“Dari mana saja kamu semalaman tidak pulang? Lihat pakaianmu itu, kemeja siapa itu?”
Begitu menginjakkan kaki di rumah, Renata langsung dicecar banyak pertanyaan oleh sang paman. Ya, Renata selama ini tinggal bersama paman dan neneknya. Sang paman memang belum menikah, meski usianya hampir menginjak kepala empat.
Renata terlihat malas mendengar pertanyaan sang paman, hingga kemudian menjawab, “Ada pesta perpisahan, semalam aku menginap di rumah teman karena sudah sangat larut. Kemeja ini pinjam, karena udaranya dingin.”
Veronica—nenek Renata hanya diam dan memperhatikan cucunya itu, sedangkan Kevin—paman Renata, menatap sinis dan tidak percaya dengan jawaban Renata.
“Pesta perpisahan? Menginap di rumah teman? Apa kamu yakin jika itu bukan hanya dalih untuk menutupi kelakuanmu!” tuduh Kevin dengan senyum mencibir.
“Terserah Paman mau bicara apa, bukankah apa pun yang aku jelaskan, tidak pernah Paman percayai!” ketus Renata. Dia sudah biasa menghadapi sikap pamannya yang selalu meremehkan dan terus memojokkan dirinya.
Kevin kesal karena Renata selalu membantah ucapannya, hingga pria itu kemudian berkata, “Kamu ini memang pembawa sial, tidak guna, hanya bisa menyusahkan. Kuliah saja ambil jurusan musik, mau jadi apa kamu! Ga ada manfaatnya, sudah begitu sering kelayaban dan hanya bisa menghambur-hamburkan uang!”
Renata mengepalkan telapak tangan yang ada di samping tubuh, bukankan sudah biasa jika dia sering dihina seperti ini. Dia pun mencoba menahan amarahnya karena tahu jika sang nenek tidak suka jika dia membantah orang yang lebih tua.
“Kamu ini sudah membuat kedua orangtuamu kecelakaan dan meninggal! Apalagi yang belum kamu lakukan di keluarga ini, menyebar aib!”
Renata sangat terkejut mendengar ucapan sang paman. Dia mencoba menahan diri, serta agar tidak terpancing emosi serta mencoba menutupi kejadian yang menimpanya.
“Sudah! Berhenti berdebat! Kalian menghancurkan mood pagiku!” bentak Veronica sambil menatap Kevin dan Renata bergantian.
Kevin memalingkan wajah, sedangkan Renata hanya menunduk.
“Bersihkan dirimu! Lihat di cermin betapa buruknya penampilanmu itu! Orang yang tidak kenal, akan menganggapmu seperti wanita murahan yang baru saja melayani pria hidung belang!” hardik Veronica ke Renata.
Renata cukup terkejut mendengar ucapan Veronica. Ya, dia baru saja melayani pria yang entah siapa dan seperti apa wajahnya, karena semua yang terjadi bukan atas kehendaknya.
Renata pun memilih segera masuk ke kamar, menghindari sang paman yang tidak akan ada habisnya menghina dirinya.
Renata tidak langsung mandi. Dia duduk di tepian ranjang dan menatap lengan yang tertutup kemeja pria yang menidurinya. Dia masih terus mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, tapi buntu. Tidak ada ingatan apa pun yang tersisa di kepala atas kejadian semalam.
“Sial! Kenapa aku tidak ingat?” Renata frustasi sampai-sampai mengacak rambutnya.
Saat Renata sedang stres dengan hal yang dialaminya, ponsel berdering dan nama Stef terpampang di sana.
“Re, kamu di rumah, ‘kan? Kenapa semalam tidak bisa dihubungi, aku cemas kamu pergi gitu saja dari pesta.” Suara Stef terdengar dari seberang panggilan.
“Kamu emang kebangetan, sudah bikin aku mabuk hingga--” Renata menjeda ucapannya dengan cepat, tidak mungkin dia berkata jika mabuk hingga tidur dengan seorang pria.
“Hingga apa, Re? Re!”
Renata hampir keceplosan, dia lagi-lagi menyugar rambut ke belakang, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskan.
“Tidak apa-apa. Stef. Nanti aku akan ke rumahmu.”
Renata mengakhiri panggilan itu, sebelum kemudian merebahkan tubuh ke kasur, memandang langit-langit kamar dengan pikiran yang menerawang jauh. Dia merasa menjadi pembawa sial, karena orangtuanya meninggal sebab dirinya. Atau itulah yang sang paman tuduhkan kepadanya.
Andai bisa memutar waktu, maka dia akan kembali ke masa di mana kedua orangtuanya sebelum meninggal.
**
Evan pun keluar dari kamar tempatnya berada sekarang. Dia sampai memesan pakaian dari sebuah market place yang bisa mengirimkan pesanan waktu itu juga, karena kemejanya diambil Renata.
Saat Evan menatap nomor kamar yang terdapat di pintu. 121, sedangkan semalam dia diberi kunci nomor 112. Evan berjalan perlahan, mencari nomor kamar yang seharusnya didatangi. Hingga langkahnya terhenti saat sampai di depan kamar 112, kemudian mencoba mengingat jika memang benar kamar itu yang didatanginya.
“Benar semalam aku di sini, lalu wanita itu menjebakku. Dan aku ….” Evan menggantung ucapannya. Dia masih bertanya-tanya, siapa yang sudah berani menjebaknya hingga hampir meniduri wanita, meski dia benar meniduri tapi bukan wanita bayaran itu.
“Aku tidak akan melepas siapapun yang berani menjebakku!”
“Saya ingin tahu, siapa yang check in kamar 221?” tanya Evan sambil mengembalikan kunci kamar ke resepsionis.“Maaf, kami tidak bisa memberikan data tamu ke Anda. Meskipun Anda yang mengembalikan kunci kamarnya,” jawab respsionis itu dengan senyum ramah.Evan memberikan tatapan dingin begitu mendengar jawaban respsionis, seolah dalam tatapan itu melontarkan sebuah pertanyaan 'apa maksudmu?', bahkan dia sampai mengepalkan telapak tangan karena geram sebab pihak hotel merahasiakan nama wanita yang tidak sengaja tidur dengannya.“Apa kamu tahu kalau ini sangat penting. Berikan informasi tentang orang yang memesan kamar ini!” perintah Evan dengan nada paksaan.Resepsionis itu mengulas senyum, hingga kemudian kembali berkata, “Maaf, saya hanya menjalankan prosedur hotel. Jadi mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa memberikan informasi yang Anda minta.”Evan benar-benar geram. Dia bertekad menemukan wanita yang ditidurinya karena takut jika wanita itu memanfaatkan dirinya saja. Hingga Evan
Evan pergi ke Queen Hotel untuk kembali bertemu dengan resepsionis yang semalam memberinya kunci kamar lain, sehingga dia terjebak dan akhirnya tidur dengan wanita yang tidak dikenalnya.“Aku ingin bertemu dengan staff yang berjaga di sini tadi malam,” kata Evan ke staff yang berjaga di bagian penerima tamu.Staff itu malah terlihat bingung, menoleh dan terlihat berbisik dengan staff lain, membuat Evan memicingkan mata karena tidak senang dengan sikap resepsionis itu.“Jika ada masalah, bisakah kamu mengatakan langsung dan jangan berbisik di depan tamu!” bentak Evan yang geram. Dia sudah cukup bersabar menunggu sampai sore agar bisa bertemu staff itu, tapi sekarang malah harus melihat sikap staff lain yang sangat tidak mengenakkan.Staff itu meminta maaf, kemudian dengan hati-hati bicara. “Maaf atas ketidaknyamanan yang Anda rasakan. Staff yang Anda maksud dan berjaga di sini semalam, tadi pagi ditemukan tewas di rumahnya karena bunuh diri.”Tentu saja hal itu membuat Evan sangat terk
“Tidak ada gelagat mencurigakan. Dia benar-benar melakukan pekerjaan dan kegiatan seperti biasanya, Pak.”Sudah beberapa hari semenjak kejadian yang menimpa Evan. Dia pun tidak mendapatkan bukti kejahatan orang yang dicurigainya, serta tidak menemukan wanita panggilan yang menjebaknya. Semua ini membuat Evan benar-benar cemas.Evan terlihat berpikir mendengar laporan dari asistennya. Dia menyangga dagu dengan kepalan tangan, sedangkan siku bertumpu di meja.“Apa kamu sudah memastikannya? Bagaimana dengan asistennya atau orang yang dekat dengannya? Apakah kamu sudah memantaunya semua?” tanya Evan merasa tidak puas dengan laporan Albert, jangan sampai dia lengah dan memberikan celah untuk musuhnya menyerang.“Saya sudah memastikan semua, Pak. Saya bahkan meminta orang untuk terus mengawasi, tapi apa yang dilakukan tidak ada yang mencurigakan,” ujar Albert meyakinkan jika laporannya tidak salah.Evan kembali berpikir. Dia benar-benar buntu dan tidak mendapatkan titik terang sama sekali,
“Ga, ini ga mungkin.”Renata menyugar rambut bagian depannya sambil diremas, sedangkan satu tangan memegang sebuah alat tes kehamilan di tangan.Renata merasa ada yang aneh dengan tubuhnya beberapa hari ini. Dia bahkan baru ingat jika belum datang bulan dan membuatnya panik ketika ingat kejadian sebulan lalu. Kini ketakutan Renata terbukti, saat melihat dua garis merah di tangan.“Ga, ini ga mungkin! Ini ga mungkin terjadi!” Renata melempas testpack dengan garis dua itu ke tempat sampah, dia tidak bisa menerima kenyataan jika sedang hamil.Renata meremas perutnya, masih banyak impian yang ingin digapai saat ini. Renata tidak mau hamil, apalagi hamil di luar nikah. Namun, sekuat apa pun dia berusaha memungkiri, tapi jika takdir sudah berkata, Renata tidak bisa mengubahnya.**Evan seharian tidak fokus bekerja, membuat pria itu memilih pulang dan istirahat di apartemen. Dia terus saja merasa mual dan pusing, meski sudah meminum obat yang diresepkan Max.“Kalau sakit ke rumah sakit, kena
“Sangat menggemaskan.” Renata menatap bayi yang baru saja lahir dan kini berada di ruang perawatan bayi. Beberapa bayi di sana terlihat masih memejamkan mata dan begitu lucu. Dia memegangi perut dan kemudian berpikir keras akan keputusan yang akan diambilnya. Renata memejamkan mata, mengingat momen saat melihat bayi di rumah sakit membuatnya mengambil keputusan yang begitu mencengangkan. Saat ke rumah sakit untuk konsultasi tentang prosedur pengguguran, Renata malah urung melakukan niatnya saat melihat bayi-bayi tidak berdosa yang tidur dengan lelap dan sangat damai. Hingga pada akhirnya, ketika Veronica memberinya sebuah pilihan, Renata memilih mempertahankan janin di rahimnya, karena dia tidak mau menggugurkannya. Sudah cukup dosanya tidur dengan pria yang tidak dikenal, Renata tidak mau menambah dosa dengan membunuh bayi di rahimnya. Kini dia berdiri menatap pematang sawah yang luas, kemudian melirik biola yang ditenteng di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang perut. “M
“Penampilanmu selalu luar biasa.”Evan menyodorkan buket bunga mawar sambil memuji wanita yang kini berdiri di hadapannya.“Kamu memuji atau merayu? Padahal tidak selalu datang di konser yang aku ikuti, tapi kamu bisa menyimpulkan kalau penampilanku selalu luar biasa. Kamu pembual,” balas Kasih—sahabat dan wanita yang disukai Evan. Dia tertawa kecil setelah berhasil meledek sahabatnya itu.Evan menggeleng kepala dengan seulas senyum di wajah, hingga mendengar Kasih kembali bicara.“Oh ya, aku pernah cerita kalau kenal dan dekat dengan wanita luar biasa, bukan?” Kasih mengingat akan sesuatu yang pernah diceritakan.“Ya, kenapa?” tanya Evan keheranan.“Ayo, aku kenalkan dengannya. Konser kali ini dia diundang untuk tampil, dia ini wanita yang bagiku sangat luar biasa. Bahkan lebih luar biasa dariku,” ucap Kasih bicara dengan nada berlebihan.Evan tidak banyak tanya dan memilih untuk mengikuti Kasih yang mengajaknya bertemu dengan wanita itu. Kasih adalah wanita yang hendak ditemuinya tu
“Dhira kembali manggil pria asing sebagai papa, Ma.” Dharu mengadukan tingkah adiknya itu ke sang mama yang baru saja masuk ke kamar hotel. Andharu Candrama dan Andhira Candrama adalah anak kembar Renata, anak yang Renata pertahankan tujuh tahun lalu. Renata yang awalnya ingin mengugurkan, malah begitu bahagia karena sudah diberi anugerah anak kembar untuk menemani kesepiannya. Renata langsung menatap Dhira yang berdiri di belakang sofa, mengintip dari sana dengan bibir terlipat. “Dhira hanya main, siapa tahu dapat Papa.” Gadis kecil itu membela diri karena diadukan oleh sang kakak. Renata menghela napas kasar. Ini bukanlah pertama kali Dhira meminta pria asing menjadi papanya, atau berkata kalau pria asing itu papanya. Dharu berpikiran lebih dewasa daripada Dhira, dia mengambil kotak biola dari sang mama, membawanya ke dekat koper, kemudian mendekat ke arah sang mama yang sudah menghampiri Dhira terlebih dahulu. “Bukankah mama sudah bilang agar jangan memanggil pria asing dengan
Evan duduk di sofa kamar hotel yang ditempatinya. Dia menggigit pelan kepalan tangan, sambil memikirkan Renata. Semua yang didengarnya dari Kasih, seketika membuat Evan gelisah dan tidak bisa tenang.“Bisa saja setelah malam itu dia menikah, lalu punya anak dan kemudian berpisah karena sakit hati, hingga membuatnya tidak mau menceritakan tentang mantan suami ke orang lain.”Evan menolak pemikiran kalau Renata melahirkan anak darinya, dia terus mengelak dan berusaha meyakinkan jika semua yang terjadi adalah hal yang sangat kebetulan.Namun, saat ingat ucapan Kasih tentang kemiripian Dharu dan dirinya, membuat Evan kembali gelisah, apalagi dia juga merasa kalau Dharu memang mirip dengannya saat masih kecil, sehingga saat pertama kali dia melihat Dharu, Evan merasa melihat dirinya saat masih kecil.“Sialan!” Evan memukul sofa karena geram karena pemikiran yang pro dan kontra di kepalanya saat ini.Dia kembali menggigit kepalan tangan, sampai kemudian mengingat kejadian malam itu. Kejadia