Ben segera merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya setelah melakukan meeting dengan pemilik Adams Corp. Pria itu merasa kelelahan luar biasa setelah mengalami hari yang panjang.
Celana yang kotor ia lempar kedalam keranjang cucian kotor yang terdapat di sudut ruangan. Karena merasa gerah, Ben segera mengendurkan dasi yang mencekik lehernya dan menyalakan air conditioner.Begitu udara yang dihasilkan oleh AC itu memenuhi ruangan, Ben segera menutup matanya. Ia ingin tidur hari ini dan berencana akan pergi ke klub malam nanti untuk mencari wanita yang bisa diajak tidur dengannya.Rasa rileks dapat Ben rasakan saat ini. Dirinya hampir saja terlelap sebelum bantingan pintu yang kasar dan juga keras menghancurkan niatnya, hingga matanya kembali terbuka dengan sempurna."Sialan! Kau tak bisa membuka pintu dengan lebih santai?" Hardik Ben seraya menatap tajam si pelaku yang saat ini tengah memasang wajah tak berdosa. Ben ingin sekali mencekik orang itu andai saja ia tak ingat jika orang yang membanting pintu barusan adalah kembarannya."Maaf, aku kira pintumu tak akan berbunyi sekeras itu saat aku banting," sahut pria itu dengan wajah datar, lalu segera mendudukkan pantatnya di kasur milik Ben tanpa permisi."Kau mau apa, Steve? Keluarlah dari kamarku!""Aku hanya ingin minta tolong padamu, brengsek. Kalau tak terpaksa, aku juga enggan meminta pertolonganmu," jawab Steve keras membalas bentakan adik kembarnya dengan nada yang naik beberapa oktaf.Ben memutar mata malas, lalu ikut bangun dan mendudukkan tubuhnya tepat di samping kakak kembarnya itu."Kau butuh apa?""Aku ingin kau membelikan cemilan untukku di supermarket yang sering kita kunjungi,""Kenapa kau tak membeli sendiri? Apa kakimu mendadak lumpuh?" Sarkas Ben dengan nada mengejek yang begitu kentara terdengar di wajah tampannya."Lalu apa apaan warna rambutmu itu? Kau mau cosplay menjadi permen kapas atau semacamnya?" Ben menunjuk rambut milik Steve yang berwarna pink lembut.Steve menutup telinganya dengan tangan saat mendengar ocehan Ben yang terdengar memekakan telinga. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menatap adik kembarnya itu dengan tatapan selembut yang ia bisa, walau rasa ingin menghujat jauh lebih besar. Akan tetapi, demi cemilan, Steve harus menahan kata kata mutiara untuk adiknya itu."Sebentar lagi aku akan syuting film terbaru, makanya aku mewarnai rambutku menjadi seperti ini," balas Steve singkat.Ia merogoh saku celana hitamnya dan mengeluarkan dompet bermerek terkenal, lalu mengeluarkan kartu debit pada adik sintingnya itu."Dan lagi, aku harus ke tempat pemotretan sekarang. Makanya aku menyuruhmu untuk membeli cemilan. Setelah itu, kau antar ke tempat pemotretanku. Oke?"Ben tak menjawab ucapan kakak kembarnya itu. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar, setelah sebelumnya mengambil kunci mobil yang berada di atas nakas.Pria itu melewati Steve begitu saja tanpa ada niatan mengambil kartu debit yang disodorkan padanya. Steve menggelengkan kepala melihat tingkah adik kembarnya yang terlihat lucu untuk dilihat itu.Mata Steve beralih pada sebuah foto yang terlihat cukup terawat di balik kartu kredit yang ada di dompetnya. Foto seorang wanita cantik berwajah boneka yang tengah tersenyum senang sambil berpose layaknya anak kucing. Ia mengelus foto itu dan menghela napas kasar."Gadis manis, sebenarnya kau ada dimana? Mengapa kau menghilang saat aku akan mengetahui nama aslimu?"...Ben segera memarkirkan mobilnya menuju tempat parkiran yang tersedia di supermarket itu. Setelah selesai, ia segera masuk dan mengambil troli lalu berjalan menuju lorong tempat cemilan berada.Saat memilih kue kering yang tersedia, mata coklat milik Ben tak sengaja melihat seorang wanita berambut hitam panjang yang mencuri perhatiannya. Itu adalah Ivy.Dari jarak dekat, Ben bisa melihat jika Ivy tengah menyusun beberapa kue kering dan cemilan di rak yang persediaannya sudah menipis atau bahkan habis. Dengan cekatan, tangan mungil itu menaruh dan menyusun makanan ringan di rak yang lebih tinggi darinya.Ben yang penasaran segera menghampiri Ivy, lalu menepuk bahu wanita yang lebih pendek darinya itu. Ivy tersentak dan segera membalikkan badannya melihat seorang pria jangkung yang ia temui tadi.Mata hijau milik Ivy membulat sempurna seperti hendak keluar dari tempatnya. Gadis itu memasang raut wajah takut walau hanya sesaat, membuat Ben merasa bingung hingga menaikkan alisnya melihat ekspresi wanita itu. Namun dengan cepat, ia segera tersenyum ramah."Ya, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?""Kau bekerja disini?" Tanya Ben retoris dengan nada pelan. Ivy menganggukkan kepalanya sembari tersenyum manis."Benar, saya bekerja disini," sahut Ivy ramah.Saat ini, Ben adalah pelanggan. Maka dari itu, ia harus memperlakukan Ben dengan baik jika tidak mau kena teguran ataupun surat peringatan dari bosnya. "Anda membutuhkan sesuatu?""Nope. Aku hanya ingin memastikan apakah itu kamu atau bukan," yang Ben dengan nada datar, lalu segera memalingkan tatapannya kearah lain, enggan bertatapan dengan Ivy hingga membuat gadis itu kebingungan."Oh begitu," sahut Ivy singkat lalu hendak melanjutkan kembal pekerjaannya. Saat akan kembali membereskan Snack yang belum di letakkan di rak, tiba tiba saja tangannya ditahan oleh Ben yang saat ini menatap tajam kearahnya."Kau mau kemana?""Kembali melanjutkan pekerjaan, Tuan,""Lalu dimana little devil yang menjagamu?" Tanya Ben sambil bersidekap dada, menatap Ivy dengan tatapan dominan yang begitu kental, menuntut jawaban dari wanita mungil yang berdiri di depannya itu."Little devil?" Beo Ivy mengulang kembali pertanyaan Ben yang dilontarkan padanya. Wanita itu memiringkan kepala sambil menatap Ben dengan tatapan polos yang penuh tanda tanya.Ben menahan napas. Ekspresi Ivy saat ini sangatlah tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Pria itu merasakan jika jantungnya berdetak kencang seolah akan keluar dari dadanya, serta perasaan aneh yang menyusup kedalam hatinya, seolah ia sudah bertemu dan melakukan hubungan lebih dengan gadis boneka itu."Jangan menatapku seperti itu. Kau juga tahu dengan pasti siapa yang kumaksud""Saya tidak tahu, Tuan. Makanya saya bertanya pada anda,"Ben menghela napas panjang melihat kepolosan yang terpancar dari wajah Ivy. Pria itu segera mendekatkan dirinya dan berbisik tepat di telinga wanita beranak dua itu."Bocah laki laki yang tadi bersamamu,"Ivy berjengit kaget saat bisikan halus itu terdengar di telinganya. Dirinya hampir saja melompat kebelakang andai saja tak bisa mengendalikan diri"Tuan, anda membuat saya kaget!" Pekik Ivy yang tentu menuai perhatian dari para pelanggan yang saat ini memilih snack di daerah itu.Sadar dengan perilakunya yang membuat orang lain tak nyaman, Ivy segera membungkukkan kepalanya, meminta maaf karena sudah membuat keributan.Para pelanggan kembali mengalihkan pandangannya dari Ivy. Gadis itu menatap Ben dengan tatapan tajamnya yang justru terlihat seperti anak kucing yang tengah marah."Jika yang anda maksud adalah Terry, anak itu sedang berada di rumah bersama dengan adiknya," sahut Ivy kembali melanjutkan aktivitasnya menyusun Snack di rak.Ben mengekori Ivy dan berdiri tepat dibelakang wanita muda itu. Ben baru menyadari jika Ivy ternyata sangatlah pendek, hanya sebatas dadanya saja.Tubuh gadis itu begitu mungil dan sangat cantik yang tentu menarik perhatian, terutama kaum adam yang menginginkan wanita submissive."Lalu kenapa kau malah bekerja disini disaat anakmu ada di rumah? Dimana suamimu?""Mengapa anda menanyakan suami saya?" Tanya Ivy pelan, merasa tak nyaman dengan topik pembahasan yang Ben angkat. Ini adalah pembahasan yang normal, namun entah kenapa terlalu sensitif untuk Ivy. wanita muda itu merasa jika Ben terlalu ingin tahu akan urusan pribadinya."Kau masih punya hutang tentang celanaku yang kotor gara gara anak perempuanmu, omong-omong," Ben mengingatkan dengan nada rendah, membuat bulu kuduk Ivy merinding disko karenanya. "Dan lagi, kau bisa meminta pada suamimu untuk ganti rugi yang kau lakukan padaku. Jadi, aku tanya sekali lagi, dimana suamimu?"Wanita muda itu ingin meninggalkan Ben saat ini, berlari sejauh mungkin dari pria itu. Tatapan mengintimidasi dan mendominasi yang Ben keluarkan membuatnya tak nyaman seolah tercekik. Hanya saja ia tak bisa melakukannya untuk sekarang. Ivy tak mau dilaporkan oleh Ben pada atasannya dengan alasan tak melayani konsumen dengan baik yang berakhir dengan pemotongan gaji. Tidak! jangan sampai hal itu terjadi padanya."
"Ini, cemilanmu," Ben menyodorkan satu kantong keresek besar berisi snack, kue kering dan beberapa minuman botol pesanan kakak kembarnya. Steve segera meraih kantung keresek itu dengan hati riang. Pria itu berjalan menuju ke sebuah sofa yang berada di sudut ruangan, mengabaikan Ben yang berdiri mematung disana. Ben mengumpat dalam hati melihat perilaku Steve yang menurutnya kurang ajar. Bukannya berterima kasih, pria itu malah melenggang meninggalkan dirinya sendirian disana seperti orang bodoh. Dengan kesal, Ben segera menghampiri Steve yang saat ini tengah duduk santai di sofa sambil membuka snack dan kue kering yang tadi ia beli."Bukannya berterima kasih, kau malah meninggalkanku disana seperti orang bodoh," gerutu Ben kesal. Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa single terpisah yang berada di sebelah Steve sambil memijat kepalanya yang terasa berdenyut."Heh, biasanya juga kau langsung pergi," sahut Steve dengan yang terdengar menyebalkan di telinga Ben."Tumben kau masih d
"Maaf, tuan. Sepertinya saya harus menolak tawaran anda," Ivy menolak langsung tawaran itu lagi, tentu dengan bahasa yang sangat halus selembut sutra agar Ben tak tersinggung. Pria itu menaikkan alisnya, bingung dengan penolakan yang dilontarkan oleh wanita beranak dua di hadapannya. Matanya menelisik ke arah Ivy, dengan tatapan penasaran dan juga menuntut disaat yang bersamaan."Kenapa kau menolakku? Apa alasannya?" Tanya Ben bertubi tubi, tak terima ditolak lagi untuk kedua kalinya. Pria itu berusaha untuk mempertahankan sikap ramahnya agar bisa menggali rasa tertariknya pada Ivy.Ivy tersenyum manis menanggapi pertanyaan itu. Ia menghela napas sejenak dan kembali menatap Ben dengan senyuman kecil yang terukir di bibir mungilnya yang merah dan menggoda.Ben kehilangan fokus. Ia malah memerhatikan bibir mungil itu. Rasanya Ben ingin mencecap bibir manis itu dan membungkamnya dengan bibirnya. Berbagai pikiran liar kini merasuki tubuhnya, membuat hasrat yang terpendam entah kenapa te
Setelah pulang berbelanja bulanan, Ivy segera membereskan semua yang tadi ia beli ke dalam kulkas, tentu dengan dibantu oleh si kembar. Kedua anaknya itu begitu bersemangat menyodorkan benda yang tadi mereka beli pada Ivy. "Mommy, aku mau mengatakan sesuatu pada Mommy," ujar si kecil Terra yang saat ini menyodorkan sekotak telur pada Ivy. Wanita berambut hitam itu menoleh pada anak perempuannya dengan senyuman lembut yang terukir di bibir mungilnya. Ia paling suka melihat anak anaknya mengatakan apa yang mereka pikirkan.Selain itu Ivy juga mengajarkan kedua anaknya untuk saling terbuka satu sama lain jika ada masalah ataupun pengalaman menarik yang mereka alami."Tentu saja, sayang. Apa yang ingin kau katakan pada Mommy?"Terra tampak ragu. Raut wajah si kecil terlihat gelisah disertai dengan tatapan mata yang terlihat menghindar dari Ivy dan juga kembarannya, Terry. Tentu saja ini membuat Ivy merasa bingung sekaligus heran dengan kelakuan anak bungsunya.Setelah mengambil kotak te
Untuk menghilangkan rasa tak nyaman karena tawarannya ditolak oleh Ivy, Ben mengendarai mobilnya menuju salah satu bar yang paling terkenal dikawasan ini. Pria itu berkendara dengan kecepatan penuh agar bisa segera mendinginkan isi kepalanya yang terasa kusut seperti sekarang.Tak membutuhkan waktu lama, Ben pun tiba di tempat tujuannya. Setelah memarkirkan mobil, Ben segera melangkahkan kakinya menuju ke dalam bar, melewati para bodyguard yang berjaga disana dengan santai. Pria itu memasukkan tangannya ke saku dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya.Begitu masuk, suara dentuman musik yang cukup keras terdengar di telinga Ben. Lampu disko yang warna warni memancarkan cahayanya. Bau parfum yang cukup menyengat bercampur padu menjadi satu di ruangan itu. Wanita wanita berpakaian seksi yang tengah menari dengan gerakan sensual menjadi pemandangan surgawi bagi lelaki yang ingin mencuci mata. Aroma alkohol yang cukup menusuk menjadi pelengkap bagaimana keadaan bar yang Ben samb
Jayden mengernyitkan keningnya saat mendengar pertanyaan yang Terry lontarkan. Mata ambernya terlihat memutar, seolah enggan menjawab pertanyaan itu.Pria pemilik bar itu lebih memilih untuk mengalihkan atensinya pada Vodka pesanannya yang baru saja diantar oleh salah seorang bartender yang berpenampilan seksi yang bekerja di bar miliknya. Bartender wanita itu hanya menggunakan baju crop sedada dan rok mini yang membalut tubuh seksinya, memperlihatkan perutnya yang ramping dan kakinya yang begitu jenjang. Ben mencuri curi pandang pada bartender itu sebentar, melihat penampilan indah di depannya dengan gaya coolnya, yakni dengan tangan menyilang di depan dada dan tatapan mata lurus yang memberi kesan kuat dan juga dominan yang melekat pada dirinya. Hal ini tentu membuat bartender itu mengedipkan mata dengan kerlingan menggoda pada Ben untuk menarik perhatian pria itu. Ben tadinya ingin membalas godaan itu. Akan tetapi, ada hal mendesak yang jauh lebih penting saat ini, yakni tentan
"Jasa seperti apa yang kau maksud, Ben?"Ben tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. Ia menurunkan tangan dari wajahnya lalu membenarkan posisi duduknya menjadi tegap. Setelah itu, ia menatap Jayden yang saat ini tengah menampilkan mimik wajah bingung karena tak mengerti dengan ucapannya."Tolong jangan berpura pura bodoh di hadapanku, Jay. Aku tahu kau pasti mengerti apa yang aku maksud," Tawa kecil keluar dari mulut Ben, memenuhi ruangan yang terasa sunyi ini. Ben merasa geli jika sahabatnya berpura pura polos seperti sekarang, padahal ia adalah pemain paling handal dalam lingkaran pertemanan yang mereka buat. Ah... mengingatnya saja Ben merasa rindu. Ia ingin berkumpul lagi bersama grup yang ia buat jika semua temannya memiliki waktu senggang."Aku hanya tak ingin salah menangkap arti perkataanmu. Jadi lebih baik kau bicarakan saja secara langsung agar aku tak pusing berspekulasi ataupun menerka perkataanmu yang ambigu itu," jawab Jayden dengan nada tegas.Pria dengan mata amb
Kini, Ivy berada di taman kota sendirian atas permintaan orang yang meneleponnya sewaktu ia akan memejamkan mata. Wanita itu sengaja tak membawa kedua anaknya karena takut mereka sakit, mengingat hari sudah sangat larut. Selain itu, ia tak mau Terra dan Terry kekurangan tidur hanya karena menemaninya ke taman kota untuk mencari tahu siapa orang yang meneleponnya tadi.Suhu udara yang rendah ditambah dengan angin yang berembus kencang membuat Ivy bersin beberapa kali karena ia memang memiliki alergi pada suhu udara yang dingin.Ivy merapatkan mantel yang ia gunakan untuk menghalau rasa dingin yang terus menusuk tubuhnya tanpa henti. Wanita itu menggigil kedinginan karena hanya menggunakan mantel tipis untuk menutupi tubuh mungilnya. Ivy melirik ke arah jam taman kota yang terletak di tengah taman. Sudah pukul setengah sebelas malam. Karena lelah berdiri, Ivy pun memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman sembari menunggu orang itu datang. Sesekali, Ivy juga menggosok telapak