“Saya ingin tahu, siapa yang check in kamar 221?” tanya Evan sambil mengembalikan kunci kamar ke resepsionis.
“Maaf, kami tidak bisa memberikan data tamu ke Anda. Meskipun Anda yang mengembalikan kunci kamarnya,” jawab respsionis itu dengan senyum ramah.
Evan memberikan tatapan dingin begitu mendengar jawaban respsionis, seolah dalam tatapan itu melontarkan sebuah pertanyaan 'apa maksudmu?', bahkan dia sampai mengepalkan telapak tangan karena geram sebab pihak hotel merahasiakan nama wanita yang tidak sengaja tidur dengannya.
“Apa kamu tahu kalau ini sangat penting. Berikan informasi tentang orang yang memesan kamar ini!” perintah Evan dengan nada paksaan.
Resepsionis itu mengulas senyum, hingga kemudian kembali berkata, “Maaf, saya hanya menjalankan prosedur hotel. Jadi mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa memberikan informasi yang Anda minta.”
Evan benar-benar geram. Dia bertekad menemukan wanita yang ditidurinya karena takut jika wanita itu memanfaatkan dirinya saja. Hingga Evan teringat akan pelayan hotel yang sudah berbohong kepadanya semalam dan memberikan kamar yan seharusnya tidak didatangi.
"Pihak hotel ini sudah merugikan saya. Apa kalian ingin saya menuntut!" Evan berusaha menekan, karena baginya mendapat informasi tentang wanita yang ditidurinya lebih penting.
"Minta respsionis yang semalam berjaga, untuk menemui saya!" Evan kembali bicara dengan sedikit penekanan agar mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan dia sampai mengetuk meja, menunjukkan kalau dia tidak sabar menanti.
"Mohon maaf, tapi kami tidak mendapati indikasi kekerasan di sini, serta tamu yang memesan kamar itu pun tidak melakukan komplain, jadi kami tidak bisa membantu," ujar resepsionis itu penuh kesabaran, meski dalam hatinya ingin mengumpat karena Evan terus bicara dengan keras.
"Untuk staff yang berjaga semalam. Anda bisa datang kembali nanti malam, untuk menanyakan masalah yang Anda alami saat ini," ucap resepsionis dengan ramah. "Staff hotel sudah melakukan pekerjaan sesuai prosedur, jadi kami tidak bisa membantu banyak untuk keluhan Anda."
Evan geram, hingga kemudian pergi meninggalkan meja resepsionis tanpa kata, lantas keluar dari hotel dengan rasa kesal yang bercokol di dada. Saat baru saja keluar dari hotel, ponselnya berdering dan nama sepupunya terpampang di sana.
“Aku dengar kamu ada urusan bisnis di sini, kenapa tidak mampir ke rumah?” Suara seorang pria terdengar dari seberang panggilan.
Evan terlihat berpikir. Dia tidak mungkin melepas masalah semalam begitu saja, karena cemas jika jebakan semalam hanya untuk menjatuhkannya. Hingga dia pun berpikir untuk menginap beberapa hari di sana sambil menyelidiki apa yang terjadi.
“Ya, aku ada urusan bisnis di sini. Katakan pada paman dan bibi, aku akan mampir ke sana,” ucap Evan kemudian, sebelum akhirnya mengakhiri panggilan itu.
**
“Kenapa kamu terus menatap ponsel?” tanya Stef—sepupu jauh Evan.
Evan sedang menunggu kabar dari Albert—asistennya, tapi sampai saat ini sang asisten belum juga menghubunginya lagi. Evan pun menatap Stef yang sudah memandang dirinya, kemudian mendengkus kasar dan meletakan ponsel di meja.
“Menunggu informasi dari asistenku,” jawab Evan dengan ekspresi wajah kesal.
“Semalam kamu menginap di mana? Kenapa tidak langsung mampir ke sini?” tanya Stef lagi. Pemuda berumur dua puluh tiga tahun itu mengambil camilan di piring dan memasukkan ke mulut dengan tatapan terus tertuju ke Evan.
Evan menghela napas kasar, dia tidak mungkin mengatakan ke Stef jika sudah meniduri seorang gadis perawan, hingga Evan pun hanya menjawab, “Queen Hotel.”
“Benarkah?” Stef langsung menegakkan badan mendengar jawaban Evan, hingga dia buru-buru mengunyah makanan di mulut, sebelum kemudian berkata, “Semalam aku mengadakan pesta kelulusan di sana.”
Evan kini yang terkejut dan menatap Stef dengan rasa tidak percaya. “Pesta di sana?”
“Ya, kami menyewa ballroom di sana untuk pesta. Kalau saja tahu kamu di sana, sudah pasti aku akan mengajakmu juga,” ucap Stef kemudian.
Evan terlihat berpikir, mungkinkah wanita yang ditidurinya adalah teman Stef, tapi rasanya itu aneh dan tidak mungkin. Mana mungkin teman Stef menginap di hotel.
Saat Evan sedang berpikir, ponsel milik Stef berdering. Evan melihat sepupunya itu langsung menjawab panggilan itu. Evan pun memilih untuk menikmati secangkir kopi yang disediakan. Dia dan Stef duduk di teras rumah.
“Ya, Re. Kamu di depan gerbang? Oke, aku ke sana sebentar.” Stef memandang ke arah gerbang, memastikan orang yang menghubunginya benar-benar ada di depan gerbang.
“Ada apa?” tanya Evan saat melihat Stef berdiri.
“Temanku datang, aku akan menemuinya sebentar,” jawab Stef yang kemudian buru-buru berdiri dan pergi ke arah gerbang.
Evan sendiri hanya mengangguk dan kembali menikmati kopinya. Dia lantas menoleh ke arah Stef pergi dan melihat seorang gadis berdiri di depan gerbang. Evan memperhatikan punggung gadis berambut panjang itu, dahinya berkerut karena merasa seperti pernah melihat.
Stef sendiri buru-buru menghampiri temannya yang tidak lain adalah Renata. Wanita itu kini menunggu Stef datang sambil sesekali menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan.
“Re!” panggil Stef kemudian membuka gerbang.
Renata menoleh dan melotot, sebelum kemudian menghujani Stef dengan pukulan bertubi.
“Re, ampun! Ya Tuhan, kamu datang hanya buat mukulin aku!” Stef pun berusaha menghindari pukulan Renata.
“Kamu sih! Gara-gara kamu, semalam aku mabuk berat dan terkena cibiran pamanku lagi!” amuk Renata yang baru saja berhenti memukul.
“Maaf, aku tidak berniat begitu.” Stef pun merasa bersalah. Dia tahu bagaimana paman Renata yang sangat membenci sahabatnya itu.
Renata memandang ke rumah Stef, melihat Evan yang duduk dan ternyata juga memperhatikan ke arahnya.
“Kamu sedang ada tamu?” tanya Renata.
Stef menoleh ke arah Evan, hingga kemudian mengangguk dan menjawab, “Ya, itu sepupuku dari luar kota. Dia di sini untuk urusan bisnis beberapa hari.”
Renata mengangguk-angguk paham, hingga kemudian berkata, “Ya sudah kalau begitu, aku tidak akan mengganggu.”
“Memangnya ada apa? Kamu butuh teman curhat?” tanya Stef yang melihat kegelisahan dalam tatapan Renata.
Renata mencoba tersenyum, kemudian menggelengkan kepala.
“Nggak juga, hanya ingin bertemu denganmu. Mungkin next time, aku akan menghubungimu lagi saat kamu sudah ada waktu,” ucap Renata yang kemudian berpamitan untuk pergi.
“Re, yakin kamu tidak mau curhat?” tanya Stef sambil menahan tangan Renata. Stef tahu jika Renata sampai mendatangi rumahnya, pasti ada masalah besar yang sedang dihadapi.
“Ga kok, santai aja. Ntar aku calling kamu, ya.” Renata membuat gerakan menelepon dengan jarinya, masih mempertahankan senyum, sebelum kemudian pergi meninggalkan Stef.
Evan terus memperhatikan Renata, merasa tidak asing tapi lupa di mana melihat wanita itu. Dia pun masih memperhatikan Renata yang sedang bicara dengan Stef, sebelum kemudian ponselnya berdering dan nama Albert terpampang di sana. Evan pun menjawab panggilan itu, tepat saat Renata berpamitan pergi.
“Halo, bagaimana?” tanya Evan begitu menjawab panggilan itu.
“Saya sudah mengecek jadwal perjalanan bisnis dan siapa saja yang dihubunginya, tapi semuanya tidak ada yang mengarah ke jadwal perjalanan Anda,” ucap Albert dari seberang panggilan.
Evan terdiam, dia mencurigai satu nama yang mungkin menjebaknya, tapi tidak menemukan bukti untuk menuduhnya.
“Terus minta orang untuk memantaunya. Aku benar-benar yakin jika itu dia.”
Setelah mengakhiri panggilan itu, Stef datang menghampiri setelah bicara dengan Renata.
“Kenapa temanmu tidak masuk?” tanya Evan penasaran.
“Oh, sepertinya dia sedang ada masalah. Dia mau bicara denganku, tapi tidak enak karena ada kamu. Jadi dia memilih pergi dan akan menemuiku lagi nanti,” jawab Stef.
Evan kembali menoleh ke arah gerbang, masih penasaran karena merasa pernah melihat Renata.
“Ada apa?” tanya Stef ketika melihat Evan yang terlihat berpikir.
“Tidak ada.”
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora