Evan pergi ke Queen Hotel untuk kembali bertemu dengan resepsionis yang semalam memberinya kunci kamar lain, sehingga dia terjebak dan akhirnya tidur dengan wanita yang tidak dikenalnya.
“Aku ingin bertemu dengan staff yang berjaga di sini tadi malam,” kata Evan ke staff yang berjaga di bagian penerima tamu.
Staff itu malah terlihat bingung, menoleh dan terlihat berbisik dengan staff lain, membuat Evan memicingkan mata karena tidak senang dengan sikap resepsionis itu.
“Jika ada masalah, bisakah kamu mengatakan langsung dan jangan berbisik di depan tamu!” bentak Evan yang geram. Dia sudah cukup bersabar menunggu sampai sore agar bisa bertemu staff itu, tapi sekarang malah harus melihat sikap staff lain yang sangat tidak mengenakkan.
Staff itu meminta maaf, kemudian dengan hati-hati bicara. “Maaf atas ketidaknyamanan yang Anda rasakan. Staff yang Anda maksud dan berjaga di sini semalam, tadi pagi ditemukan tewas di rumahnya karena bunuh diri.”
Tentu saja hal itu membuat Evan sangat terkejut. Dia sampai tidak bisa berkata-kata dan menatap staff hotel itu dengan rasa tidak percaya.
“Sebenarnya ini rahasia. Namun, karena Anda semalam merasa mendapatkan perlakuan buruk dan ingin meminta pertanggungjawaban darinya, jadi saya berpikir untuk menceritakan yang terjadi sebenarnya.”
Evan terlihat berpikir, kenapa semua kejadian terasa begitu aneh untuknya. Dijebak agar tidur dengan wanita panggilan, saksi yang mengarahkan dirinya ke kamar itu mati bunuh diri, lalu sekarang apa?
Evan pun akhirnya berterima kasih karena diberi informasi itu. Dia masih tidak menemukan titik terang dari masalahnya. Bahkan dia sudah meminta orang untuk melacak wanita panggilan yang semalam memberinya obat perangsang, tapi ternyata wanita itu juga menghilang.
Evan sudah berupaya meminta pihak hotel untuk membuka rekaman Cctv semalam, tapi karena di sana tidak ada bukti jika terjadi tindak kriminal, membuat pihak hotel menolak memperlihatkan rekaman Cctv di sana, membuat Evan semakin frustasi.
**
“Kamu yakin jika baik-baik saja? Hanya itu yang ingin kamu ceritakan?” tanya Stef saat Renata datang ke rumah dan menceritakan tentang sikap sang paman ke pemuda itu.
Renata memang biasa bercerita ke Stef untuk sedikit meringankan beban pikirannya, tapi kali ini dia tidak menceritakan semuanya, karena malu sudah tidur dengan pria tidak dikenal, membuat Renata menutup rapat rahasia itu untuk dirinya sendiri, selama tidak terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya.
“Ya, aku sedikit lega setelah bercerita denganmu,” ucap Renata sambil mengembangkan senyum.
Stef memperhatikan wajah Renata yang sedikit pucat, bahkan tadi siang saat datang juga sudah seperti ini, membuat pemuda itu cemas dengan kondisi Renata.
“Wajahmu terlihat pucat, Re. Apa karena kejadian semalam? Maaf aku sudah membuatmu banyak minum. Andai kamu bilang kalau mau pulang, pasti aku akan mengantarmu,” ujar Stef sambil menggenggam telapak tangan Renata.
Mereka memang sangat dekat, bahkan karena terlalu dekat sehingga banyak teman-teman mereka yang berpikir jika Stef berpacaran dengan Renata.
“Sepertinya aku hanya kurang tidur, Stef. Semalaman kepalaku pusing dan muntah,” kilah Renata agar Stef tidak curiga dengan yang terjadi kepadanya.
Stef melepas genggaman tangannya, lantas menatap Renata lekat dan terus memindai ekspresi wajah gadis itu.
“Setelah ini kamu mau melamar bekerja di mana?” tanya Stef.
“Entahlah. Kamu tahu aku suka musik, mungkin keliling dunia dan bermain musik dengan bebas,” jawab Renata dengan senyum lebar, bahkan membuat kedua matanya menyipit.
Stef tersenyum kecil mendengar jawaban Renata, hingga terlihat jelas di gurat wajahnya jika ada yang ingin diungkapkan tapi tidak bisa diungkapkan.
“Re, aku--” Stef ingin mengatakan sesuatu, tapi terjeda saat melihat Renata menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan.
“Stef, aku harus pulang, atau pamanku akan mengomel sampai malam. Terima kasih karena selalu menjadi pendengar setiaku, aku akan memberimu kabar jika sudah memutuskan mau ke mana,” ucap Renata sambil berdiri dan membetulkan letak tali tas di pundak.
Stef ingin kembali bicara, tapi ditahan karena Renata terlihat terburu-buru. Dia paham jika Renata pasti malas berdebat dengan sang paman jika pulang terlambat.
“Oke, hati-hati di jalan.”
Renata mengangguk, lantas berjalan ke arah gerbang karena mobilnya terparkir di luar gerbang rumah Stef.
Saat Renata berjalan menuju gerbang, mobil milik Evan memasuki gerbang dan pria itu melihat Renata berjalan. Sejenak pandangan Evan tertuju ke Renata, dia ingat jika Renata adalah gadis sama yang datang menemui Stef siang tadi, hingga kali ini Evan bisa melihatnya dengan jelas.
Tepat saat Renata berjalan sejajar dengan mobil Evan, jantung pria itu berdegup dengan cepat, seolah ada sesuatu yang membuatnya gelisah ketika melihat tatapan dan senyum Renata, meski tidak ditunjukkan secara langsung untuknya. Namun, meski begitu Evan terlihat tidak peduli dan terus memacu mobil masuk ke garasi rumah sepupunya.
“Tidak ada gelagat mencurigakan. Dia benar-benar melakukan pekerjaan dan kegiatan seperti biasanya, Pak.”Sudah beberapa hari semenjak kejadian yang menimpa Evan. Dia pun tidak mendapatkan bukti kejahatan orang yang dicurigainya, serta tidak menemukan wanita panggilan yang menjebaknya. Semua ini membuat Evan benar-benar cemas.Evan terlihat berpikir mendengar laporan dari asistennya. Dia menyangga dagu dengan kepalan tangan, sedangkan siku bertumpu di meja.“Apa kamu sudah memastikannya? Bagaimana dengan asistennya atau orang yang dekat dengannya? Apakah kamu sudah memantaunya semua?” tanya Evan merasa tidak puas dengan laporan Albert, jangan sampai dia lengah dan memberikan celah untuk musuhnya menyerang.“Saya sudah memastikan semua, Pak. Saya bahkan meminta orang untuk terus mengawasi, tapi apa yang dilakukan tidak ada yang mencurigakan,” ujar Albert meyakinkan jika laporannya tidak salah.Evan kembali berpikir. Dia benar-benar buntu dan tidak mendapatkan titik terang sama sekali,
“Ga, ini ga mungkin.”Renata menyugar rambut bagian depannya sambil diremas, sedangkan satu tangan memegang sebuah alat tes kehamilan di tangan.Renata merasa ada yang aneh dengan tubuhnya beberapa hari ini. Dia bahkan baru ingat jika belum datang bulan dan membuatnya panik ketika ingat kejadian sebulan lalu. Kini ketakutan Renata terbukti, saat melihat dua garis merah di tangan.“Ga, ini ga mungkin! Ini ga mungkin terjadi!” Renata melempas testpack dengan garis dua itu ke tempat sampah, dia tidak bisa menerima kenyataan jika sedang hamil.Renata meremas perutnya, masih banyak impian yang ingin digapai saat ini. Renata tidak mau hamil, apalagi hamil di luar nikah. Namun, sekuat apa pun dia berusaha memungkiri, tapi jika takdir sudah berkata, Renata tidak bisa mengubahnya.**Evan seharian tidak fokus bekerja, membuat pria itu memilih pulang dan istirahat di apartemen. Dia terus saja merasa mual dan pusing, meski sudah meminum obat yang diresepkan Max.“Kalau sakit ke rumah sakit, kena
“Sangat menggemaskan.” Renata menatap bayi yang baru saja lahir dan kini berada di ruang perawatan bayi. Beberapa bayi di sana terlihat masih memejamkan mata dan begitu lucu. Dia memegangi perut dan kemudian berpikir keras akan keputusan yang akan diambilnya. Renata memejamkan mata, mengingat momen saat melihat bayi di rumah sakit membuatnya mengambil keputusan yang begitu mencengangkan. Saat ke rumah sakit untuk konsultasi tentang prosedur pengguguran, Renata malah urung melakukan niatnya saat melihat bayi-bayi tidak berdosa yang tidur dengan lelap dan sangat damai. Hingga pada akhirnya, ketika Veronica memberinya sebuah pilihan, Renata memilih mempertahankan janin di rahimnya, karena dia tidak mau menggugurkannya. Sudah cukup dosanya tidur dengan pria yang tidak dikenal, Renata tidak mau menambah dosa dengan membunuh bayi di rahimnya. Kini dia berdiri menatap pematang sawah yang luas, kemudian melirik biola yang ditenteng di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang perut. “M
“Penampilanmu selalu luar biasa.”Evan menyodorkan buket bunga mawar sambil memuji wanita yang kini berdiri di hadapannya.“Kamu memuji atau merayu? Padahal tidak selalu datang di konser yang aku ikuti, tapi kamu bisa menyimpulkan kalau penampilanku selalu luar biasa. Kamu pembual,” balas Kasih—sahabat dan wanita yang disukai Evan. Dia tertawa kecil setelah berhasil meledek sahabatnya itu.Evan menggeleng kepala dengan seulas senyum di wajah, hingga mendengar Kasih kembali bicara.“Oh ya, aku pernah cerita kalau kenal dan dekat dengan wanita luar biasa, bukan?” Kasih mengingat akan sesuatu yang pernah diceritakan.“Ya, kenapa?” tanya Evan keheranan.“Ayo, aku kenalkan dengannya. Konser kali ini dia diundang untuk tampil, dia ini wanita yang bagiku sangat luar biasa. Bahkan lebih luar biasa dariku,” ucap Kasih bicara dengan nada berlebihan.Evan tidak banyak tanya dan memilih untuk mengikuti Kasih yang mengajaknya bertemu dengan wanita itu. Kasih adalah wanita yang hendak ditemuinya tu
“Dhira kembali manggil pria asing sebagai papa, Ma.” Dharu mengadukan tingkah adiknya itu ke sang mama yang baru saja masuk ke kamar hotel. Andharu Candrama dan Andhira Candrama adalah anak kembar Renata, anak yang Renata pertahankan tujuh tahun lalu. Renata yang awalnya ingin mengugurkan, malah begitu bahagia karena sudah diberi anugerah anak kembar untuk menemani kesepiannya. Renata langsung menatap Dhira yang berdiri di belakang sofa, mengintip dari sana dengan bibir terlipat. “Dhira hanya main, siapa tahu dapat Papa.” Gadis kecil itu membela diri karena diadukan oleh sang kakak. Renata menghela napas kasar. Ini bukanlah pertama kali Dhira meminta pria asing menjadi papanya, atau berkata kalau pria asing itu papanya. Dharu berpikiran lebih dewasa daripada Dhira, dia mengambil kotak biola dari sang mama, membawanya ke dekat koper, kemudian mendekat ke arah sang mama yang sudah menghampiri Dhira terlebih dahulu. “Bukankah mama sudah bilang agar jangan memanggil pria asing dengan
Evan duduk di sofa kamar hotel yang ditempatinya. Dia menggigit pelan kepalan tangan, sambil memikirkan Renata. Semua yang didengarnya dari Kasih, seketika membuat Evan gelisah dan tidak bisa tenang.“Bisa saja setelah malam itu dia menikah, lalu punya anak dan kemudian berpisah karena sakit hati, hingga membuatnya tidak mau menceritakan tentang mantan suami ke orang lain.”Evan menolak pemikiran kalau Renata melahirkan anak darinya, dia terus mengelak dan berusaha meyakinkan jika semua yang terjadi adalah hal yang sangat kebetulan.Namun, saat ingat ucapan Kasih tentang kemiripian Dharu dan dirinya, membuat Evan kembali gelisah, apalagi dia juga merasa kalau Dharu memang mirip dengannya saat masih kecil, sehingga saat pertama kali dia melihat Dharu, Evan merasa melihat dirinya saat masih kecil.“Sialan!” Evan memukul sofa karena geram karena pemikiran yang pro dan kontra di kepalanya saat ini.Dia kembali menggigit kepalan tangan, sampai kemudian mengingat kejadian malam itu. Kejadia
“Boleh Dhira makan cake strawbery pagi ini?”“Pagi-pagi jangan makan cake, nanti gemuk.”Dhira mengerucutkan bibir karena apa yang diinginkan, dibantah oleh Dharu, membuat kedua saudara kembar itu saling debat.Renata menggeleng kepala pelan sambil tersenyum mendengar perdebatan anaknya itu, sudah biasa dan kebal jika keduanya bertengkar karena selisih paham.“Aku minta sama Mama, bukan sama kamu. Mama boleh, ya!” rengek Dhira sambil menarik tangan Renata yang menggenggam telapak tangannya.“Jangan kasih, Ma. Lihat giginya sudah habis, pipinya makin chubby. Begitu bilangnya mau seperti idol. Apanya? Tidak mirip,” celetuk Dharu masih mencoba menghalangi Dhira makan kue.“Dharu jelek, nakal. Dhira ga suka!” Dhira merajuk karena terus dicegah Dharu.“Biarin saja, siapa bilang aku jelek. Mama selalu bilang, ‘Anak mama yang tampan.’ Nah, berarti aku tampan,” elak Dharu menirukan Renata saat sedang memujinya.Dhira memayunkan bibir, hingga terlihat kesal dan membuang muka karena Dharu terus
[Selama ini dia tinggal di sebuah pedesaan. Hamil, melahirkan, dan membesarkan anak kembarnya sampai usia dua tahun, kemudian pindah ke kota dan bekerja sebagai guru les biola di sekolah swasta. Saat anak-anaknya berumur lima tahun, dia bisa mendirikan sekolah musik sendiri, meski tempat yang digunakan masih kontrak, serta dia juga mulai ikut audisi untuk bisa bermain dengan grup orkestra luar negeri. Jadi kesimpulannya, selama tujuh tahun ini, dia tidak ada jejak menikah atau dekat dengan pria. Dan, tanpa saya sebutkan, Anda pasti bisa menebak.] Evan terdiam membaca pesan dari Albert, hingga kemudian membuka file yang dikirimkan bersama pesan itu, hingga melihat dengan jelas jika di Akta lahir juga kartu keluarga, tidak ada nama ayah Dhira dan Dharu. Dia mencengkram erat ponsel itu, lantas menoleh ke arah Renata yang terduduk lemas menunggu dokter selesai menangani Dhira. Renata menunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dia sedang merutuki kebodohannya karena tidak