masa lalu mereka.
"Maksud kamu apa Mas?? Bukan nya ini yang kamu mau dari aku??"
Surya seketika terdiam. Bukan perubahan ini yang ia mau dari istrinya. Tapi perubahan yang jauh lebih baik.
"Aku sekarang Nyonya Besar di rumah ini. Aku tidak ingin diinjak-injak."
"Dengan kamu bersikap seperti ini aku benar-benar kecewa sama kamu Tamara."
"Aku tahu. Kamu nyalahin aku seperti ini karena mau belain menantu kesayangan kamu yang dari kalangan menengah itu kan??" Tamara sengaja memancing amarah suaminya. Ia paling tidak suka disalahkan.
Apapun yang ia lakukan demi masa depan putranya dan keturunan keluarga Maheswara.
"Elina tengah mengandung. Kamu jangan memperkeruh suasana." Andai Tamara bukan istrinya. Surya sudah dari tadi melenyapkan wanita yang ada di depannya ini seperti ia memusnahkan musuhnya.
Walaupun dirinya terkenal kejam dan juga dingin. Surya menyayangi istrinya. Tapi semakin ke sini, istrinya semakin banyak berubah dan terlalu mengatur rumah tangga putranya.
"Terus kalau Elina mengandung apa urusannya dengan aku?? Sampai kapanpun aku gak akan sudi mengakuinya menjadi cucu ku."
"Kamu merasa paling baik mencarikan pasangan untuk anak-anak??" tuntut Surya menatap tajam istrinya.
"Iya." Tamara merasa paling benar. Buktinya kedua putri mereka memiliki pasangan yang kaya raya sederajat dengan mereka.
Surya tersenyum sinis seakan merendahkan pemikiran istrinya yang terlalu dibutakan harta kekayaan tapi miskin attitude.
"Shaka Mahesa dan Naufal Hansen. Memang memiliki harta Berlimpah. Tapi pernah kamu melihat mereka bekerja? Menghidupi istrinya seperti orang lain? Yang mereka lakukan di rumah ini hanya tiduran sembari main game."
Dari mana suaminya mengetahui semua kelakukan kedua suami putri mereka. Melihat wajah kebingungan istrinya. Surya semakin ingin memojokkan istrinya agar tidak bisa berkutik lagi.
"Kamu tahu kan siapa aku Tamara Maheswara?"
"Walaupun mereka main game tapi uang tetap mengalir. Tujuh turunan pun tidak akan pernah habis."
"Bukan masalah harta kekayaan tapi reputasi kita di dunia bisnis. Kalau sampai semua ini tercium oleh media. Maka nama baik Maheswara akan tercemar. Itu yang kamu mau, ahh?"
Nafas Tamara tercekat. Apa yang dikatakan suaminya ada benarnya. Maheswara sekarang berada di peringkat pertama dari sekian banyak perusahaan di daerah mereka.
Satu yang Tamara takutkan. Ia tidak ingin nama baiknya tercoreng dan menjadi bulan-bulanan teman-teman sosialitanya. Hanya dirinya yang berhak menindas orang, karena dirinya adalah nyonya besar Maheswara.
"Ak-aku akan bicarakan sama mereka." Akhirnya Tamara kalah telak dan akan memperingati kedua menantunya itu.
"Dan terakhir dari aku Tamara! Walaupun aku sangat mencintai kamu. Tapi kalau sampai kamu mencelakai calon pewaris Maheswara yang ada di perut Elina. Maka kamu tidak ada mendapatkan sepeserpun harta warisan Maheswara."
"Mas!" Teriak Tamara memanggil suaminya yang telah meninggalkan dirinya sendirian di kamar dengan emosi yang memuncak.
"Ini semua gara-gara Elina, Elina dan Elina. Aku akan segera menyingkirkan wanita itu."
***
"Pa!" Suara lembut seakan mengobati emosi Surya mendengar menantunya memanggilnya.
"Iya Elina," jawab Surya dengan suara dingin dan tegas. Di dalam ruangan mungkin Surya sama seperti putranya, mengubah intonasi suaranya dengan sedikit lembut. Tapi di luar mereka wajib berkomunikasi dengan suara khas masing-masing.
Surya memiliki suara khas dingin dan kejam. Sedangkan putra nya Aldinata memiliki suara khas slow namun datar dan menghanyutkan. Sebenarnya tidak ada bedanya. Namun Aldinata Maheswara harus banyak-banyak belajar dari sang ayah.
"Elina nyari Papa dari tadi. Elina dengar dari Bibi, Papa telah pulang."
Elina tidak sengaja mendengar dua maid muda yang di skors oleh mertuanya selama sebulan, karena berani membicarakan majikannya di belakang.
"Kamu tidak disakiti oleh mereka?" suara Surya seakan menuntut pertanyaan dijawab dengan jujur oleh menantunya.
"Sebenarnya...."
"Papa kapan pulang?" tanya Aldi tiba-tiba memotong perkataan Elina yang ingin jujur mengenai perlakuan Tamara dan kedua iparnya kepada dirinya. Namun semuanya gagal karena kedatangan suaminya.
"Beberapa jam yang lalu."
"Pah! Mas! Kita langsung ke meja makan. Elina tadi masak banyak sama bibi."
"Iya sayang." Aldi mengusap surai istrinya lembut dan menuntun sang istri ke meja makan.
"Tunggu!" Tiba-tiba Surya memberhentikan langkah anak dan menantunya.
"Ada apa, Pa?" tanya Aldi.
"Kamu tidak becus menjaga istri kamu Aldinata Maheswara!" suara Surya berubah dingin.
Deg!
Nafas Elina tercekat. Belum dirinya menceritakan semuanya, mertuanya sudah mengetahuinya.
"Lihat sudut bibir istri kamu?"
Plak!
Aldi meringis karena tamparan dari papanya yang tiba-tiba, membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah.
"Sakit?" tanya Surya dengan suara dingin.
Aldi mengangguk. Sedangkan Elina mengusap darah dari bibir suaminya tanpa rasa jijik sedikitpun.
"Lihat sudut bibir istri kamu? Apa kamu pernah menyadarinya, ahh? Itu bekas tamparan bodoh! Dan kamu dengan santai nya tidak peduli dengan keadaan istri kamu."
"Maaf Pa...." Aldi menundukkan kepalanya malu tidak becus menjaga istrinya.
Aldi beralih mengusap sudut bibir istrinya yang terlihat terluka namun ditutupi oleh bedak bayi yang lumayan tebal. Dia suami yang sangat bodoh. Bagaimana papanya tidak marah padanya.
"Jangan mengaku menjadi pemimpin perusahaan besar Aldinata Maheswara. Kalau memimpin keluarga kamu tidak becus."
"Papa ingatkan sekali lagi! Utamakan istri kamu dari apapun. Dia wanita yang rela meninggalkan keluarganya untuk mengabdi padamu suaminya. Dia rela kesakitan selama sembilan bulan untuk buah hati kalian. Dan kamu masih kurang bersyukur? Keturunan Maheswara pernah mengajarkan kamu bersikap pengecut seperti ini?"
Sepasang suami istri tersebut menunduk mendengarkan nasihat dari sang kepala keluarga Maheswara.
"Mas Aldi tidak salah, Pa."
"Biarkan Papa mendidik anak Papa menjadi pria yang bertanggung jawab Elina. Jangan sampai keturunan Maheswara hancur karena suamimu yang tidak tegas."
***
"Wah masakan kak Elina sangatlah lezat." Naila memakan ayam goreng dengan sangat lahap dan memanggil Elina dengan sebutan yang sopan. Tidak seperti biasanya hanya menggunakan hanya nama.
"Besok kamu belajar memasak seperti Elina. Jangan membuat keluarga Maheswara malu!" tegas Surya membuat kedua putrinya menunduk lesu.
"Dan untuk kalian berdua para suami. Mulai besok pagi kalian akan ikut dengan saya bekerja di kantor pusat Maheswara Group."
Tidak ada yang berani bersuara, karena apapun yang diperintahkan oleh kepala keluarga Maheswara tidak terbantahkan.
"Baik, Pa." Mereka berempat kompak mengangguk dan menyetujuinya.
"Jangan menjadi suami yang pemalas. Karena istrimu juga butuh bimbingan bukan hanya uang."
"Contohnya Elina. Dia wanita yang hebat. Multitalenta. Menghormati suaminya, pintar memasak dan tidak suka menghamburkan uang untuk berfoya-foya."
Aldi yang mendengar pujian papanya untuk istrinya merasa bangga karena tidak salah memilih seorang istri.
Sedangkan anggota keluarga yang lainnya seperti Tamara, Naila dan Keyra melirik sekilas wajah Elina tanpa minat. Hanya mereka bertiga yang paling sempurna di rumah sebesar istana ini dan Elina hanya berada di bawah mereka. Tidak sebanding.
Elina tersenyum melihat kebersamaan mereka yang tengah bermain basket berempat. Terlihat Liam dan Liana merebut bola basket dari Aldi dan juga Andre yang tengah senang menggoda mereka yang masih pendek.Liam mengambil bola basket tersebut dan melemparnya dengan gaya memukau. Berhasil! Masuk dengan sempurna membuat mereka bersorak ria. Aldi menggendong Liana, sedangkan andre menggendong Liam yang dengan wajah membanggakan dirinya dan bertepuk tangan.Elina sampai meneteskan air matanya karena terharu. Akhirnya kehidupannya bisa ia rasakan sampai detik ini juga. Setelah badai begitu dahsyatmemporak-porandakan hidupnya.Tuhan memiliki rencana yang sangat indah, untuk kehidupan Elina. Elina selalu percaya, sk
Setelah acara pemakaman selesai, mereka semua sekarang berkumpul di kediaman dokter Andre. Memakai pakaian serba hitam dan duduk di sofa ruang keluarga.“Elina! Saya selaku kedua orang tua almarhum, ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada, Nak Elina. Atas kelakukan almarhum yang telah membuat Nak Elina hampir depresi karena trauma.”Elina mengusap kepala Liana, yang berada di pangkuannya, tersenyum dan mengangguk, “Saya sudah memaafkannya, sejak bertahun-tahun yang lalu. Bahkan saya berhutang budi kepada almarhum, karena telah menyelamatkan putri saya.”“Maafin, Nana!” lirih Liana menatap mereka semua dengan wajah polos dan sendunya.Mereka semua menghela nafas. Ini
“Bagaimana keadaan Naufal, Dokter Andre?” tanya Keyra langsung menghampiri Andre yang sudah keluar dari ruangan.Keyra tidak sabar menunggu kabar dari Andre. Jantungnya berdetak dengan cepat. Keyra khawatir dan juga takut. Dalam lubuk hatinya, masih tersimpan rasa cinta untuk Naufal walaupun hanya secuil.Andre menghela nafas pelan, membuat semua orang yang ada di sana was-was. Tidak biasanya Andre berbelit-belit seperti ini ketika menjelaskan sesuatu. Apalagi ini soal keadaan seseorang.“Naufal gak apa-apa kan, Dok?!” bentak Keyra menggoyang tangan Andre dengan keras. Ia tahu ini sangat lancang, namun Keyra merasakan perasaan yang tidak enak.“Saya sudah berusaha semaksimal mungk
"Masukkan ke dalam mobil!” perintah Shanika memperhatikan ke sekelilingnya, Shanika tahu mereka akan segera tertangkap karena melawan orang-orang yang berkuasa.Liana dimasukkan ke dalam mobil, namun dalam keadaan mulut disumpal dengan lakban dan tidak diikat seperti beberapa jam yang lalu.“Nana ngak mau ke luar negeri. Jangan paksa Nana. Bunda! Tolongin Nana!"Liana tidak ingin pergi jauh dari bundanya. Liana tidak bisa membayangkan nasibnya, apabila Shanika membawanya pergi sangat jauh dari negaranya.Liana telah masuk ke dalam mobil. Dijaga oleh dua anak buah Shanika. Mereka berbicara sebuah rencana selanjutnya. Apabila mereka gagal, maka mereka akan menga
Liana menggelengkan kepalanya, ketika dua preman dengan tubuh kekar dan brewok yang terlihat sangat menyeramkan, menyuapinya roti untuknya. Liana yang diikat di kursi dengan tubuh mungilnya bergetar sedari tadi ketakutan.“Nana mau ketemu bunda. Nana mau pulang, Paman.”“Kamu tidak akan pernah pulang selamanya,” jawab mereka. Liana kembali menggelengkan kepalanya karena tidak ingin mendengar perkataan kedua pria menyeramkan itu.Liana, beberapa jam yang lalu , bangun dari pingsannya ternyata telah terikat di sebuah kursi. Liana ingin menangis, namun bundanya selalu berkata, jangan pernah takut. Hal itu akan membuat mereka semakin menindas kita. Liana masih mengingat pesan bundanya itu.
Liana mengelilingi halaman rumahnya sendiri, dengan mengayuh sepeda. Ia tersenyum sembari menaruh boneka sapi berukuran sedang di ranjang sepeda sebagai temannya bermain.Kakaknya sedang belajar di dalam kamarnya, untuk persiapan olimpiade antar sekolah. Kedua anak laki-laki seperti Liam dan Devan mengambil mata pelajaran matematika dalam satu kelompok, yang sudah disaring dan dipilih.“Nana main sama Vivi, saja.” Nama boneka sapi berwarna pink dan putih itu adalah Vivi.Liana mengayuh sepedanya dekat dengan gerbang. Liana menatap aneh ke arah seorang wanita yang membelakanginya berada di luar gerbang. Penjagaan di rumah Andre, tidak seketat seperti dimension Syahreza. Bahkan satpamnya, entah pergi kemana.“Bunda!” Liana memanggil wanita itu
Berlin, Jerman, 2013Setelah dokter memberikan kabar baik kepada Elina, wanita hamil itu tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan bahagianya sekarang. Ia bersandar di sofa sambil menonton acara televisi dengan menikmati secangkir kopi.“Huek!” elina segera berlari ke kamar mandi yang berada di lantai bawah. Dengan wajah pucat dan perut yang bergejolak, Elina memuntahkan cairan kental dan bening. Kepalanya kembali pusing seperti pertama kali dirinya muntah karena kehamilannya.Elina membasuh wajahnya dengan air dan menatap dirinya di cermin. Entah angin apa, Elina terisak merasakan sakit di dadanya. Elina menghapus air matanya sembari mengingat kembali kebersamaanya dengan mantan suami.Elina harus m
Tok! Tok! Shanika dengan malas mengetuk pintu kamar Elina beberapa kali. Kalau tidak disuruh oleh suaminya. Shanika tidak akan sudi melakukannya. "Elina! Kau belum juga bangun?! Istri macam apa, belum bangun sampai jam segini," cibir Shanika di depan pintu kamar Elina. "Kenapa Sayang?" tanya Aldi menghampiri Shanika yang terlihat kesal dan cemberut. Shanika menoleh, "Ini loh, Mas. Elina belum juga mau bangun." Aldi kembali mengetuk pintu kamar Elina. Jauh lebih keras. Bahkan banyak pasang mata yang melihatnya, karena mendengar gedoran terdengar nyaring. "Kasihan ya, No
Elina memandang bangunan di depannya dengan wajah tegar dan tatapan sendu. Ia mengeratkan pegangannya di koper yang tengah ia bawa. Keputusannya sudah bulat. Walaupun hatinya bagai tertusuk ribuan duri, entah kalau bisa dijabarkan, mungkin sekarang hatinya tengah berdarah dan sakit.“Elina,” panggil Surya kepada Elina, yang sudah berada di dalam mobil menunggu Elina.Elina menoleh dan terisak. Dadanya sesak. Air mata menetes dari pelupuk matanya tiada henti. Surya mengerti akan posisi menantunya sekarang. Tangannya terkepal. Ia berjanji tidak akan merestui kembali hubungan Elina dengan Aldi esok apabila Aldi telah menyesali perbuatannya dan ingin rujuk kembali.Elina mencoba menguatkan diri dan menghapus air matanya sampai bersih. Ia kembali berbalik melihat kedi